Dec 18, 2007

Forgiving, not forgetting

About a couple weeks ago, a friend of mine asked me a question, “Can you forgive, if you can’t forget?”.
The question reminded me of an episode in Sex and The City. I don’t really remember the details, but I am sure at the end of the episode, Carrie (the main character of the serial) asked the same question.

Well, can I?

At that time, I answered “Yes” to my friend.

Then my friend asked me again, “Is forgiving means that you act normally with that person as well as you did before that person upset you?”.

Well, hmm… “No”, I answered slowly.

“What is forgiving then?”.

I am not an angel, not even close. I know that forgiving is not as simple as saying “I forgive you” or sending SMS “Mohon maaf lahir batin” or putting a smile in my face. At least, I try to forgive. Though I know that perhaps it is not enough. Human are created with memories so they can put all their experiences in it. In my case (and maybe my friend’s case), some memories are just too hard to erased.

To forgive or not, that’s our choice. Of course, I could have chosen to keep my anger forever. But then, what is it for me? None. My anger could not turn back the time or save me from pain. It would only turned me become a ‘dark’ person. So I chose to forgive to keep my soul ‘pure’.

What is forgiving, then?

“It means, you accept that once in your lifetime, someone has done something cruel to you, but you just keep going with your own life instead of thinking and regretting about it over and over again. And sometimes you don’t have to forget, so that you can learn how to protect yourself”.

I am not sure with my answer actually. But well, seemed that my friend was satisfied enough with the answer.

Dec 9, 2007

Bapak & Michael Buble

Akhir akhir ini saya suka sekali sama lagu Home yang dibawakan Michael Buble.
Entah kenapa.
Saking sukanya, saya hanya memasang satu lagu itu di playlist, sehingga saya bisa mendengarkannya berulang kali. Dari yang awalnya saya hanya ngeh bagian "let me go homee...", lama-lama jadi mengerti satu isi lagu itu.
Lalu, entah kenapa, saya jadi ingat Bapak yang saat ini bekerja di Addis Ababa, Ethiopia nun jauh disana (untuk Nadya yang nilai geografi nya 0 : Ethiopia itu di Afrika.).
Jangan bayangkan Addis Ababa itu daerah perang ya. Soalnya Addis Ababa yang merupakan ibu kotanya Ethiopia itu (menurut Bapak saya) adalah kota paling aman di Afrika. Mengalahkan Cape Town-nya Afrika Selatan.
Ini kalau saya perhatikan, terkait dengan sifat penduduknya yang sangat religius. Jadi, di Addis Ababa itu (entah apakah ini juga berlaku untuk seluruh Afrika), agama mayoritas adalah Kristen Ortodox. Dan agama ini, sangat setia dianut oleh para penduduk Addis Ababa. Bahkan, ketika suatu saat saya naik taxi, setiap kali taxi tersebut melewati gereja, si supir taxi akan langsung komat-kamit membaca doa dan diakhiri dengan membuat salib dengan gerakan tangannya (ngerti kan maksudnya?).
Jangan juga bayangkan Addis Ababa itu panas. Karena, Addis Ababa terletak di ketinggian 2500 meter di atas permukaan laut. Sebelum merasakan sendiri, saya juga tidak percaya. Tapi nyatanya, waktu saya kesana Juni kemarin, Addis Ababa jauh lebih dingin daripada Bandung.
Bandaranya pun tidak kalah canggih. Tapi kalau soal yang satu ini memang karena bandara yang ada di Addis Ababa itu (yang mana saya lupa namanya) memang pemberian dari Italia. Jadi standarnya pun standar Eropa.
Tapi sayangnya, infrastruktur yang oke punya itu melompong di dalam. Jadi di dalam bandara
itu banyak ruang nggak terpakai.
Sama juga dengan jalan rayanya. Biarpun jalan rayanya besar-besar, bahkan ada jalan layang juga, tapi mobil yang wira-wiri jarang sekali. Beda banget sama Jakarta.
Mobil yang ada pun kebanyakan mobil-mobil (supeer) tua. Mungkin keluaran tahun 70 atau 80 an.
Menurut Bapak saya, satu hal yang menyenangkan tinggal di Addis Ababa adalah karena living cost disana murah. Mata uang Ethiopia adalah Birr dan satu Birr sama dengan seribu rupiah. Untuk naik angkutan umum, cukup bayar setengah Birr atau 500 Rupiah saja!
Taxi? Dengan 50 Birr, Anda bisa carter taxi itu seharian!
Tapi, kalau jalan-jalan kesana mesti hati-hati. Soalnya, 25% penduduknya terinfeksi HIV. Bahkan ada survey yang bilang, setiap orang disana pasti punya minimal satu orang anggota keluarganya yang terinfeksi HIV. Ckckck.
Eh, kenapa jadi nglantur ngomongin Addis Ababa ya?
Jadi kembali lagi ke lagu Home nya Michael Buble. Mendengarkan lagu itu, membuat saya mengerti ketika Bapak bilang sering kangen rumah. Bapak pernah bilang, kalaupun nanti tempat kerjanya dipindah ke Eropa atau manapun, Beliau pasti akan tetap ingin pulang dan menghabiskan masa tuanya di Indonesia.
Ketika itu saya tidak mengerti. Kenapa? Bukankah enak tinggal di luar negeri?
Waktu itu beliau menjawab, "Memang benar kata orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri daripada hujan uang di negeri orang".
Kalau saya pikir-pikir lagi, mungkin Beliau kesepian. Tidak ada kami, lalu apa yang Beliau lakukan sepulang kerja? Apa yang meringankan langkahnya bila Beliau tahu hanya ada kamar kosong yang menunggunya?
Saya jadi merasa berdosa tidak selalu membalas emailnya hanya karena alasan sibuk. Padahal hanya butuh waktu 10 menit untuk membaca dan membalas emailnya.
Terlebih lagi saya merasa berdosa karena saya tahu, Beliau melakukan itu untuk keluarganya disini.

And I’m surrounded by
A million people
I Still feel all alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know
Is that how you feel, Pak?
Huff...

Nov 22, 2007

gossip

Saya menerima sebuah email dari salah seorang Om saya. Isinya adalah sebuah forwarded email dengan judul mencolok RACISM.
Penasaran, saya buka dan baca email tersebut:

RACISM
You must pass this on .
I am sure many of you watched the recent taping of the Oprah Winfrey show in Chicago where her guest was Tommy Hilfiger.
On the show, she asked him if the statements about race he was accused of saying were true Statements like "if I'd known African-Americans, Hispanics, Jewish and Asians would buy my clothes, I WOULD NOT have made them so nice.
I wish these people would *NOT* buy my clothes, as they (my clothes) are made for upper-class white people." His answer to Oprah was a simple "YES" where after she immediately asked him to leave her show.
Suggestion? Don't buy your next shirt or perfume from Tommy Hilfiger. Let's give him what he asked for.
Let's not buy his clothes, let's put him in a financial state where he himself will not be able to afford the ridiculous prices he puts on his clothes. If we are small, then send it to the whole community that's not white people and see the result. We! have to see the result of unity.
Let's find out if Asian, Jews and Non-white really plays such a small part in the world. Stop buying all range of Hilfiger products, perfume, cosmetics, Clothes, bags, etc.
IF you are against racism, please send this message to all your friends; please do not delete it without sending it to at least one person.
Lantaran tak ada kerjaan, saya pun googling "oprah hilfiger", yang pada akhirnya menghantar saya ke situs resmi Oprah Winfrey (http://oprah.com/) dimana disitu dikatakan dengan jelas bahwa email yang beredar luas menyatakan Hilfiger pernah datang ke Oprah Show dan mengatakan hal-hal di atas adalah Big Fat Liar.
Itu semua tidak benar.
Beginilah sebuah gosip dimulai. Hanya karena sebuah email tak bernama, berita bohong jadi terasa nyata. Padahal, hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, Anda bisa mendapatkan fakta sebenarnya tentang berita Hilfiger ini. Tapi entah mengapa, puluhan ribu orang memilih untuk langsung mem forward nya.
Moral of the story:
Percayalah pada gosip, hanya bila itu Anda dengar dari orang pertama.

Nov 17, 2007

Maaf..

“Latar Belakangnya mesti diperbaiki”, ujar Beliau setelah beberapa saat membolak-balik laporan Kerja Praktek saya. “Kamu catat ya!”.

Siap Pak!, saya segera mengeluarkan pensil dan buku. Tak butuh waktu lama untuk memenuhi lembar kosong kertas tersebut dengan berbagai catatan seperti:
- Metodologi terlalu rinci
- Gap masukkin ke latar belakang
- Data produk masukkin ke latar belakang
- Value! Bukan pedoman
- Batasan masalah : metode jangan dibatasi
- Dll

Saya tidak kaget atau heran. Berdasarkan kesaksian beberapa orang yang presentasi sebelum saya, rata-rata memang diminta merevisi Bab I dan II atau tata tulis laporan.
Beliau melanjutkan ke halaman-halaman belakang.

“Tidak bisa pakai metode ini”, vonis Beliau.

Dan sejak kata-kata itu keluar, saya berhenti mencatat. Berusaha mengerti apa yang Beliau katakan. Saya akui, saya memang tidak yakin 100% metode yang saya gunakan benar. Tapi saya juga tidak yakin metode yang Beliau usulkan juga dapat diterapkan.

“Saya tidak diberi data keuangan oleh perusahaannya, Pak”, saya berkata karena tidak mengerti bukan karena ingin membantah.

“Anda bisa asumsikan dengan cara begini..”, kemudian Beliau menuliskan rumus di laporan saya.

Rasanya serba salah. Di satu sisi, saya benar-benar tidak yakin data tersebut dapat diasumsikan. Namun, menimbang saran dari sejumlah teman, tidak seharusnya saya membantah dosen yang satu ini. Lagipula, apalah arti pengetahuan mahasiswa undergraduate dibandingkan seorang profesor?

Revisi metode. Begitu keputusannya. Kumpulkan minggu depan.

Saya pulang dengan agak linglung.

**

Maa… Laporan KP ku mesti revisi nih. Sebel.


Saya kirimkan SMS tersebut kepada Mama. Ya, sesampainya di kosan dan membaca buku yang bersangkutan, saya makin uring-uringan. Ditambah sakit kepala yang belum reda juga sejak semalam, saya jadi kesal. Entah kepada siapa.

Tak lama, Mama menelepon.

“Gimana, wuk?”

“Laporan KP ku mesti revisi nih Ma. Dari metode lagi. Itu sih sama aja ngerjain ulang”, saya nyerocos tanpa peduli Mama tidak familier dengan persoalan dan istilah yang saya gunakan.

“Kenapa kata dosennya? Susah ya kalau direvisi?”

“Salah metode katanya. Padahal aku ga dikasih data keuangan sama perusahaannya”

“Oo.. ya bilang dong sama dosennya?”

“Udah. Tapi katanya suruh diasumsiin aja. Aku ga ngerti ini apanya yang bisa diasumsiin”

“Sama dosen yang satunya ga apa-apa?”

“Nggak papa. Kemarin baik-baik aja”

“Oo… dosen yang ini memang sulit ya?”

Mama adalah seorang dokter. Wajar bila Beliau tidak familier dengan asumsi, laporan, revisi atau data keuangan. Tapi saya tahu Beliau berusaha mengerti apa yang saya katakan agar dapat mengatakan sesuatu yang dapat menenangkan saya.

Dan entah bagaimana, pipi saya mulai basah oleh air mata. Sudah lama sekali sejak terakhir saya menangis, saya bahkan tak ingat lagi kapan itu. Dan saya memang tergolong perempuan yang jarang menangis.

Saya tak tahu apa yang saya tangisi. Mungkin karena saya harus merevisi laporan KP, mungkin karena sakit kepala saya tidak sembuh-sembuh, mungkin karena akumulasi kelelahan minggu ini. Mungkin saya kesal karena hari ini Bandung macet luar biasa.

Mungkin karena saya kangen rumah, mungkin saya tersentuh karena Mama begitu berusaha mengerti dunia seorang mahasiswa, mungkin saya merasa bersalah karena sebelum hari ini saya tak ingat untuk menghubungi Mama. Mungkin semuanya.

