Jul 5, 2007

Jakarta Jakarta


Akhir minggu kemarin saya jalan-jalan ke Plaza Senayan. Hanya saja, saya kesana tidak dengan mobil, nebeng teman, atau pun naik taxi. Dari rumah saya di kawasan Jakarta Timur-mepet-Bekasi, saya ngangkot ke PS.
Mungkin bukan hal besar bagi beberapa orang. Tapi jujur saja, itu kali pertama saya ke PS dengan bus kota.

Ini bermula dari kedatangan seorang teman lama saya, sebut saja Ono, dari Singapore. Si Ono ini sudah 3 tahun kuliah di Singapore. Dia hanya kembali ke Indonesia pada musim liburan seperti sekarang ini. Seharusnya kami pergi bertiga, namun teman saya yang satu lagi membatalkan keikutsertaannya dengan alasan yang tidak jelas (hehe..). Jadilah saya ber"kencan" dengan Ono.

Bukan "kencan"nya yang menjadi masalah. Tapi karena pada hari itu, baik mobil saya maupun mobilnya (a.k.a mobil orang tua kami), tidak ada yang bisa dipakai. Maka saya menumpukan harapan pada teman saya yang seorang lagi yang kemudian, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, membatalkan keikutsertaannya.

Jadwal saya sudah kepalang kosong. Hati ini juga sudah telanjur ingin nonton film. Entah karena kasihan pada saya atau dia pun juga merasakan hal yang sama, akhirnya Ono pun mengusulkan untuk tetap pada rencana semula. Hanya saja kita akan kesana naik bus.

Meskipun sesungguhnya saya ingin nonton di Djakarta Theater yang konon telah berubah wujud menjadi sangat lux itu, namun atas nama jarak yang jauh maka kami terpaksa membelokan tujuan ke Senayan.
Senayan City adalah tujuan kami. Ono kan belum pernah kesana. Ya, maka diputuskan kami akan nonton di Plaza Senayan dan makan di Senayan City.

Pertama akan saya jelaskan dulu mengapa saya pilih Plaza Senayan. Konon, menurut salah seorang teman saya, harga nonton disana sekarang sudah murah. Hampir sama dengan di Plaza Semanggi. Atas alasan ini saya pun mengompori Ono untuk pergi ke Plaza Senayan.

Tak apalah naik bus. Kan bule-bule di luar negeri juga kemana-mana naik bus. Demikian hati saya menghibur.

Berhubung Ono tidak tahu rumah saya yang baru, maka jadilah kami janjian di McDonalds Kalimalang jam 12 (entah disambet setan apa kami bisa memutuskan untuk bertemu di tengah siang bolong di Jakarta yang super panas ini). Saya tiba disana persis jam 12 teng.

Maka dimulailah perjalanan kami, dua anak muda yang sok tahu jalan, menyusuri Jakarta. Jeniusnya, "kami" telah mempersiapkan peta. Maklumlah, saat ini kami tidak berdomisili di Jakarta. Saya di Bandung, dan Ono di Singapore. Alasan tersebut yang kemudian kami jadikan pembenaran atas kebutaan kami (khususnya saya ini) akan jalan di Jakarta.

Dengan mulus kami naik angkot M19 sampai Cawang. Disini kami mulai bertanya-tanya, "lewat Senayan ga mas?", "lewat Senayan ga pak?". Koreksi, Ono yang bertanya. Saya hanya memperhatikan. Oh Tuhan, betapa MT nya saya! hehe..

Maka setelah beberapa dijawab dengan gelengan kepala, akhirnya seorang kenek bus menjawab, "ya, ini satu-satu nya yang lewat Senayan". Saya masuk ke dalam bus dengan girang.

Duduk di jok bus yang agak reot, dengan angin yang cukup kencang menerpa dari jendela, disertai iringan suara pengamen yang bercampur dengan deru mesin membuat saya sepenuhnya sadar : Ini Jakarta.
Buat saya lambang Jakarta bukan Monas. Melainkan suasana bus ini.

*

Saya heran, kenapa ya fasilitas umum yang ada di Jakarta tidak bisa dalam keadaan baik. Ini seperti pertanyaan retoris, tapi saya memang tidak mengerti.
Kenapa negara lain bisa punya Metro, atau S-Bahn, atau Trem yang bersih dan terawat, sementara kita tidak?
Budayanya kah? Hukum nya kah? Saya tidak mengerti.

