Dec 25, 2010

Big Things

You know how simple things can turn out to be few things you never forget forever?

It can be one of those days when you were late for a class then you took a seat next to someone whom you talked to during the lesson and turned out this person is now your bff.
Or when you went to a wedding party of an old friend and you met a person who now becomes your biggest investor.

It is the day when you wake up in the morning and you don't really expect anything big is going to start that day. So you do your daily things as usual. Even until you go to bed at night you still don't know that it has been started. The big thing has already been started.

Only a few months or even years later when you look back at that particular day then you realize how important every single decision you took on that day is.

I have some of them. One of those days is when I put silly word as my YM status. When I decided that the week had gone too boring and I needed to watch a movie. When I insisted to keep my promise to meet you even tough I didn't know how to reach the place.

So, you know, I think, sometimes big things in our lives come when we least expect them. They just happen.

Dec 1, 2010

Hemat, Titik!

Setelah menggelimangi diri dengan berbagai kemewahan, termasuk sesi jalan-jalan ke Singapore serta belanja belanjinya bulan lalu, juga bela-beli berbagai pernak pernik hidup, tibalah saat saya menuai apa yang telah saya tebar. Miris sekali rasanya melihat balance pada tabungan saya Jumat lalu. Rasanya ingin nangis sambil ndodok di pantai.

Untunglaaah, Jumat sorenya gaji saya masuk berikut reimbursement dari kantor. Pun, tetap saja the damage was too serious, it couldn't be fixed.

Mulailah masa mengencangkan ikat pinggang.
Masalahnya, I'm not good at following the budget. Sudah rapi-rapi budget bulanan saya susun sejak sekian waktu yang lalu. Entah mengapa tiap bulannya saya selalu menemukan alasan untuk melanggar beberapa rambu.

"Ah, ini kan pengeluaran sekali dalam setahun. Gakpapa lah ya"
Herannya kalimat ini keluar tiap bulan.

"Eh, kemarin kan sudah hemat sekian, berarti sekarang bisa pakai lebih sekian"
Ujung-ujungnya yang saya hemat tetap lebih rendah dari yang saya lebihkan.

So, I'm not good at following my budget.
Cara berhemat yang selama ini sukses buat saya adalah berhemat, titik.
Saya tidak memikirkan tinggal sisa berapa uang bulan ini, atau sudah berapa yang saya habiskan. Pokoknya di setiap kesempatan saya harus ekonomis, pilih alternatif paling hemat.
Karena kalau saya sih, ketika saya mulai menghitung jumlah penghematan saya, akan muncul keinginan untuk menghadiahi diri. Yang manaaa, ujung-ujungnya si hadiah ini lebih besar dari nilai penghematan.

It's kinda ironic, I think. I mean, I am paid for being Planning Analyst while in my actual personal life, I am not very much a good planner. Well, I don't know if I am a good planner or not, but I am not a good executor. :P


Nov 17, 2010

Broken Heart

In the beginning of my relationship with my boyfriend, about one year ago, I secretly prayed for the relationship going well. No more broken heart, I have wished.

Well, my boyfriend has been very great. Not once he ever breaks my heart. The thing is, I didn't realize that not only my significant other who is able to break my heart. Friend too. A very best friend, especially.
When your best friend says that she couldn't make friend with you anymore because she doesn't trust you anymore, it breaks your heart.

I start to have the usual rhyme. Memories keep flashing back. The wondering of what-if-I've-done-this-differentlys.
However, as in love relationship, you also need to know when to let go. In the end, every relationship needs two to tango. If one person says she/he doesn't want to dance it anymore, you just have to let it go. Do your partner a favor by unchain them from so-called uncomfortable relationship.

Finally, just like people always say, if you are meant to be together, destiny will find a way to bring you both there again.

Twenty-two



When she was 22 the future looked bright
But she's nearly 30 now and she's out every night
I see that look in her face, she's got that look in her eye
She's thinking how did I get here and wondering why

It's sad but it's true how society says her life is already over
There's nothing to do and there's nothing to say
'Til the man of her dreams comes along
Picks her up and puts her over his shoulder
It seems so unlikely in this day and age

She's got an alright job but it's not a career
Whenever she thinks about it, it brings her to tears
'Cause all she wants is a boyfriend, she gets one night stands
She's thinking how did I get here, I'm doing all that I can

It's sad but it's true how society says her life is already over
There's nothing to do and there's nothing to say
'Til the man of her dreams comes along
Picks her up and puts her over his shoulder
It seems so unlikely in this day and age

It's sad but it's true how society says her life is already over
There's nothing to do and there's nothing to say
'Til the man of her dreams comes along
Picks her up and puts her over his shoulder
It seems so unlikely in this day and age


22 - Lilly Allen

Oct 31, 2010

Lamunan Jalanan Pohon Jati

Ini adalah salah satu kebiasaan saya yang telah berulang kali diprotes oleh adik perempuan saya. Ketika saya berada di mobil, tidak menyetir, saya tidak akan memperhatikan jalan. Saya tidak akan ingat berapa lampu merah yang terlewati, apakah di perempatan terakhir kami belok kiri atau kanan atau terus atau putar balik, apakah gedung tinggi eksentrik telah dilalui, pendeknya saya bengong, melamun. Inilah mengapa saya sulit menghapal jalan. Dan ini jugalah yang seringkali menjadi akar pertengkaran saya dan adik perempuan saya.

Bukannya saya tidak berniat ya. Beberapa kali saya telah meniatkan diri kok, kali ini saya akan memperhatikan jalan! Namun 10 menit kemudian saya akan menemukan diri saya gelagapan karena kok tiba-tiba saya sudah ada di dunia lamunan? Dan ketika kembali ke dunia nyata, saya sudah sudah tidak tahu lagi ada di belahan dunia mana saya ini.

Hal ini terjadi tak terkecuali, bahkan lebih-lebih, dalam sebuah perjalanan panjang. Ketika saya melewati jalanan dua jalur yang panjang, dimana kanan kirinya pohon-pohon jati tinggi menjulang (sekarang sebagian besar sudah ditebang dan berganti pohon-pohon kecil). Ini bukan di Jakarta tentunya. Tidak usah berharap banyak. Setiap kali saya melewati jalan ini, lamunan saya akan melayang ke sebuah cerita yang saya dengar beberapa tahun lalu. Juru ceritanya seorang wanita sepuh berusia hampir 80. Ceritanya tentang masa lalu, ketika Indonesia baru merdeka kurang lebih 3 tahun.

**
Hari itu adalah hari Lebaran. Hari besarnya umat Islam, dirayakan dimana-mana sebagai penutup bulan puasa. Tak terkecuali di sebuah desa kecil di tengah pulau Jawa. Kalau menutup mata saya dapat membayangkan suasananya. Dingin, sejuk, orang-orang berbondong-bondong menuju balai desa atau mungkin masjid atau musola dengan pakaian terbaik yang mereka miliki. Tidak bagus mungkin, apalagi rapi, tapi lebih baik daripada pakaian yang mereka pakai sehari-hari. Saya tidak tahu persis sih. Seperti saya bilang, ini hanya bayangan saya.

Orang-orang desa, sepanjang saya perhatikan, merayakan Lebaran dengan lebih ‘meriah’. Bukan berarti pakaian mereka lebih indah, kue nastar mereka lebih banyak, angpau mereka lebih besar atau apa. Tapi terlihat lebih niat. Ya, itu kata yang benar. Mereka memaknai Lebaran sebagai hari yang sangat spesial. Mungkin karena tak banyak hari spesial yang mereka punya dalam setahun. Ini hanya pengamatan saya saja lho.

Kembali ke lebaran sekian puluh tahun lalu. Kali itu lebaran tidak berakhir dengan sukacita, meskipun awalnya demikian. Pada masa itu Jepang sudah angkat kaki dari Indonesia. Yang kembali adalah tentara Hindia Belanda di bawah bendera KNIL.

Usai shalat Ied, usai makan ketupat, kira-kira setelah Dzuhur terdengar 2 kali tembakan. Belanda akan datang. Konon, mencari seorang bernama Hizbullah(atau semacamnya) yang telah getol melawan Belanda. Para laki-laki buru-buru disuruh kabur ke gunung oleh warga desa. Tak terkecuali ketua desanya yang kebetulan juga anggota Masyumi. Dibekali uang 20 talen uang 25 sen oleh istrinya, kaburlah si ketua desa bersama para laki-laki lain.

Menjelang sore Pak Ketua Desa malah kembali ke rumah. Tak tega ternyata hatinya meninggalkan istri dan anak-anaknya. Apalagi anak bungsunya baru berusia satu bulan. Dikembalikannya 20 talen uang 25 sen kepada istrinya. Untuk makan di rumah, ia bilang.

Saat itu Belanda sudah masuk desa. Tembakan terdengar dimana-mana. Sudah terkepung dan tak ada jalan keluar. Digiringlah Pak Ketua Desa bersama 51 pria desa lainnya ke bawah sebuah jembatan kecil di pinggiran desa tersebut. Dari atas jembatan tentara Belanda memberondongkan pelurunya. Bau mesiu merebak, tak lama bercampur juga dengan bau anyir.

Pak Ketua Desa yang sekarat digotong kembali ke rumahnya. Tidak mengerti saya siapa yang menggotong, mungkin warga desa lain yang lolos dari pembantaian. Kakinya sudah patah dan peluru-peluru sudah bersarang di badannya. Konon, 16 butir peluru.

Pak Ketua Desa pun meninggal tak lama setelahnya. Demikian juga 51 orang yang diberondong peluru di bawah jembatan sore itu.
**

10 tahun setelahnya si anak sulung Ketua Desa, yang di saat kejadian masih berusia 12 tahun, menikah dengan seorang pemuda yang ditemuinya di Purwokerto namun ternyata juga berasal dari desa yang sama. Setahun setelahnya ia melahirkan anak pertama, yang disusul anak kedua dan ketiga.

Beberapa tahun lalu, puluhan tahun setelah kematian bapaknya, ia menceritakan kisah ini kepada saya. Kisah yang mengingatkan saya bahwa penjajahan itu nyata, bukan hanya dongeng karangan yang melegenda. Kisah yang saya lamunkan setiap melewati jalanan dua jalur yang panjang, dimana kanan kirinya pohon-pohon jati tinggi menjulang. Jalanan yang saya lewati setiap kali saya akan berkunjung ke rumahnya.


Oct 24, 2010

Changes

Saya suka suara ketukan ketika jari saya menghantam keyboard laptop, apalagi kalau dalam kecepatan tinggi.
Tentunya tidak ketika menulis blog. Kalau lagi nulis blog banyak pausenya, mikir dulu kelanjutan abis ini apa yaa. Hahahaha. Kalau lagi chatting tuh, seru sekali. Udah materi chattingnya seru, ditambah background suara cetak-cetuk ini bikin saya makin senang.

Eh, sudahlah. Saya bukannya ingin membahas obsesi aneh saya.

Last night, I watched Eat, Pray, Love with my boyfriend. During the movie, I kept having this thought inside my head: nothing could go wrong in this life anyway.

Entah apakah itu filmnya, atau apakah beberapa kejadian belakangan ini yang mencetuskan ide tersebut. I just heard that a friend of mine just quitted her job to join a program called Indonesia Mengajar. She will be (or she has been? I don't know) sent to remote area in Indonesia to teach elementary kids for one year.
Some might say she had lost her mind. Quitting a job with decent salary to teach some place we can't even point at on the map?
Tapi buat saya, what the heck, it's only one year! One year of so many years we have and maybe will going through. Next year, she can decide her next move. Maybe teaching again, or maybe coming back to corporate life, who knows...

