Aug 24, 2011

Rivalry

I have been wondering something for a while: do human have tendency to set someone to be rivals for themselves?

I had a conversation about this with my girls. Of course, because we are girls so the context at that time was setting a rival in your relationship. Here are what I got:
a. When we're in a relationship we often, if not always, unconsciously pick someone to be the object of rivalry.
b. The objects could be anyone. 'Normal' choices are our partners' best friends, exes, co-workers, team mates. 'Less normal' choices: our partners' moms, sisters.

However, when the question was asked: "do you feel that this rival has the potential to steal away your significant other?", the answer is not always a "yes". It seems that we only look for the thrill of competing with other people. I know, it really sounds like we love drama. Frankly, I think we do.

Maybe it's not a sign of insecurity but only the need to fight for something. Though I must admit that I probably didn't do a good job at picking my samples. My girls are type A people. By nature they enjoy struggling for higher aims and making their lives harder than most people. Me, I am just trapped at the wrong place wrong time with these people.
Shortly, this is a non-random sampling.

So back to rivalry. Do you think we really have tendency to pick someone, anyone, to be our rivals?

Aug 19, 2011

Do you know how much I like you?




I bought your Hong Kong version and took a photo of it so that I will remember that I have once had this version.
That much!

Aug 13, 2011

Self Control

Waktu main ke rumah Eyang saya di Tegal 2 minggu kemarin, saya menemukan sebuah buku yang sudah agak tertutup debu. Judulnya, 7 Kesalahan Terbesar Orang Tua. Buku terjemahan, sayang saya tidak ingat siapa penulisnya atau apa judul aslinya. Ya, kira-kira Parents 7 Biggest Mistakes (?).

Mengingat dan menimbang bahwa:
a. Saya punya adik yang masih 9 tahun.
b. Teman-teman saya sudah mulai banyak yang beranak.
c. Saya juga bercita-cita punya anak.
Maka saya bacalah buku tersebut.

Satu bagian yang menarik ada di bagian dimana buku tersebut mengatakan bahwa salah satu kesalahan terbesar orang tua adalah terlalu sigap setiap kali anaknya bermasalah. Setiap anak jatuh langsung buru-buru digendong. Ketika anak lapar langsung segera diberi makan.
Menurut buku itu, sikap seperti ini akan membuat anak menjadi tidak punya toleransi dan kesabaran. Contohnya, seorang anak usia 5 tahun yang sehat secara emotional harus mampu menahan keinginannya selama beberapa menit tanpa menangis. Artinya ia harus bisa bersabar ketika misalnya ia ingin diambilkan biskuit di atas lemari. Ketika ia meminta diambilkan, dan orang tuanya berkata 'oke, sebentar ya. Mama selesaikan cuci piring dulu', ia semestinya dapat mengerti dan tidak menangis.

Yang menarik buat saya, ternyata kemampuan menahan diri itu salah satu tanda kematangan emosional ya..
Mungkin juga itu alasannya umat muslim diwajibkan berpuasa. Tidak hanya sekedar agar dapat merasakan lapar dan haus seperti orang-orang tidak berpunya. Tapi juga agar dapat melatih kontrol diri.

Kontrol diri menurut saya bukan hanya perkara makan dan minum. Yang lain misalnya belanja. Berapa kali saya membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu saya butuhkan dan tidak pula saya budgetkan tapi saya tidak mampu mengontrol diri untuk membelinya?
Atau mengontrol diri atas kemarahan, kesombongan, perbuatan curang. Yah, banyak lagi lah.

Kalau dipikir-pikir, di dunia ini tidak ada lagi hal yang lebih dapat kita kontrol selain tindakan kita sendiri. Dari cuaca sampai bunga cicilan, semuanya di luar kuasa kita.

Tentu ada masa-masa dimana godaan dari luar sangat kuat, sehingga seolah-olah kita kehilangan kontrol atas diri sendiri. Tapi sebenarnya tidak pernah demikian. Setiap kali menerima aksi dari luar, manusia diberi keutamaan untuk dapat selalu mengontrol apa yang akan dia lakukan sebagai reaksinya.