Ketika saya mengunjungi negara lain, ada perasaan : rasanya pengen deh tinggal disini.
Tapi kok, rasanya agak seperti pengkhianat ya? Saya bukan orang yang nasionalis. Tapi kalau semua orang yang pintar dan mampu pindah ke luar negeri semua, siapa yang mau bikin subway di Jakarta?
Atau mungkin bikin subway di Jakarta memang nggak penting kali ya?
Tapi percaya deh, di siang itu, seandainya ada subway di Jakarta saya akan sangat berterimakasih sekali pada pembuatnya. Kalo dia sudah meninggal, akan saya doakan semua amal ibadahnya diterima. Amin.

*

Kembali ke kisah saya dan Ono, setelah sempat pindah bus, sedikit nyasar dan celingak celinguk, akhirnya sampailah kami di Plaza Senayan.
Segera saja saya mereguk kesegaran AC sebanyak-banyaknya. Kita lihat saja dulu jadwal filmnya, jadi bisa diperkirakan mau makan dimana. Demikian niatnya.

Saya memang sudah lama sekali tidak ke PS. Karena menurut saya barangnya mahal-mahal. Mau beli apa saya disana?

*

Orang bilang mahal itu relatif. Buat orang yang punya uang 10 miliar, mungkin 1 atau 10 juta jadi tidak ada artinya. Mungkin benar juga.

Kaya dan miskin pun juga jadi relatif. Tergantung bagaimana lingkungan sekitar. Ada kalanya saya merasa miskin, ada juga saatnya saya merasa kaya. Saya punya teman yang memakai tas Anya (menurut pemiliknya sih asli...) yang harganya sekian juta untuk tas sehari-hari. Sehari-hari artinya tas yang digunakan untuk jalan-jalan santai ke depan kompleks atau ke mini market. Ketika saya berada di lingkungan ini, maka saya akan merasa miskin.
Tapi saya juga punya teman yang tas nya tidak ganti-ganti selama bertahun-tahun. Digunakan untuk segala acara. Di saat seperti ini, saya merasa bersalah karena pernah merasa saya ini miskin.

Suatu kali, di desa nenek saya di Tegal, saya pernah mengunjungi rumah bekas pembantu saya. Rumahnya adalah bekas kandang sapi. Luasnya sekitar 4x4 meter. Dengan satu tempat tidur reot ukuran Queen. Lantainya masih tanah. Disana bekas pembantu saya tinggal bersama suami dan keempat anaknya yang kurus-kurus. Bagaimana tidak kurus kalau susu yang mereka minum saja sangat cair. Warna susu yang mereka minum tidak pekat seperti yang biasa saya minum. Bukannya 4 sendok susu dicampur segelas air, mereka hanya minum segelas air yang dicampur setengah sendok susu. Komposisi ini jelas hanya menghasilkan warna air yang agak butek.
Maka di saat itu saya merasa menjadi orang paling tidak tahu terimakasih sedunia karena pernah merasa miskin.

Saya mungkin mampu membeli kaos seharga 100 ribu. Tapi kalau dipikir, 100 ribu itu bisa untuk membiayai 2 bulan biaya sekolah adik asuh, atau 100 ribu itu bisa untuk membeli 3 kotak susu, kok rasanya tetap jadi mahal ya?

*

Atas alasan kemahalan itulah saya jarang bertandang ke Plaza Senayan. Tapi toh hari itu saya sampai juga disana. Segera saja saya dan Ono menuju ke bioskopnya yang ternyata letaknya sudah sedikit bergeser. Dengan bersemangat kami melihat jadwal film. Memilih-milih dan menetapkan akan nonton Fantastic Four yang main jam 15.40 wib. Sayang, saya tidak bisa menemukan keterangan harga tiketnya. Melihat suasana bioskop yang lux, saya mulai khawatir jangan-jangan masih mahal?

Setelah celingak celinguk sana sini, akhirnya kami bertanya pada petugasnya.
Berapa ya?
50 ribu.
Hooooo.... apanya yang sama dengan Plaza Semanggi!! Maka atas alasan kemahalan (dan mengapa saya sebut itu mahal telah dijelaskan sebelumnya), maka kami mengurungkan niat nonton di PS.

Alhasil, setelah makan siang di foodcourt, kami menuju ke Plaza Semanggi. Mengabaikan informasi dari teman saya bahwa di Semanggi hanya diputar Transformer.

