Dec 28, 2009

Menuju Ciwidey! (2)

Lanjutan dari posting sebelumnya, akhirnya saya memutuskan bahwa saya lebih sayang nyawa daripada waktu. Ketimbang berdempet-dempetan di minibus super penuh yang meliuk-liuk di jalanan pegunungan, saya lebih pilih menunggu sedikit lebih lama di bis yang cukup besar. Paling nggak kalau dua-duanya jatuh, probabilitas saya untuk tewas lebih kecil kalau saya naik bis yang lebih besar.

Naiklah saya dengan semangat 45 ke bis berwarna hijau yang sebelumnya ditunjuk oleh seseorang sebagai bis yang akan menuju Ciwidey.
Waa, bis-nya kosong melompong. Cuma ada saya, supir dan kenek. Saya baru akan duduk di bangku depan ketika si supir bilang, Neng, mau ke Ciwidey?
Iya, A'.
Naiknya bis yang depan. Yang ini masih lama jalannya.
Ehehehe. Pantesan aja kosong...

Hijrahlah saya ke bis depan. Penumpangnya baru ada beberapa orang. Masih leluasa untuk memilih tempat duduk. Saya tambatkan hati pada tempat duduk nomor 3 dari depan, soalnya nggak persis di samping jendela. Kalau persis di samping jendela ntar muka saya kena asap knalpot kendaraan lain dari luar (iyaa, saya centil).

Saya juga pilih duduk di kursi untuk dua orang, bukan tiga orang. Soalnya, kalau duduk di kursi tiga orang, saya khawatir di'jajah' sama dua orang asing lain yang akan duduk di sebelah saya (mana tau kan mereka kenal). Tapi kalau di kursi dua orang, berarti saya vs. 1 orang asing. Jadi imbang. Hehehe. So, kalau Anda bepergian sendirian dengan bis, saya sarankan pilihlah duduk di kursi untuk 2 orang!

Orang asing tersebut ternyata ibu-ibu berjilbab yang tampak baik. Dia bahkan mengajak saya mengobrol. Tapi sayang sayang, kami berbicara dalam bahasa yang berbeda. I wish I had learnt Sundanesse back when I was in college... Jadilah kami diam-diaman saja.
Selain kendala bahasa, sebenarnya saya pun mengantuk sekali sehingga saya tidak benar-benar dalam mood untuk mengobrol.

Setelah menunggu beberapa lama (entah berapa lama persisnya, tapi lamaaaa), akhirnya bis melaju juga. Hore!

Saya sempat melihat plang bertuliskan "Soreang 1x km, Ciwidey 2x km", saya lupa angka satuannya. Ooh, saya pikir, deket kok. 20an kilo itu kan paling kayak dari rumah saya ke Kebagusan, tempat saya KP dulu. Biasanya saya kesana hanya 30 menit pakai mobil.
Setupit. Ini kan bis, nggak mungkinlah mengambil rute terdekat.

Selama perjalanan saya byar-pet-byar-pet alias bangun-merem-bangun-merem. Sekali ketika saya bangun, ibu-ibu yang tadi di sebelah saya sudah pindah ke bangku depan. Kali lain saya bangun, ibu-ibu itu sudah tidak ada, bersama juga sebagian besar penumpang lainnya.

Bis pun masuk ke sebuah terminal.
Soreang Soreang, teriak keneknya.
Saya anteng saja duduk. Ini baru Soreang kok. Saya kan dari bayarnya 5 ribu untuk sampai Ciwidey. Tapi ketika semua penumpang lain turun, saya jadi panik juga.

Bertanyalah saya pada Tukang Cimol yang kebetulan di bangku seberang. Ini ke Ciwidey nggak sih, A'?
Eeh, yang ditanya malah menjawab dengan beler-beler gitu. Dasar ABG labil!
Majulah saya ke depan, bertanya pada si supir. Ini sampai Ciwidey nggak sih A'?
Iya. Ini baru sampe Soreang. Istirahat dulu, nanti baru lanjut ke Ciwidey.

