Feb 22, 2010

Logika dan Feeling

There's one thing called logic.
There's another thing called feeling.

Logika mengatakan apa yang seharusnya -sesuai aturan umum, sesuai akal sehat- kita lakukan. Feeling mengatakan apa yang ingin kita lakukan.
Dua hal ini selalu muncul tiap kali saya, dan Anda mungkin, dihadapkan pada suatu isu. Skenario terbaik adalah ketika logika dan feeling berjalan selaras. Skenario kurang baiknya, adalah ketika si logika dan feeling berpihak pada sisi yang berbeda.

Seperti ketika, misalnya, saya menunda mengerjakan TA karena saya ingin menghabiskan satu season Prison Break. Logikanya, saya tahu itu tidak seharusnya saya lakukan ketika deadline sudah mepet. Tapi, saya ingin, penasaran, tidak tenang kalau belum ketemu akhir ceritanya.

Atau, misalnya, ketika Anda tahu, logically, tak sebaiknya menelepon mantan pacar Anda tapi tetap saja Anda lakukan karena Anda tidak bisa menahan keinginan Anda.

Atau, dari pihak lain, Anda tidak jadi membeli sepatu yang sudah Anda incar, taksir dan coba karena secara logika ada pos anggaran lain yang lebih urgent.

Maksud saya, sering kali kita harus memilih antara logika dan feeling. Seperti ketika seseorang menanyakan pertanyaan dimana jawaban yang seharusnya saya berikan tidak sejalan dengan isi hati. Karena, kalau saya jawab seperti apa isi hati saya, kok rasanya egois sekali.
Padahal, mungkin apa yang ingin diketahui oleh si penanya benar-benar mengenai feeling saya, bukan jawaban ideal yang sesuai logika yang sewajarnya saya keluarkan. Mungkin dia ingin tahu apakah saya keberatan, apakah saya tidak nyaman, apakah saya kesal, apakah saya kecewa, dsb.
Kemudian, instead of mengeluarkan isi hati yang sebenarnya saya malah menjawab, "I'm fine", "nggak apa-apa kok", "no probs at all", karena itulah kata-kata yang sepantasnya diucapkan wanita dewasa dan berpikiran matang.
Lalu si penanya pun jadi berasumsi bahwa saya memang baik-baik saja, padahal sebenarnya sih saya tidak baik-baik saja.


Here's the thing.
Feeling adalah sesuatu yang berada di luar kuasa kita. Sedih, senang, marah, kecewa, hal-hal semacam itu terjadi pada kita begitu saja tanpa bisa dicegah. In my opinion, one can't be blamed for what he/she feels inside.
Yang ada dalam kuasa kita adalah respon atas feeling tersebut. Saya tidak bisa menolak rasa marah, tapi saya bisa memilih apakah ingin mengeluarkan amarah tersebut atau memendamnya. Semacam itulah.

Saya tidak mengatakan untuk menuruti feeling setiap saat. Karena saya sendiri, konon, lebih cenderung pada logika. Tapi menurut saya sih, kita perlu recognize apa yang kita rasakan akan sesuatu. Jadi kita akan punya feeling dan logika, lalu putuskan apa yang akan dilakukan.

Dan ketika seseorang bertanya pada Anda pertanyaan,
what do you want?
how do you feel?
Mungkin saja saat itu orang tersebut benar-benar ingin tahu apa yang ada di dalam hati Anda, di luar semua logika, aturan kewajaran, dan tetek bengeknya. Mungkin ia tidak sedang ingin menguji logika Anda atau kedewasaan berpikir Anda. She/he just wants to know what do you feel. Period.

Feb 6, 2010

Reading, Lately

Sudah hampir satu bulan lamanya saya membaca buku If Tomorrow Comes-nya Sidney Sheldon. Terlalu lama. Biasanya saya bisa selesaikan buku Sheldon dalam dua atau tiga hari. Satu, kalau hasrat sedang tinggi. Haha.

Padahal ceritanya menarik. Benar deh. I'll review it later. :)

Mungkin karena saat ini saya masih menyesuaikan diri dengan jadwal kerja kantoran baru saya. Lalu masih ada ReadingWalk, mencari tempat baru untuk lekker, dan les Perancis (yang makin lama makin suliiiiit. Tolooong.).

Jadi ya, saya officially punya tumpukan buku yang saya mind-labeling dengan "will be read".

Tapi ya, saya tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli buku (apalagi kalau lagi diskon. Huahahaha). Seperti yang terjadi di suatu siang, saya menemukan buku-buku impor murah, sekitar 60an ribu.
Hati saya terbelah antara buku Meg Cabot dan sebuah buku lain (lupa judulnya).
Bingung bingung bingung.

Tiba-tiba sudut mata saya menangkap sebuah buku dengan warna cover hijau stabilo (yang pada saat itu saya anggap norak). Judulnya "Honeymoon", ditulis oleh Amy Jenkins.

Lalu saya balik buku itu, dan saya baca sinopsisnya.

10 detik kemudian saya letakkan kembali novel Meg Cabot dan satu novel yang tadi menjadi pembandingnya. Lalu saya bawa novel "Honeymoon" ini ke kasir.

Thanks to sinopsis ini:
Honeymoon is about a girl who has doubts about her nice suitable man, and doubts about commitment. She still carries a torch for Alex, the Love of Her Life, someone she spent only one night with. A perfect night. A soul mate night. Seven years on, she's ambushed by Ed, a suitable young man so nice and kind there's nothing for it but to marry him. And then they go on honeymoon...
Tempting, isn't it?
This is definitely the one I am going to read after If Tomorrow Comes. :)

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...