Nov 22, 2007

gossip

Saya menerima sebuah email dari salah seorang Om saya. Isinya adalah sebuah forwarded email dengan judul mencolok RACISM.
Penasaran, saya buka dan baca email tersebut:

RACISM
You must pass this on .
I am sure many of you watched the recent taping of the Oprah Winfrey show in Chicago where her guest was Tommy Hilfiger.
On the show, she asked him if the statements about race he was accused of saying were true Statements like "if I'd known African-Americans, Hispanics, Jewish and Asians would buy my clothes, I WOULD NOT have made them so nice.
I wish these people would *NOT* buy my clothes, as they (my clothes) are made for upper-class white people." His answer to Oprah was a simple "YES" where after she immediately asked him to leave her show.
Suggestion? Don't buy your next shirt or perfume from Tommy Hilfiger. Let's give him what he asked for.
Let's not buy his clothes, let's put him in a financial state where he himself will not be able to afford the ridiculous prices he puts on his clothes. If we are small, then send it to the whole community that's not white people and see the result. We! have to see the result of unity.
Let's find out if Asian, Jews and Non-white really plays such a small part in the world. Stop buying all range of Hilfiger products, perfume, cosmetics, Clothes, bags, etc.
IF you are against racism, please send this message to all your friends; please do not delete it without sending it to at least one person.
Lantaran tak ada kerjaan, saya pun googling "oprah hilfiger", yang pada akhirnya menghantar saya ke situs resmi Oprah Winfrey (http://oprah.com/) dimana disitu dikatakan dengan jelas bahwa email yang beredar luas menyatakan Hilfiger pernah datang ke Oprah Show dan mengatakan hal-hal di atas adalah Big Fat Liar.
Itu semua tidak benar.
Beginilah sebuah gosip dimulai. Hanya karena sebuah email tak bernama, berita bohong jadi terasa nyata. Padahal, hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, Anda bisa mendapatkan fakta sebenarnya tentang berita Hilfiger ini. Tapi entah mengapa, puluhan ribu orang memilih untuk langsung mem forward nya.
Moral of the story:
Percayalah pada gosip, hanya bila itu Anda dengar dari orang pertama.

Nov 17, 2007

Maaf..

“Latar Belakangnya mesti diperbaiki”, ujar Beliau setelah beberapa saat membolak-balik laporan Kerja Praktek saya. “Kamu catat ya!”.

Siap Pak!, saya segera mengeluarkan pensil dan buku. Tak butuh waktu lama untuk memenuhi lembar kosong kertas tersebut dengan berbagai catatan seperti:
- Metodologi terlalu rinci
- Gap masukkin ke latar belakang
- Data produk masukkin ke latar belakang
- Value! Bukan pedoman
- Batasan masalah : metode jangan dibatasi
- Dll

Saya tidak kaget atau heran. Berdasarkan kesaksian beberapa orang yang presentasi sebelum saya, rata-rata memang diminta merevisi Bab I dan II atau tata tulis laporan.
Beliau melanjutkan ke halaman-halaman belakang.

“Tidak bisa pakai metode ini”, vonis Beliau.

Dan sejak kata-kata itu keluar, saya berhenti mencatat. Berusaha mengerti apa yang Beliau katakan. Saya akui, saya memang tidak yakin 100% metode yang saya gunakan benar. Tapi saya juga tidak yakin metode yang Beliau usulkan juga dapat diterapkan.

“Saya tidak diberi data keuangan oleh perusahaannya, Pak”, saya berkata karena tidak mengerti bukan karena ingin membantah.

“Anda bisa asumsikan dengan cara begini..”, kemudian Beliau menuliskan rumus di laporan saya.

Rasanya serba salah. Di satu sisi, saya benar-benar tidak yakin data tersebut dapat diasumsikan. Namun, menimbang saran dari sejumlah teman, tidak seharusnya saya membantah dosen yang satu ini. Lagipula, apalah arti pengetahuan mahasiswa undergraduate dibandingkan seorang profesor?

Revisi metode. Begitu keputusannya. Kumpulkan minggu depan.

Saya pulang dengan agak linglung.

**

Maa… Laporan KP ku mesti revisi nih. Sebel.


Saya kirimkan SMS tersebut kepada Mama. Ya, sesampainya di kosan dan membaca buku yang bersangkutan, saya makin uring-uringan. Ditambah sakit kepala yang belum reda juga sejak semalam, saya jadi kesal. Entah kepada siapa.

Tak lama, Mama menelepon.

“Gimana, wuk?”

“Laporan KP ku mesti revisi nih Ma. Dari metode lagi. Itu sih sama aja ngerjain ulang”, saya nyerocos tanpa peduli Mama tidak familier dengan persoalan dan istilah yang saya gunakan.