Istirahat dulu?
Kyaa! Maksudnya nunggu bisnya penuh lagi? Kyaa kyaa!
Sebenarnya nggak apa-apa sih menunggu lagi. Toh saya juga nggak dikejar waktu. Tapi males aja.

Ya sudahlah, mau apa lagi. Akhirnya saya menunggu sambil mengSMS teman-teman yang bisa diSMS. Sembari itu, si Tukang Cimol ini nampaknya ingin mengobrol lebih jauh. Di Ciwidey mau kemana Neng?
Aha, benar juga. Saya belum tahu bagaimana caranya dari Ciwidey ke Patuha, tempat keluarga saya menginap. Maka saya pun mengalihkan perhatian saya pada si Tukang Cimol.
Patuha. Tau nggak A' caranya kesana?

Lalu terjadilah diskusi antara saya, Tukang Cimol, dan Tukang Sesuatu. Kesimpulannya, naik angkot koneng. Tapi lalu hasil diskusi diralat, blablabla, hingga akhirnya saya biarkan saja mereka berdebat sementara dalam hati saya sudah berketatapan akan bertanya lebih lanjut pada orang-orang di terminal Ciwidey.
Setelah hampir satu jam, akhirnya bis jalan lagi.

Ketika sampai di perjalanan di daerah perbukitan, akhirnya saya mulai benar-benar menikmati perjalanan ini. Polusi kota sudah berganti dengan udara sejuk pegunungan. Pemandangan chaos jalanan sudah digeser dengan hijaunya pohon-pohon diantara rumah-rumah penduduk.

Sudah berapa lama ya sejak saya ada di suasana seperti ini? Sepertinya sudah lamaaa sekali.

Para penumpang pun tampak akrab satu sama lain. Mungkin mereka sering bertemu di bis, ya?
Saya seperti anak itik kehilangan induk yang nyasar ke kandang bebek. Asing. Nggak matching dengan background.
Ada anak kecil yang jari-jarinya dihias 3 buah cincin, di tangan kanannya bertengger sebuah gelang sementara di kanannya ada 3. Ada ibu-ibu paruh baya yang menawarkan makanannya pada penumpang lain (menawarkannya bukan dalam arti menjual yaa). Menarik deh melihat orang-orang ini.

Akhirnyaaaa, saya sampai di terminal Ciwidey. Ketika saya akan turun, supirnya bilang, mobil ke Patuha udah nggak ada Neng, naik ojek aja.
Eh eh, masa sih?

Mendengar itu, para tukang ojek yang sudah berkerumun di dekat pintu bis langsung berlomba menawarkan jasanya. Saya tahu, dari SMS yang dikirim Mama, jarang terminal Ciwidey ke Patuha kira-kira 9 km. Naik ojek bolehlah, saya pikir.

Berapa A'?, saya tanya pada salah seorang tukang ojek.
50 ribu. Halah. Yang bener aja! Buru-buru saya tinggalkan kerumunan tukang ojek sambil misuh-misuh.

Maun berapa, Neng? tanya si tukang ojek.
10 ribu. Orang cuman 9 kilo kok dari sini!
Yah, nggak dapet, Neng.
Ya udah. Dengan angkuhnya saya pun pergi.
Entah bagaimana caranya saya sampai ke Patuha, tapi yang jelas saya tidak akan membayar 50 ribu untuk itu. Si tukang ojek masih berusaha menawarkan jasanya, tapi saya sudah kebas.

Lalu saya masuk ke salah satu warung di terminal. Satu, untuk menghindari tukang ojek. Dua, soalnya Mama nitip minta dibelikan Pop Mie, roti tawar, susu, dan mie yang banyak (aduh Mama, anaknya udah jauh-jauh dari Bandung bawa-bawa tas gede, masih aja dititipin makanan).