Jadi saya kira mungkin saja salah satu alasan mengapa umat muslim diwajibkan berpuasa adalah untuk merayakan kemuliaannya sebagai makhluk yang memiliki kontrol diri. Use it wisely. :)


Aug 8, 2011

Diet TV Commercial



First time I saw above TV commercial, I thought something was off but I just couldn't tell. Not until a couple of times later I realized, these girls choose diet drinks over pizza! And I am supposed to envy them??


First, most of the time I eat not because I am hungry but because I want to. Because I am lured to those sweet cute muffins. Because that pizza smells so good. Because this cupcake has beautiful bright color.

Therefore, second, my dream diet is when I can eat whatever I want while my body shape stays the same. I don't want my appetite dies for it is one of the luxuries in life.

So what does this commercial really want to say? It tells us that a good life is the one when you can happily refuse a slice of pizza and keep yourself full with diet meals. Maybe some people want that kind of life, I obviously don't.
I am not on diet at this moment. But if I was, I am not sure whether I want people to know about it.

Another TV commercial from the same brand shows the opposite side.




Get the tea and you can have your full meal portion back. This is what I want!


Shadow of the Pomegranate Tree

Sebagian orang mengaku malas membaca buku terjemahan. Alasan utamanya, katanya, alurnya jadi tidak lancar, pemilihan katanya tidak enak, intinya seakan-akan mendegradasi mutu asli dari buku tersebut. Harus saya akui, saya juga sih seringkali gemas membaca buku terjemahan. Terutama kalau saya habis membaca buku dalam bahasa Inggris, lalu membaca terjemahan. Rasanya sembari membaca saya terus membayangkan kata-kata aslinya dalam bahasa Inggris.

Tapi menerjemahkan itu memang sulit. Di kantor yang dulu, karena managernya kebanyakan expat, kadang-kadang saya harus menerjemahkan potongan berita yang tersaji dalam bahasa Indonesia. Masalahnya adalah menemukan kata yang sesuai dengan konteks. Berita-berita yang penting mostly related to energy or government policy. And using Google Translator is a big no no. Google Translator translates the words, not the context. As an online dictionary it is great, but it is an awful translation program. My friend used it once and no one understood what was the information about. Seringkali saya benar-benar mengubah struktur kalimatnya. Dua tiga kalimat saya gabungkan jadi satu. Habis, bahasa Indonesia yang terutama digunakan di media Internet ini sungguh seringkali redundan. Pokoknya, menerjemahkan artikel saja sulit, apalagi menerjemahkan buku. Benar-benar harus hapal cover to cover itu buku isi dan maksudnya apa. Makanya kalau ada buku terjemahan yang bagus, penerjemahnya patut dipuji.

Salah satu buku terjemahan yang baru-baru ini saya baca adalah Shadows of The Pomegranate Tree, diterjemahkan menjadi Iman dan Cinta di Bawah Bayang-Bayang Pohon Delima. Buku ini adalah bagian pertama dari pentalogi yang ditulis Tariq Ali, meskipun menurut orang yang sudah membaca buku-buku lainnya, ceritanya tidak bersambung. Hanya saja latarnya memang tentang sejarah Islam.Diterjemahkan oleh Julkifli Marbun, menurut saya hasilnya cukup memuaskan. Mengikuti gaya penulisan Ali, terjemahannya pun menggunakan kata-kata yang sedikit kuno, klasik, dan somewhat poetic. I mean, bukan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari.

Tariq Ali sendiri, menurut saya, berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat. Ceritanya disetting di Andalusia di abad 15 dengan sebuah keluarga muslim bangsawan sebagai sentral cerita.

Kisahnya dimulai di suatu malam yang dingin dimana seorang rahib Kristen memerintahkan para ksatrianya untuk membakar buku-buku umat Islam di Gharnata. Peristiwa ini kemudian menandai mulainya pergolakan di Andalusia yang pada saat itu sudah dikuasai Roma. Biarpun sudah dikuasai Roma atau Kristen sejak beberapa tahun sebelumnya, hingga momen pembakaran buku tersebut, umat Islam masih hidup dengan tenang dan damai di bawah perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Pembakaran buku tersebut yang kemudian menjadi titik baliknya.Cerita lalu bergulir tentang keluarga muslim di sebuah desa yang tak jauh dari Gharnata. Pada dasarnya buku ini menggambarkan pergolakan yang terjadi di masa tersebut.