“Kenapa kata dosennya? Susah ya kalau direvisi?”

“Salah metode katanya. Padahal aku ga dikasih data keuangan sama perusahaannya”

“Oo.. ya bilang dong sama dosennya?”

“Udah. Tapi katanya suruh diasumsiin aja. Aku ga ngerti ini apanya yang bisa diasumsiin”

“Sama dosen yang satunya ga apa-apa?”

“Nggak papa. Kemarin baik-baik aja”

“Oo… dosen yang ini memang sulit ya?”

Mama adalah seorang dokter. Wajar bila Beliau tidak familier dengan asumsi, laporan, revisi atau data keuangan. Tapi saya tahu Beliau berusaha mengerti apa yang saya katakan agar dapat mengatakan sesuatu yang dapat menenangkan saya.

Dan entah bagaimana, pipi saya mulai basah oleh air mata. Sudah lama sekali sejak terakhir saya menangis, saya bahkan tak ingat lagi kapan itu. Dan saya memang tergolong perempuan yang jarang menangis.

Saya tak tahu apa yang saya tangisi. Mungkin karena saya harus merevisi laporan KP, mungkin karena sakit kepala saya tidak sembuh-sembuh, mungkin karena akumulasi kelelahan minggu ini. Mungkin saya kesal karena hari ini Bandung macet luar biasa.

Mungkin karena saya kangen rumah, mungkin saya tersentuh karena Mama begitu berusaha mengerti dunia seorang mahasiswa, mungkin saya merasa bersalah karena sebelum hari ini saya tak ingat untuk menghubungi Mama. Mungkin semuanya.

**

Empat jam kemudian, revisi pengolahan data akhirnya selesai. Dan hanya ada satu orang yang ingin saya SMS saat itu.
Maa.. revisi pengolahan datanya udah selesai. Aku senaaang. :)

Nov 9, 2007

demi menyambung hidup

Perempatan lampu merah DSE - Kimia Farma - Dukomsel, Dago, Bandung.

Seorang anak berjalan agak pincang mendekati mobil saya. Ia hanya menyanyi beberapa kata, dan langsung berlalu setelah beberapa recehan logam berpindah ke tangannya. Tak lama hujan yang tadinya hanya gerimis kecil mendadak berubah menjadi deras.

Si anak berlari ke sisi jalan, menuju sebuah warung rokok. Seorang wanita berbadan agak gemuk duduk disana. Selama beberapa saat si anak berbicara dengan wanita tersebut, kemudian menyerahkan segenggam recehan di tangannya.

Si anak kemudian berlari menyebrang jalan. Hilang dari pandangan saya.


Parkiran Superindo Dago, Bandung

Hujan deras. Saya memarkir mobil di tempat terdekat dengan pintu masuk. Sembari memasang kunci stir, pandangan saya menangkap sosok familier. Si anak pincang tadi.

Sekarang ia telah berdiri di depan pintu masuk. Dengan baju setengah basah, ia memanggul payung besar, siap menawarkan jasa ojek payung.


Nov 7, 2007

Benitoz

Nah, begitu itu tampangnya. Nggemesin ya? Foto ini diambil waktu kami sedang boarding di bandara Soekarno Hatta.

Oia, namanya Beni. Tapi untuk membuatnya lebih terkesan imut, saya suka memanggilnya Benito atau Be'ito. Dia ini adik saya yang paling kecil. Januari nanti umurnya 5 tahun.

Hubungan saya dan Beni adalah love - hate relationship. Kadang dia ini nakaaaal sekali. Sampai saya sebal luar biasa. Tapi kalau lama tidak bertemu, saya kangen sekali.

Beni ini, menurut saya sih, lucu sekali. Malah kadang-kadang aneh. Karena, Beni itu :



  1. Pemakan segala kecuali Junk Food. Iya lho, dia ini suka sekali makan. Apa saja dilahapnya. Tapi dia tidak suka junk food seperti burger atau pizza. Paling banter juga kentang goreng, itu pun yang dimasak sendiri sama Mbak nya. Tapi kalau yang namanya buah... wah, jangan ditanya deh. Dari anggur, pisang, sema'a (semangka), sampe duren juga diterjang olehnya. Biasanya, kalau ada anggur atau apapun di kulkas, memang tidak dihabiskan sih. Tapi paling-paling cuma disisakan satu atau dua biji. Itu cuma salah satu trik nya supaya tidak dibilang menghabiskan makanan.