Usai dari warung, eh masih saja tukang-tukang ojek ini menunggu saya.
Mau kemana si Neng?
Patuha.
Patuha perkebunan?
Patuha resort.
Saya tidak tahu apakah Patuha resort dan Patuha perkebunan ini adalah tempat yang sama. Lalu salah satu dari tukang ojek ini ada yang bilang, kalau ke Patuha bisa naik angkot kuning yang ada di depan terminal. Langsunglah saya ngacir ke depan.

Pada kenek angkot saya bertanya, ini ke Patuha nggak A'?
Wah, enggak Neng. Mobil ke Patuha udah abis.
Yahh yahh yahh yahh....
Lalu datanglah sih supir angkot. Neng mau ke Patuha perkebunan apa Patuha hotel?
Patuha hotel!
O, kalo Patuha hotel kita lewat.
Hore!

Usut punya usut, ternyata ada perkebunan yang namanya Patuha, yang letaknya jauuh entah dimana. Itulah mengapa tukang ojek men-charge saya 50 ribu. Aduh saya jadi tak enak hati sudah berburuk sangka pada tukang ojek.

Di angkot baru ada saya seorang. Si supir bilang mau menunggu beberapa penumpang lagi, biar cukup untuk bensinlah. Yaa, paling nggak biar ada 25 ribu lah, katanya.
Haha, nice try! Tapi saya lebih baik menunggu penumpang lain daripada bayar 25 ribu.

Angkot kuning akhirnya jalan. Saya duduk di depan bersama supir. Ternyata yang namanya 9 km dari terminal itu palsu! Mana adaaa.
Setelah kira-kira 20 menit perjalanan, saya tanya pada si supir, masih jauh A'?
Setengah dei.
Uwaaa. Berada di angkot cukup lama, akhirnya saya sadar, kaca spion kiri angkot ini tidak ada. Gantinya, dipasang sebuah cermin yang tampaknya dari tempat bedak muka berukuran sekitar 8x5 cm. Sama sekali tidak memantulkan apapun kecuali badan angkot sendiri. Haha, benar-benar cuma formalitas.

Si supir ini ternyata baik, sehingga saya menyebut dia orang baik ketiga (OBKt). Sesekali ia mengajak saya mengobrol. Tapi lagi-lagi, karena kendala bahasa, saya kebanyakan hanya manggut-manggut saja.

Setelah melewati jalan berliuk-liuk, akhirnya saya diturunkan di depan Patuha Hotel. Oh God!
Saya lihat jam, saat itu pukul setengah 5. Padahal saya off dari Kanayakan sejak pukul 11 pagi. Lima setengah jam perjalanan!

Namun akhirnya saya memang bersenang-senang di Ciwidey dan Kawah Putih. Bagaimanapun, cukuplah sekali saja saya kesana. Kalaupun kapan-kapan kesana lagi, maunya ditebengin mobil orang aja.

PS. I promise to post the pictures later. :)

Menuju Ciwidey! (1)

Ciwidey!
Akhirnya setelah bertahun-tahun tinggal di Bandung, saya pergi kesana juga. Biarpun awalnya saya ogah-ogahan. Beberapa minggu terakhir ini badan terasa remuk (maksudnya capeee berat), dan saya sedang tidak mood pergi ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi, melalui jalur bis yang belum pernah saya kenal, sendirian, tanpa teman dan tanpa buku bacaan. Di waktu lain menjalani "petualangan" semacam itu mungkin exciting. Tapi untuk saat itu saya hanya: Argh!

Background story dulu. Hari Rabu, saya pergi ke Bandung (Bandung kota tentu saja) karena ada urusan yang mesti dibereskan sebelum musim liburan tiba. Lalu, Kamisnya keluarga saya dan keluarga tante saya berlibur ke Ciwidey. Sebelum pergi ke Bandung, saya sudah janji nih untuk menyusul ke Ciwidey. Janji yang dibuat dengan asumsi bahwa Ciwidey itu dekat-dekat Lembang. Hahaha. Setupit!
(Note for myself: Selalu cek asumsi sebelum berjanji!)