The point is, yes life's short, yes we live only once, yes we can't undo the past, but that doesn't mean that we have to be extremely careful analyzing, planning our every move.
Saya jadi ingat sebuah quote dari novel-nya Sophie Kinsella, Undomestic Goddes. "Sometimes you don't need a goal in life, you don't need to know the big picture. You just need to know what you're going to do next"

Well, that's quite extreme "don't need a goal in life". Maybe you have the rough plan, the blurry picture of your life in the next 20 or 30 years. But plan, unlike the past, is changeable. Some things we need to be 100% (ok, at least 90%) sure at, some other things we just go on with it and see what happen then.
Because, here's the thing, nothing could go really wrong in life. We can always fix them. We can always stop and take different paths.

Sep 19, 2010

Until you have it

You don't know what you have until it's gone.
Begitu katanya. Kata-kata bijak klasik yang telah berjuta-juta kali disampaikan antar manusia. Dari ibu ke anaknya, dari kakak ke adiknya, dari sahabat ke sahabat, dari para pesohor kepada para pemirsanya. Berjuta-juta kali pula, mungkin, selama sejarah kehidupan manusia, kata-kata tersebut terbukti kebenarannya.

Saya tak meragukan kebenaran dari kata-kata itu. Mengalaminya pun beberapa kali sudah. Tapi saya juga meyakini sesuatu yang lain, you don't know what you're missing until you have it.

**

Jakarta, kawan, adalah tempat saya tinggal dan bekerja. Saya hidup di kota ini. Sungguh pun kota ini dikecam berbagai pihak untuk beragam alasan, toh buat sekian juta penduduknya, Jakarta tetap opsi terbaik. Terbukti mereka, atau kami, masih bertahan berada di kota ini.

Lama sudah saya berhenti mengeluh berat tentang kota ini. Ibarat menikah, saya sudah terima for better for worse, baik buruknya saya telan saja. Saya tinggal di pinggiran Jakarta Timur sementara kantor saya berlokasi di Jakarta Pusat. Lelahkah tiap hari bolak-balik rumah-kantor dengan kondisi jalanan macet? Lelah sedikit. Tapi sudahlah, hal itu sudah menjadi bagian hidup saya yang saya anggap wajar.

Berkat efek lebaran, Rabu minggu lalu untuk pertama kalinya saya hanya hanya menghabiskan 45 menit dari rumah ke kantor. Itu pun masih mampir dulu ke Halim mengantar Mama. Jadi kalau saya tidak pakai ke Halim, ya kira-kira 30 menit lah. Sampai di kantor masih jam 8 padahal jam masuk kantor seharusnya jam 9.
Esoknya, saya baru berangkat dari rumah jam 8 lewat. Lagi-lagi, tidak sampai satu jam, pukul 9 kurang 10 saya sudah ongkang-ongkang kaki di kantor.

Saya tak bermaksud hiperbolis, tapi sungguh ini seperti mimpi saja. Saya bahkan tidak tahu hal seperti ini mungkin terjadi di hidup saya di Jakarta. Ternyata rumah saya tidak jauh kok. Ternyata cukup 30 menit saja.
Sore hari pun jalanan sangat bersahabat. Mobil, bis, motor melaju lancar. Sampai di rumah dengan hati yang ringan (bukannya selama ini saya pulang dengan hati berat, tapi saya tidak tahu bahwa hati saya bisa seringan ini setelah menembus jalanan Jakarta).

Betapa jauh lebih ringannya, jauh lebih mudahnya hidup ini tanpa macet di jalan. Seperti ada di kehidupan yang lain.
Then I got terrified when I realized: God, what have I been missing this whole time??

Aug 17, 2010

Dementor


Dalam novel terbarunya, Cinta: Sebuah Rumah Untuk Hatimu, Ollie memunculkan perumpamaan dementor untuk seorang tokoh. Anda yang pernah baca dan nonton Harry Potter, tentu tahu dong apa itu dementor. Kalau Anda tidak tahu, coba saya kasih sedikit gambaran.

Dalam cerita Harry Potter, tersebutlah penjara sihir bernama Azkaban. Penjara ini sungguh menakutkan. Apa yang bikin penjara ini menakutkan?
Karena penjara ini dijagai oleh para dementor.
Apa yang menyebabkan dementor menakutka
n?
Karena dementor adalah makhluk yang doyan menyantap perasaan bahagia manusia. Ia senang menyedot energi-energi positif hingga manusia-manusia yang diserangnya hanya memiliki perasaan negatif dan putus asa.
Kembali lagi ke novel terbaru Ollie, tersebutlah Bu Ivan yang disebut sebagai dementor. Bu Ivan adalah tipe orang yang sering kita temui di kehidupan sehari: pengeluh, hobi menjelekkan hal-hal disekitarnya, intinya kemana pun ia pergi suasana menjadi gloomy, harapan terasa begitu jauh di awang-awang.

Saya terkikik-kikik ketika membaca bagian ini. Karena perumpanaan dementor ini oh so true!
Tentu saja kecewa, sedih, marah, kesal, paranoid adalah emosi-emosi yang natural ada dalam diri manusia. Rasanya tak pernah ada satu hari pun lewat tanpa satu pun emosi negatif mampir. Jakarta macet, jalanan becek, pekerjaan menumpuk, data belum siap, orang terlambat, minuman tumpah, komputer nge-hang, sebut saja, begitu banyak peristiwa yang bisa memancing berbagai emosi negatif.

That's the reality. Life is not always fun. Bear with it!
Saya selalu ingat kata-kata seorang teman: kita tidak bisa menolak emosi yang datang pada diri kita, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana kita akan meresponnya.
Dan sungguh melelahkan bukan menghadapi orang-orang yang selalu merespon dengan makian, keluhan, tudingan, dsb?
Yang bikin paling gemas dari pada dementor ini adalah, ketika mereka mengeluh tentang keadaan, ya hanya itu yang mereka lakukan. Bukannya mencari solusi atau paling tidak berusaha mencari jalan keluar bagi dirinya untuk keluar dari situasi itu. Mereka bahkan tidak berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan.
Dan yang paling berbahaya adalah mereka berusaha mencemari orang-orang di sekitarnya dengan virus-virus negatif ini. Ada bedanya antara memperingatkan dengan mencemari. Memperingatkan hanyalah mengungkapkan akibat-akibat yang mungkin terjadi atas suatu tindakan. Mencemari bertindak lebih jauh lagi, berusaha menanamkan pola pikir yang sama, kenegatifan yang sama diri orang lain.

Saya sendiri merasa bahwa para dementor ini menyukai drama. Semakin dramatis keadaannya, semakin senanglah mereka. Yah mereka punya pekerjaan paling buruk di dunia, yah mereka punya bos paling kejam sedunia, yah mereka punya hidup yang paling sulit di dunia, yah mereka punya adik paling rese sedunia. Drama drama drama.

Kadang-kadang ada juga tipe dementor yang hobinya mensabotase diri sendiri. Mereka mengeluh, kita tawarkan solusi, mereka bilang "tapi kan...". Satu dua tiga kali mungkin masih oke. Tapi kalau sudah 10 kali terjadi. Mereka terus-terusan datang dengan masalah yang sama. Terus-terusan menolak berbagai saran yang diberikan. Ah ya sudahlah. Pada satu titik saya hanya mendengarkan (masuk telinga kiri keluar kanan) tanpa komentar apa-apa.
Karena kalau ditanggapi terus, berempati terus menerus, lama-lama saya jadi merasa oh mama oh papa kejamnya hidup ini.


Ih, saya terdengar benci sekali dengan para dementor ya? Hahaha.
Padahal mungkin juga ada masa-masanya sih saya yang jadi dementor. Tapi iya sih, dementor-dementor itu menyebalkan. Saya tidak benci kok, cuma tidak ingin punya urusan saja. Cukup kenal dan saling sapa saja.


Aug 14, 2010

Blora

Boss (B): "Wow, he was born in Blora"
Ia menunjuk pada data seseorang.

Me (M): "Sorry?"

B: "Blora. He was born in Blora. Do you know Blora?"

Blora yang ga jauh dari Jalan Imam Bonjol itukah maksudnya? Blora yang ada XTrans-nya?
M: "Uh... No.."

B: "Really? It's a famous place in Indonesia. Pramoedya (Ananta Toer) was born there"

M: "Uhm... Do you mean Blitar?"

B: "No. No. Blora. It's very famous. One of Pramoedya's book is about this town: Gadis Pantai"

M: "Hmm, I haven't read that one"

B: "It's about his grandmother who came from Blora. And Pramoedya was born there same like this person"

M: "Oh, okay.."


Rasanya pengen gali lubang dan mengubur diri di tempat.

Bos saya bukan orang Indonesia, ia adalah orang Amerika.
I wish I could say that he has been living in Indonesia for a long time, but I couldn't. Ia tidak pernah tinggal di Indonesia. Saat ini ia tinggal di Singapore dan hanya beberapa hari dalam sebulan ia ke Indonesia.
I wish I could say that his wife is an Indonesian, but I couldn't. Istrinya bukan orang Indonesia.

Ah, saya malu sekali. Bagaimana ia bisa tahu tentang sebuah kota di negara saya, yang saya tidak tahu. Bagaimana ia bisa lebih fasih bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer.

Malam itu begitu sampai rumah saya langsung mengambil salah satu buku Pramoedya dan membaca biografi singkatnya.

Aug 13, 2010

Novel Religi Favorit Saya

Saya ingat membeli sebuah buku berjudul "Hafalan Shalat Delisa" beberapa tahun lalu, di sebuah kios buku kecil di Gelap Nyawang. Iseng saja, saya sedang tidak ada kerjaan dan sebuah buku untuk mengisi waktu senggang rasanya bukan ide yang jelek. Setelah menimbang-nimbang beberapa pilihan yang tak banyak, akhirnya saya beli buku yang ditulis Tere Liye ini.

*

Tahun 2007, karena merasa aktivitas saya tidak cukup banyak untuk membunuh waktu-waktu senggang yang membosankan, saya dan 2 teman saya ikut-ikutan nebeng belajar tari Saman di sebuah unit perkumpulan anak-anak Aceh di ITB. Disana saya bertemu dengan seorang gadis asli Aceh. Entah bagaimana awal mulanya, suatu kali obrolan kami nyamber ke soal tsunami yang menerjang Aceh pada tahun 2004.

Gadis ini bercerita ia sedang di Jakarta ketika itu. Mengadakan pertunjukan dengan teman-teman unitnya di sebuah acara khusus orang-orang Aceh. Di tengah acara itulah mereka mendapat kabar kampung halaman mereka sedang dihantam tsunami. Tak bisa menghubungi keluarga disana, akhirnya mereka melakukan doa bersama.

Ketika itu, saya berpikir, entah apa rasanya berada dalam posisi gadis ini. Pasti jantungnya terasa meledak-ledak karena rasa khawatir akan nasib keluarganya. Untungnya, keluarganya survive dari bencana tersebut.

*

"Hafalan Shalat Delisa" saya beli beberapa bulan setelahnya. Buku ini berkisah tentang seorang anak berusia 6 tahun yang berusaha survive setelah tsunami menghantam desanya, Lhok Nga, dan memisahkan dirinya dari Abi, Ummi, serta ketiga kakaknya.

Termewek-mewek saya membaca buku ini. Ahahahaha.

Seriously, buku ini menggambarkan detik-detik ketika bencana tersebut terjadi. Pada hari ketika Delisa, tokoh utama dalam buku ini, ujian praktek shalat, terjadi gempa yang dahsyat. Mengguncang ruang kelasnya dan membuat panik semua orang. Semua kecuali Delisa yang sedang ingin mencoba khusyu menjalankan shalatnya yang sempurna untuk pertama kali. Toh, sahabat Rasullulah pun tetap khusyu menjalankan shalat bahkan ketika ia tahu usai shalat ia akan dipancung, begitu pegangan Delisa.

