Jun 15, 2012

Minamoto no Yoritomo: My Very Much Comfort Moment

It's a beautiful afternoon, a bit cloudy but you can feel a hint of warmth is lingering on your neck. You are in this nice cafe, sitting on a comfy sofa while enjoying a cup of your favorite hot drink. Your best friend, whom you haven't met for a while, is on the other side of the small round table, talking about all juicy unimportant details of her recent life. Every 5 minutes you cut and give her unhelpful and not very much related comment, but it's okay. This afternoon is not about solving anyone's problem anyway, it's only about drowning yourself in this very much comfort moment of yours. You silently wish for time to stay still or the next agenda in your schedule got canceled.

**

Rasanya pernah saya baca atau dengar kutipan seseorang "my best friends are my books", atau sesuatu yang seperti itu. Sepertinya saya paham.

Jadi begini, secara umum ada 2 hal yang menurut saya membuat pengalaman membaca sebuah buku menyenangkan:
Pertama, buku yang begitu mulai dibaca sulit untuk berhenti. Misalnya The Da Vinci Code. Rasanya seperti naik kereta ekspres ketika sedang buru-buru mau ujian (misalnya). Ingin cepat-cepat sampai, kalau bisa keretanya tidak usahlah pakai berhenti-berhenti dulu di stasiun lain. Langsung ke stasiun akhir, Mas (baca: masinis -red)!
Kedua, buku yang ketika dibaca memberikan perasaan nyaman layaknya ngerumpi dengan teman lama. Seperti waktu serial kesayangan tamat, rasanya semacam ditinggal teman. Nah, perasaan seperti ini bisa juga ditimbulkan oleh buku. Jadi ketika membaca antara ingin tahu kelanjutan cerita tapi juga cemas karena semakin dekat ke tamatnya cerita. Contoh buku seperti ini adalah Minamoto no Yoritomo.

Minamoto no Yoritomo ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Belum pernah saya baca buku Eiji Yoshikawa sebelumnya. Tidak juga buku Musashi yang amat sangat digemari orang tua saya. Malah sebenarnya saya baru sadar bahwa si penulis adalah orang yang sama dengan yang mengarang Musashi setelah saya mulai membaca beberapa bab. Bila Musashi ditulis sebaik dan sedetail Minamoto no Yoritomo, saya mengerti betul kenapa orang tua saya betah mengikuti kisah tersebut hingga tujuh jilid. 

Minamoto no Yoritomo merupakan kisah berlatar belakang Jepang di abad ke-12 ketika persaingan antar klan samurai masih ramai. Inti dari perseteruan yang diangkat buku ini adalah antara klan Minamoto dan klan Taira. Cerita dimulai dengan kekalahan klan Minamoto yang telah lama berkuasa dari klan Taira. Pimpinan klan Minamoto, Minamoto no Yoshitomo beserta pengikut, termasuk dua anak tertuanya, terbunuh. Yang tersisa adalah keempat anak Yoshitomo yang lain. Secara garis besar, buku yang merupakan bagian pertama dari dwilogi ini menceritakan tentang anak ketiga dan anak bungsu dari Yoshitomo dalam membangun kekuatan melawan klan Taira.

Membaca buku ini membuat saya serasa berada di 'my very much comfort moment'. Mungkin karena detail sejarahnya, atau karakternya, atau alur ceritanya, pada suatu titik saya seperti membangun pertemanan dengan kisahnya. Maka ketika buku selesai dibaca, rasanya sedih juga. Tapi tidak terlalu juga sih, soalnya masih ada bagian keduanya. Hehe. Ya, kalau diumpamakan dengan serial, kira-kira rasanya seperti ketika season sekarang selesai dan menunggu season selanjutnya.



Hal besar yang akan terjadi akibat perbuatannya ini tentu sudah dia pikirkan baik-baik. Klan Houjou merupakan keluarga samurai besar, begitu juga Yamaki Hangan Kanetaka. Artinya, tindakannya ini akan menyebabkan peperangan. Demi cinta, sembilan turunan akan mengangkat tombak dan mengantar para petani ke bencana peperangan. Dia bukanlah wania bodoh yang tidak mengetahui betapa mengerikannya dosa ini...

Jun 4, 2012

Escalation of Commitment


When a decision maker discovers that a previously selected course of action is failing, she is faced with a dilemma: Should she pull out her remaining resources and invest in a more promising  alternative, or should she stick with her initial decision and hope that persistence will eventually pay off?  Management scholars have documented a tendency of decision makers to escalate commitment to previously selected courses of action when objective evidence suggests that staying the course is unwise.  In these situations, decision makers often feel they have invested too much to quit and make the errant decision to “stick to their guns”.
(Kelly & Milkman)

**

Lecturer: Escalation of Commitment happens when the company’s in a bad shape, despite of the huge investment it’s already put in there, and the management reacts to the circumstances by putting more investment in hope that it’ll help the company to perform better.... It’s like a bad relationship.

Me: [laughing softly]

Lecturer: Yasmin, do you understand? Can you explain it to the class?

Me: Err, no. It’s okay.

Lecturer: No, please. Because it seems that you pick up my idea. Can you explain it to your friends?

Me: Well, it’s like when you’re in a relationship for so long, 5 years, and it doesn’t go well, but you think you’ve already put too much effort in it that you don’t want to end it.

Lecturer: And instead you get married, escalating your commitment, hoping that the problem will be solved by the escalated commitment. Exactly!


How could I pick the idea so easily? Obviously, because I’ve witnessed some of my friends do or did that to some extent. I just didn’t know there’s a term for it. And how do we know if we are in the circumstances?


Me: And how do we know if we are in the circumstances? That we shouldn’t put more investment?

Lecturer: That’s why people go to MBA, to answer that kind of question.


Isn’t making the right decision expensive?

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...