Kemudian, saya bertanya pada Nadya soal keberadaan Ciwidey itu. Yaa, dua jam lah dari Bandung. Jjjjiah. Tentu saja ini dengan menggunakan mobil pribadi.
Aduh, malasnyoo. Apalagi teman-teman SMP saya rencananya (tau kan apa artinya saya meng-italic kata 'rencana'?) mau main ke Bandung. Tapi karena satu dan lain hal (yang akan saya bahas pada post yang berbeda) akhirnya saya membulatkan tekad untuk memenuhi janji yang sudah saya buat.

Here we go.

Berkat info dari temannya sepupu saya, sampailah saya di terminal Ciroyom. Oya, by the way, di tengah jalan Aa' angkot Ciroyom pertama yang saya naiki keder ngeliat macetnya jalan sehingga dia memutuskan the easy irresponsibly way out: putar arah dan meninggalkan saya di jalan. Akhirnya saya harus berdiri di pinggir jalan kira-kira 10 menit sambil membawa tas tenteng besar hingga angkot ke Ciroyom berikutnya lewat.

Kembali ke terminal. Celingak celinguk, saya tak melihat bis jurusan Ciwidey disini. Bertanyalah saya pada Pak Tukang Parkir, orang baik pertama (OBP), kalau mau ke Ciwidey kemana ya Pak?
Bis ke Ciwidey mah adanya di Leuwi Panjang, Neng. Dari sini naik angkot dua kali.
Lalu Bapak OBP ini dengan baiknya menyetopkan angkot buat saya dan mengatakan pada supir angkot dimana saya harus turun. Terimakasih Bapak OBP!

Di dalam angkot hanya ada saya (duduk di belakang, dekat pintu), supir angkot dan seorang lagi yang duduk di depan. Tepat setelah angkot melewati rel kereta api, ada laki-laki melompat (yap, MELOMPAT!) masuk ke bibir pintu angkot. Entah mabok atau kurang waras, laki-laki ini bergumam-gumam tak jelas sambil bertepuk tangan keras keras.
Maksudnya ngamen ya Mas?

Baru juga 5 detik begitu, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya kepada saya. Eh, saya jadi deg-degan. Ngeri deh orang ini. Buru-buru saya keluarkan uang dari saku celana. Huaaa... uangnya 5 ribuan! Enak aja saya kasih situ 5ribu! Lalu saya rogoh-rogoh lagi (dengan agak panik), hingga akhirnya saya menemukan uang 2 ribuan. Aah, masih nggak rela! Saya sudah akan mengobok-obok tas ketika orang ini, entah kenapa padahal dia diam saja sih, terasa lebih mengerikan. Mungkin karena tiba-tiba saya ingat cerita-cerita kriminal di dalam angkot.
Antara 2ribu dan nyawa, saya pilih nyawa. Saya ikhlaskan lah 2 ribu diambil.

Sebenarnya bukan masalah nominal uangnya, tapi masalah orang ini memaksa untuk dikasih uang. Dan saya mau saja dipaksa. Kalau dia sadar bahwa cara pemaksaan ini berhasil mendatangkan uang, kemarin itu tidak akan jadi hari terakhirnya melakukan pemaksaan. Sama seperti penipu yang berhasil menipu, tak akan puas hanya menipu satu kali. Lestarilah orang-orang jahat itu.
Haaah, saya sudah melestarikan seorang pemaksa jalanan! Kalau lain kali dia mengambil tindakan lebih jauh dari kemarin, saya jadi ikut andil di dalamnya.

Pikiran stres tersebut tidak bertahan lama. Karena begitu turun di tempat yang disebut by pass, biarpun saya tidak melihat ada sesuatu yang bisa di-pass, saya sudah celingak-celinguk lagi mencari angkot ke Leuwi Panjang. Setelah bertanya pada ibu-ibu berjilbab, orang baik kedua (OBKd), tahulah saya bahwa ada angkot yang langsung menuju Leuwi Panjang lewat di jalanan itu. OBKd mewanti-wanti untuk melihat benar tulisan di depan angkotnya, cari yang tulisannya Leuwi Panjang ya, angkot disini mirip-mirip.
Sebenarnya tanpa diberitahu pun sudah jelas saya akan melihat dulu tulisannya. Tapi saya hargai niat baiknya. Terimakasih OBKd!