Gempa pun mereda.

Namun bencana yang lebih besar telah menunggu di pintu. Gelombang pasang yang maha dahsyat menyapu tanah Aceh. Bam! Bam! Bam!
Membaca buku ini, dengan bahasanya yang deskriptif saya diajak untuk seolah menonton bagaimana tsunami meluluhlantakkan Aceh.
Delisa kehilangan orang-orang tercintanya. Bersama Abi-nya dan orang-orang Aceh lainnya, Delisa perlahan berjuang untuk pulih.

Seperti saya bilang tadi, saya membaca buku ini sambil termewek-mewek. Tapi tak hanya karena kisah pilu tentang bencananya, tapi lebih pada keharuan pada bagaimana manusia-manusia ini berusaha untuk tegar dan ikhlas menerima cobaan tersebut.
Dan cobaan apa yang lebih berat daripada kehilangan keluarga serta harta benda hanya dalam satu hari?

Jasad-jasad yang ditemukan ketika itu tak sempat lagi untuk dibuat kuburannya satu per satu. Semuanya dikumpulkan dalam sebuah lubang besar dan dimakamkan secara masal. Tak ada nisan untuk masing-masing orang.

Hafalan Shalat Delisa adalah novel religi favorit saya. Buat saya sih, novel ini memberikan inspirasi tersendiri. Tadi malam saya kembali mengintip-intip isi buku ini. Memilih halaman-halaman secara random dan membaca sepintas-sepintas. Bahkan hanya dengan seperti itu pun saya bisa merasakan pelupuk mata saya mulai memanas.

Yes, I recommend this book. Amazingly inspirational. Yang paling saya suka karena buku ini tak melulu berfokus pada penderitaan yang dialami tokoh-tokohnya, namun pada ketangguhan manusia dalam menghadapi cobaan serta bagaimana agungnya keikhlasan.
It will be different for each person but I hope if you read this book you can experience the same feeling as I did (couples years ago and last night). :)

Aug 8, 2010

Sophie Kinsella: When Life is Not Only About Finding Mr. Right

At first I wanted to write a review about Sophie Kinsella's lastest novel: Twenties Girl (actually the latest one is a Shopaholic series, but I think it hasn't been published yet in Indonesia), but then I thought why didn't I write about Kinsella's novels? I always love them anyway.

So here we go.
No wait, I'll change to Indonesian first (I am always amazed at people who can write very well in Indonesian, so I want to start learning).


Jujur saja, masa-masa saya menggilai Chicklit tampaknya telah berakhir seiring dengan lepasnya seragam putih abu-abu. Bukannya saya tidak suka juga sih, saya masih suka baca Chicklit sampai sekarang, tapi saya bukan Chicklit mania yang senang memborong semua buku berlabel "Chicklit".

Dari semua pengarang Chicklit, ada satu yang selalu saya ikuti novelnya - sadar maupun tak sadar -, si Mbak Sophie Kinsella ini. Novel pertama Jeng Sophie yang saya baca adalah Confession of a Shopaholic (...novel sejuta umat), pada waktu saya SMA atau awal-awal kuliah kalau tidak salah. Lalu saya pernah baca juga Can You Keep a Secret? tak lama setelahnya.
Kemudian, tahun-tahun berjalan dan saya tidak lagi membaca novel Kinsella. Hingga tahun lalu.

Thanks to Mbak Erma yang menitipkan bukunya di ReadingWalk, saya bisa membaca buku Undomestic Goddes gratis (hahaha, senangnya punya online book rental!). Saya suka sekali buku ini, hingga saya review di blog ini juga. Kemudian, secara maraton saya baca seluruh seri Shopaholic (again, thanks to Mbak Erma. Hihi.)

Lalu saya baca Remember Me?, yang juga saya suka banget. Dan terakhir, Twenties Girl yang tadinya mau saya tulis reviewnya disini.


Atas kesukaan saya pada novel-novel Kinsella, saya sering beralasan: bahasanya kocak, fun dan segar!
Tapi bahkan saya sendiri pun tidak puas dengan jawaban itu. Masa hanya karena itu sih sampai saya tidak lagi berpikir 2 kali untuk membeli novel-novelnya Kinsella?
Ternyata memang tidak. Entah bagaimana menggambarkannya, tapi usai membaca novel-novel Kinsella, saya selalu merasakan emosi tertentu, atau berpikir tentang sesuatu.


Hari ini saya paham kenapa saya begitu suka dengan novel-novel itu. Karena setiap tokoh dalam ceritanya memiliki "kehidupan". Maksud saya dengan "kehidupan" adalah mereka memiliki pekerjaan (dan berbagai masalah di dalamnya), mereka memiliki hubungan tertentu dengan orang tuanya, mereka memiliki sahabat, dan yaa tentu saja mereka punya cerita asmara. Yang menarik buat saya adalah Kinsella tidak hanya menitikberatkan ceritanya pada kisah asmara tokoh-tokohnya tapi juga aspek-aspek lain dalam hidup masing-masing tokoh.

Membaca novel-novel Kinsella tidak membuat saya berpikir "ya ampun, orang ini kerjanya pacaran doang apa?". Mereka memiliki masalah-masalah lain selain percintaan. Beberapa buku memang dikhususkan untuk memotret sisi percintaan saja, tapi novel Kinsella tidak demikian.

Selain itu, karakter para tokoh dalam novel Kinsella ini berkembang seiring jalannya cerita. Mereka belajar sesuatu dalam perjalanannya dan itu berarti saya diajari sesuatu oleh mereka. Saya bisa merasa bahwa fokus cerita tetaplah pada seorang tokoh utama, bukan dua (seperti yang banyak terjadi pada novel percintaan).

Saya senang membaca novel-novel itu karena disitu life is not only about finding Mr. Right. Hmm, maksudnya, iya sih, menemukan Mr. Right itu mungkin memang menjadi salah satu tujuan terpenting dalam hidup, tapi kan ada hal-hal lain yang tak kalah pentingnya. Saya percaya bahwa kita-kita ini tetap harus memiliki porsi untuk fokus pada diri sendiri dan pengembangannya.

Dengan isi cerita yang macam-macam, Sophie Kinsella tetap mampu membungkusnya dalam bahasa yang mudah, renyah, mengalir dan konyol, hingga disaat saya membaca halaman terakhirnya saya akan merasa sedikit sedih. Rasanya seolah seperti salah seorang teman baik saya berhenti bercerita tentang hidupnya. :)


PS. Btw, saya baru menemukan official website Sophie Kinsella di http://www.sophiekinsella.co.uk/

Atauu, kalau Anda jadi penasaran pengen baca bukunya, ReadingWalk punya kok semua koleksinya. Hahaha. Cari saja "kinsella" di search engine kami. :)

Aug 4, 2010

Elephant in the Room

Pertama kali saya mendengar istilah elephant in the room adalah ketika saya membaca buku Last Lecture dari Randy Pausch (a great book, btw). Dalam bab-bab pertama di bukunya, Randy Pausch mengatakan "when there's elephant in the room, introduce him".
Let's see what elephant in the room means. Menurut wikipedia, itu adalah sebuah idiom yang digunakan ketika ada sebuah persoalan serius yang enggan didiskusikan oleh orang-orang.
Situs lain mengartikannya sebagai sebuah masalah yang keberadaannya disadari oleh semua orang namun tidak dibahas karena dirasa akan membuat suasana menjadi tidak nyaman.

Contoh sederhananya begini. Andaikan Anda pergi dengan 4 orang teman Anda. Di tengah acara, salah seorang teman Anda pergi menelepon pacarnya dan ketika kembali matanya sudah sembab dan rupanya berantakan. Anda dan 3 orang yang lain tahu pasti, teman Anda ini tentunya habis bertengkar sengit dengan pacarnya. Namun, Anda dan yang lainnya memutuskan tidak membahas masalah tersebut karena tidak ingin membuat suasana menjadi tidak enak. Paling-paling Anda hanya saling lirak-lirik dengan 3 orang yang lain tanpa membuat suara.


Itulah mengapa disebut elephant in the room. Keberadaannya jelas dirasakan semua orang, tapi juga berusaha diabaikan. Ketimbang pura-pura menganggap si gajah tidak ada, Pausch justru menyarankan untuk memperkenalkan sang gajah. Introduce it then get over it.

Di ajang Indonesian Idol tahun ini, Agnes Monica menjadi salah satu juri sementara Daniel menjadi presenternya. Dulunya, mereka berdua pernah dekat kan. Tapi mereka berdua menyikapi itu dengan pintar. Ketimbang disentil-sentil orang lain soal masa lalu, mereka justru lebih dulu menjadikan hal itu sebagai guyonan umum. Jadi tidak ada atmosfer nggak enakan disitu.

Introducing the elephant bisa juga begini.
Yes, I failed the exam and I was furious about it but now I just want to watch a movie and have some fun. Mungkin kira-kira seperti itu.
Atau ini. Yes, I was mad at you because you were not keeping your promise. Please don't do that again. Now let's go and have fun.

Masalahnya adalah sungguh tidak mudah untuk bisa bersikap selugas itu. Setidaknya menurut saya itu tidak mudah. Apalagi kalau tidak terbiasa. Sometimes we just hope that the problem will somehow go away and everyone will forget that it ever exist. Ayo yang suka diam-diam berharap begitu, ngacuuuung....
Fufufufufufu.

Padahal berpura-pura tidak melihat si gajah pun bukan hal yang mudah. Rasanya seperti bermain peran dimana kita diharuskan mengabaikan keberadaan kru-kru lain selain lawan main kita.

Entah mana yang lebih baik. Mungkin mesti dilihat-lihat dulu juga ya lawan main kita itu seperti apa. Menurut Anda lebih baik yang mana?


Jun 26, 2010

Ritme Baru

AC menghembuskan udara sejuk di dalam ruangan. Di dalam selimut saya meringkuk nyaman. Merebahkan setiap jengkal otot saya pada spring bed. Lelah seharian habis sudah tergerus.
Perlahan saya terbawa ke alam sadar. Kedip, kedip, kedip. Voila, saya membuka mata dan pagi menyapa.
Dan lagi-lagi, lagi-lagi, tak secuil ingatan pun nyangkut tentang bagaimana saya bisa tertidur semalam. Yang saya yakin, saya tertidur sekitar jam 10.
Aaaaaarrrrrgggghhhhh.

Begitulah pagi saya akhir-akhir ini. Saya bangun dan berpikir, "kapan ketidurannya?".
Jadi masalahnya, kawan, bukan pada pagi hari tapi pada malam hari. Belakangan ini (baca: sejak pindah kantor ke Senayan) tubuh saya seakan tak lagi sanggup dibawa sadar melintas tengah malam.

This is not the plan.

Rencananya, saya akan tidur lebih malam, bangun lebih siang karena toh sekarang jam kerja saya dimulai jam 9 (di kantor yang dulu jam kerja saya dimulai jam 7). Rencananya saya akan sampai di rumah sekitar jam setengah 9, dan pada jam 9 atau setengah 10, saya sudah mandi, makan dll. Dilanjutkan dengan mengurusi ReadingWalk atau hal lainnya. Tapi seperti saya bilang, kenyataan tak berjalan sesuai rencana.

Hari-hari ini adalah kondisi dimana saya belum mendapatkan ritme hidup yang baru. Anda tahu rasanya?
Biasanya ketika ada perubahan yang major atau cukup besar dimana kita harus menyesuaikan lagi jam-jam kegiatan kita. Pada masa-masa transisi itu seringkali badan saya masih mengikuti ritme yang lama padahal tuntutan yang saya hadapi sudah berbeda. Dan badan saya ini, tidak bisa secara instan dipaksa mengikuti ritme tertentu. Ia agak rewel dan ngeyel, sehingga harus sedikit demi sedikit dibujuknya.