**

Empat jam kemudian, revisi pengolahan data akhirnya selesai. Dan hanya ada satu orang yang ingin saya SMS saat itu.
Maa.. revisi pengolahan datanya udah selesai. Aku senaaang. :)

Nov 9, 2007

demi menyambung hidup

Perempatan lampu merah DSE - Kimia Farma - Dukomsel, Dago, Bandung.

Seorang anak berjalan agak pincang mendekati mobil saya. Ia hanya menyanyi beberapa kata, dan langsung berlalu setelah beberapa recehan logam berpindah ke tangannya. Tak lama hujan yang tadinya hanya gerimis kecil mendadak berubah menjadi deras.

Si anak berlari ke sisi jalan, menuju sebuah warung rokok. Seorang wanita berbadan agak gemuk duduk disana. Selama beberapa saat si anak berbicara dengan wanita tersebut, kemudian menyerahkan segenggam recehan di tangannya.

Si anak kemudian berlari menyebrang jalan. Hilang dari pandangan saya.


Parkiran Superindo Dago, Bandung

Hujan deras. Saya memarkir mobil di tempat terdekat dengan pintu masuk. Sembari memasang kunci stir, pandangan saya menangkap sosok familier. Si anak pincang tadi.

Sekarang ia telah berdiri di depan pintu masuk. Dengan baju setengah basah, ia memanggul payung besar, siap menawarkan jasa ojek payung.


Nov 7, 2007

Benitoz

Nah, begitu itu tampangnya. Nggemesin ya? Foto ini diambil waktu kami sedang boarding di bandara Soekarno Hatta.

Oia, namanya Beni. Tapi untuk membuatnya lebih terkesan imut, saya suka memanggilnya Benito atau Be'ito. Dia ini adik saya yang paling kecil. Januari nanti umurnya 5 tahun.

Hubungan saya dan Beni adalah love - hate relationship. Kadang dia ini nakaaaal sekali. Sampai saya sebal luar biasa. Tapi kalau lama tidak bertemu, saya kangen sekali.

Beni ini, menurut saya sih, lucu sekali. Malah kadang-kadang aneh. Karena, Beni itu :



  1. Pemakan segala kecuali Junk Food. Iya lho, dia ini suka sekali makan. Apa saja dilahapnya. Tapi dia tidak suka junk food seperti burger atau pizza. Paling banter juga kentang goreng, itu pun yang dimasak sendiri sama Mbak nya. Tapi kalau yang namanya buah... wah, jangan ditanya deh. Dari anggur, pisang, sema'a (semangka), sampe duren juga diterjang olehnya. Biasanya, kalau ada anggur atau apapun di kulkas, memang tidak dihabiskan sih. Tapi paling-paling cuma disisakan satu atau dua biji. Itu cuma salah satu trik nya supaya tidak dibilang menghabiskan makanan.

  2. Senang main sepeda. Nah, tapi main sepeda, tanpa menaiki sepedanya. Yang dilakukannya hanya berlari-lari mengitari halaman sambil menuntun si sepeda. Saya sampai terheran-heran, apa enaknya main seperti itu? Ini orang naik sepeda apa sepeda naik orang? Tapi untunglah sekarang Beni sudah bisa naik sepeda beneran.

  3. Masih pakai pampers. Hihi. Tapi jangan bilang-bilang ya.. Dia malu lho kalau ketahuan masih pakai pampers. Habisnya dia masih suka ngompol sih. Bikin pesing dimana-mana.

  4. Pencari perhatian. Super pencari perhatian, tepatnya. Pokoknya dia tidak rela kalau orang di sekitarnya berbicara tanpa melibatkan dirinya. Pernah suatu kali saya sedang berbicara sama Mama. Selama kami berbicara itu, Beni ikut-ikutan ngomong hal-hal yang nggak nyambung sama sekali. Mungkin karena kesal tidak digubris, kemudian ia berteriak "Bunda, Bunda!! Aku... Aku mauuu!!". Mama pun mengalihkan perhatiannya ke Beni, dan bertanya, "Kenapa, Ben?". Setelah sukses mendapat perhatian, tampaknya dia malah jadi bingung sendiri. "Aku mauuu... mm... apa ya?". #%#$*%$!!

  5. Tidak suka bangun paling akhir. Sebenarnya ini akibat dari doktrin Mama kepada Beni (dan semua anak yang lain juga sebetulnya) bahwa orang yang bangunnya telat itu artinya pemalas. Dan pemalas itu tidak baik. Maka itu, Beni sangat takut bangun paling akhir, biarpun pada kenyataannya memang dia yang paling sering bangun terakhir. Tapi bukan Beni namanya kalau tidak cerdik (saya tidak akan menggunakan kata licik untuk mendeskripsikan anak kecil). Suatu hari ia terbangun dan mendapati Tita (adik saya yang kedua) sudah bangun terlebih dahulu. Tapi si Tita ini masih asik berkutat dengan HPnya dan belum beranjak dari tempat tidur. Menyadari bahwa dirinyalah yang bangun paling terakhri, maka Beni pun mencari cara agar fakta itu tidak ketahuan oleh Mama. Ia pun berkata pada Tita, "Mbak Tita, Mbak Tita disini dulu ya. Jangan kemana-mana". Segera setelah mengatakan hal tersebut ia segera beranjak keluar kamar. Kemudian tak lama terdengar suara cemprengnya mengadu, "Bunda, aku bangun duluan dong! Mbak Tita belum bangun tuh. Mbak Tita anak malas!".

  6. Bapak = nama. Ya, saya baru menyadari itu beberapa saat lalu ketika nyekar ke kuburan eyang kakung saya. Ternyata Beni itu menganggap Bapak adalah sebuah nama, sama halnya dengan "Tuti" atau "Budi" dll. Ketika kami nyekar ke kuburan eyang kakung, Bapak saya berkata, "Ben, ini Bapaknya Bapak yang dikubur disini". Kalimat itu tampaknya menjadi rancu buat Beni karena terlalu banyak mengandung kata 'Bapak'. Beni pun menjawab, "Bapak? Bapak kan disini", sambil mengarahkan telunjuknya ke Bapak. "Iya, yang dikubur itu Bapaknya Bapak", Beliau masih berusaha menjelaskan. "Bapak dikubur?", ujar Beni sambil melihat ke arah kuburan. "Bukan, bukan, Bapaknya Beni disini. Yang disitu itu Bapaknya Bapak", ujar Bapak lagi. "Bapak ada dua?", Beni masih tidak mengerti. "Begini lho Ben, Bapak kan punya Mama, itu Eyang", ujar Bapak sambil menunjuk eyang putri, "yang dikubur itu itu suaminya eyang. Bapaknya...". "Oh, suaminya Eyang!" potong Beni senang. Ia pasti merasa gembira karena merasa berhasil meluruskan benang yang kusut. Suaminya eyang kok dibilang Bapaknya Bapak, begitu mungkin pikirnya.

Aduuh, saya gemas sekali sama anak itu. Biarpun dia suka bertingkah aneh dan kadang nakal, tapi dia bisa juga jadi anak baik. Misalnya saja, setiap kali ia punya coklat atau biskuit, ia selalu mencari kakak-kakaknya untuk membagi makanannya. Tidak hanya untuk kakak-kakaknya, ia pun selalu ingat untuk membagi makanannya dengan pengasuhnya.

Dia juga mau tuh, saya jadikan mainan. Misalnya, saya suruh dia mencoba-coba pakai wig seperti di samping ini.







Semakin ingat dia saya jadi semakin kangen.




Oct 30, 2007

saya, kemarin

Kemarin adalah hari sibuk dan superrr melelahkan buat saya.
Ini gara-gara ada pengumpulan tugas-tugas seperti Laporan Kerja Praktek dan tugas Perancangan Tata Letak Pabrik (PLO) dari Pak Anas. Pluss, progress modul 6 PLO berupa ARC. Pluss, UTS Komunikasi Profesional.

Saya menginap di kosan Nadya malam sebelumnya lantaran minta diajarkan bahasa Perancis. Soalnya minggu kemarin saya bolos satu pertemuan CCF. Daripada nanti cengo di kelas, mending saya kejar dulu bahan kemarin, begitu menurut pemikiran saya.

Pagi-pagi, saya dan Desti (teman sekamar saya) pulang. Kenapa jadi ada Desti di kosan Nadya?
Itu karena Desti juga menginap di sana. Tapi bukan di kamar Nadya melainkan di kamar Galuh,
demi mengerjakan PLO.

Nah, jadi saya pulang ke rumah sekitar jam 7 lewat dikit. Sebelumnya mampir dulu ke Dipati Ukur untuk mengambil laporan KP kami yang baru dijilid terus beli kupat tahu dulu untuk saya sarapan (yang akhirnya dengan sukses tidak saya habiskan).

Sampai di rumah, saya menimang-nimang laporan KP saya. Senangnya sudah selesai... Jadi terharuuu... Hiks...

Lalu saya pun membaca-baca lagi laporan tersebut sambil senyum-senyum sendiri. Lalu tiba-tiba saya menangkap suatu keanehan yang terlalu panjang kalau saya jelaskan disini.
Intinya, ada data yang salah ketik!

Wah, gimana ya? Ya sudahlah, pasrah saja. Toh belum tentu dosen pengujinya ngeh. Begitu pikir saya.

Namun, ternyata hidup memang tidak mudah. Setelah saya baca dan cermati lebih dalam, ternyata itu bukan sekedar salah ketik, tapi juga salah hitung!
Mampus!

Akhirnya, sekitar jam 8 kurang, saya print ulang 2 halaman yang salah tersebut. Kemudian saya tergopoh-gopoh ke kamar teman saya untuk meminjam cutter. Setelah di potong pinggir kanan dan bawah, kemudian di tempel dengan double tape hasil perhitungan yang salah itu pun hilang tak berjejak.

Hore...

Karena penasaran, kok bisa-bisanya saya salah, saya lihat lagi data di komputer. Ternyata saya menemukan kenyataan yang sempat membuat saya lemas seketika. Hmm.. tapi tidak akan saya kasih tahu disini ah. Mana tahu ada dosen yang baca-baca blog saya. Hehe.
Tapi sudahlah, kesalahan itu saya yakin insyaallah tidak akan ketahuan. Amin.

Menjelang setengah 10, saya buru-buru mandi biarpun Desti menyarankan untuk absen mandi saja pagi ini. Tapi saya tidak mau ah. Daripada nanti waktu ujian nggak konsen gara-gara badan saya gatal. Oya, kekhawatiran Desti ini cukup beralasan mengingat waktu ujian kami adalah jam 10. Saya mandi secepat kilat, bersih tidak bersih yang penting kalau ada yang nanya saya bisa bilang saya sudah mandi.


Jam setengah 10 saya siap. Tapi saya tidak langsung berangkat ke kampus. Soalnya Nisa baru datang dan mau mengerjakan tugas PLO Pak Anas yang saya sebutkan tadi. Mengisi waktu kosong sementara Nisa mengerjakan tugas nya (dibantu Desti), saya berusaha mereview ulang bahan ujian.

Akhirnya, sekitar jam 10 kurang 15 kami ngebut ke kampus. Untungnya tidak telat.
Selama 105 menit kemudian, saya pun berusaha mengerjakan soal-soal ujian. Hanya satu kata : bingung.

Selesai ujian, saya pun mengumpulkan tugas PLO dan kembali ke rumah. Karena tidak membawa mobil, saya pulang naik angkot. Selama perjalanan, hanya satu hal yang memenuhi pikiran saya...

**

Begini, kira-kira beberapa waktu lalu, ISENG-ISENG saya menanyakan kepada salah seorang teman, "Gimana lo sama si X (nama pacar teman saya)?".
"Baik baik.."
"Kapan nih nikahnya", sekali lagi saya tegaskan bahwa saya menanyakan itu hanya untuk ISENG. Namun ternyata pertanyaan iseng itu punya jawaban serius,
"Paling cepet setelah wisuda Juli depan"
Hah??
"Eh, lo beneran udah mau nikah?", saya tak menyangka akan mendapat jawaban seyakin itu.
"Hehe. Doain ya. Tapi rencananya sih 2009, paling cepet ya Juli 2008".
OMG.