Dengan angkot yang ditunjuk OBKd, akhirnya saya sampai ke Leuwi Panjang. Hanya sekali saya ke terminal Leuwi Panjang sebelum ini, waktu saya naik bis dari Karawang untuk cek mata. Sebenarnya pengalaman naik bis ke Karawang itu juga yang membuat saya PD untuk berkelana sendirian ke Ciwidey. Kalau ke Karawang yang jauh saja gampang, maka masalah ke Ciwidey saja pastilah hanya perkara seujung kuku. Hahaha. Little did I know that those two are not comparable.

Setelah bertanya pada orang-orang terminal, akhirnya saya menemukan bis yang menuju Ciwidey. Melihat tulisan "Ciwidey" saja sudah bikin saya senang.
Ada dua kendaraan yang menuju Ciwidey. Satu adalah bis yang mirip-mirip Metro Mini. Satu adalah minibus yang ukurannya sedikit di bawah Elf-nya X-Trans.
Yang mana sajalah, yang penting cepat, begitu pikir saya. Atas saran seseorang di terminal, saya menuju minibus. Penuhnya lebih cepet jadi lebih cepet jalan, kata orang tersebut. Ha, good point!

Tapi waktu saya mengantri mau masuk. Eh eh eh. Kok kayaknya PENUH amat sih? Saya ragu mobil itu tidak akan oleng ketika meliuk-liuk di pegunungan. Padatnya mirip-mirip ketika saya naik bis ke Purwokerto bersama ikan-ikan dan daging mentah. Pelan-pelan saya pun keluar barisan.

Menuju bis yang lebih besar!

Dec 21, 2009

Blurry Line

This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcycle horned me. It almost bumped itself to my car. I horned it back, automatically. The driver gave me "the look" which I gave back to him. Then for a moment I got upset.

After a few moments, I played back the incident. It suddenly hit me that, hey, it wasn't the motorcycle's fault anyway. I was the one who swerved abruptly. Why did I do that?
The taxi! It stopped right in front of me with its four wheels still on the road. it didn't even try to pull over.
I could put the blame on the taxi driver, but the fact was I let him did that. I didn't even notice that what he was doing is wrong.
It happens every time anyway. Especially in Jakarta. I have seen it too often and I have noticed that, in the end, people get used to it and learn to tolerate that kind of behavior. Some even mimic it.

When something wrong becomes public behavior, at some point, it starts to be seen like it is the right one. Or at least, a not so wrong behavior.
You've experienced it too, haven't you?
Cheating, for instance, is a wrong behavior that has become a not-so-wrong one because most students do that. To fight against it sometimes even considered as a not-so-cool act. I am not saying that I have never cheated in my entire life. No, I did cheat (in exams) even though I know that cheating is wrong and no cool at all. Maybe only about 3 or 4 times during college, but still...

Cheating is the simplest example. There are a lot of other actions which we have tolerate even though we know they are wrong or against (what we once said as) our lives values. Oh dear, world offers too many temptations, doesn't it? And when (almost) everyone else does the same wrong things, why don't we?
The line is getting blurry as more people accross to the other side. At some point, it is no longer about right or wrong, it is about the majority and the minority. And we all know it has never been easier being the minority.

I, personally, feel safe by join the majority. However, I do hate compromising my values. I hate when that little voice inside me nags about how I should have follow my conscience. And I really hate when I feel like I have traded my dignity for some shallow acknowledgement as if I have only little appreciation for myself. Frankly, sometimes it feels like being other people biatch.
Ignore your conscience, and you will have our approvals.
Forget about your values, and we will think that you're cool.
Compromise your integrity, and you can join us.
A person without conscience, values and integrity? Gee...
At that point, being in the majority doesn't feel fine at all.

Still, sometimes I find myself accross to the other side. It has never been easier, indeed. Ralph Waldo Emerson couldn't be more right about this: "To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment."