  2. Senang main sepeda. Nah, tapi main sepeda, tanpa menaiki sepedanya. Yang dilakukannya hanya berlari-lari mengitari halaman sambil menuntun si sepeda. Saya sampai terheran-heran, apa enaknya main seperti itu? Ini orang naik sepeda apa sepeda naik orang? Tapi untunglah sekarang Beni sudah bisa naik sepeda beneran.

  3. Masih pakai pampers. Hihi. Tapi jangan bilang-bilang ya.. Dia malu lho kalau ketahuan masih pakai pampers. Habisnya dia masih suka ngompol sih. Bikin pesing dimana-mana.

  4. Pencari perhatian. Super pencari perhatian, tepatnya. Pokoknya dia tidak rela kalau orang di sekitarnya berbicara tanpa melibatkan dirinya. Pernah suatu kali saya sedang berbicara sama Mama. Selama kami berbicara itu, Beni ikut-ikutan ngomong hal-hal yang nggak nyambung sama sekali. Mungkin karena kesal tidak digubris, kemudian ia berteriak "Bunda, Bunda!! Aku... Aku mauuu!!". Mama pun mengalihkan perhatiannya ke Beni, dan bertanya, "Kenapa, Ben?". Setelah sukses mendapat perhatian, tampaknya dia malah jadi bingung sendiri. "Aku mauuu... mm... apa ya?". #%#$*%$!!

  5. Tidak suka bangun paling akhir. Sebenarnya ini akibat dari doktrin Mama kepada Beni (dan semua anak yang lain juga sebetulnya) bahwa orang yang bangunnya telat itu artinya pemalas. Dan pemalas itu tidak baik. Maka itu, Beni sangat takut bangun paling akhir, biarpun pada kenyataannya memang dia yang paling sering bangun terakhir. Tapi bukan Beni namanya kalau tidak cerdik (saya tidak akan menggunakan kata licik untuk mendeskripsikan anak kecil). Suatu hari ia terbangun dan mendapati Tita (adik saya yang kedua) sudah bangun terlebih dahulu. Tapi si Tita ini masih asik berkutat dengan HPnya dan belum beranjak dari tempat tidur. Menyadari bahwa dirinyalah yang bangun paling terakhri, maka Beni pun mencari cara agar fakta itu tidak ketahuan oleh Mama. Ia pun berkata pada Tita, "Mbak Tita, Mbak Tita disini dulu ya. Jangan kemana-mana". Segera setelah mengatakan hal tersebut ia segera beranjak keluar kamar. Kemudian tak lama terdengar suara cemprengnya mengadu, "Bunda, aku bangun duluan dong! Mbak Tita belum bangun tuh. Mbak Tita anak malas!".

  6. Bapak = nama. Ya, saya baru menyadari itu beberapa saat lalu ketika nyekar ke kuburan eyang kakung saya. Ternyata Beni itu menganggap Bapak adalah sebuah nama, sama halnya dengan "Tuti" atau "Budi" dll. Ketika kami nyekar ke kuburan eyang kakung, Bapak saya berkata, "Ben, ini Bapaknya Bapak yang dikubur disini". Kalimat itu tampaknya menjadi rancu buat Beni karena terlalu banyak mengandung kata 'Bapak'. Beni pun menjawab, "Bapak? Bapak kan disini", sambil mengarahkan telunjuknya ke Bapak. "Iya, yang dikubur itu Bapaknya Bapak", Beliau masih berusaha menjelaskan. "Bapak dikubur?", ujar Beni sambil melihat ke arah kuburan. "Bukan, bukan, Bapaknya Beni disini. Yang disitu itu Bapaknya Bapak", ujar Bapak lagi. "Bapak ada dua?", Beni masih tidak mengerti. "Begini lho Ben, Bapak kan punya Mama, itu Eyang", ujar Bapak sambil menunjuk eyang putri, "yang dikubur itu itu suaminya eyang. Bapaknya...". "Oh, suaminya Eyang!" potong Beni senang. Ia pasti merasa gembira karena merasa berhasil meluruskan benang yang kusut. Suaminya eyang kok dibilang Bapaknya Bapak, begitu mungkin pikirnya.

Aduuh, saya gemas sekali sama anak itu. Biarpun dia suka bertingkah aneh dan kadang nakal, tapi dia bisa juga jadi anak baik. Misalnya saja, setiap kali ia punya coklat atau biskuit, ia selalu mencari kakak-kakaknya untuk membagi makanannya. Tidak hanya untuk kakak-kakaknya, ia pun selalu ingat untuk membagi makanannya dengan pengasuhnya.

Dia juga mau tuh, saya jadikan mainan. Misalnya, saya suruh dia mencoba-coba pakai wig seperti di samping ini.







Semakin ingat dia saya jadi semakin kangen.




The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...