Nah, kejadian tersebut sudah lewat beberapa minggu lalu. Kemudian beberapa hari kemarin, di sela-sela gladi resik wisuda, saya mendapat kabar dari teman saya yang lain.
"Eh, lo tau gak si Z (nama teman saya yang mau nikah 2009) kan mau nikah"
"Oh iya, waktu itu dia bilang. Katanya paling cepet setelah lulus" saya merasa senang karena bisa terkesan up to date.
"Bukannya mau bulan Mei?"
"Hah? Masa? Siapa yang bilang?" saya mulai merasa out of date.
"Dari...."
Pembicaraan selanjutnya tidak saya tulis karena menyangkut kepentingan banyak orang terutama para agen suplai gosip yang sedang menyamar.


Nah, kemarin itu, saya tidak sengaja bertemu teman saya itu (yang tadi kita namakan Z). Saya langsung tembak saja, "Eh denger-denger mau nikah bulau Mei?"
Yang ditanya kemudian nyengir lalu menjawab, "Hehe. Ya doain ya Min". OMG.
"Lho, berarti sebelum lulus dong?"
"Iya"
"Oh, gitu ya... Udah mulai bikin persiapan dong?"
"Ya, tapi sebelumnya kita harus menghadap ke orang tua dulu"
"Oooh... Jangan lupa undang gue ya", saya tak tau lagi mau ngomong apa.
"Pasti pasti. Lo harus dateng!". OMG.

**

Nah, hal tersebutlah yang kemudian menggelayuti pikiran saya selama beberapa jam setelah selesai UTS. Sejak naik angkot, turun di gang plesiran, mampir beli makan siang dan jus tomat, minum jus tomat sambil melanjutkan perjalanan, sampai di kosan, nyuci baju, makan siang, jemur baju, sampai menjelang tidur siang.

Dulu waktu sepupu saya yang lebih muda menikah, saya mengerti karena ia dibesarkan di desa nenek saya dimana orang-orang disana cenderung untuk menikah muda. Ketika teman saya yang lain menikah, saya mengerti karena toh dia 3 tahun di atas saya lagipula calon suaminya sudah cukup matang a.ka berumur.

Tapi teman saya yang si Z ini, dia seumur dengan saya. Malah lebih muda dia beberapa bulan. Dia juga dibesarkan di Jakarta seperti saya. Calon suaminya pun setahu saya hanya satu tahun di atasnya.

Dulu beberapa tahun yang lalu saya kadang suka main sama dia. Saya masih ingat dulu dia cerita tentang mantan pacar SMA nya, orang yang mendekati dia saat itu (dan orang itu bukan calon suaminya sekarang), dll. Entah dia ingat atau tidak, dulu kami pernah belanja di Superindo berdua. Yang dibeli ya barang-barang instan khas anak kos. Ternyata sekarang dia sudah mau menikah. Wah.. saya tak tahu mau ngomong apa.

Ada rasa senang, tapi juga ada rasa skeptis. Kok bisa ya? Kenapa mesti secepat itu sih? Memang nggak pengen seneng-seneng sendiri dulu? Memangnya sudah yakin benar? Bukannya baru satu atau dua tahun ya pacarannya? Pertanyaan-pertanyaan yang tentunya tidak berani saya tanyakan langsung kepada si Z. Mungkin benar seperti yang Novi dalam blog nya, time doesn't measure. Siapa bilang usia muda berarti belum siap menikah? Siapa bilang satu dua tahun pacaran belum cukup untuk memutuskan menikah? Toh saya tak tahu apa yang terjadi dibalik proses tercetusnya rencana menikah ini.
Biarpun saya juga bukan orang yang bercita-cita menikah (terlalu) muda. (Haha. Kalau ini mah karena belum ada calon nya aja! *kidding)

Tapi teman saya yang satu ini memang penuh kejutan. Saya berharap dia mendapatkan yang terbaik.


Saya semakin mengantuk. Akumulasi dari kelelahan selama gladi resik dan hari H wisuda. Capek tau berdiri selama satu jam lebih sambil berkonsentrasi pada para wisudawan yang sedang bersalaman dengan rektor. Saya dituntut untuk mengabadikan semua momen tersebut. Biarpun pada akhirnya ada juga sih yang lewat dan jauh dari sempurna (maaaaffffff sekaliiii....).


Saya pun tertidur.

worse!!

My English is getting worse. Oh God, I even don't remember when I have to use 'had' or 'have had' or 'verb+ing'. In fact, I don't even know wheter I am writing right grammars now.

When I was in high school, I took English course in ILP. It didn't last for long (only for 3 terms) because I was getting bored (Is it right? Or I should write 'I got bored'?).

Several weeks ago I bought Newsweeks and I found it was very difficult to me to understand the articles. Then I try to read Globe. It was easier, maybe because it was written by Indonesian journalist. But still, every time I go to international site, I don't think I really understand what the sites saying (Again, is it right to put 'saying' after the subject without 'to be'?)

I do I do I do envy people who can speak English very fluently without thinking before they say it or write it.
Uh!

Oct 20, 2007

mati

Rasanya baru saja saya melintas di depan taman itu bersama teman-teman. Membicarakan seseorang yang beberapa waktu lalu meninggal di tempat tersebut.
Rasanya hanya dalam hitungan jam yang lampau saya duduk di meja itu, membicarakan tugas yang harus saya dan teman-teman selesaikan.
Rasanya, baru beberapa menit yang lalu saya berjalan di antara lorong-lorong buku di perpustakaan.

Dan sekarang, saya mendapati diri saya telah menjadi ruh tanpa raga. Ada yang bilang saya sudah meninggal. Entahlah. Soalnya, saya tak ingat bagaimana saya meninggal. Kapannya pun saya tak tahu pasti. Yang jelas baru-baru ini. Karena saya masih dapat melihat dunia yang berjalan saat ini masih sama keadaannya dengan terakhir kali saya hidup.

Sudahlah. Sejauh ini, kematian saya ini belum menjadi persoalan besar buat saya. Karena biarpun status saya sudah meninggal, arwah saya masih bebas pergi kesana kemari. Sudah begitu, orang terdekat saya juga masih bisa merasakan kehadiran saya, bahkan mereka masih bisa melihat dan mengobrol dengan saya.
Begitulah, keadaan saya saat ini tidak terlalu beda jauh dengan keadaan ketika saya masih hidup. Saya bahkan masih tetap mengerjakan tugas-tugas kuliah saya lho. Soalnya saya kan tetap mau diwisuda Juli nanti.
Oya, saya juga masih bisa mengendarai mobil saya. Seperti saat ini. Saya sedang melaju menuju rumah orang tua saya.
Namun di tengah perjalanan saya teringat, sepertinya saya belum shalat Ashar tadi. Saya kemudian singgah dahulu ke sebuah mushola. Shalat, sekalian istirahat dulu, pikir saya.
Begitu masuk ke mushola, ternyata ada orang lain yang sedang memakai mukenanya. Ya sudah, saya tunggu saja di pojok ruangan sambil baca-baca. Namanya juga mushola, jadi bacaan yang tersedia ya Al Qur’an.
Begitu membuka halaman pertama, tiba-tiba kalimat yang pernah berkali-kali diucapkan guru dan orang tua saya terlintas di kepala.
Putus amal ibadah orang yang telah meninggal kecuali 3 hal : ilmu yang bermanfaat, amal jari’ah dan doa dari anak saleh.

Saya tersentak. Kaget luar biasa. Rasanya seperti disiram air es di sekujur badan. Saya kan sudah meninggal… Artinya, amal ibadah saya saat ini tidak akan diterima lagi?! Saya belum pernah mengamalkan ilmu yang bermanfaat, saya tak punya amal jari’ah dan saya juga belum punya anak! Artinya, tak ada maknanya lagi saya shalat Ashar sekarang?! Tak ada lagi artinya saya mengucap taubat sekarang?! Saya akan membawa dosa sebanyak ini dan pahala sesedikit ini hingga kiamat nanti?!
Tidak! Tidak! Saya belum siap! Saya belum berani mati sekarang! Saya belum sanggup menghadap Sang Khalik dengan nilai rapor seperti saat ini! Ah celaka, saya pasti masuk neraka! Ya Tuhan, mana sanggup saya menahan siksa nerakaMu!

Saya merasakan gelombang kekalutan menjalari tubuh saya. Saya berdoa, saya berteriak, saya belum mau mati sekarang! Saya tidak berani menghadapi siksaanMu, ya Allah!
Saya segera lari sekencang-kencangnya menuju rumah orang tua saya. Saya butuh solusi. Harus ada solusi dari semua ini.
Percuma.

Orang tua saya hanya dapat memandangi saya dengan raut sedih. Saya menangis dan meraung sekuat-kuatnya. Berharap Tuhan akan iba pada saya dan menghidupkan saya kembali. Paling tidak berilah saya waktu 1 atau 2 tahun lagi. Banyak utang dan janji yang belum saya lunasi. Berjuta maaf yang belum sempat saya sampaikan. Dan masih banyak banyaaaaak sekali dosa yang belum saya tebus.
Saya menangis dan menangis. Meskipun saya tahu ini tak ada gunanya. Saya kan sudah mati. Tak mungkin saya bisa hidup lagi. Tapi tak ada lain yang dapat saya lakukan. Shalat sejuta kali pun, saat ini tak akan menghantar saya lebih dekat kepada surga. Maka saya hanya menangis… tak berhenti…

**

Suara pintu dibuka membangunkan saya. Ya Tuhan, itu tadi mimpi!
Saya lihat jam di dinding, sudah pukul setengah 6 pagi. Sayup-sayup saya mendengar suara takbir menggema. Hari ini Idul Fitri. Hari ini, saya masih hidup sehat wal afiat.
Tak berani saya membuang waktu untuk segera shalat Subuh, mohon ampun. Mumpung sempat. Mimpi yang sungguh terasa nyata sekali. Saya bahkan masih dapat merasakan sesaknya dada ini karena menangis.
Saya jadi ingat perkataan seseorang dulu. Bersiaplah untuk kematian, karena manusia hidup untuk mati.

Oct 6, 2007

blog dari waktu ke waktu

Dilandasi keinginan untuk memanfaatkan jatah berinternet sebanyak-banyaknya sebelum ke Jakarta, pagi ini (atau subuh ini, tepatnya), saya berencana melanglang dunia maya.
Dan ternyata, bukan situs dari belahan dunia lain yang membuat saya terpaku di depan laptop. Saya justru keasyikan membaca postingan-postingan lama saya.

Kalau diperhatikan, ada proses transformasinya lho. Dilihat dari penggunaan kata ganti saja, dulunya 'gue; sekarang jadi 'saya'. Membacanya kembali membuat saya mengingat kejadian apa saja yang melatar belakangi sebuah posting. Rasanya seperti baru kemarin. :)

Dari beberapa postingan lama tersebut (2005 - 2006), saya pilih beberapa yang menurut saya lucu atau menarik.
  1. Postingan ini, entah kenapa agak banyak yang menanggapi (sayang nggak semuanya nulis di comment). Mungkin karena membahas soal HTS ya? Padahal saya juga bikinnya iseng saja, sampai-sampai tak saya beri judul. Hehe. Ternyata ada yang terpancing. Silakan baca disini.
  2. Ini postingan nggak jelas banget. Keliatan sih dari judulnya : fufufufu.... Ya ampun, apa coba maksudnya? Saya geli sendiri jadinya.
  3. Entah kenapa, saya suka postingan ini. Memang sih alurnya agak membingungkan. Jadi alur cerita dari postingan yang ini sebenarnya berjalan mundur ke belakang. Tapi di akhir cerita, kembali lagi ke depan. Yah gitulah. Bingung tak? Coba saja dibaca.
  4. Ini pengamalan pribadi saya naik angkot di Jakarta. Wuih, serem pisan. Membacanya membuat saya kembali lagi ke hari itu.
  5. Postingan pertama saya, 9 Januari 2005 (sudah lama juga ya?). Hihi. Jadi ingat, dulu bikin blog itu ikut-ikutan anak-anak Boulevard saja. Bingung bingung mau dikasih nama apa ya blog saya... Ya sudahlah pakai nama sendiri saja. Tapi memang ada alasan lain sih kenapa akhirnya memakai nama floresianayasmin.blogspot.com. Oia, jadi ingat juga, dulu judul blog saya itu Know Me Better. Kenapa begitu? Baca disini.