Dec 20, 2009

$50,000

So, Beni is home now.
This evening we watched "Are You Smarter Than A 5th Grader" on TV. Then there was a moment when the contestant succeeded answer the $50,000 question correctly.

"Waaa... Berhasil ya dia?", Beni asked.

"Iya." Asked and answered.

"Dapet berapa Mbak Yasmin?", he asked again.

"50 ribu dollar. Banyak ya?". FYI, Beni understands that dollar has more value than rupiah. He even awares that 1 dollar aproximately equals to 10,000 rupiahs. What a smart boy, isn't he?

"Waa... Banyak sekali.. Berarti dapet.. hmm.. hmm..", he tried to multiply 50,000 to 10,000. Well, I said he's smart, not Einstein. So I cut the process.

"50,000 dollar itu 500 juta rupiah, Ben."

"Banyaaak sekaliiii. Bisa beli... beli..", I expected him to say car since he has huge interest in it. Instead, he said, "KERBAU".

Well, in my defense for him (siblings look after each other, rite??), he once watched on the news that there was a KERBAU cost Rp 500,000,000.

But still, from all the things in the world he can buy with $50,000, I don't know why he chose KERBAU.

Haha, there is no plain day when Beni's home, indeed.

Dec 19, 2009

Being Left

Empat setengah tahun ngekos di Bandung memang bukan waktu yang lama. Tapi setidaknya, saya lebih terbiasa untuk hidup sendiri, bahkan banyak saat-saat saya menikmati kesendirian dan perasaan merdeka, bila tidak bisa dibilang mandiri, itu.

Sudah lama sekali saya tidak lagi merasa sedih kalau harus pergi dari rumah. Tapi kalau posisinya terbalik, tidak demikian.

Posisi terbalik maksudnya adalah saya sebagai pihak yang ditinggalkan. Ketika dulu keluarga saya berkunjung ke Bandung misalnya, tiap kali menatap mobil mereka pergi saya tidak bisa mengelak dari perasaan kehilangan dan, kadang, sedih. Apa ya? Mungkin memang sifat alamiah manusia begitu? Mungkin saya tidak suka berada dalam posisi yang tidak memegang kendali?
Tidak tahu.

Dua hari kemarin Beni mendapat undangan menginap selama long weekend ini di rumah sepupu saya. Tanpa tedeng aling-aling, tentulah langsung dia iyakan. Memang Beni termasuk berani kalau soal beginian. Dia bukan anak cengeng yang nempel terus pada keluarganya.
Satu jam setelah diundang via telepon, Beni sudah siap untuk dijemput.

Lalu, saya merasa dihinggapi rasa kehilangan yang familiar itu lagi.
Apalagi melihatnya sudah berganti baju rapi dengan memanggul ransel birunya. Beni kelihatan excited sekali mau pergi. Sementara saya merasa... mellow.

"Yaah, nanti Mbak Yasmin kesepian deh." Ujar saya, merajuk.

"Nanti Mbak Yasmin telepon aku aja." Ia berusaha menghibur. Matanya sedikit membulat.

"Okee. Ayo sini peluk duluuu...". Lalu Beni pun memeluk saya.

"Mbak Yasmin mainin The Sims-ku aja biar ga kesepian." Haha. Boleh juga anak ini. Saya jadi terharuuu.

"Bener yaa."

"Iya. Tapi orang-orang ku mood-nya udah merah semua. Aku kan jadi bingung kalo maininnya. Mbak Yasmin mainin ya sampe bagus lagi."
Yeee... Kirain doi beneran care sama sini.

Dec 16, 2009

Sneeze!

The worst thing about sneeze is not its annoying earsplitting repeteadly sound.
No, that is not it.
The worst thing is the fact that I can't blame sneezing people for the sound.

Undomestic Goddes


Membaca Undomestic Goddes tidak bisa tidak membuat saya tertawa geli. Untuk satu alasan, Samantha Sweeting, tokoh utama dalam buku ini, entah mengapa mengingatkan saya pada salah seorang sahabat (saya tidak bilang mirip lho yaa..). Alasan lain, well, gaya bercerita Sophie Kinsella yang konyol dan segar memang selalu sukses menghibur saya.