Pada masa transisi ini seringkali saya jadi merasa kehilangan banyak waktu. Mungkin karena badan saya juga lagi bingung dan akhirnya memutuskan untuk tidur saja. Tak hanya soal jam kerja yang berubah, ada juga hal-hal lain dalam hidup saya yang butuh penyesuaian ulang.
Les Perancis, misalnya. Term saya sudah habis, dan saat ini seharusnya saya mendaftar untuk term baru. Namun, sayangnya demi alasan efisiensi, saya harus pindah dari CCF Salemba ke CCF Wijaya. Meskipun belum eksekusi, tapi saya yakin paling tidak ada perubahan waktu dan sebagainya.
Lalu hal lain lagi, saya sudah tidak LDR lagi. Pacar saya, somehow, bertepatan dengan saya pindah kerja, juga dipindahkan oleh kantornya ke Jakarta. Dari yang biasanya saya sudah menetapkan waktu jam sekian hingga sekian untuk menelepon atau chatting, sekarang jadi bisa langsung bertemu. Lebih melelahkan, jelas. Tapi jauh lebih menyenangkan juga sih. :P

Jadi saat ini saya sedang berusaha memaksa badan saya untuk bisa sadar hingga tengah malam. Harapannya supaya saya bisa lebih produktif. Cih, sok rajin benar saya. Hahaha. Yah paling tidak supaya saya bisa menemukan ritme yang lebih nyaman. Yang tidak membuat saya bangun pagi-pagi dan meraung, ngapain aja semaleeeeeemmm.....

Jun 14, 2010

Virus Menikah Muda

Ada notifikasi Facebook baru di inbox saya. Setengah mengantuk saya pilih open.
Ah, wedding invitation. Berarti ini adalah invitation ke-2 untuk bulan Juli. Sementara untuk bulan Juni sendiri, sudah ada 4. Betapa sibuknya sang pembuat janur kuning.

*

Syahdan, di sebuah waktu di masa yang lampau saya pernah bercita-cita ingin menikah di usia 27 atau 28. Mengapa?
Errr... Entahlah. 27 atau 28 terdengar matang dan, ketika itu sih, terdengar masih lama dari masa kini. :P

Maka ketika room mate saya memutuskan untuk menikah tahun 2008 silam, I can't help but wonder why does she want to tie the knot so quick?
Tak hanya sekali dua kali saya bertanya, setengah bercanda juga sih, lo yakin mau nikah?. Pertanyaan yang seandainya didengar oleh calon suaminya akan berakibat pada melayangnya sebuah panci ke arah kepala saya.
Dan room mate saya menjawab, kenapa enggak?

Quick facts tentang room mate saya:
1. Ia dan pacarnya sudah pacaran (ketika itu) sekitar 3 atau 4 tahun.
2. Ia setahun lebih tua dari saya dan pacarnya beberapa tahun lebih tua dari dia.
3. Ketika itu pacarnya sedang S3 di Eropa.
4. Pacarnya sudah punya penghasilan tetap.
5. Teman saya akan melanjutkan S2 di tempat yang sama dengan pacarnya.

Intinya saya jadi bingung juga dengan jawaban kenapa enggak itu. Sebenarnya saya punya tanggapannya sih, tetapi saya urungkan niat mengutarakannya karena terdengar kekanak-kanakkan dan labil. Fufufu.
Maka saya mengganti pertanyaan dengan kok lo bisa yakin sih mau nikah sama dia?
Kali ini mungkin yang melayang kompor, lengkap dengan gasnya dan api yang menyala.
Dan room mate saya lagi-lagi menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, emang mau cari yang gimana lagi?

Yang gimana kek.
It was not because I didn't like his guy. Saya yakin kok pacar teman saya ini baik dan mereka cocok dan seterusnya. Saya hanya amazed pada fakta bahwa teman saya ini, yang ketika itu usianya belum 23 tahun, bisa yaqqiiin mbuliqqiin (istilah Mama untuk benar-benar yakin) untuk berkomitmen pada satu pria ini ini. Seumur hidup. For better for worse.

Ini sebenarnya tanggapan kekanak-kanakan dan labil yang tadi ingin saya sampaikan: kalau beberapa tahun kemudian teman saya ini menemukan pria lain yang lebih ia sukai, bagaimana?

Tapi teman saya ini terlihat yakin dan mantap. Tercermin dari caranya yang santai menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh saya sambil disambi dengan menyetrika baju, minum teh, atau berkebun. Tak sekalipun ia tampak jadi gusar atau ragu karenanya.
Ya sudahlah, saya pikir ketika itu, mungkin saya memang belum sampai pada tahap itu atau memang saya belum menemukan orang yang bisa membuat saya seyakin teman saya itu.

*

Dua tahun berlalu sejak saat itu dan saat ini berita pernikahan teman hampir sama seringnya dengan iklan menjual mobil Avanza (perumpamaan yang aneh...). Virus menikah muda menyebar hampir sama cepat dengan influenza. Lagi-lagi, can't help but wonder, usia yang sedang hip untuk menikah sudah bergeser ke middle twenties ya?

Seorang teman mengatakan bahwa semua itu tergantung fokus hidup seseorang. Hmm, I can't completely agree with her. Saya rasa orang menikah ketika mereka telah sampai di tahap seperti room mate saya, kenapa enggak?

Saya punya analisa sendiri tentang mengapa orang-orang jaman sekarang (atau paling tidak orang-orang di sekitar saya) banyak yang menikah di usia middle twenties ke bawah.
Ini karena saat ini pendidikan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih cepat daripada dulu. Ambilah contoh ITB yang konon-konon dulunya untuk bisa selesai kuliah dalam 7 tahun saja sudah bagus. Sekarang, lewat dari 6 tahun sudah kena DO. Sebagian besar selesai 4 tahun atau 4,5 tahun. S2 pun sekarang banyak yang 1 atau 1,5 tahun.

Bila mengikuti siklus hidup yang standar, selesai kuliah berarti bekerja. Dan orang-orang jaman sekarang pintar sekali mencari uang. Peluangnya pun memang lebih besar dari jaman dahulu. Ide-ide menyebar dengan cepat via televisi dan internet.
Bisnis perusahaan-perusahaan yang mempekerjaan orang-orang ini juga berkembang lebih pesar. Ujung-ujungnya berpengaruh juga pada gaji yang dibayarkan pada karyawannya.
Dua tahun kerja, para new hires ini sudah bisa mencicil mobil atau bahkan mungkin rumah. Lalu datanglah fase itu ketika mereka mulai bertanya, kenapa enggak?

Ya, kenapa enggak? Gelar ada, mandiri iya, dewasa iya, tabungan banyak, rumah in progress. Lalu ada satu sentilan tambahan, mengapa menunda hal yang baik?
Menikah itu lebih baik daripada tidak menikah, jelas ada di Al-Quran.
Yah kecuali kalau memang belum ada orang yang diyakini bisa diajak menikah. :)
Lepas dari persoalan diatas, memang tinggal masalah perasaan dan keyakinan saja.

Saya pikir lagi sekarang, aneh juga ya dulu saya punya patokan menikah usia 27 atau 28. Kenapa umur yang dipatok? Bukannya seharusnya yang jadi patokan adalah kondisi dan stage hidup saya? Ketika saya sudah mencapai ini itu dan anu, saya akan mau menikah. Misalnya begitu.

Beberapa teman saya lebih beruntung bisa mencapai stage tersebut lebih cepat. Saya turut berbahagia untuk mereka.

Jun 5, 2010

Menciptakan Kesempatan

Anak perempuan itu bernama Iis. Usianya baru 12 tahun. Baru lulus SD. Tingginya mungkin sekitar 145 cm. Dadanya masih rata, perawakannya kurus dan tampangnya masih bocah. I betted she had not got her period yet.

Baru beberapa hari ia tinggal di Jakarta, di rumah orang tua saya. Bapak Ibunya ada di kampung. Dia bilang dia mau kerja di Jakarta.
Jadi apa?
Pembantu.

Mama memang sedang mencari pembantu, tapi ia sendiri tidak menyangka yang datang adalah bocah di bawah umur begini. Iis seperti enggan disuruh pulang. Ditanya mau disekolahkan apa tidak, dia pun tampak tak mau. Keluarganya miskin, ia adalah anak paling tua. Tak ada biaya untuk sekolah. Di kampung ia kadang bekerja mengasuh anak tetangganya. Lalu, daripada di rumah tidak sekolah dan tidak bekerja tetap, keluarganya mengirim ia untuk merantau ke Jakarta.

Mama dan Tante saya yang di kampung mencoba membujuk ibu Iis untuk menyuruh anaknya pulang. Karena jelas ia tidak mungkin bekerja di rumah kami. Ibunya tidak mau, Iis juga tidak mau. Akhirnya sebuah keluarga muda yang baru punya anak menjemput Iis untuk dijadikan pengasuh bayi mereka.


***


Kemarin di kampung Eyang, saya bertemu anak perempuan lain. Usianya juga 12 tahun, ia baru tamat SD. Ia anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya kerja serabutan, ibunya tidak bekerja.
Di rumah yang ukurannya tidak lebih dari 5x5 meter itu keluarganya berbagi tempat dengan 2 keluarga lain.

Tante saya bilang ia ingin melanjutkan sekolah. Saya tanya langsung padanya, mau sekolah lagi?
Ia hanya menunduk sambil membelai-belai adik bungsunya yang baru berusia satu minggu.
Kalau tidak sekolah, mau ngapain? Saya bertanya pada Tante saya.
Tante saya bilang, bekerja. Seperti Iis yang dikirim ke Jakarta atau bekerja di sawah.

***

Saya pernah bertemu sebuah keluarga, mirip seperti keluarga anak perempuan tadi. Sang Ayah kerja serabutan, ibunya pun serabutan. Anaknya 5 orang. Tinggal di sepetak ruangan beralaskan tanah yang hanya berisi sebuah tempat tidur, kursi dan meja. 15 menit saja berada di dalam rumah itu saya tidak tahan ingin keluar. Baunya tidak enak, ada kandang sapi di sebelahnya.

Beberapa tahun kemudian si Ibu meninggal karena TBC. Sang Ayah kelimpungan.
Dari kacamata saya, musibah itu memang bagian dari rencana Tuhan. Anak pertama sudah bisa mandiri dan jualan bakso di Bandung. Sementara empat yang lain ditampung di rumah yang layak. Beberapa tinggal di rumah sanak saudara. Ada juga yang dijadikan anak angkat.

Salah seorang Bapak yang membantu keluarga tersebut pernah bilang pada saya. Ini berarti memutus rantai kemiskinan. Seorang anak yang terlahir di keluarga miskin umumnya tidak memperoleh kesempatan sekolah. Ia hanya akan mengulang siklus hidup orang tuanya. Ada beberapa pengecualian, tapi Bapak ini bicara secara general.

Menyekolahkan seorang anak yang tidak mampu berarti memberikan kesempatan tidak hanya pada anak itu, tapi pada keluarganya untuk bangkit dari kemiskinan, untuk lepas dari rantai kemiskinan. Sehingga di generasi berikutnya, anak tidak mampu yang disekolahkan ini akan membentuk keluarga dengan standar hidup lebih baik, dst.
Kadang yang dibutuhkan sebuah keluarga, sebuah generasi, adalah sebuah kesempatan untuk seseorang dari mereka menaikkan standar hidup mereka. Satu orang yang lepas dari rantai kemiskinan nantinya akan membawa satu orang lain, dan satu orang lain akan membawa satu orang lain lagi, dst.