Namun sebelumnya kami shalat dulu di PS. Jujur, saya belum pernah menggunakan mushalla PS yang konon bagus itu. Dan ternyata si konon memang benar. Mushallanya bagus, bersih dan nyaman.

Kemudian kami pun ke Semanggi naik bus. Sayang, kali ini kami tidak kebagian tempat duduk. Sampai di Semanggi kami segera mengecek ke 21. Teman saya salah. Ada 2 film diputar di 21 Semanggi: Transformer dan Die Hard 4.0. Sayangnya, Die Hard itu untuk midnight! Sedangkan Transformer sudah saya tonton.

Halah halah. Kalau tadi di PS saya tidak jadi nonton karena percaya omongan teman saya, maka di Semanggi saya tidak jadi nonton karena tidak percaya omongan teman saya.

Ya sudah, tidak jadi nonton, kami ke Gramedia saja. Buat saya Gramedia itu cukup menghibur karena bisa curi-curi baca tanpa membeli. Hehehe..

Setelah berputar-putar beberapa saat di Gramed, maka kami pun putuskan untuk pulang. Sebelumnya, kami shalat dulu. Dari mushalla PS yang super, mushalla Plaza Semanggi pun jadi terlihat agak kumuh.
Sebagai seorang muslim yang menggunakan fasilitas tersebut, otomatis saya jadi merasa lebih dihargai di Plaza Senayan.

*

Kadang saya suka kesal ketika menemukan sebuah tempat yang mewah hanya mampu menyisakan ruangan 2x3 meter untuk keperluan shalat. Ditambah suasana yang pengap, bikin saya ingin cepat-cepat keluar. Mushalla menjadi suatu tempat yang seadanya saja lah. Yang penting ada.

Padahal, bukannya mayoritas penduduk Indonesia itu Islam ya? Apa karena ekberadaan mushalla itu tidak dapat memberikan profit secara langsung ya?

Padahal, seperti Plaza Senayan yang men'service' pengunjungnya dengan mushalla yang nyaman, hal itu sudah pasti akan menjadi nilai plus tersendiri. Kan, jadi ada perasaan diakui. Iya nggak, sih?

*

Hari menjelang malam ketika saya dan Ono keluar dari Plaza Semanggi. Dari pintu Semanggi saya dapat melihat pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langit dan jalan layang yang dipenuhi mobil. Di saat seperti ini, Jakarta terlihat tak ada bedanya dengan Berlin. Kalau begini, mungkin benar juga kata Ono. Dia bilang, orang luar melihat Jakarta atau Indonesia sebagai bangsa yang cukup kaya dan kuat. Lihat saja berapa gedung pencakar langit yang ada di Jakarta. Berapa ribu mobil yang berlalu lalang tiap jam nya. Bukan sembarang mobil lama seperti yang banyak ada di Ethiopia. Tapi mobil-mobil keluaran baru. Yang harganya ratusan juta itu. Kata Ono lagi, mungkin mereka tidak tahu saja bagaimana kondisi bus kota kita.

Akhirnya, atas desakan saya yang sedang rewel dan manja, maka kami pulang dengan menggunakan taksi. Saya sudah capek keliilng kota pakai bus. Mau naik taksi saja biar cepat sampai.

18 comments:

  1. Ono Rahimsrangga?

    ReplyDelete
  2. wakakakak... siapa ya? ga kennal tuhhh

    ReplyDelete
  3. hahahaha...bahkan ikram pun mengenalinya...=ppp


    "Seharusnya kami pergi bertiga, namun teman saya yang satu lagi membatalkan keikutsertaannya dengan alasan yang tidak jelas (hehe..)."
    alesan gw jelas nyooooong....gw gak bisa ikut karena JELAS-JELAS mau ngejemput orang yang JELAS-JELAS buleeee....tapi karena gak jadi, bapak gue yang JELAS-JELAS lebih berkuasa daripada siapapun dirumah ini, menetapkan supaya gw untuk menemani beliau dengan JELAS untuk memperbaiki komputernya yang JELAS-JELAS rusak!
    huh! JELAS kan???