Yah, pokoknya begitulah kira-kira perjalanan blogging saya selama hampir 3 tahun ini. Dipikir-pikir, saya berterimakasih pada Boulevard yang telah mengenalkan saya pada dunia blogging.

:)

Buku : Travelers Tale, Barcelona : Belok Kanan!

Penulis : Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, Ninit Yunita.
Penerbit : Gagas Media

Buku ini mengisahkan empat orang sahabat yang tinggal di belahan Bumi berbeda.
Francis, keturunan Cina yang menjadi pianis, berkeliling dunia dari konser ke konser.
Farah, disebutkan sebagai campuran Arab-Jawa, bekerja di Hoi An, Vietnam.
Retno, yang dari namanya saya simpulkan sebagai orang Jawa, tinggal di Koppenhagen, Denmark.
Terakhir, Jusuf, tidak jelas ras nya, bekerja di Cape Town, Afrika Selatan.

Demi menghadiri pernikahan Francis di Barcelona, Spanyol, keempat sahabat itu pun bertolak dari tempat tinggal nya masing-masing. Yang menjadi persoalan disini adalah ternyata tiap orang memiliki perasaan terpendam terhadap yang lain. Francis yang cinta pada Retno. Farah yang cinta pada Francis. Jusuf yang cinta pada Farah. Dan Retno yang sesungguhnya juga cinta pada Francis namun tidak berani menerima perasaan Francis karena mereka berbeda agama.

Cerita dibangun dari masing-masing tokoh ini. Tiap tokoh mengisahkan ceritanya masing-masing secara bergantian.

Yang menarik dari buku ini, sepanjang cerita Anda akan disuguhi “suasana” berbagai macam negara. Mulai dari latar cerita Farah yang bergerak dari Hoi An, Amman, Buddapest, Wina dan Paris. Juga cerita Jusuf dari Cape Town, Nairobi, Abidjan, Dakkar dan Marrakech. Atau cerita Retno dari Koppenhagen, Amsterdam, Milan, dan Seville. Hingga kisah Francis dari Kansas City, Cleveland, Atlanta, Miami, dan New York. Semua perjalanan tersebut akan bermuara di Barcelona.

Di beberapa Negara pembaca akan diajak menelusuri tempat-tempat wisata berikut sejarah (sangat) singkat mengenai tempat tersebut. Bagi Anda yang suka traveling, buku ini bisa jadi bacaan yang menarik. Oia, saya katakan traveling, karena di buku ini dijelaskan perbedaan antara menjadi turis dan travelller. Turis cenderung bepergian untuk keperluan belanja dan menghabiskan uang untuk barang-barang. Sementara traveler bepergian untuk pengalaman dan menghabiskan uangnya untuk membeli pengalaman seperti naik gondola, atau ke tempat-tempat unik dan bersejarah.
Pada beberapa bagian, buku ini juga menyelipkan tips-tips traveling. Mulai dari tips barang bawaan, hingga pengaturan penempatan uang, kartu kredit dan paspor.

Ada satu bagian yang menarik dari buku ini. Yaitu ketika tokoh Jusuf mengunjungi patung pemain sepak bola di Senegal. Dijelaskan pada buku tersebut, patung itu dibuat dalam rangka memperingati masuknya Senegal ke perempat World Cup 2002. Jadi berandai-andai, kapan ya Indonesia bisa masuk perempat finalnya World Cup? Hehe.

Sayangnya, pada beberapa bagian, saya menemukan ketidaksinkronan antara alur yang satu dengan yang lain. Terutama antara cerita Francis dan cerita Retno. Misalnya, dari cerita Retno, saya menangkap kesan pertemuan mereka adalah di Starbucks La Rambla. Sementara menyimak cerita Francis, saya menangkap kesan lain : Francis dan Retno bertemu di tempat konser Francis dan bersama-sama menuju Starbucks La Rambla.
Selain bagian di atas, masih ada lagi bagian lain yang janggal. Tapi saya lupa yang mana. Ketidaksinkronan itu sampai membuat saya berpikir jangan-jangan salah satu dari mereka menderita delusi?

Memang, keempat orang ini melakukan perjalanannya masing-masing atas nama cinta. Namun, alasan mengapa mereka saling mencintai hingga bertahan sekian tahun pun tidak jelas.
Maka, jangan pula mengharapkan romance yang berlebihan disini. Karena memang tak ada yang istimewa dengan romansanya. Standar sajalah.

Dan tak salah diberi judul Traveller’s Tale, karena memang perjalanan merekalah yang menarik. Alur cerita jadi mengalir dengan enak. Karakter tokohnya pun sengaja dibuat berbeda. Terlihat dari bahasa kata ganti orang pertama yang digunakan masing-masing tokoh yang bervariasi dari saya, aku, gue hingga gua.

Secara keseluruhan, novel ini cukup enak dinikmati. Terutama untuk Anda yang suka traveling atau suka mendengarkan cerita traveling.




*
Tulisan ini sudah lama sebetulnya. Tapi belum sempat saya post. Saya belum pernah me review buku sebelumnhya (kecuali kalau tulisan saya tentang The Alchemist itu bisa disebut review). Hehe.. menurut Anda bagaimana?

Sep 29, 2007

Ketika Dunia Dilanda Asmara

5 menit berlalu dan wanita itu belum menyentuh makanannya lagi. Sup panas yang dipesannya sudah mulai mendingin. Ponselnya erat memeluk telinga sedari tadi. Sesekali ia tertawa. Bila tidak tertawa, ia tersenyum simpul. Matanya menerawang entah kemana. Ia seolah berada di dunia lain. Jauh dari hingar bingar restoran tempat raganya berada. Semua yang melihat akan tahu, ia sedang dilanda asmara.

**

Akhir-akhir ini, semua orang sepertinya sedang dilanda asmara. Dari mulai bangun pagi, saya sudah mendapati teman sekamar saya ditelepon pacarnya dari Belanda. Berangkat ke kampus, saya melihat pasangan muda mudi bergandengan tangan menyebrang jalan. Sampai di kampus, pasangan yang sedang kasmaran bertebaran dimana-mana. Mau di jurusan atau di unit, sama saja.

Di Bandung ini, saya punya 4 sahabat dekat. 3 diantara mereka tengah dilanda asmara. Yang seorang lagi, ternyata juga baru saja jadian. Lengkaplah sudah.

Semua orang dilanda asmara. Kecuali saya.

Ada sedikit rasa cemburu ketika saya melihat binar mata mereka. Atau suara tawa lepas mereka. Ya, terasa sekali mereka sedang bahagia. Saya kangen perasaan itu.

Saya kangen pada kupu-kupu yang beterbangan di hati saya. Membuat sensasi tersendiri. Membuat detak jantung saya berpacu lebih cepat. Membuat saya tersenyum bahkan tanpa saya menyadarinya.

Cukup sampai disitu.
Saya tidak kangen pada perasaan harap-harap cemas yang menyiksa. Saya tidak kangen pada perasaan sesak di dada. Saya tidak kangen pada rasa sakit yang menusuk hati. Saya tidak kangen pada rasa panas yang menggenang di pelupuk mata saya.

Mungkin saya ingin dilanda asmara. Mungkin juga tidak. Entahlah.
Saya tak berani memutuskan. Hati ini masih dibolak balik olehNya. Bila saatnya tiba, biar Ia yang menetapkan.

Sep 28, 2007

sang dewi

Saya masih ingat betul , tiga tahun lalu, hari pertama saya kuliah di ITB. Saya datang 20 menit sebelum kuliah pertama pukul 7. Banyak pertanyaan dalam kepala saya.
Seperti apa teman-teman saya nanti?
Apa saya dapat membaur dengan mereka?
Bagaimana rasanya kuliah?
Bagaimana rasanya jadi mahasiswa?
Saya ingat, pagi itu saya berputar-putar kebingungan mencari ruangan 9134. Apa itu 9134? Memangnya di ITB ada sampai 9000an ruangan ya? Begitu banyak gedung, saya harus menuju kemana?
Bingung, tapi juga excited. Saya tidak sabar duduk di ruang kelas, mendengarkan dosen mengajar. Saya tidak sabar untuk kuliah. Saya bertanya ke orang yang sedang melintas di depan saya. 9134 itu dimana ya? Bukan jawaban yang saya dapat. Tapi justru nasihat agar melihat peta ITB saja. Untungnya, orang kedua yang saya tanyai memberikan jawaban solutif. Ia langsung mengarahkan telunjuknya ke bangunan yang di kemudian hari saya kenal dengan GKU Lama atau GKU Barat.

Terhitung Agustus 2007 ini, resmi sudah saya masuki tahun keempat saya di ITB. Tapi kenangan akan hari pertama itu, masih melekat jelas di ingatan. Bukan, postingan ini bukan tentang pengalaman perkuliahan saya di ITB. Cerita di atas hanya gambaran tentang salah satu kepingan kecil sejarah saya di ITB.

Posting ini tentang dia yang telah menjadi bagian dari kehidupan saya selama saya di ITB. Mungkin saya tak ingat tiap detail hari yang telah saya lewatkan bersamanya layaknya saya ingat hari pertama saya di ITB, namun tentang dia, insyaallah saya tak akan lupa.

Namanya Batari. Kalau menurut si empunya nama, Batari artinya Dewi. Di belakang nama Batari, disambung dengan kata Saraswati. Yang (lagi-lagi) menurut si empunya nama, berarti Ilmu Pengetahuan. Maka Batari Saraswati saya artikan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Batari Saraswati adalah sahabat pertama saya di ITB.

Kalau orang Jawa punya pepatah “witing trisna jalaran saka kulina”, suka itu ada karena biasa, mungkin itu juga yang terjadi pada saya dan Batari. Kami sekelas, kami satu unit. Di unit tersebut, kami ditugaskan membuat artikel bersama. Dari sana lah awal komunikasi saya dan Batari meningkat. Mulai dari membahas artikel, hingga menyumpah serapahi Pemimpin Redaksi unit kami ketika itu.

Singkat cerita, memasuki semester kedua, saya dan Batari semakin dekat. Karena saya (terutama dulu) adalah tipe orang yang cukup tertutup, maka tak mudah bagi saya menceritakan masalah-masalah pribadi saya pada orang lain. Maka ketika saya dapat merasa nyaman bercerita tentang masalah pribadi saya kepada seseorang, ketika itulah saya sudah resmi menganggap dia sebagai sahabat saya. Demikian pula yang terjadi pada Batari.

Demikianlah, saya dan Batari pun berteman dekat. Meskipun memasuki tingkat dua kami tak sekelas lagi, namun berkomunikasi dengannya tetap tak menjadi masalah. Malah, pada tahun ketiga kuliah, saya pindah ke rumahnya yang sebagian kamarnya memang untuk dikostkan.

Dulu, Batari pernah bilang dia iri pada saya. Karena apa ya? Saya juga tidak tahu.
Tapi sekarang, justru saya yang iri padanya. Iri ini bukan asal iri. Ada beberapa alasan yang saya rasa cukup pantas membuat saya iri pada Batari :
1. Batari punya disiplin diri yang tinggi, kecuali soal diet.
2. Batari punya IPK cumlaude.
3. Batari punya banyaak sekali teman yang sayang padanya.
4. Batari bisa menjadi orang yang baik hati sekaligus tegas.
5. Batari punya otak yang brilian.
6. Batari bisa betah mencatat di kelas.
7. Batari selalu pintar mencari kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya.
8. Batari sering menang lomba ilmiah.
9. Batari itu modis dan manis.

Kira-kira awal tahun ini, Batari mendaftarkan diri mengikuti program exchange ke Jepang. Prosesnya agak lama, melewati tahap demi tahap. Sejak awal, saya tahu ia mengikuti seleksi tersebut. Namun saya baru ngeh betul setelah ia masuk ke tiga kandidat besar. Pada titik itu, kondisi Jepang sudah bukan lagi mimpi di siang bolongnya.