***

Jadi, kemarin saya memandangi anak perempuan berambut keriting pendek ini. Mungkin dialah yang akan menjadi kunci bagi keluarganya untuk meningkatkan standar hidup mereka. Mungkin tidak secara signifikan, tapi barangkali ia akan jadi tonggak pertama. Perjalanan bisa jadi masih panjang, tapi tetap harus dimulai kan.
Dan, bukankah kita, sebagai manusia yang secara ekonomi lebih berkecukupan, bertanggung jawab untuk menciptakan kesempatan itu?

Bila Anda ingin tahu lebih lanjut soal anak ini, butuh dokumen-dokumen resmi keluarganya termasuk surat keterangan tidak mampu, atau apapun, email saya di
floresiana.yasmin@gmail.com

Terimakasih.

Jun 1, 2010

Victimized

Di suatu petang. Dua orang adik kakak perempuan mengobrol di teras rumah.

Datanglah seorang ibu-ibu. "Udah ada uang buat bayar kontrakan belom?", hardik si ibu-ibu.

Si kakak, dibantu adiknya, berdiri, "Maaf, Bu, tapi belum ada uangnya", ujarnya memelas.

"Eeehh, gimana sih, ga ada uang ga ada uang. Lo udah nunggak 5 bulan!", si ibu makin ketus.

"Iya, Bu, tapi saya belum ada uang", yak, si Kakak merepetisi.

"Lo kira ini rumah punya engkong lo!", si ibu menghardik makin kasar.

"Tapi Bu, saya belum ada uang," macam burung Beo ini si Kakak. Lalu ditambahkan, "besok, kalau saya ada uang, pasti saya bayar."

Jedaaang!!

Adegan di atas bukan kisah nyata. Cuma potongan sinetron yang kebetulan menarik perhatian saya ketika browsing.

Peran protagonis disini sebenarnya si adik-kakak yang cantik-cantik itu. But none of my sympathy goes for them. Ya iyalah si yang punya kontrakan marah.
Tunggakan udah 5 bulan.
Ditagih, malah membeo 'saya belum punya uang'.
Sekalinya ada kata 'besok', itu pun diikuti kata 'kalau punya uang'.
Solusi tidak ada.

Paling buruknya adalah, tayangan sinetron ini memposisikan mereka seolah-olah korban dari pemilik kontrakan. Tokoh utama yang penting baik, pasrah dan cantik. Tidak perlu pintar-pintar amat, apalagi solutif.
Yeah, great. Kalau semua orang begitu, ditunggu sampai kiamat juga Indonesia nggak akan maju.

Malam ini saya ingin berdoa:
Semoga sinetron bukanlah cerminan pola pikir orang-orang Indonesia.
Semoga penonton sinetron mengerti bahwa tingkah victimized tokoh sinetron tidak patut ditiru.
Semoga adik kecil sana dan anak-anak saya dan anak-anak Anda nanti tidak tercemar pola pikir itu.
Amin.

May 16, 2010

After Break Up

This morning I read a friend's blog about moving on. Almost similar to my other friend's blog several weeks ago.

You know, I hate break-ups. When you are in a relationship (either as couple or just HTS-an thingy) for quite a long time, let's say a year, you and your significant other will be, automatically, best friend. You do a lot of things together, you share your daily routine, you listen to each other's secrets, etc. You are not only having a romantic relationship, you are also getting a friendship.
Then when your romantic relationship is over (or one of you decide that it is over), you are not only lose a boyfriend/girlfriend, but also a best friend. The last one might be harder to overcome than the first one.
So this is what usually happens, you try to keep being a best friend for your ex (or ex-crush). You keep exchanging stories of your daily routine, you keep calling each other, you keep going out together. All on the name of friendship.
There might be awkward moments, but you try to neutralize it.

Well, in my opinion, it is actually normal for being awkward. Even for ex-couple who mutually agree that the relationship should be ended, I believe that there will be awkward situation and it is normal. As for ex-couple who one of them is not agree about the break-up, the situation will be even more awkward, and it is even more normal.

I once read a book called "Its Called A Break Up Because It is Broken" which said that after you break up, you better to not have any kind of communication with your ex at least for 2 months. I have to agree with the statement. Keep being your ex's best friend after break up is dangerous because one of you might trapped in the nostalgic feeling.

Let's accept that when you break up, you also lose one of your best friends temporarily. Yes, temporarily. One day, if you and your ex are indeed friends, you can get your best friend back. And it needs time. Even though the feeling has gone, you might need time to adjust your position. The awkwardness doesn't indicate that you still have feeling whatsoever, it means that you still couldn't find the right position as your ex's friend. I believe that it will come naturally as the time passes.

For how long? One of my friend said that at least it would take the same amount of time of the romantic relationship. So if you dated for 3 years, then it would take 3 years for everything back to normal and for you get your best friend back.

I say there's no rule about the amount of time. When you and your ex together could sincerily make fun of your past romantic relationship without feeling any awkwardness, that is the time you say "welcome back" to your old best friend.

May 15, 2010

Resigning

I am now resigning from my job. Effective 28th May 2010, I will quit the job. A week after, I will join the new company.

The decision of my resignation have been made about couple months ago. There were only few people knew about this and there were various opinions. Some said go ahead, some questioned the decision, some said I should've wait a little longer.
The last opinion basically advices me to gain more experience first before I go to another job, to another company. Spend at least a year or two before I move out so that when I back to the job market, I will have experience/value to offer.

Well well, the problem is, I don't have a year or two. I mean, I don't have time to stick around to a job which I don't really enjoy. It's not that doing the job is excrutiating, because in fact I know I can live with it. I will be okay doing the job.
But 'okay' doesn't seem enough for me. 'Okay' is not good enough.
I don't have time to feel just 'okay' about my job.

I have my time limit for being an employee. That is why I want to enjoy every moment I pass doing the job. If I don't have time limit, I might accept the just 'okay' situation. Somehow, I am grateful for having limited time.
It reminds me of a quote by Randy Pausch which I tweeted via readingwalk several days ago. He said:
The key question to keep asking is, Are u spending your time on the right things? Because time is all you have.

I used to thought like I had unlimited time (or I refused to admit that time has limit), like I would be in my twenties forever. That is why, sometimes, I hate birthday, getting older, because it reminds me that time is not unlimited. Well, you know what, time is limited. At least our time is limited. 40 years from now, I might have died. During the next 40 years I have many agendas to do. If I think the way I used to be, someday I will wake up in the morning 10 years from now, and still haven't accomplish anything significant. God forbids!

Like Randy said, time is all we have. In life, there is a finish line.
As in working as employee, I also have my finish line. So, really, I don't have time for 'okay'.

May 8, 2010

Recent Activity: Quoting, Twittering

Belakangan ini saya punya aktivitas baru: twittering!
Jihihahahahayy.

Maksudnyaaaa, twittering ReadingWalk dong... Oh ya, by the way, sekarang ReadingWalk punya twitter. Silakan lho di-follow di www.twitter.com/readingwalk (jjjahhh, malah promosi).
Mostly, like mooooooooostly, twit-nya adalah quote-quote dari buku.

So, anyway, that's not the story. Cuma intermezzo dan latar belakang cerita saja sekalian promosi. Hihi.
Suatu hari saya mengambil quote dari buku The Time Traveler's Wife. Jujur, saya belum pernah baca buku itu. Bagaimana saya bisa ambil quotenya kalau saya belum baca? Oho, itu soal lain lagi. Pokoknya terima saja quote yang saya twit via ReadingWalk, itu legit kok.

Biarpun belum baca, saya sudah banyak dengar soal buku best-seller ini. Buku ini bercerita tentang sepasang suami istri, Henry dan Clare. Henry memiliki semacam kelainan genetis yang membuatnya unwillingly sewaktu-waktu, di saat tak terduga, time traveling. Buku ini banyak berkisah soal Clare, si istri yang harus menerima sewaktu-waktu ditinggal suaminya.

Ketika membaca quote-quote dari buku ini (bayangkan, hanya quote lho!) entah bagaimana saya ikut terharubiru. Twitter, sayangnya, memiliki keterbatasan karakter sehingga saya harus memilah-milah mana yang bisa saya twit dari sekian banyak quote yang indah dari buku ini. Maka dengan berat hati, beberapa quote tak bisa saya twit karena terlalu panjang. Misalnya yang ini:
Long ago, men went to sea, and women waited for them, standing on the edge of the water, scanning the horizon for the tiny ship. Now I wait for Henry. He vanishes unwillingly, without warning. I wait for him. Each moment that I wait feels like a year, an eternity. Each moment is as slow and transparent as glass. Through each moment I can see infinite moments lined up, waiting. Why has he gone where I cannot follow?


Atau ini:

It's hard being left behind. I wait for Henry, not knowing where he is, wondering if he's okay. It's hard to be the one who stays.

I keep myself busy. Time goes faster that way. I go to sleep alone, and wake up alone. I take walks. I work until I'm tired. I watch the wind play with the trash that's been under the snow al winter. Everything seems simple until you think about it. Why is love intensified by absence?


Atau yang ini:

We are walking down the street holding hands. There is a playground at the end of the block, and I run to the swings and I climb on and Henry takes the one next to me facing the opposite direction. And we swing higher and higher passing each other, sometimes in synch and sometimes streaming past each other so fast that it seems we are going to collide. And we laugh and laugh, and nothing can ever be sad, no one can be lost or dead or far away. Right now we are here and nothing can mar our perfection or steal the joy of this perfect moment.


I've loved the book even before I read it. Hal paling menarik, paling menyenangkan dan paling amazing dari sebuah buku adalah bagaimana buku tersebut bisa mengajak pembacanya menyelami emosi yang sebenarnya sudah kita kenal. Atau dalam bahasa lebih sederhananya, memberi nama pada perasaan yang pernah kita rasakan. Hingga kita bisa bilang, "aah, iya gue ngerti perasaan kayak gini".

Tak hanya pada buku The Time Traveler's Wife, buku-buku Paulo Coelho pun punya banyak banyaaaaaak quote-quote menarik dan inspiratif. Seperti yang ini:

Everything tells me that I am about to make a wrong decision, but making mistakes is just part of life. What does the world want of me? Does it want me to take no risks, to go back to where I came from because I didn't have the courage to say "yes" to life?


Atau yang ini:

There are moments when troubles enter our lives and we can do nothing to avoid them. But they are there for a reason. Only when we have overcome them will we understand why they were there.

Anyway, books are amazing, aren't they?
Well, sebenarnya yang amazing adalah manusia-manusia yang dapat menuliskan kata-kata itu, yang dapat menyampaikan emosi melalui rangkaian kalimat. Buku menjadi amazing karena ia adalah media yang mempertemukan para penulis hebat itu dengan orang-orang seperti saya. :D



PS. Saran dong, sebaiknya twitter ReadingWalk memuat tentang apa ya? Sudah cukup dengan quote seperti saat ini atau ada hal lain yang bisa ditambah ya?

Apr 24, 2010

Jakarta, GoMaps, Pots of Gold

Saya bukan termasuk golongan orang yang mudah menghafal jalan. Dan untuk itu, saya sangat bersyukur memiliki gadget yang dilengkapi dengan aplikasi Google Maps plus fasilitas GPS yang bisa mendeteksi posisi saya dalam peta (God bless technology!).