Samantha adalah seorang pengacara korporat papan atas. IQ-nya 158 (aha, ini mungkin sebabnya tokoh ini mengingatkan saya pada teman di atas), menempatkannya dia ambang batas jenius.Ia baru berumur 29 tahun tapi sudah diangkat menjadi partner di Carter Spink, salah satu firma hukum papan atas. Pokoknya kariernya mantap lah.

Samantha adalah workaholic akut yang tidak bisa berpisah dengan BlackBerry-nya selama lebih dari 30 detik (konon, banyak yang terjadi dalam 30 detik). Sementara ia adalah seorang bintang di kantornya, apartemennya terbengkalai tak terurus. Samantha bahkan punya segudang peralatan dapur canggih yang belum pernah digunakan karena ia tak punya waktu belajar bagaimana cara menyalakannya.

Kurang lebih, Samantha memang cerminan manusia modern jaman sekarang. Ia sangat terpaku pada kariernya dan melupakan hal-hal lain di hidupnya. Kerja dan karier adalah alasan ia menjalani hidup. Maka ketika karier tersebut hancur, hilanglah pijakan Samantha. Mendadak hidupnya tak bertujuan.

Frustasi, ia naik kereta tak tentu arah hingga berakhir di rumah pasangan Geiger yang salah mengiranya sebagai pembantu rumah tangga mereka yang baru! Disinilah cerita bergulir semakin konyol dan seru. Disini pula Samantha bertemu Nathaniel dan ibunya, Trish, yang membantunya membangun hidup kembali.

Kinsella seolah ingin mengatakan bahwa hidup tak melulu tentang satu hal. Tak melulu soal karier atau uang atau pacar. Karena bila kita terpaku terlalu dalam pada satu hal saja, ketika pegangan tersebut hilang, ia akan membawa serta alasan kita hidup.

Buku ini juga menyiratkan bahwa tidak pernah terlambat untuk mengatur ulang hidup. Samantha yang 29 tahun saja masih merasa ia bisa hidup sebagai apa pun yang dia mau, dimana pun ia ingin tinggal, kemana pun dia ingin menuju. Life has unlimited possibilities to offer.

Singkat cerita, buku ini mengingatkan kembali kalau saya masih sangat sangat muda. Hahaha.

Dec 13, 2009

He's Just Not That Into You


Pada dasarnya, saya bukan orang yang gemar membaca buku-buku self-help. Entah mengapa, tapi yang jelas saya lebih suka buku fiksi.

Pertama saya tahu tentang buku He's Just Not That Into You adalah dari Batari. Beberapa tahun lalu, pernah ada satu masa dimana Bat heboh-heboh ingin membaca buku ini. Katanya dia tahu buku ini dari serial Sex & The City. Entah Bat jadi membaca atau tidak, tapi sejak itulah awal mula saya tahu perihal buku ini.

Beberapa bulan kemarin saya dan Ebi menemukan buku terjemahannya (diberi judul yang lumayan norak: Cintakah Dia Padaku?) di Pasaraya Manggarai. Membaca sinopsis belakangnya memang cukup menarik. Kami pun memutuskan untuk menginvestasikan buku ini, dan satu buku yang lain dari penulis yang sama, sebagai properti ReadingWalk.

Buku hasil kerjasama Greg Behrendt dan Liz Tuccillo ini ternyata lumayan menarik. Bahasanya mengalir hingga saya selesai membacanya kurang dari 1 hari saja. Diselipi joke disana-sini membuat materi buku ini terasa segar. Memang sih, versi aslinya saya rasa lebih bagus lagi, tapi versi terjemahan ini juga tidak jelek kok. Ketika membaca buku non-fiksi, biasanya saya tidak mulai membaca dari halaman 1 hingga akhir, tapi lompat-lompat sesuai judul bab yang saya rasa menarik.