Sayang, ia tak lolos tahap terakhir. Batari bilang dia sedih. Saya pun ikut prihatin. Tapi di sisi lain tak dapat saya pungkiri ada kelegaan dalam hati. Batari tak jadi ke Jepang. Batari masih akan tetap di Bandung. Dunia pun berjalan normal.

Suatu malam ia bilang pada saya. Proposalnya yang dulu dimentahkan itu, ternyata masih berlanjut. Ada seorang profesor di universitas Tohoku yang tertarik dan bersedia menjadi pembimbing Batari. Approval dari sang profesor tersebut berdampak sangat besar, membawanya semakin dekat ke Jepang.

Sudah 95% OK, kata Batari. Diambil atau tidak ya? Ia bertanya.

Ambil saja Bat, ujar saya spontan ketika itu. Saat itu saya mengerti, kalau pun bukan kali ini, suatu saat nanti Batari pasti akan pergi ke Jepang atau manapun yang dia inginkan. Kegagalan justru akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Dan saya yakin, kalau ia melewatkan kesempatan ini, ia akan menyesal dan itu juga akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Intinya, sekarang atau nanti ia pasti pergi. Memang begitulah Batari.

Kira-kira satu atau dua bulan lalu, kepastian itu datang. 30 September ini Batari akan terbang ke Jepang dan baru akan kembali ke Indonesia April tahun depan. Studinya akan terlambat satu tahun, tapi kalau sudah sampai Jepang,siapa yang peduli berapa tahun Anda menyelesaikan Strata 1 Anda?

Hari-hari ini, menjelang kepergiannya saya tak sedih. Teman-teman di kampus sering bilang pada saya “jangan sedih ya Min..”, saya tersenyum saja. Saya menolak untuk bersedih. Tak ada gunanya buat saya atau pun buat Batari. Dan memang tak ada yang perlu disedihkan kan?
Memang, 6 bulan ke depan saya tak akan bertemu dengannya. Tapi bukankah 6 bulan itu singkat? Ia kan bukannya akan amnesia atau apa sekembalinya dari Jepang. Ia pasti akan masih ingat teman-temannya. Karena Batari memang begitu.

Tak ada yang perlu disedihkan karena tak ada perpisahan disini. Kalaupun bukan 6 bulan lagi, mungkin satu tahun lagi atau 10 tahun lagi, saya masih bisa bertemu Batari. Memang, menyayangi seseorang bukan berarti melulu harus berada di dekatnya. Tapi mendukung apa pun yang terbaik baginya. Saya yakin Jepang adalah yang terbaik bagi Batari.

Mungkin kalaupun ada hal yang membuat saya sedih adalah pemikiran kapan ya saya bisa mengejar ketertinggalan saya dari Batari? Kadang rasanya tak percaya Batari itu sahabat saya. Benarkah orang yang terpilih mengerjakan riset di Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang menemani saya makan Hot Chocolate Delight? Benarkah orang yang mendapat rekomendasi dari profesor Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang mendengarkan curhat-curhat saya?
Kalau bersama Batari, rasanya seperti tak ada yang mustahil. Ia adalah salah satu inspirator terbesar dalam hidup saya.

Hari Minggu malam besok sang Dewi Ilmu Pengetahuan itu akan bertolak ke Jepang. Saya hanya dapat berpesan : enjoy your time!



Nb. : dalam kamus Batari, enjoy = belajar.


Aug 30, 2007

berita buruk

Pagi itu saya dalam perjalanan menuju kantor tempat saya Kerja Praktek. Untuk mengusir rasa bosan selama 45 menit menyetir, saya nyalakan radio : Prambors. Sebagai pengendara mobil yang baik, konsentrasi saya tetap pada jalan di depan saya. Sehingga suara-suara di radio tersebut tidak lebih hanya sebagai pengiring saja.

Namun tiba-tiba perhatian saya tercuri. Lantaran suara cempreng penyiar di radio berubah menjadi suara yang datar dan serius. Tak hanya itu, layaknya nada pembaca berita di Metro TV, penyiar tersebut berkata :

“… (saya lupa bagian awalnya) beberapa korban telah ditemukan…”

Penasaran tentang kejadian tersebut, saya pun mengencangkan volume radio.

..petugas masih terus mencari korban-korban yang lain..

Waduh, dimana lagi nih ada kebakaran?

..reporter kami melaporkan langsung dari tempat kejadian..

Eh, atau gempa bumi?
Saya semakin prihatin.
Berikutnya, terdengarlah suara reporter yang berada di lokasi kejadian. Suara sang reporter yang lantang di tengah suara dengung kekacauan sebagai latarnya berkata,
“Baik. Saat ini saya sedang berada di lokasi kejadian. Telah ditemukan rambut rontok dimana-mana. Korban rambut rontok ini masuh terus bertambah..

… [speechless]

Korban, petugas… RAMBUT RONTOK?!
After all the things that happened in this country, some people think that it might be fun talking hair fall ‘disaster’ in a very similar way the real anchors talking and the real reporters reporting about earthquake or flood or tsunami.
I swear that the voices were constantly in the flat tone until the end. You just need to replace the “rambut-rontok” word to “manusia” and it would be a perfect bad news.
It was really really reaaaaally not funny at all!
Don’t they have any relatives that being a real victim or read any articles about the real victim of those real disasters?

For the closing statement, this shampoo advertisement (I’m not really sure, but I think it was Sunsilk. Please correct me if I was wrong) stated a very persuasive sentence (to hate them, of course) :

Hentikan berita buruk!

At that very moment I just couldn’t help myself from saying : TAI!

Aug 13, 2007

Journey to Arab [part 2]

Mereka menyebutnya Madinnah Al-Munawarrah. Mulanya, saya tak mengerti apa maksudnya. Ya sudahlah, bukankah memang wajar kalau tiap kota punya julukan masing-masing? Seperti Bogor kota hujan, Bandung kota Kembang (beeeut…), atau Palembang kota... Pempek(??).

Saya tiba di Madinnah menjelang sore. Beruntung sekali, hotel yang saya tempati berada di depan masjid Nabawi. Saya katakan “di depan”, tapi bukan berarti tinggal ngesot untuk masuk ke dalam. Karena saudara-saudara, yang namanya masjid Nabawi itu gedaaaaa benerrrrrr.

Berbeda dengan Masjidil Haram di Mekkah yang nyaris tidak memiliki halaman luar, masjid Nabawi ini memiliki halaman yang luas. Dari pagar depan masjid hingga ke pintu masuk kira-kira berjarak sekitar 100 meter (hoho. Ini hasil perkiraan kasar saya).
Konon, kota Madinnah di masa Nabi Muhammad hijrah dulu ya masjid Nabawi ini. Dengan kata lain, kota Madinnah jaman dahulu kala sebesar masjid ini. Pada zaman khulafaur rasyidin (zaman kepemimpinan sahabat-sahabat Nabi), kota Madinnah kemudian diperluas. Seluruh kotanya dijadikan masjid, dan sekitarnya, ya dijadikan kota. Terbayang kan bagaimana besarnya masjid ini?

Begitu sampai, saya sudah tak sabar ingin masuk ke dalamnya. Kabarnya, masjid ini tergolong mewah. Benar saja. Belum juga masuk, saya sudah terkagum-kagum dengan pintunya. Pintu kayu besaaaar dengan ukiran berlapis emas. Masuk ke dalam, semua ruangan full AC. Ini juga yang membedakannya dengan Masjidil Haram yang lebih terkesan terbuka sehingga mungkin meskipun ada AC, jadi tidak telalu terasa.

Sudah ber-AC, lantainya marmer pula, jadilah masjid ini menjadi tempat yang sejuk sekali. Tidak kalah dengan Masjidil Haram, di masjid Nabawi pun kita masih bisa menikmati air zam-zam. Di semua sudut masjid terdapat tempat-tempat air berisi air zam-zam berikut gelas-gelas plastic di sampingnya. Air zam-zam ini langsung “diimpor” dari Masjidil Haram.

Sama juga seperti Masjidil Haram, disini pun terdapat petugas-petugas keamanan yang mengecek tiap pengunjung yang masuk. Dan karena di masjid Nabawi ini tempat laki-laki dan wanita terpisah (lagi-lagi ini berbeda dengan di Masjidil Haram dimana pintu masuk antara laki-laki dan wanita tidak dipisahkan), maka yang memeriksa bagian wanita pun petugas wanita juga. Memakai pakaian hitam-hitam dan bercadar, petugas disini tampak cukup galak. Yang jelas, lebih galak daripada satpam-satpam di mal.

Keistimewaan lain dari kota Madinnah adalah karena disinilah adanya makam Nabi Muhammad saw. Di sebuah tempat di dalam masjid Nabawi yang disebut dengan Roudlah. Sebenarnya tidak tepat begitu juga sih.
Jadi begini ceritanya. Dahulunya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup dan masjid Nabawi belum segedaaaa sekarang, Nabi memiliki rumah di belakang masjid. Antara rumah Nabi dan mimbar yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk berdakwah terdapat sebuah taman. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda bahwa diantara taman-taman yang ada di surga, salah satunya adalah taman yang berada antara rumahnya dan mimbarnya. Tempat itu lah yang kemudian disebut Roudlah yang saat ini sudah menjadi bagian dari masjid Nabawi. Makam Nabi Muhammad saw sendiri tidak jauh dari situ. Karena sesuai pesannya, Nabi Muhammad saw dimakamkan di rumahnya.

Roudlah ini tidak setiap hari di buka. Hanya pada hari tertentu dan jam-jam tertentu saja. Ramenya minta ampuuuun. Uniknya, dalam menghadapi massa yang demikian banyak, pihak keamanan masjid memiliki strategi sendiri. Sebelum pintu Roudlah dibuka, pengunjung diminta berbaris sesuai dengan Negara asal masing-masing. Setelah itu barulah tiap Negara mendapatkan gilirannya masing-masing. Tapi biarpun sudah diatur demikian, tetap saja selalu ada celah hingga keadaan menjadi rusuh.

Di daerah sekitar masjid Nabawi terdapat berbagai macam toko-toko. Ada yang menjual makanan, perhiasan, pakaian, mainan, sampai toko kelontong. Kalau mau berjalan sedikit, maka ada juga pasar yang menjual barang-barang dengan harga lebih murah. Bentuknya mirip-miriplah sama Pasar Tebet yang ada di Jakarta itu. Hanya saya pasar disini tidak sesesak yang di Tebet itu. Paling tidak masih ada ruang untuk bernafas.

Saya sudah bilang kan ya kalau masjid Nabawi itu gedaaa banget? Namun, entah mengapa, ketika waktu shalat tiba, keadannya tetap menjadi penuh sesak.Membuat saya bertanya-tanya ada berapa milyar orang sih di dalam sini? Hah, berlebihan sih. Nggak mungkinlah sampai milyaran, memangnya RRC? Tapi entahlah berapa jumlahnya, pastinya banyak sekali sampai penuh.Padahal, saya kembali mengingatkan… Masjid ini kan dulunya KOTA.

Pernah suatu kali saya tarawih di masjid bersama ibu dan adik saya. Sampai selesai shalat Isya, keadaan masih terkendali. Yah, paling-paling kesikut sana sini. Maklumlah, disana saya termasuk bertubuh kecil apabila dibandingkan wanita-wanita Arab dan Afrika (yes!).
Menjelang shalat tarawih, mulailah menjadi agak ricuh. Serombongan ibu-ibu Arab tiba-tiba mengambil tempat di depan saya. Membuat saya bertanya-tanya, dimana akan saya letakkan kepala saya ketika sujud nanti? Sebelum ibu-ibu ini datang saja saya hanya punya ruang sekitar 20 cm di depan saya. Itu saja sudah membuat saya jungkir balik melipat tubuh saya yang mungil ini saat sujud atau ruku’.
Ternyata benar saja, kehadiran para ibu membuat ruang sujud saya jadi limit mendekati 0 cm. Kecuali saya gadis plastic atau pemain sirkus, rasanya hampir mustahil jidat saya ini bisa menyentuh lantai.
Maka, selesai dua rakaat pertama, saya pun berniat pindah ke belakang. Saya cari-cari ke belakang, kok tidak ada tempat juga ya? Jangankan untuk shalat, untuk berjalan saja susah. Saya pun mulai agak panik. Mana shalat tarawih ronde kedua sudah mau mulai lagi. Saya terus berjalan ke belakang, berharap menemukan sepetak tampat kosong. Nihil.
Hingga akhirnya saya terdampar di halaman. Meskipun tidak penuh, di halaman masjid pun cukup banyak orang yang shalat. Ya sudahlah, shalat di halamannya pun tak apa.