Maka suatu sore usai dari kantor, saya memanfaatkan fitur tersebut untuk menuntun saya menuju Sarinah, Thamrin. Masukkan start point dan end point, lalu voila, rute jalan tersedia berikut keterangan jarak dan estimasi waktu tempuh. Coba tebak berapa jauh jarak antara Sunter dan Sarinah?
12,3 kilometer saja, Kawan!
Estimasi waktu tempuh?
20 menit!
Kenyataannya?
Kira-kira satu jam saya berjibaku dengan traffic Jakarta.
Contoh lain, pernah juga si GoMaps mengestimasi waktu 12 menit antara Tanah Abang ke Simprug. Nyatanya, jelas jauuuuh dari 12 menit.

Intinya, setelah beberapa kali memanfaatkan aplikasi Google Maps, saya jadi sadar bahwa sebenarnya jarak antar tempat di Jakarta tidak terlampau jauh. It's the traffic, for God sake!

Sebenarnya saya suka Jakarta. Saya sudah 18 tahun tinggal disini (dipotong 4,5 tahun di Bandung) dan kadang saya sulit membayangkan untuk tinggal di kota lain selain Jakarta. The city is actually very lovely (in sophisticated way). Coba lihat!


http://kotakendari.wordpress.com/2009/07/08/capital-of-indonesia/


Jakarta itu kereeen. Seperti tak pernah tidur, hingga malam pun kota ini masih hingar bingar. Ritme kehidupannya dinamis seolah tidak pernah berhenti walau sejenak. Saya ingin nantinya tetap tinggal di Jakarta atau kota sekelas Jakarta.

Tapi beberapa minggu terakhir ini saya benar-benar lelah 'hidup' di jalanan Jakarta. Dari satu kemacetan ke kemacetan yang lain. Orang bilang penduduk Jakarta tua di jalan, and I couldn't be more agree. Iya banget. Saya masih beruntung, kalau pagi saya hanya butuh kurang dari 1 jam untuk sampai di kantor. Pulangnya sekitar 1 - 1.5 jam. Tapi kan, tak selalu saya langsung pulang ke rumah. Kalau sudah bermain di daerah pusat kota, oh my... bisa 3 jam saya habiskan di jalanan.

Namun begitulah aturan mainnya. Jam-jam itu yang harus siap dikorbankan para Jakartenis untuk bisa sekedar survive di kota metropolitan ini. Saya jadi mulai bertanya-tanya, is it really worth the effort?
10 tahun dari sekarang, apa saya masih mau menuruti aturan main ini dan menghabiskan seperlima hari saya di jalanan?
Ada orang yang hidup untuk kerja, atau hidup untuk keluarganya, atau hidup untuk bersenang-senang. Apa ada orang yang hidup untuk tua di jalan?

Membahas soal ini saya jadi ingat lagu Pots of Gold dari Mama's Gun ini.



Ada bagian liriknya yang saya suka:
Cos I don't wanna waste a lifetime chasing pots of gold
I don't wanna miss the sunshine standing in the cold
I don't wanna be the one who's left behind I wanna catch a glimpse of life
No i don't wanna be the one who lets you down
With you I couldn't bear to live without

Ooh, lalu saya juga jadi ingat cerita dalam buku Undomestic Goddes yang beberapa waktu lalu pernah saya tulis disini dan saya review di situs ini.

Apr 10, 2010

One Two Three Four



Give me more loving than I’ve ever had
Make me feel better when I’m feeling sad
Tell me I’m special even though I know I’m not

Make me feel good when I hurt so bad
Barely getting mad
I’m so glad I found you
I love being around you
You make it easy
Its as easy as 1-2-1-2-3-4

There’s only one thing to do
Three words
For you I love you

There’s only one way to say
Those three words
That’s what I’ll do I love you

Give me more loving from the very start
Piece me back together when I fall apart
Tell me things you never even tell your closest friends
Make me feel good when I hurt so bad
You’re the best that I’ve had
And I’m so glad I found you
I love being around you
You make it easy
It’s easy as 1-2-1-2-3-4

There’s only one thing to do
Three words
For you I love you
There’s only one way to say
Those three words
That’s what I’ll do I love you
I love you

You make it easy
It’s easy as 1 2 1 2 3 4
There’s only one thing to do
Three words
For you I love you

There’s only one way to say
Those three words
That’s what I’ll do I love you
I love you1-2-3-4
I love you I love you

By Plain White T


Beautiful song, beautiful video. :D

Apr 5, 2010

Uno Stacko

One of my closest people once told me, sometimes it is just a matter of curiosity that keeps you going on a chase.



Nah, saya tidak tahu apakah begitu kasusnya pada saya. :D






Beberapa tahun lalu saya dikenalkan dengan permainan Uno Stacko. Gampangnya, ini adalah permainan menyusun balok. Permainan ini dimainkan 2 orang atau lebih dan memiliki aturan-aturan tertentu mengenai balok mana yang disusun terlebih dahulu. Well, wiki lebih ahli menjelaskan soal ini. Jadi kalau Anda tidak familiar dengan permainan ini dan ingin tahu, silakan klik link pada kata "Uno Stacko" di awal paragraf ini. Hehehe.



Kembali ke beberapa tahun lalu ketika saya pertama kenal Uno Stacko. Waktu itu sih teman-teman saya yang lain sudah kenal permainan ini lama sekali. Hahaha, sial. Ternyata saya kuper.
Anyway, saya senang memainkannya. Sayang cuma beberapa jam saja saya diijinkan berasyik(masyuk).
Maka saya pun berjanji kalau saya akan membeli permainan ini suatu hari nanti.


Dua tahun lalu, cita-cita itu hampir kesampaian. Saya menemukan Uno Stacko di sebuah toko mainan di Bandung ketika mencari kado untuk ulang tahun Beni.

Sayang sayang, selain usia minimal pemainnya adalah 8 tahun (sementara Beni saat itu baru 6 tahun) harganya juga sekitar 200ribu-an.
Pikirpikirpikir, akhirnya saya letakkan kembali si Uno Stacko ke raknya.


Huff...








Lalu, weekend kemarin saya menemukan lagi Uno Stacko di sebuah kios yang ada di tengah lorong mal Paris van Java. Uno Stacko yang ini di bungkusnya ada huruf-huruf Cina nya (atau Jepang?). Hihi, saya punya firasat bagus.


Benar saja, harganya cuma 80ribu. Yeay!
Sekarang Beni sudah 8 tahun, jadi dia bisa ikut main juga. Yeay lagi!
Setelah sempat menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya saya beli juga itu mainan.
Hihihi.



Asiiiik. Saya sekarang punya Uno Stacko.
Asiiiik. Saya bisa main sama Beni, Tita dan Mama.
Asiiiik. Keinginan lama saya tercapai juga. Memang Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang... :D

Sayang, saya lupa bagaimana aturan mainnya. Hahaha.

Mar 26, 2010

Loving(2)

Beberapa waktu lalu saya pernah bilang ingin menanam bunga matahari.

Saya tanamlah biji bunga matahari yang dikirim oleh Aalayaa. Butuh beberapa waktu hingga akhirnya batang hijau kecil itu muncul dari permukaan tanah. Saya senang sekali ketika pertama melihatnya.

Sayang, saat itu saya sedang disibukkan oleh banyak hal sehingga sering alpa menyiramnya. Hingga suatu hari saya menemukan ia sudah layu. Sedih rasanya.

Tanggal 16 kemarin, saya pergi ke sebuah toko tanaman, membelikan kado titipan dari teman saya untuk pacarnya, yang tak lain adalah sahabat saya sendiri. Disana saya bertanya-tanya tentang cara menanam bunga matahari. Si penjaga toko hanya berpesan dua hal: banyak terkena matahari dan disiram satu kali sehari.

Siap!

Ternyata metode saya yang kemarin salah. Saya tidak terlalu memperhatikan apakah si tunas memperoleh cukup matahari dan beranggapan bahwa menyiramnya dua atau tiga hari sekali saja cukup.

Berpegang kedua tips itu, saya pun menanam kembali bunga matahari.
Kali ini saya lebih telaten. Saya letakkan di tempat yang saya tahu akan terkena matahari namun tidak akan terkena hujan (belakangan ini kan hujan suka kejam). Tiap malam pun saya selalu membagi air minum saya dengannya.

Ia pun tumbuh, cantik.
Warnanya hijau sehat. Meskipun batangnya masih kecil, tapi tampak kokoh. Saya tak sabar melihat ia berbunga sekaligus tak ingin cepat-cepat melewatkan masa-masa melihatnya tumbuh.

Malam ini saya mendapati dirinya terkulai di potnya. Daunnya tak segar lagi.
Eh, ternyata akarnya bahkan sudah tercabut.
Aaaah, saya bisa merasakan ada sesuatu yang menusuk. Rupanya saya sudah sayang pada makhluk mungil cantik ini.

Jangan tanya kenapa ia mati, saya tak tahu. Padahal ia masih kecil. Akarnya saja masih pendek.
Apapun yang menimpanya, tampaknya akar kecilnya belum cukup kuat untuk menahannya.
Huff huff... Begini nih kalau terlanjur sayang. Saat kehilangan jadi terasa sekali.


**


Menyayangi itu bisa menyakitkan. Tapi sekaligus juga sangat menyenangkan.
Well, at least, saya senang telah diberi kebesaran hati untuk merasakan sayang itu dan melimpahkannya kepada makhluk cantik ini. :)

Saya akan menanam bunga matahari lagi. Kali ini akan saya jaga lebih baik.
Saya akan sayangi bunga matahari itu. Kali ini akan lebih saya sayang dari yang sebelumnya.
:D

Btw, saya jadi ingat sebuah quote: Love like you've never been hurt before.

Mar 21, 2010

13 A

Pertamanya saya kira hanya perasaan saya saja, tapi ketukan di bahu saya semakin tegas barulah saya sadar ada seorang Bapak sedang berdiri disamping kursi saya. Si Bapak memanggil saya rupanya. Saya lepaskan headset dari telinga, memutuskan pendengaran saya dari lagu Saving All My Love For You yang sedang khusyuk saya dengarkan.

"Adek di kursi mana?"
Saya segera merogoh tiket kereta. "13 A B", jawab saya, merujuk pada posisi tempat duduk saya dan Tita, adik saya, di Cirebon Express ini.
"Gerbong satu?"
Saya mencermati lagi tiket yang saya pegang. No. Kereta 1. "Iya, gerbong satu", saya menjawab mantap. "Bapak di kursi mana?", saya balik tanya.
"13 A, gerbong satu", ia menjawab. Saya meminta tiketnya. Benar juga, 13 A gerbong satu.
Cek nama kereta, benar kok Cirebon Express.
Cek tanggal, benar kok 21 Maret 2010.
Cek apa lagi?

Saya bingung.
Si Bapak pun bingung.
Apalagi tak ada petugas di sekitar kami.
Penumpang lain di sekitar kami pun urun rembuk. Penumpang di 12 A B yang naik bersama kami dari Tegal sekitar 2 jam lalu, ibu-ibu di 12 C, serta bapak-bapak di 13 C yang baru saja naik bersama si Bapak yang memegang tiket 13 A ini.

"Jam berapa keberangkatannya?", ibu-ibu 12 C bertanya.
"16.15".
"Oh, udah lewat itu Mbak. Ini yang jam 6" ujar si Ibu. Ehh, gimana sih Bu. Saya kan maksudnya 16.15 wib dari Tegal. Belum sempat saya menjawab, seorang Bapak di 11 B sudah menyambar,
"Naik dari Tegal, Bu. Udah bener kok jamnya"

Kok bisa sih terjadi seperti ini, saya terheran-heran, setahu saya sistem tiket KA kan terkomputerisasi. Tita sudah bersiap akan mencari petugas yang berwenang (yang saat itu raib entah kemana) ketika mas-mas 12 A meminta lihat tiket saya.
Sesaat ia memeriksa tiket saya. "Mbak, tiket ini di kelas Bisnis", ujarnya.

