May 3, 2012

Rumah Cokelat: Ibu, Karir, Anak

Saya punya teman di kantor saya yang dulu, ibu satu anak yang tinggal di Bogor. Waktu saya kenal dia adalah masa-masa pertama saya mencicipi kehidupan kerja di Jakarta. Kantor tempat saya bekerja ketika itu di daerah Sunter. Perusahaan Jepang, kerja dari jam 7 sampai jam 4. Buat saya yang ketika itu masih bawa mobil, mudah saja bolak balik rumah-kantor, karena ada tol yang menghubungkan dari Jatiwaringin ke Sunter. Berangkat kerja paling lama makan waktu 50 menit (tidak pernah sampai 1 jam). Pulangnya yang agak ribet, sekitar 1 sampai 1,5 jam. Tidak terlalu buruk sebenarnya untuk ukuran Jakarta.

Untuk si Ibu satu anak, perjuangannya lebih berat (menurut saya). Pulang pergi naik kereta, sampai rumah sekitar jam 8an malam, belum lagi kalau lembur. Berangkatnya jangan ditanya, yang pasti sebelum saya bangun pagi. Saya sempat terheran-heran, bagaimanalah teman saya ini mengatur waktu dengan keluarganya terutama anaknya. Kapan ketemunya?

Aneh juga sih saya berpikiran begitu karena saya pun anak hasil didikan ibu bekerja. Tapi karena profesi ibu saya dokter, jadi jadwalya lebih fleksibel. Lagipula lalu lintas Jakarta 20 atau 15 tahun lalu belum separah sekarang, jadi waktu yang terbuang di jalan juga tak sebanyak saat ini.

Sejak saat itu saya jadi bertanya-tanya, apakah ibu yang bekerja memang harus begitu ya? Hanya sempat bertemu anak sebelum matahari muncul dan setelah matahari jauh terbenam. Tentu saja ada yang namanya akhir pekan. Apakah akhir pekan cukup? Tidak tahu saya, belum pengalaman sih.

Maka ketika suatu kali di toko buku saya lihat buku "Rumah Cokelat" karangan Sitta Karina (penulis Lukisan Hujan, dkk itu lho) dan baca sekilas sinopsisnya, saya jadi tertarik.

Rumah Cokelat bercerita tentang Hannah, seorang ibu muda berusia di akhir 20-an yang sedang sibuk-sibuknya meniti karir. Si anak, Razsya, yang berusia 20 bulan pun diasuh oleh neneknya dan Upik, pengasuh yang usianya baru 16 tahun. Sementara sang nenek sudah tua dan tak lagi gesit, maka Razsya lebih banyak bersama Mbak Upik.

Mbak Upik adalah orang yang memandikan, memberi makan, menemani bermain hingga mengajari dengan menggunakan flashcard yang telah disediakan sang Ibu. Mbak Upik juga yang pertama mengetahui dan dengan telaten mencatat bahwa Razsya alergi pepaya, Razsya harus selalu pakai body lotion karena kulitnya kering, kepala Razsya suka gatal kalau pakai shampo tertentu dan lain-lain. Bagi Hannah, Mbak Upik adalah malaikat penolongnya. Hingga suatu hari dalam tidurnya Razsya bergumam bahwa ia menyayangi Mbak Upik. Hannah pun merasa insecure.

Rumah Cokelat bercerita bagaimana Hannah mencoba merebut perhatian dan kasih sayang putranya kembali. Karir bukanlah godaan tunggal bagi Hannah. Sebagai wanita modern, Hannah masih mau kongkow-kongkow dengan teman-temannya, ngopi-ngopi di mall, belanja online, baca majalah People dengan tenang, hingga menyalurkan hobi melukisnya. Apalagi ada Smitha, sahabat karibnya yang berjiwa bebas dan hobi keluyuran meski sudah punya satu anak kecil. Di sisi lain ada Mbak Ria Sugono, tetangganya yang "militan ASI", yang rajin menyindir Hannah tentang caranya mendidik anak. Sementara itu sang nenek, Eyang Yani, yang awalnya diamanahi untuk menjaga Razsya, lebih banyak memanjakan daripada mendidik sang cucu, melonggarkan aturan-aturan yang telah dibuat Hannah dan Wigra, suaminya, terhadap sang anak.

Kisah ini menarik buat saya karena mengangkat konflik ibu-ibu muda metropolitan. Topik yang belum pernah saya baca sebelumnya. Bahasa dan alur ceritanya juga mengalir enak, seperti buku Sitta Karina yang lain. Saya rekomendasikan buku ini terutama untuk wanita-wanita yang bercita-cita punya karir dan anak suatu hari nanti. Bukunya tidak terlalu tebal hanya 226 halaman, bisa selesai dibaca sepanjang sore sambil tidur-tiduran. ;)

**

Anak-anak dan babysitter. Pemandangan di jalanan membuatnya miris. Masih mending kalau ini hanya berlangsung di pagi hari. Di siang hari saat si anak makan, si mbak lagi yang nongol keluar. Bahkan saat bermain sore! Seolah-olah bermain di luar, terkena sinar matahari langsung, hanya berlaku untuk si anak dan si mbak saja.

Bagaimana mungkin sampai Razsya berpikir demikian? Karena intensitas mereka bertemu yang kurang? Karena Upik selalu berada di sisinya, sedangkan ia tidak? Tidakkah Razsya mengerti bahwa perempuan muda ini hanya pengasuh sementara dan ia -- ia adalah ibunya? Sosok yang akan selalu ada, mendampinginya tumbuh; saat naik sepeda pertama kalinya, saat bergabung dengan tim olahraga pertama kalinya, bahkan saat Razsya menemukan tambatan hatinya?
Tapi, Razsya selalu merasa kehadira dirinya, perhatiannya kurang. Lantas, apa yang salah, apa yang sebenarnya kurang?

(Rumah Cokelat - Sitta Karina)



The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...