Namun justru dengan berada di belakang itu saya dapat melihat keunikan lain. Di masjid Nabawi, dalam satu malam tarawih, biasanya dibaca satu juz Al-Qur’an. Yes honey, it’ll take quite a long time. Dan saya akui memang lelah rasanya berdiri selama itu.
Nah, untuk ibu-ibu yang sedang sakit atau sudah tua atau capek, bisa melaksanakan shalat sambil duduk di bangku. Tidak hanya ibu-ibu, anak-anak maupun remaja juga ada yang demikian. Biasanya mereka sudah membawa bangku kecil dari rumah. Bahkan belakangan saya lihat di depan masjid juga ada yang menyewakan bangku-bangku itu. Disini shalat sambil duduk ternyata bukan hal aneh.

Yang paling saya syukuri dari “terlempar”nya saya ke halaman masjid adalah akhirnya saya menyadari mengapa mereka menyebutnya Madinnah Al Munawarrah. Di tengah hitamnya langit malam, lampu-lampu yang seolah terpasang di sekujur dinding masjid Nabawi bersinar terang membuat masjidnya Nabi Muhammad saw ini layaknya istana dalam dongeng.

Sebuah kota dimana terdapat makam Nabi Muhammad saw di dalamnya, bersinar dengan indahnya, Saya mengerti sekarang. Memang sungguh namanya yang pantas bagi Madinnah.

Madinnah Al Munawarrah, Madinnah yang bercahaya.


nb. hingga saat ini pun, hanya dengan mendengar kata Madinnah Al Munawarrah, masih dapat membuat pemandangan malam itu terbayang jelas dalam ingatan saya.
Subhanallah.

Jul 31, 2007

Enam Keanehan Saya

Awalnya saya nggak ngerti ini apaan. Saya hanya membaca blog Echi,tentang 6 keanehannya, yang kemudian tersambung ke blog ika yang juga menulis tentang keanehannya. Lalu saya menemukan nama saya disitu. Hmm, setelah berpikir agak keras dan lama, saya baru mengerti, ini maksudnya posting berantai ya?
Hehe...
Yah, beginilah aturannya (saya copy paste dari blog ika)

Each player of this game starts with 6 weird things about themselves. People who get tagged need to write a post of their own 6 weird things as well as state the rule clearly. In the end, you need to choose 6 people to be tagged and list their names. Don’t forget to leave a comment that says you are tagged in their comments and tell them to read your blog.

Jadi, setelah membaca enam keanehan saya, apabila Anda menemukan nama Anda berada pada list nama di bagian akhir potingan ini, Anda harus membuat sebuah postingan tentang 6 keanehan Anda. Anda bisa buat itu di blog Friendster kalau mau. Tapi buat link nya juga di comment untk postingan ini ya.

Okay, here we go...

Milo.
Saya kecanduan minuman yang satu ini. Dari kecil saya memang suka sekali susu. Dari mulai Promina, Frisian Flag, Ovaltine, Sustagen, hingga akhirnya Milo. Saya cinta mati pada yang terakhir ini.
Entah karena sugesti atau bukan, tapi kalau saya sedang merasa sedih atau bingung, rasanya akan lebih baik setelah saya minum Milo.
Saking cintanya saya sama Milo, di ulang tahun ke 21 kemarin, teman-teman saya menghadiahkan Milo pada saya.

Men
Saya tidak pernah dapat mengidentifikasi dengan jelas seperti apa selera saya untuk yang satu ini. Kadang saya bisa suka pada pertemuan pertama. Pada percakapan pertama. Saya seperti punya semacam sensor disini.
Ups, saya bilang 'kadang'? Lebih tepat kalau itu diganti 'hampir selalu'.
Selama ini, hanya dengan jalan seperti itu, seseorang bisa masuk ke dalam hati saya.
Sayangnya, jarang sekali saya merasa demikian.
Hehe. Terdengar seperti roman picisan ya?

Big Brother
Sejak kecil saya selalu ingin punya kakak laki-laki. Ya, harus seorang kakak dan harus laki-laki. Saya suka membuat imajinasi sendiri seperti apa kakak laki-laki saya (seandainya saya punya). Mungkin kapan-kapan saya harus membuat blog tentang ini.
Saya bahkan membayangkan seperti apa bentuk fisiknya, sifatnya, hobinya, penampilannya, dan bagaimana sikap saya kepadanya. Am I a psycho or something?
Saya kadang menganalisa, ini ada kaitannya dengan sifat saya yang suka pada sesuatu yang tidak bisa saya miliki.

Drive Alone
Saya pernah beberapa kali menyetir mobil sendirian Bandung-Jakarta. Apakah itu aneh?
Menurut beberapa orang sih iya. Tapi kadang saya memang harus ke Jakarta saat itu juga. Dan karena memang tidak ada yang mau nebeng, maka buat apa saya buang-buang waktu menunggu teman perjalanan yang belum tentu ada?
Tentu saja, saya pun sama sekali tidak keberatan juga kalau ada yang mau menebeng.
Saya rasa, orang menilai itu aneh karena saya seorang wanita. Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Entahlah. Untungnya sih, tidak pernah ada apa-apa selama ini.
Lagipula, saya punya panutan yang lebih hebat lagi: Ibu saya, pernah menyetir Solo-Jakarta dalam keadaan hamil.

Don't Tell Me What To Do
Kecuali Anda adalah orang tua saya, dosen saya, sahabat dekat saya atau orang-orang yang memang saya mintai pendapat.
Kalau Anda memang ingin memberitahu sesuatu, tolong buat kalimat tersebut dalam kalimat tanya. Seperti,
"Bukannya lebih bagus kayak gini ya?"
Dan bukannya,
"Mendingan gini...!"
Tentu saja, untuk orang-orang yang memang saya mintai pendapat, Anda bebas dari aturan ini dan bisa menggunakan kata perintah pada saya.
Selain yang saya sebut di atas, tolong jangan uji kesabaran saya.

My Sister & I
Saya akui sekarang, kami memang aneh. Sangat luar biasa aneh apabila kami bertemu. Kami punya lagu-lagu ejekan yang kami ciptakan sendiri. Kami punya gerakan-gerakan dari masa kecil yang masih kamu ingat dan kadang kami lakukan sampai saat ini. Kami punya bahasa sendiri. Kami suka mengarang bahasa sendiri, dan anehnya kami tetap bisa saling mengerti satu sama lain. Kami suka menertawai hal-hal yang tidak lucu. Kami suka tertawa dalam nada-nada tertentu.
Kami benar-benar seperti anak berumur 5 tahun kalau sedang bermain.
Kami tumbuh dengan karakter masing-masing yang berbeda, tapi kami selalu berhasil menemukan kesamaan pada hal-hal yang prinsipil.
Kami sering bertengkar. Bahkan kadang secara fisik. Tapi detik berikutnya kami bisa tertawa bersama lagi.
Kami jarang pergi bersama, markas besar kami adalah kamar kami.
Kami punya banyak banyaaak sekali rahasia yang hanya kami bagi berdua.
She's one of the best things that ever happened to me.


Huff, selesailah tugas ini.
Berikutnya, saya ingin orang-orang ini melanjutkan postingan mengenai 6 keanehan mereka :
Nadya Fadila. Just be honest and tell the world how abnormal you are, please...
Batari Saraswati. Ya Bat, elo. Dan ga pake jaim-jaim.
M. Ardiansyah a.k.a Aldud. I know you are a psycho, but i also know that you are much more psycho than what people think about you now.
Bin Anindita Ayo Bin, sekali-kali bikin postingan nyampah gini enak juga lho. Biar orang tau lo bukan Dewa. Haha..
Principia Wardhani a.k.a Upi Kangen gue baca tulisan lo Pi!
Fibria Heliani a.k.a Ebi Ayolah bi, ditulis di blog friendster juga gapapa. Ga ada orang lain yang lebih aneh dari pada Ebi(son). Ampuuunn....

Buat yang nggak ngelanjutin postingan ini, traktir gue yak! Hwahahahahahaha,,,

Jul 27, 2007

to be or not to be... truthful?

to be or not to be… truthful ?

Semua orang pernah berbohong, kecuali mungkin para Nabi.Paling tidak satu kebohongan kecil seperti ketika ada orang yang bertanya pendapat Anda mengenai tubuhnya yang gemuk lalu Anda berkata “Hmmm… nggak juga kok.” Atau ada orang yang bertanya apakah baju yang dipakainya tampak bagus, dan Anda menjawab,”Hmm.. bagus-bagus aja kok..”.

Saya?

Waw, saya sudah pernah melakukan banyak kebohongan. Haha. Dan bukannya saya bangga dengan itu juga sih. Hehe.
Percaya deh, dalam lubuk hati saya yang terrrrrrdalam sana, saya masih menyisakan sebuah ruang untuk kejujuran.

Karena katanya, kejujuran itu selalu yang terbaik bukan?

Namun, di jaman sekarang ini menjadi jujur kadang menjadi hal yang aneh. Seorang teman saya sempat sedikiiiit berantem dengan pacarnya akibat pacarnya tidak membalas pesannya. Dan ketika teman saya itu mengadu pada saya, maka saya katakan “Ya udahlah, mungkin lagi sibuk aja kali atau dianya emang dodol aja. Nyebelin sih, tapi coba aja lo ngalah dulu..”

Nasihat yang saya pikir sudah cukup bijak itu mendapat tanggapan, “Min, gue justru ga mau masalah yang ada tuh ditumpuk-tumpuk terus. Daripada dipendem-pendem trus nantinya meledak? Kalo emang gue ga cocok sama dia kan mendingan taunya sekarang. Kalo emang nantinya bakal putus kan mendingan sekarang daripada tahun depan. Toh ujung-ujungnya sama….”

Saya sedang mencerna kata-kata sebelumnya ketika kemudian teman saya berkata lagi, “…kan elo Min yang bilang gitu ke gue.”

Ups. Oh ya? Samar-samar saya ingat percakapan beberapa bulan lalu antara saya dan teman saya.

Punya masalah itu jangan dipendam-pendam dan dibiarkan menumpuk. Selesaikan saja begitu masalah itu muncul. Kalau memang tidak suka, jangan pura-pura suka. Jangan pura-pura sesuatu itu nggak apa-apa kalau sebenarnya apa-apa. Dan jangan takut untuk berbeda pendapat bahkan untuk berantem. Karena kalau pun hari ini bisa menahan diri untuk nggak berantem, toh suatu hari pertahanan itu akan jebol juga dan akan berantem juga.
Sebenarnya, semakin banyak perbedaan pendapat yang dilalui, seharusnya jadi semakin mengerti satu sama lain. Pastinya, akan ada kemungkinan putus waktu berantem itu. Tapi paling tidak, Anda diputuskan dengan menjadi diri Anda sendiri. Menurut saya, itu lebih baik daripada tidak putus, tapi juga tidak menjadi diri sendiri. Kalau memang nggak cocok, ujungnya pasti putus. Dan kalau pasti putus, lebih baik putus hari ini daripada putus tahun depan.

Ups. Ups. Iya, saya ingat sekarang kalau saya pernah berkata begitu pada teman saya ini. Dan ternyata dia lebih ingat kata-kata saya daripada saya sendiri.

Tentu saja mudah bagi saya mengatakan itu karena saya tidak sedang terlibat hubungan dengan siapapun. Saya tahu, kadang tidak mudah mengkonfrontasi orang yang kita sayang. Dalam kata lain, tidak mudah menjadi jujur pada orang yang kita sayangi tentang diri kita yang sebenarnya. Karena itu, saya angkat dua, tiga bahkan empat jempol pada teman saya ini. Karena dia sudah berani mempertaruhkan hubungannya demi menjadi jujur pada pacarnya.