Eh, eh?

Ia menunjukkan kolom "Kelas" yang dibawahnya tertulis "Bisnis" pada tiket saya. Untuk beberapa saat saya bingung. Lho, ini kan memang kelas bisnis, bukan?
Lalu otak saya mulai bekerja, alamakjaang. Ah, bodoh. Saya lupa.
Kalau di pesawat kan kelas bisnis berarti kelas yang bagus. Tapi kalau untuk kereta, namanya kan "eksekutif".
Sial, saya pula yang ternyata salah!
Ah, bakal malu nih.

Tarik napas.
Lalu saya lemparkan senyuman termanis yang bisa saya buat kepada mas-mas 12 A, tersebut. "Oh iya, wah saya salah ternyata. Makasih ya Mas".

Lalu saya minta maaf pada Bapak pemegang tiket 13A, "maaf Pak, saya yang salah ternyata. Seharusnya saya di gerbong satu, tapi di bisnis. Ternyata nomor gerbongnya sama ya", masih pasang senyum tentunya. Untung si Bapak mengerti, ia malah turut mempertanyakan kenapa nomor gerbongnya tidak dibedakan saja.

Cepat-cepat saya bereskan barang-barang dan sampah. Setelah mengucapkan permisi kepada orang-orang yang telah urun rembuk saya berbalik dan menuju gerbong bisnis.
Chin up.

Untuk muka saya tidak gampang merah. Soalnya dalam hati saya tengsin beraaaat.
Aaaah.

Mar 13, 2010

Unwanted Options

A close friend of mine once told me a movie she had just watched (which I forgot the title). It was a movie about two girls who went on a trip. My friend described one of the girls as someone who didn't really know what she wanted but knew exactly what she didn't want.

Something happened to me recently. I am not sure whether it is a good thing or bad thing. On one hand, I felt disappointed. On the other hand, this incident led me to realization of things that I don't want.
Confusing?

Well, suppose you have 20 meal options and you are asked to decide which one you like best. You might not sure which one you want to choose. There are too many options! So you might want to start with eliminating meals you can't or don't like to eat. If you're moslem, you can start with eliminating any meal with pork.
Then you might have your own personal appetite. Let's say you're not favoring salty food. So the next thing you can do, probably, is to pick a meal randomly and try it. You might decide immediately that you don't like the meal (it is too salty!) or you might to pick another meal to be compared with before you come to conclusion.
You keep eliminating meals you don't like and in the end there are only meals you do like. It's quite tough to decide which one is the best when all you have are the best ones. But they are the best options anyway. You'll end up satisfied with any of them.

Hehehe. Am I making you even more confuse? Gyhahaha.

Well, here's what I am trying to say.
I see life as a table with millions meal options. It offers many things, too many things in fact. I am amazed at people who now exactly what they want in their lives. They leave no doubt in their heart about where they're going to go.
They might be people who can instantly point out their favorite meals without going through the others.

Me, on the other side, isn't like that. I have my doubts. Even though I know what I want in the end of the road (for this one I am sure), I still have curiousity for other things. I don't want to leave any regret because I fail to try to achieve anything that I think I'd love to have.
I go through each option, eliminating the ones I dislike, go from one option to other option. Because sometimes, I am troubled to understand which one I don't like before I am really in the middle of it. It goes the other way around too. Some things that I thought I'd hated turned out to be my most precious things.

It's always good to find out what I don't like. Because it means that I am getting closer to what I want. So, well, back to my doubt about whether a recent incident is good thing or bad thing, I know now that it is one of the good ones.

It's always good anyway. Like LG said, life's good.
Hehehe.

Mar 9, 2010

Prejudice

"Ah, gombal banget tuh".
Saya yang sedang menikmati jus melon dingin sambil memantau Twitter, jadi teralih.

"Cowok itu," teman saya menunjuk ke arah televisi yang menampilkan seorang cowok diwawancara.
Oh, rupanya si cowok ini sedang ditanya oleh si reporter.
"Gimana kalo pasangan Anda ternyata punya penyakit yang cukup parah?"
Dan dijawablah oleh si cowok, "ya saya tetap menerima apa adanya."
Nah, jawaban ini yang dituding sebagai gombalan oleh teman saya.

Seperti banyak wanita lain, teman saya ini mungkin sedang dalam cynical period tentang cowok.
Dimengerti.
Saya pernah merasakan cynical period itu. Beberapa teman dekat saya malah berada dalam cynical period dalam waktu yang lama (baca: sampai sekarang).

Lucunya, sering kali yang jadi korban kesinisan adalah gebetan atau pasangan mereka sendiri.
Misal, "masa ya dia bilang gue (isi dengan sebuah kalimat pujian). Iih, gombal banget sih. Sebel".
Kadang frase terakhir berubah jadi "brengsek", "dia kira gue bego apa", "tukang tipu", dll dll.

Saya akui sih, banyak cowok tidak baik (kalau 'brengsek' terlalu vulgar ya? Ahaha) di sekitar kita. Tapi, rasanya banyak juga kok yang benar-benar baik.
Iya kan? Anda pasti setidak-tidaknya kenal 1 orang cowok yang benar-benar baik.

Makanya, biarpun saya tidak termasuk golongan cowok, tapi saya suka tidak terima ketika teman-teman cewek saya mempunyai prejudice yang begitu menghakimi pada kaum pria.
Karena Bapak saya, adik saya, beberapa teman dekat saya termasuk golongan itu dan menurut saya mereka baik.

Ketika, misalnya, si pria ini ternyata terbukti tidak baik, memainkan perasaan si wanita sesuka hati, sok atuh.. Plot a revenge. Give him a lesson he won't forget. Kick him hard, girls!

Tapi selama si pria tidak melakukan apa-apa, bahkan menyiratkan pun tidak, kenapa dia harus dihukum untuk sesuatu yang belum terjadi?

Moreover, why hope for the worst anyway?
Kalau kata Nadya, harapan itu tidak boleh tanggung-tanggung. In other words, hope only for the best.


PS:
Apapun yang saya tulis diatas, bisa berlaku vice versa juga sih. Maksudnya bisa jadi pria yang ber-prejudice pada si wanita. :P



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Mar 3, 2010

Losing Yourself

People always think that the most painful thing is losing the one you love. But
the truth is, losing yourself in the process of loving someone too much and
forgetting that you're special too, is equally painful.

runawaytrain.tumblr.com

Hehe.
Lama tidak nge-blog, saya cuma mampir untuk nge-drop quote menarik diatas.

Tell me what you think about the quote. :)
Have you ever experience losing yourself because you love someone too much?
Is losing yourself, indeed, the price we need to pay for happiness?

Yuk yuk. Bantu saya membangun tulisan yang lebih panjang. :D

Feb 22, 2010

Logika dan Feeling

There's one thing called logic.
There's another thing called feeling.

Logika mengatakan apa yang seharusnya -sesuai aturan umum, sesuai akal sehat- kita lakukan. Feeling mengatakan apa yang ingin kita lakukan.
Dua hal ini selalu muncul tiap kali saya, dan Anda mungkin, dihadapkan pada suatu isu. Skenario terbaik adalah ketika logika dan feeling berjalan selaras. Skenario kurang baiknya, adalah ketika si logika dan feeling berpihak pada sisi yang berbeda.

Seperti ketika, misalnya, saya menunda mengerjakan TA karena saya ingin menghabiskan satu season Prison Break. Logikanya, saya tahu itu tidak seharusnya saya lakukan ketika deadline sudah mepet. Tapi, saya ingin, penasaran, tidak tenang kalau belum ketemu akhir ceritanya.

Atau, misalnya, ketika Anda tahu, logically, tak sebaiknya menelepon mantan pacar Anda tapi tetap saja Anda lakukan karena Anda tidak bisa menahan keinginan Anda.

Atau, dari pihak lain, Anda tidak jadi membeli sepatu yang sudah Anda incar, taksir dan coba karena secara logika ada pos anggaran lain yang lebih urgent.

Maksud saya, sering kali kita harus memilih antara logika dan feeling. Seperti ketika seseorang menanyakan pertanyaan dimana jawaban yang seharusnya saya berikan tidak sejalan dengan isi hati. Karena, kalau saya jawab seperti apa isi hati saya, kok rasanya egois sekali.
Padahal, mungkin apa yang ingin diketahui oleh si penanya benar-benar mengenai feeling saya, bukan jawaban ideal yang sesuai logika yang sewajarnya saya keluarkan. Mungkin dia ingin tahu apakah saya keberatan, apakah saya tidak nyaman, apakah saya kesal, apakah saya kecewa, dsb.
Kemudian, instead of mengeluarkan isi hati yang sebenarnya saya malah menjawab, "I'm fine", "nggak apa-apa kok", "no probs at all", karena itulah kata-kata yang sepantasnya diucapkan wanita dewasa dan berpikiran matang.
Lalu si penanya pun jadi berasumsi bahwa saya memang baik-baik saja, padahal sebenarnya sih saya tidak baik-baik saja.


Here's the thing.
Feeling adalah sesuatu yang berada di luar kuasa kita. Sedih, senang, marah, kecewa, hal-hal semacam itu terjadi pada kita begitu saja tanpa bisa dicegah. In my opinion, one can't be blamed for what he/she feels inside.
Yang ada dalam kuasa kita adalah respon atas feeling tersebut. Saya tidak bisa menolak rasa marah, tapi saya bisa memilih apakah ingin mengeluarkan amarah tersebut atau memendamnya. Semacam itulah.

Saya tidak mengatakan untuk menuruti feeling setiap saat. Karena saya sendiri, konon, lebih cenderung pada logika. Tapi menurut saya sih, kita perlu recognize apa yang kita rasakan akan sesuatu. Jadi kita akan punya feeling dan logika, lalu putuskan apa yang akan dilakukan.

Dan ketika seseorang bertanya pada Anda pertanyaan,
what do you want?
how do you feel?
Mungkin saja saat itu orang tersebut benar-benar ingin tahu apa yang ada di dalam hati Anda, di luar semua logika, aturan kewajaran, dan tetek bengeknya. Mungkin ia tidak sedang ingin menguji logika Anda atau kedewasaan berpikir Anda. She/he just wants to know what do you feel. Period.

Feb 6, 2010

Reading, Lately

Sudah hampir satu bulan lamanya saya membaca buku If Tomorrow Comes-nya Sidney Sheldon. Terlalu lama. Biasanya saya bisa selesaikan buku Sheldon dalam dua atau tiga hari. Satu, kalau hasrat sedang tinggi. Haha.

Padahal ceritanya menarik. Benar deh. I'll review it later. :)

Mungkin karena saat ini saya masih menyesuaikan diri dengan jadwal kerja kantoran baru saya. Lalu masih ada ReadingWalk, mencari tempat baru untuk lekker, dan les Perancis (yang makin lama makin suliiiiit. Tolooong.).

Jadi ya, saya officially punya tumpukan buku yang saya mind-labeling dengan "will be read".

Tapi ya, saya tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli buku (apalagi kalau lagi diskon. Huahahaha). Seperti yang terjadi di suatu siang, saya menemukan buku-buku impor murah, sekitar 60an ribu.
Hati saya terbelah antara buku Meg Cabot dan sebuah buku lain (lupa judulnya).
Bingung bingung bingung.

Tiba-tiba sudut mata saya menangkap sebuah buku dengan warna cover hijau stabilo (yang pada saat itu saya anggap norak). Judulnya "Honeymoon", ditulis oleh Amy Jenkins.

Lalu saya balik buku itu, dan saya baca sinopsisnya.

10 detik kemudian saya letakkan kembali novel Meg Cabot dan satu novel yang tadi menjadi pembandingnya. Lalu saya bawa novel "Honeymoon" ini ke kasir.