Islam maupun para pemeluknya tidak digambarkan sebagai kesempurnaan. Kebiasaan-kebiasaan para muslim yang menyimpang di masa lalu pun digambarkan, demikian juga dengan teguhnya niat mereka untuk bertahan pada agama. Buku ini menceritakan sejarah dari sebuah sudut pandang namun tidak berat sebelah, which is good.

Buku-buku sejarah seperti ini yang membuat saya bertanya-tanya, berapa banyak waktu yang diperlukan penulisnya untuk melakukan riset? Sehingga bisa digambarkan kebiasaan yang berkembang masa itu, gaya bicara dan kata-kata yang lazim digunakan, hingga mengilustrasikan lokasinya hingga detail dinding bangunannya. Sepertinya menuliskan kata-kata hanyalah secuil dari rangkaian perkerjaan membuat buku. Sebagian besar adalah untuk riset. Thus I truly appreciate any writer who writes such book with a very deep research. Thanks to the hard work, I got to see a glimpse of another era in another world I had never seen before. I believe that great writers work just like great architects, they design every detail and plan a lot. Execution (in this case, writing) is only the last part of everything else. They must be very organized, if not very smart, people.

Harry Potter

Layaknya anak gaol ibukota yang ogah dicap ketinggalan jaman, beberapa hari setelah premiere nya di Jakarta, saya nonton potongan terakhir dari serial Harry Potter. Seperti ketika akan menonton film-film Harry Potter sebelumnya, ketika akan menonton yang terakhir ini pun saya sudah agak-agak lupa bagaimana ceritanya. Satu, sudah lama sejak saya selesai baca bukunya. Dua, makin lama cerita Harry Potter ini semakin complicated, saya sudah tak lagi hapal semua nama tokohnya. Namun seiring dengan berputarnya film, sedikit-sedikit ingatan saya akan buku tersebut tergali kembali.

Saya suka potongan terakhir film Harry Potter ini. Entahlah mengapa beberapa orang mengatakan filmnya mengecewakan. Mungkin karena tidak terlalu sesuai dengan buku? Berhubung saya lupa lupa ingat bagaimana kisah di bukunya, saya jadi tidak punya ekspektasi itu. Lagipula, sejak kunjungan saya di studio sound effect Stephen Spielberg di Universal Studio (apa ya namanya?), saya jadi lebih menghargai proses pembuatan film. Jadi menurut saya membuat film fantasi seperti Harry Potter adalah pekerjaan yang sangat sulit, maka saya apresiasi apa yang ada sekarang.

Biarpun demikian, ketika akhirnya film selesai, bukan para film makers nya yang pada akhirnya membuat saya kagum. Justru si penulis buku, JK Rowling. Harry Potter is a bunch of words written on papers. Yet she built a new world through her words. The imagination is crazy. Everyone who has read Harry Potter would have experienced holding their breath during the Quidditch match, imagining themselves in a train to Hogwarts, picturing some weird dragons illustrated in the books. Jadi pertama, imajinasi cerita Harry Potter sungguh tinggi sekali.

Tapi bukan imajinasi yang paling membuat buku ini spesial. What amazed me the most is how the writer built the story from the beginning to the very end with every detail related to each other. Saya tidak bisa membayangkan JK Rowling menulis buku pertama dan hanya membiarkan ceritanya mengalir begitu saja. Lebih mungkin kalau cerita Harry Potter ini sudah didesain dari awal sampai akhir, lalu koneksi antar detailnya dibuat dengan teliti, replicating life with its 'everything happens for a reason' concept.

Yang saya bayangkan juga adalah si penulis mempetakan setiap karakter dalam bukunya dengan sangat baik. Karakter-karakter ini pun tidak hanya konsisten tapi juga berkembang seiring dengan bertambahnya usia mereka di dalam cerita.

She created the universe, the people, the story, the rules, the possibles and impossibles. She's kinda like God in that universe.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...