Bahkan saya pun, seperti telah saya katakan di atas, sudah sering sekali melakukan kebohongan.

Saya bilang telor buatan Mama saya rasanya “enak-anak aja..” padahal sebenarnya keasinan.
Saya bilang baju yang dipakai teman saya keliatan oke, padahal sebenarnya saya sudah capek melihatnya mencoba selusin lebih baju.
Saya bilang potongan rambut adik saya “lumayan…” padahal sebenarnya potongan itu membuat rambutnya terlalu mengembang seperti singa.
Saya bilang baretan di belakang mobil karena ditrabrak dari belakang padahal sebenarnya saya yang menabrak mundur mobil yang sedang diparkir.
Saya bilang pada Mama saya sudah tidak punya uang padahal saya masih punya 50 ribu terlipat rapi dalam dompet.
Dan banyaaak banyaaak sekali saya TIDAK bilang apa-apa ketika sebenarnya saya ingin mengatakan apa-apa.

Bagian terburuk dari berbohong adalah membiarkan orang lain mengenal saya tidak seperti saya yang sebenarnya. Mungkin tidak masalah bila orang-orang itu bukan orang-orang terdekat saya. Tapi menjadi masalah ketika orang-orang itu adalah orang tua, sahabat, saudara, atau pacar saya.

Siapa sebenarnya yang mereka sayangi?
Saya atau tokoh rekaan saya?
Dan mengapa pula saya sampai mereka-reka tokoh? Karena di dalam suatu tempat pada diri saya ada suatu ketidak percayaan diri atas diri saya yang sebenarnya. Maka saya merasa perlu menutupi bagian itu dengan berbagai kebohongan.

Keadaan akan kelihatan semakin ruwet jika orang-orang yang saya sayangi ternyata juga merupakan tokoh rekaan. Bagaimana jadinya kalau ternyata semua orang yang saya kenal sebenarnya juga merupakan rekaan dari tokoh aslinya?
Hwaduh, gawat pisan..

Apakah semua orang sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan?
Apakah semua orang sudah tidak mengatakan hal-hal yang tidak ingin dia katakan?
Apakah semua orang tidak lagi merasakan ada pertentangan batin dalam dirinya?
Apakah semua orang sudah benar-benar merasa nyaman pada dirinya?

Manurut saya, akan selalu ada suatu celah bagi manusia untuk berbohong. Pertanyaannya adalah sejauh mana ia mampu mempertahankan ke-orisinilitas-an dirinya agar kebohongan-kebohongan itu tidak membentuknya menjadi tokoh yang berbeda.

Bahkan ketika Anda membaca tulisan ini, Anda tidak tahu kan apakah pemikiran ini berasal dari saya yang asli atau sekedar tulisan yang saya buat agar Anda berpikir bahwa saya memiliki pemikiran ini. ;)


Nb. Tentang kisah teman saya tadi, untung nya berakhir bahagia. Sang pacar akhirnya meminta maaf, dan mereka pun hidup bahagia hingga saat tulisan ini selesai dibuat.

Jul 11, 2007

It's Called MANHOOD (Verse 1)

Pagi ini saya dan seorang teman terlibat pembicaraan penting mengenai mana yang lebih baik, pacar posesif atau pacar cuek?
Untuk memperoleh jawaban yang valid dan akurat, maka kami melakukan analisa dan estimasi tentang masing masing tipe.
Silakan anda simak dan cermati kedua tipe ini.


VERSI 1 : PACAR POSESIF

tahap 1 : Laporan tiap hari pergi sama siapa, kemana, kapan pulang, makan apa, naik angkot apa. Masih dalam tahap normal.

tahap 2 : Semua isi phonebook lo di HP tiba2 ada di HP dia juga. Tak terkecuali juga nomor guru SD yang sudah lama ga ketemu. Sudah masuk ke tahap membingungkan.

tahap 3 :diberi jam malam, hanya boleh pergi dengan si A, B, C. Mulai semakin membingungkan.

tahap 4 : hanya boleh keluar rumah untuk KULIAH dan MENGERJAKAN TUGAS. pulang kuliah langsung dijemput di depan kelas, dikawal sampai mobil dan ditungguin di depankamar kos biar ga kabur. Mulai meresahkan

tahap 5 : hanya boleh sms atau telepon ke dia, mama, dan papa. Selain orang2 tadi, harus dengan seijinnya. Mulai sangat meresahkan.

tahap 6 : tidak boleh ngomong sama cowok lain selain dia, kecuali papa atau saudara kandung. kalo lagi ga sama dia mesti pake cadar. mulai berpikir untuk kabur.

tahap 7 : tiba-tiba disekap dalam ruangan tertutup. diikat biar ga bisa kemana2. si doi memandangi dengan tatapan penuh kekaguman sementara lo setengah mati ketakutan. Mulai berpikir untuk ga terlahir di dunia ini.


Untuk melihat versi kedua, klik disini.

Mana yang anda pilih? Ingat, teliti sebelum memacari!

Jul 5, 2007

Jakarta Jakarta


Akhir minggu kemarin saya jalan-jalan ke Plaza Senayan. Hanya saja, saya kesana tidak dengan mobil, nebeng teman, atau pun naik taxi. Dari rumah saya di kawasan Jakarta Timur-mepet-Bekasi, saya ngangkot ke PS.
Mungkin bukan hal besar bagi beberapa orang. Tapi jujur saja, itu kali pertama saya ke PS dengan bus kota.

Ini bermula dari kedatangan seorang teman lama saya, sebut saja Ono, dari Singapore. Si Ono ini sudah 3 tahun kuliah di Singapore. Dia hanya kembali ke Indonesia pada musim liburan seperti sekarang ini. Seharusnya kami pergi bertiga, namun teman saya yang satu lagi membatalkan keikutsertaannya dengan alasan yang tidak jelas (hehe..). Jadilah saya ber"kencan" dengan Ono.

Bukan "kencan"nya yang menjadi masalah. Tapi karena pada hari itu, baik mobil saya maupun mobilnya (a.k.a mobil orang tua kami), tidak ada yang bisa dipakai. Maka saya menumpukan harapan pada teman saya yang seorang lagi yang kemudian, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, membatalkan keikutsertaannya.

Jadwal saya sudah kepalang kosong. Hati ini juga sudah telanjur ingin nonton film. Entah karena kasihan pada saya atau dia pun juga merasakan hal yang sama, akhirnya Ono pun mengusulkan untuk tetap pada rencana semula. Hanya saja kita akan kesana naik bus.

Meskipun sesungguhnya saya ingin nonton di Djakarta Theater yang konon telah berubah wujud menjadi sangat lux itu, namun atas nama jarak yang jauh maka kami terpaksa membelokan tujuan ke Senayan.
Senayan City adalah tujuan kami. Ono kan belum pernah kesana. Ya, maka diputuskan kami akan nonton di Plaza Senayan dan makan di Senayan City.

Pertama akan saya jelaskan dulu mengapa saya pilih Plaza Senayan. Konon, menurut salah seorang teman saya, harga nonton disana sekarang sudah murah. Hampir sama dengan di Plaza Semanggi. Atas alasan ini saya pun mengompori Ono untuk pergi ke Plaza Senayan.

Tak apalah naik bus. Kan bule-bule di luar negeri juga kemana-mana naik bus. Demikian hati saya menghibur.

Berhubung Ono tidak tahu rumah saya yang baru, maka jadilah kami janjian di McDonalds Kalimalang jam 12 (entah disambet setan apa kami bisa memutuskan untuk bertemu di tengah siang bolong di Jakarta yang super panas ini). Saya tiba disana persis jam 12 teng.

Maka dimulailah perjalanan kami, dua anak muda yang sok tahu jalan, menyusuri Jakarta. Jeniusnya, "kami" telah mempersiapkan peta. Maklumlah, saat ini kami tidak berdomisili di Jakarta. Saya di Bandung, dan Ono di Singapore. Alasan tersebut yang kemudian kami jadikan pembenaran atas kebutaan kami (khususnya saya ini) akan jalan di Jakarta.

Dengan mulus kami naik angkot M19 sampai Cawang. Disini kami mulai bertanya-tanya, "lewat Senayan ga mas?", "lewat Senayan ga pak?". Koreksi, Ono yang bertanya. Saya hanya memperhatikan. Oh Tuhan, betapa MT nya saya! hehe..

Maka setelah beberapa dijawab dengan gelengan kepala, akhirnya seorang kenek bus menjawab, "ya, ini satu-satu nya yang lewat Senayan". Saya masuk ke dalam bus dengan girang.

Duduk di jok bus yang agak reot, dengan angin yang cukup kencang menerpa dari jendela, disertai iringan suara pengamen yang bercampur dengan deru mesin membuat saya sepenuhnya sadar : Ini Jakarta.
Buat saya lambang Jakarta bukan Monas. Melainkan suasana bus ini.

*

Saya heran, kenapa ya fasilitas umum yang ada di Jakarta tidak bisa dalam keadaan baik. Ini seperti pertanyaan retoris, tapi saya memang tidak mengerti.
Kenapa negara lain bisa punya Metro, atau S-Bahn, atau Trem yang bersih dan terawat, sementara kita tidak?
Budayanya kah? Hukum nya kah? Saya tidak mengerti.

Ketika saya mengunjungi negara lain, ada perasaan : rasanya pengen deh tinggal disini.
Tapi kok, rasanya agak seperti pengkhianat ya? Saya bukan orang yang nasionalis. Tapi kalau semua orang yang pintar dan mampu pindah ke luar negeri semua, siapa yang mau bikin subway di Jakarta?
Atau mungkin bikin subway di Jakarta memang nggak penting kali ya?
Tapi percaya deh, di siang itu, seandainya ada subway di Jakarta saya akan sangat berterimakasih sekali pada pembuatnya. Kalo dia sudah meninggal, akan saya doakan semua amal ibadahnya diterima. Amin.

*

Kembali ke kisah saya dan Ono, setelah sempat pindah bus, sedikit nyasar dan celingak celinguk, akhirnya sampailah kami di Plaza Senayan.
Segera saja saya mereguk kesegaran AC sebanyak-banyaknya. Kita lihat saja dulu jadwal filmnya, jadi bisa diperkirakan mau makan dimana. Demikian niatnya.

Saya memang sudah lama sekali tidak ke PS. Karena menurut saya barangnya mahal-mahal. Mau beli apa saya disana?

*

Orang bilang mahal itu relatif. Buat orang yang punya uang 10 miliar, mungkin 1 atau 10 juta jadi tidak ada artinya. Mungkin benar juga.

Kaya dan miskin pun juga jadi relatif. Tergantung bagaimana lingkungan sekitar. Ada kalanya saya merasa miskin, ada juga saatnya saya merasa kaya. Saya punya teman yang memakai tas Anya (menurut pemiliknya sih asli...) yang harganya sekian juta untuk tas sehari-hari. Sehari-hari artinya tas yang digunakan untuk jalan-jalan santai ke depan kompleks atau ke mini market. Ketika saya berada di lingkungan ini, maka saya akan merasa miskin.
Tapi saya juga punya teman yang tas nya tidak ganti-ganti selama bertahun-tahun. Digunakan untuk segala acara. Di saat seperti ini, saya merasa bersalah karena pernah merasa saya ini miskin.

Suatu kali, di desa nenek saya di Tegal, saya pernah mengunjungi rumah bekas pembantu saya. Rumahnya adalah bekas kandang sapi. Luasnya sekitar 4x4 meter. Dengan satu tempat tidur reot ukuran Queen. Lantainya masih tanah. Disana bekas pembantu saya tinggal bersama suami dan keempat anaknya yang kurus-kurus. Bagaimana tidak kurus kalau susu yang mereka minum saja sangat cair. Warna susu yang mereka minum tidak pekat seperti yang biasa saya minum. Bukannya 4 sendok susu dicampur segelas air, mereka hanya minum segelas air yang dicampur setengah sendok susu. Komposisi ini jelas hanya menghasilkan warna air yang agak butek.
Maka di saat itu saya merasa menjadi orang paling tidak tahu terimakasih sedunia karena pernah merasa miskin.