Thanks to sinopsis ini:
Honeymoon is about a girl who has doubts about her nice suitable man, and doubts about commitment. She still carries a torch for Alex, the Love of Her Life, someone she spent only one night with. A perfect night. A soul mate night. Seven years on, she's ambushed by Ed, a suitable young man so nice and kind there's nothing for it but to marry him. And then they go on honeymoon...
Tempting, isn't it?
This is definitely the one I am going to read after If Tomorrow Comes. :)

Jan 28, 2010

It's a Jungle Out There

Omaygaaaaaaat!! ******* ** (isi dengan sebuah nama jabatan) gw ganteeeeeeeeeeeeeeeeng bgttttttttttttt!!!!!!


Sent.
Sent.
Sent.
Sent.
Sent.
Sent.

Tidak sampai satu menit kemudian inbox saya sudah bertambah sesak dengan 6 SMS balasan dari teman-teman cewek saya.
Satu menit.
Lebih cepat dibalas daripada ketika saya mengadukan keluh kesah saya. Lebih cepat daripada ketika saya menanyakan mau makan dimana. Lebih cepat dibalas daripada ketika saya tanyakan apa kabar mereka.
Salam yak!

Mana? Mana? Ada fotonya ga?

Wii.. Kenalin doong..


Lalu ada satu pertanyaan yang selalu muncul di tiap SMS tersebut.

single ga?



Saya jadi ingat tagline TV serial berjudul Lipstick Jungle. Lupa persisnya, tapi kira-kira:
It's a jungle out there. Get dress.
Atau dress up? Entahlah. Lupa.

God.

Behave, Ladies!!

Hahahaha. :P

Jan 25, 2010

Mellow

"I don't say it often but I'm scared. I can’t stand the fact that you could hurt
me. I don’t like being this close, but I love it. You’re my everything and I
hate it. Because you have everything you need to break me. And I’m not saying
you will, but I am scared."


"I keep thinking of how much I love talking to you, how good you look when you
smile, and how much I love your laugh. I daydream about you every moment,
replaying pieces of our conversation, laughing at funny things that you said or
did. I’ve memorized your face and the way that you look at me. I catch myself
smiling again at what I imagine. I can’t wait to see you again and I wonder what
will happen the next time we are together. I really hope you know how much I
cherish the time that we get to spend together."


"I don't know what it is about you. Maybe it’s the way nothing else matters when
we’re talking, or how you make me smile more than anyone else has. Or maybe it
could be the way you say the right thing at the right time. But whatever it is,
I just want you to know that it means everything to me."


Nothing special, really. I am not in love. I'm just being mellow tonight. Hehehe.
And well, maybe I kinda miss being in love a little bit (excluding the heartache etc.)
Haha. So yeah, tonight is my mellow time!


PS. And I kinda blame Batari for intoduced me to this fascinating tumblr (where I got all the quotes above) and made my night even more mellow...

Jan 19, 2010

Loving

Beberapa tahun lalu, saya pernah ingin menanam bunga matahari.

Waktu itu saya masih kuliah, tinggal di sebuah kamar yang cukup besar berdua dengan salah satu teman baik saya. Lalu suatu hari saya merasa, kayaknya ada yang kurang deh dalam hidup saya...

Pada waktu itu (mungkin juga sampai sekarang sih), beberapa teman dekat saya bilang kalau saya ini heartless. Beberapa yang lain bilang saya too logical. Saya lebih suka yang terakhir, dengan catatan kata too itu dihilangkan. Hehe.
Menurut saya sih, I simply keep my head over my heart. Kalau ternyata jadinya malah seperti hal-hal yang saya sebutkan sebelumnya, ya mau gimana lagi dong. :P

Tapi ya ternyata, terlalu banyak head over heart itu entah bagaimana bikin saya jadi agak "kesepian". Jadilah saya bercita-cita untuk menanam sebuah tanaman yang bisa saya rawat dan menjadi tempat curahan kasih sayang (oh my God, kok gue jadi terdengar pathetic gini ya?).

Dan saya pilih bunga matahari!
Soalnya bunga matahari itu terkesan ceria, optimis dan kuat tapi juga cantik.

Rencana tinggalah rencana. Setelah sempat sekali mencari bijinya dan tidak ketemu, lama kelamaan cita-cita itu terkubur tugas-tugas kuliah yang menggila.

**

Lalu, beberapa minggu lalu saya sampai di blog Alaya, dimana salah satu postingannya menawarkan diri untuk mengirimi biji sunflower bagi siapapun yang berminat.
Inilah jodoh! Pikir saya ketika itu.
Segera, secepat kilat menyambar, saya kirim email kepada Alaya. Kira-kira seminggu kemudian datanglah mas-mas Tiki mengantarkan biji bunga matahari.

Saya, dibantu Beni, menanam biji tersebut di dalam sebuah pot. Saya letakkan di balkon lantai 2 supaya bisa saya pandang-pandang. Senang. Senang.

**

Kemarin, di jalan pulang dari kantor, saya baru ingat kalau si tunas bunga matahari belum saya siram sejak dua hari sebelumnya. Begitu sampai rumah, buru-buru saya tuang air dari dispenser (namanya juga buru-buru), dan cepat-cepat saya siramkan ke tanah yang mengungkung sang tunas.

Kok bisa ya saya lupa sama si tunas ini. Padahal saya benar-benar mengharapkan ia tumbuh subur. Padahal saya sudah siapkan beberapa nama untuk tunas ini. Padahal, padahal, kayaknya saya sayang deh sama tunas ini.
Apa ini artinya saya tidak berbakat dalam hal menyayangi ya?
Moga-moga enggak deh..

Sunflower, sunflower, grow up well, grow up beautiful... and tell me that I am good at loving something. :D

Jan 15, 2010

When Writing Meets Movie

Bluntly speaking, postingan ini saya buat dalam rangka mengiklankan ReadingWalk, rental buku online dengan sistem delivery yang saya kelola bersama Ebi.

Tapi tenang saja, saya tidak akan tulis di blog ini kalau saya pikir ini tidak akan menarik buat Anda. :D


Ini menarik.

Bener deh.

Sueeer.

Apalagi kalau Anda suka menulis dan suka nonton. Penasaran nggak? Nggak juga gapapa, tapi tetep dibaca ya.. :)


ReadingWalk menggelar ReadingWalk's Writing Contest! (disini suara gong masuk)
Apa itu?
Kontes menulis. Hoho, Beni juga tau itu kontes menulis (dia kan udah les di EF loh..).


Jadi, gampang saja Kawan. Asal Anda tahu ABC sampai Z, punya blog atau Facebook, pasti bisa ikutan. Yang perlu Anda lakukan adalah hal yang sudah Anda kuasai sejak kelas 1 SD:
m e n u l i s


Nah, menulisnya tidak asal curhat ya karena ada temanya. Temanya adalah ini:

"How ReadingWalk Helps You Opening the Window to the World"

(disini suara gong masuk lagi)


Nah, kalau Anda tidak tahu apa itu ReadingWalk, jangan khawatir Anda tinggal datang saja ke websitenya. Nih saya berikan link-nya supaya Anda tinggal klik disini.


Ketentuan penulisannya sebagai berikut:
  • Tulisan harus memuat profil dan link ke website ReadingWalk

  • Tulisan dibuat di blog (wordpress, blogspot, multiply dan situs-situs blog lainnya yang sejenis) atau Facebook note

  • Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau Inggris

  • Format penulisan bebas (formal atau santai)


Lalu, ketentuan kontesnya adalah sebagai berikut (sabar ya, this is gonna be long):
  • Kontes terbuka bagi umum (tidak terbatas pada anggota ReadingWalk)
    Peserta harus mengirimkan link tulisan beserta identitas diri:
    o Nama
    o Usia
    o Jenis Kelamin
    o Alamat
    o Nomor telepon
    o Jenis Identitas
    o Nomor Identitas
    ke email ReadingWalk di readingwalk@gmail.com paling lambat 28 Februari 2010 sebagai tanda pengumpulan materi tulisan. Tulisan yang linknya tidak dikirimkan melalui email maka tidak akan diikutsertakan dalam kontes.

  • ReadingWalk akan menampilkan setiap link dan cuplikan tulisan website, blog ataupun Facebook Note yang masuk dan memenuhi syarat di website resmi ReadingWalk. --> yuk, yuk, manfaatkan acara ini untuk mentenarkan blog Anda atau diri Anda sendiri, hehe.

  • 5 finalis akan dipilih untuk selanjutnya akan dimuat tulisannya pada notes ReadingWalk di Facebook. Dua pemenang akan dipilih masing-masing untuk kategori Tulisan Terbaik dan Tulisan Terpopuler

  • 5 Tulisan finalis akan dimuat pada 5 Maret 2010
    Komentator dapat memberikan komentarnya pada tulisan setiap finalis terhitung pada 5 Maret 2010 – 26 Maret 2010

  • Pemenang untuk masing-masing kategori akan diumumkan pada 31 Maret 2010 di website ReadingWalk http://www.readingwalk.com/

  • Tulisan yang diikutsertakan dalam kontes dapat bebas dipakai oleh manajemen ReadingWalk untuk kepentingan kegiatan ReadingWalk

Singkatnya, ingat tanggal-tanggal ini:
28 Februari, 5 Maret, 26 Maret dan 31 Maret.
Sipp!



Lalu, seperti sudah dibilang diatas, akan ada 5 finalis tulisan. Dari 5 tersebut, dipilih Tulisan Terbaik, yang paling memenuhi syarat berikut:
  • Penyampaian yang informatif dan komunikatif

  • Ketepatan interpretasi atas profil ReadingWalk yang tersedia di website

  • Kreativitas penulisan


Lalu, dari 5 finalis yang sama, akan dipilih juga Tulisan Terpopuler, yaitu:
tulisan yang dikomentari oleh paling banyak orang ketika tulisan tersebut di-publish di Facebook Note ReadingWalk, artinya beberapa komen dari 1 orang akan tetap dihitung 1.


Dan, untuk para komentator ini, akan dipilih juga Komentator Terbaik, yang mana isi komennya paling:
informatif, komunikatif dan kreatif.



Hmmm, apa lagi ya?
Ah, ya, hadiah! Ya ya, tenang saja kami menyediakan hadiah kok untuk para pemenang diatas.


Untuk Tulisan Terbaik & Tulisan Terpopuler, masing-masing akan mendapatkan 2 tiket nonton di Blitz Megaplex yang berlaku di Blitz mana saja, pada hari apa saja (weekend maupun weekdays).


Untuk semua finalis & Komentator Terbaik akan mendapatkan exclusive t-shirts ReadingWalk.

Semua hadiah akan dikirim ke alamat Anda, jadi nggak perlu khawatir soal bagaimana cara mengambilnya.



Nah, sekarang ada dua pilihan yang bisa Anda lakukan:
  1. Klik http://www.readingwalk.com/, cari tahu tentang ReadingWalk dan mulai menulis (lalu dipost dan jangan lupa dikirim linknya ke kami).

  2. Bookmark halaman ini untuk Anda lihat lagi ketika Anda sudah luang, lalu kembali ke pilihan pertama.

Kalau saja nggak khawatir bakal dipiting sama Ebi, saya pasti sudah ikutan kontes ini (yes, she definitely will).
Ya sudahlah, tak apa, yang ini saya relakan saja untuk Anda. :)
Keterangan lebih lengkap, silakan klik DISINI.


PS. Semua pertanyaan dapat Anda alamatkan ke email ini readingwalk@gmail.com atau silakan tinggalkan komen pada postingan ini.

PPS. Maaf ya, kalau judul post-nya kurang nyambung. Hehehe.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...