    "Jadilah saya ber"kencan" dengan Ono."
    sit...sit..suiiittt...=ppp

    "Tapi percaya deh, di siang itu, seandainya ada subway di Jakarta saya akan sangat berterimakasih sekali pada pembuatnya. Kalo dia sudah meninggal, akan saya doakan semua amal ibadahnya diterima. Amin.
    hahaha....ini soooo...my yasmin!=)))

    "Saya punya teman yang memakai tas Anya (menurut pemiliknya sih asli...)"
    hahahah..entah kenapa itu ada sedikit komentar menurut pemiliknya sih asli, memang menurutmu tidak ya miiiin,nanti kalo orangnya baca blogmu gimanaaa????HAHAHAHAHHA....

    "Saya mungkin mampu membeli kaos seharga 100 ribu. Tapi kalau dipikir, 100 ribu itu bisa untuk membiayai 2 bulan biaya sekolah adik asuh, atau 100 ribu itu bisa untuk membeli 3 kotak susu, kok rasanya tetap jadi mahal ya?"
    again, so yasmin sekali laaa...!=)))

    "Sebagai seorang muslim yang menggunakan fasilitas tersebut, otomatis saya jadi merasa lebih dihargai di Plaza Senayan."
    =))), saya sangat setujuuuuu! hormat buat yasmin yang memperhatikan hal-hal seperti ini.

    "hormaaaaaat, grak!"

    ReplyDelete
  4. ya ampun nad, dibilangin gue ga kenal sama ONO RAHIMSRANGGA!

    hormat diterima grak!
    istirahat di tempat grak!

    ReplyDelete
  5. min..tau lo ke PS gw nitip kamus oxford bahasa prancis di kinokuniya..huhu..

    ReplyDelete
  6. kalo mau ga ketauan bikin nicknamenya mbok ya jangan yang terlalu jelas lah min..

    btw salam ya buat si rangga rahimsONO

    ReplyDelete
  7. Anonymous8:10 PM

    - seorang teman membatalkan keikutsertaannya dengan alasan yang "tidak jelas" - hahahaha modus operandi jaman dahulu sekali ya^^

    ReplyDelete
  8. Yasmin sengaja kok Pi, bikin inisial yang gampang diterka.

    Memang minta diledek dia. Cih.

    :)

    ReplyDelete
  9. Semoga komentar saya di atas tidak berpengaruh terhadap rencana pemberian oleh-oleh lighter.

    Amin.

    ReplyDelete
  10. gyahahahaha...emang tu kram, yasmin minta diejek dia!!!!
    mwahahahahaha....

    ngomong2, siapakah gerangan anonymous di atas????sungguh loooh...,itu bukan modus operandi atau modus kejahatan atau modus-a si wanita berambut ular!!!!
    begitu kira-kira komentar si pihak ketiga yang disebut-sebut itu menanggapi anda, saya mah cuma menyampaikan..
    *lalalalala....=ppp

    ReplyDelete
  11. ya ampyuuuun...
    gue seneng deh postingan ini banyak komennya.
    tapi kok komennya berhawa gosip semua sihhh??
    woi, itu dah gue tulis panjang lebar tentang jakarta kagak diperhatiin dahhh....

    kram, lighternya batal ah BATAAAL!!

    ReplyDelete
  12. min. lo ko genduuuud sih ah.

    ReplyDelete
  13. Yee jangan batal dong. Gua kan nggak meledek sama sekali (meskipun kita disini sama-sama tahu bahwa lo memang sedang minta diledek).

    Tapi kan gua diam saja Min.

    Jadi, lighter tetap ya! Asiiik.

    ReplyDelete
  14. Anonymous11:50 AM

    ah,,,jadi yang sekarang namanya Ono min???? hehehehehe.....

    komen apa ya?? gw lupa....

    oia,,,parah juga min pengetahuan loe soal ps,,,itu kan di jalan2 besar jakarta....

    dasar orang bandung.....

    ReplyDelete
  15. Anonymous4:17 PM

    jadi sekarang yasmin sama rangga? (pasang tampang blo'on)

    ReplyDelete
  16. Anonymous8:44 AM

    maksud gw bukan modus operandi-nya orang ketiga..tapi modus operandi-nya mas Ono itu lho hehehe..duh mbak nadya ini, sensi skali sih^^

    ReplyDelete
  17. Anonymous2:10 PM

    ojeknya dek?

    ReplyDelete
  18. Anonymous2:10 PM

    kemahalan Bang... Min naik bis lagi aja yuk!?

    ReplyDelete

Humor me. Drop some comment.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...