Saya mungkin mampu membeli kaos seharga 100 ribu. Tapi kalau dipikir, 100 ribu itu bisa untuk membiayai 2 bulan biaya sekolah adik asuh, atau 100 ribu itu bisa untuk membeli 3 kotak susu, kok rasanya tetap jadi mahal ya?

*

Atas alasan kemahalan itulah saya jarang bertandang ke Plaza Senayan. Tapi toh hari itu saya sampai juga disana. Segera saja saya dan Ono menuju ke bioskopnya yang ternyata letaknya sudah sedikit bergeser. Dengan bersemangat kami melihat jadwal film. Memilih-milih dan menetapkan akan nonton Fantastic Four yang main jam 15.40 wib. Sayang, saya tidak bisa menemukan keterangan harga tiketnya. Melihat suasana bioskop yang lux, saya mulai khawatir jangan-jangan masih mahal?

Setelah celingak celinguk sana sini, akhirnya kami bertanya pada petugasnya.
Berapa ya?
50 ribu.
Hooooo.... apanya yang sama dengan Plaza Semanggi!! Maka atas alasan kemahalan (dan mengapa saya sebut itu mahal telah dijelaskan sebelumnya), maka kami mengurungkan niat nonton di PS.

Alhasil, setelah makan siang di foodcourt, kami menuju ke Plaza Semanggi. Mengabaikan informasi dari teman saya bahwa di Semanggi hanya diputar Transformer.

Namun sebelumnya kami shalat dulu di PS. Jujur, saya belum pernah menggunakan mushalla PS yang konon bagus itu. Dan ternyata si konon memang benar. Mushallanya bagus, bersih dan nyaman.

Kemudian kami pun ke Semanggi naik bus. Sayang, kali ini kami tidak kebagian tempat duduk. Sampai di Semanggi kami segera mengecek ke 21. Teman saya salah. Ada 2 film diputar di 21 Semanggi: Transformer dan Die Hard 4.0. Sayangnya, Die Hard itu untuk midnight! Sedangkan Transformer sudah saya tonton.

Halah halah. Kalau tadi di PS saya tidak jadi nonton karena percaya omongan teman saya, maka di Semanggi saya tidak jadi nonton karena tidak percaya omongan teman saya.

Ya sudah, tidak jadi nonton, kami ke Gramedia saja. Buat saya Gramedia itu cukup menghibur karena bisa curi-curi baca tanpa membeli. Hehehe..

Setelah berputar-putar beberapa saat di Gramed, maka kami pun putuskan untuk pulang. Sebelumnya, kami shalat dulu. Dari mushalla PS yang super, mushalla Plaza Semanggi pun jadi terlihat agak kumuh.
Sebagai seorang muslim yang menggunakan fasilitas tersebut, otomatis saya jadi merasa lebih dihargai di Plaza Senayan.

*

Kadang saya suka kesal ketika menemukan sebuah tempat yang mewah hanya mampu menyisakan ruangan 2x3 meter untuk keperluan shalat. Ditambah suasana yang pengap, bikin saya ingin cepat-cepat keluar. Mushalla menjadi suatu tempat yang seadanya saja lah. Yang penting ada.

Padahal, bukannya mayoritas penduduk Indonesia itu Islam ya? Apa karena ekberadaan mushalla itu tidak dapat memberikan profit secara langsung ya?

Padahal, seperti Plaza Senayan yang men'service' pengunjungnya dengan mushalla yang nyaman, hal itu sudah pasti akan menjadi nilai plus tersendiri. Kan, jadi ada perasaan diakui. Iya nggak, sih?

*

Hari menjelang malam ketika saya dan Ono keluar dari Plaza Semanggi. Dari pintu Semanggi saya dapat melihat pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langit dan jalan layang yang dipenuhi mobil. Di saat seperti ini, Jakarta terlihat tak ada bedanya dengan Berlin. Kalau begini, mungkin benar juga kata Ono. Dia bilang, orang luar melihat Jakarta atau Indonesia sebagai bangsa yang cukup kaya dan kuat. Lihat saja berapa gedung pencakar langit yang ada di Jakarta. Berapa ribu mobil yang berlalu lalang tiap jam nya. Bukan sembarang mobil lama seperti yang banyak ada di Ethiopia. Tapi mobil-mobil keluaran baru. Yang harganya ratusan juta itu. Kata Ono lagi, mungkin mereka tidak tahu saja bagaimana kondisi bus kota kita.

Akhirnya, atas desakan saya yang sedang rewel dan manja, maka kami pulang dengan menggunakan taksi. Saya sudah capek keliilng kota pakai bus. Mau naik taksi saja biar cepat sampai.

Jun 29, 2007

What They Said About My Love Life

" You're rational, collected, and logical.
Generally, it takes you quite a while to fall in love.
In fact, you've even been accused of being very picky.
While you're cool, you're not ice cold.
You just know what you want, and don't mind waiting to get it."

well, at least i dont have to pay an expert to tell me this. it's free from an "online doctor".
for people who have "why dont you have a boyfriend yet?" question, this might be an answer.

i hope all of you are satisfied. :)

for those old times sake!

Benda kecil berwarna biru yang merupakan mainan baru Beni itu bertuliskan Nintendo. Memang sekarang kesannya sudah jauh lebih canggih dibanding Super Nintendo kepunyaan saya dulu. Nintendo-nya Beni bentuknya kecil. Mirip Gamewatch, ukuran pocket. Punya gue dulu besarnya kayak telepon rumah hanya saja lebih tebal lagi. Harus dicolokin ke TV supaya bisa dimainkan.

Nintendo ini kemudian me-retrieve ingatan gue tentang semua mainan dan "fashion" jaman gue masih anak2. Berikut daftarnya :

1. Lompat tali atau biasa disebut Main Karet
Wajib hukumnya untuk bisa (paling nggak begitu di SD gue) buat anak perempuan. Lompat tali ini ada macam2, ada bawah dan atas. Main atas berarti seperti lompat tali biasa, kalo bisa melewati batas tertentu, maka talinya dinaikkan. Ada batas ipis, pinggang, dada, leher, kuping, kepala, sampe merdeka. Kalo main bawah berarti karetnya disambung dan dibuat dua jalur trus kita mesti melakukan gerakan tertentu yang terlalu sulit dijelaskan disini,
Sementara anak laki-laki lebih suka mainan tak beradab bernama Bola Gebok. Mainan ini sangat amat tidak berotak dan tidak beradab. Karena intinya hanya main genok2an pake bola tenis. Yang bikin sebal, untuk main Bola Gebok ini, mereka menggunakan sebagian besar lapangan. Udah gitu bola tenisnya suka nyasar2 ke tempat anak2 perempuan main lompat tali. Dan setelah main bola gebok di jam istirahat, biasanya pas masuk kelas, kelasnya jadi bau dan pengap mampus. Ah, pokoknya gue benci banget Bola Gebok. Namanya aja gak bonafid!

2. In Line Skate, California PRO
Entah kenapa California PRO. Pokoknya In Line Skate gue dan temen2 gue semuanya bermerek California PRO. Sebenernya sih gue ga bisa2 amat. Justru gue agak takut jatuh. Tapi namanya juga tren. Kalo main di kompleks rumah gue yang jalannya aspal kasar gitu, jadinya badan ini bergetar semua. Pernah nih, lagi main In Line Skate sama sepupu gue, tiba2 ada anjing ngejar. Terbirit2lah kita kabur. Sialnya, pagar rumah gue dikunci. Mbaknya dipanggil2 ga muncul juga sementara di anjing udah semakin dekat. Jadilah gue manjat pagar dengan masih pake In Line Skate. Kebayang ga susahnya?
Tapi gue lebih beruntung karena waktu itu gue bisa nglompatin pagar dengan sukses sementara sepupu gue In Line Skate nya nyangkut di pagar jadi dia nangis sambil digonggongin anjing selama sekitar 5 menit. Mwahahhahaha... gue mau ngakak kalo inget itu.

3. Doc Marten
Bener ga suh tulisannya kayak gitu? Pokokya itu sepatu model boot tentara warna item yang sempet ngtren banget jaman gue SD. Padahal sih makenya berat tapi entah kenapa orang pada suka. Termasuk gue. Sayangnya, sepatu Doc Marten itu (entah asli apa palsu), ilang! Ilangnya di rumah lagi. Gara2 gue taro di garasi. Mau nangis rasanya waktu itu.

4. Kertas File, Stiker, dan Kartu Sailormoon
Sumpah, ini koleksi ga penting banget! Belinya juga di abang2 depan sekolah. Tapi gue pun ketika itu terpedaya dan mengoleksi mereka semua.

5. Sepatu Nyala
Nyala tuh bukan merek. Tapi sebutan gue untuk sepatu yang bawahnya bisa nyala kalo diinjek. Menurut gue sih ga keren. Ditambah adanya kabar burung bahwa lampu di bawah kaki itu bisa menyebabkan kanker (yang bodohnya gue percayai). I was not fall for this one.

6. Baby G atau G Shock
Jam2 model digital itu lah yang warnanya macem2. Sorry, I was not fall for this one also..

7. Tamagochi
Nah, kalo yang ini gue demen. Tamagochi gue dulu warnanya kuning, sialnya ga bisa disilent. Jadi ga bisa gue bawa ke sekolah. Ga tau deh dia udah mati berapa kali. Pernah juga bokap gue beliin tamagochi yang bagus. Yang jenis hewannya bisa dipilih. Tapi entah kenapa waktu itu, gue dan adik gue bikin bokap gue marah. Dan sang tamagochi bagus itu harus menjadi korban tenggelam akibat dilempar sama bokap gue ke kolam ikan. hiks..

8. Super Nintendo
I was desperately in love for this one. Orang2 lain mungkin punya merek lain seperti SEGA atau apalah gue ga ngerti. Kalo gue, sepupu gue sama adik gue (bukan yang paling kecil tapi) udah main, bisa seharian banget. Sampai saat ini gue selalu menganggap adik gue itu sebenernya jenius gara2 dia jagi banget main Nintendo. Gue percaya Nintendo itu mengasah kreativitas dan IQ (yes, i do believe it!).
Noraknya, gue, adik gue dan sepupu gue punya sebutan untuk orang yang paling jago main Nintendo dalam seminggu. Sebutannya Raja Nintendo (waaaak, norak banget ya???!).
Dan gue, jarang banget bisa jadi Raja Nintendo. Payah...
Main Nintendo kita berhenti karena akhirnya Nintendonya rusak. Tau kan kalo buat main Nintendo ada Adaptor yang mesti disambungin listrik? Nah, karena saking kelamaannya kita main, adaptor itu akhirnya korslet. Atau dalam bahasa kita waktu itu, "Adaptornya meleleh...". Bubye Nintendo...

Itu permainan2 dan tren2 di masa SD. Di masa SMP, tren2 lain pun bermunculan. seperti :
1. Rok ketat
Pendek sih sih ga terlalu. Tapi Ketatnya itu lhooo... sampe kayaknya bikin susah bergerak. Waktu SMP sih gue ga termakan tren ini. Tapi waktu SMA, kelas 2, yaa... bolehlah rok agak pendek sedikiiiiit (paaaas sekali di lutut), dan sedikiiiiit ketat (ini sih akibat gue yang menggendut.

2. Baju ketat
Waktu SMP pun gue ga termakan juga saa tren ini. Lagi-lagi waktu SMA, bukannya baju ketat, cuma pas di badan aja kok.

3. Kaus kaki panjang
Menurut gue waktu SMP dulu, ini norak banget. Kayak orang idiot! Tapi, lagi2 gue harus menjilat ludah sendiri pas SMA.

4. Handuk
Nah, yang ini sih memang norak untuk selamanya. Sejak kapan nenteng handuk kecil bisa jadi mode? Heran deh!


huuuuufff......
what a long time ago.
suatu saat nanti, mungkin 10 tahun lagi, gue juga akan ngeliat foto-foto gue di tahun 2007 pakai jeans straight cut dan bilang "ya ampun, norak banget sih gue dulu?!"

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...