Isu yang diangkat buku ini sebenarnya sudah sangat familiar dengan banyak orang. Pastilah Anda atau teman Anda, pernah yang bermasalah dengan ketidakjelasan orang yang ditaksirnya. Buku ini mencakup beberapa masalah yang mungkin pernah Anda alami, seperti ketika orang yang Anda taksir berat rasa-rasanya sih menanggapi perasaan Anda atau bahkan bilang suka pada Anda, tapi:
Dia nggak pernah mengajak nge-date.
Dia nggak menelepon.
Dia selingkuh.
Dia nggak mau ber-in-a-relationship.
Dia menghilang.
...Dan beberapa hal lain.

Pada buku ini, Behrendt & Tuccillo bertindak seolah mereka adalah teman Anda who slap your face and tell you the fact you've been avoiding to admit: he/she is not that into you. Behrendt & Tuccillo bahkan telah mengantisipasi beberapa excuse yang Anda mungkin buat untuk membela your loved ones, seperti: dia kan sibuk, dia kan punya banyak urusan lain, dia kan baru patah hati, dll. Intinya adalah, yang saya tangkap dari buku ini, kalau seseorang benar-benar into you, dia akan selalu berusaha membuat Anda tahu bahwa Anda disayangi.

Salah satu bagian yang paling saya suka dari buku ini adalah paragraf berikut:
Yang bisa saya lakukan adalah melukiskan apa yang tidak akan Anda temui bila Anda berpacaran dengan pria yang benar-benar serius dengan Anda: Anda tidak akan pernah melihat diri Anda memelototi telepon, berharap-harap agar benda itu berdering, Anda tidak akan pernah melihat diri Anda mengacaukan acara malam hari bersama teman-teman karena Anda mengecek pesan telepon tiap 15 detik sekali. Anda tidak akan pernah melihat Anda membenci diri sendiri karena telah meneleponnya padahal tahu bahwa Anda tidak usah melakukannya.

Meskipun ada beberapa hal yang saya kurang setuju di dalam buku ini, tapi saya rasa buku ini layak baca. Paling tidak untuk hiburan, karena di setiap bab ada 2-3 cerita tentang persoalan hubungan ini yang kemudian ditanggapi Behrendt dengan gayanya yang kocak sekaligus sinis. Percaya atau tidaknya Anda pada nasihat-nasihat Behrendt & Tuccillo, itu sih terserah saja.

Dec 7, 2009

Kiddo!

3 Menit

"Udah 3 menit belom?"
Maksudnya Pop Mie yang baru sekitar setengah menit lalu di'rendam' air panas.

"Belom"

1 menit kemudian.. "Udah belom?"
Matanya yang kecil membulat seadanya.

"Beloooooom". Rewel.

1,5 menit kemudian.. "Udah belom? Udah 3 menit?"

"Belooom! 1 menit aja belom!"
Bohong sih. Hehe. "Nanti deh Mbak Yasmin kasih tau kalo udah 3 menit!"

Diamlah dia untuk beberapa saat.

"Ini tuh di tunggu 3 menit apa 30 menit sih, Mbak Yasmiiiiin??"


***
Sibuk

"Ben, kamu mau pake laptopnya?"

"Ehm... boleh sih..." *berguman-gumam nggak jelas.*

"Mau pake ga?"

"Yaa, kalo aku ada waktu aku mau pake"

????????!!!

"Kamu ada waktu ga sekarang?"

"Yaa, banyak sih..."

Beniiiiii......

Nov 29, 2009

The Heroes

Pagi itu saya sendirian di rumah, padahal hari itu tanggal merah. Tumben-tumben Jakarta dingin. Perlulah dirayakan dengan bermalas-malasan sedikit lebih lama. Hehe.

Pindah-pindah channel TV, lalu saya tertambat di CNN gara-gara ada Barney dari How I Met Your Mother (HIMYM). Saya bukan penggemar HIMYM sih, tapi kayanya semua orang di sekitar saya menggilai tv series ini. Malah saya pernah dipaksa nonton beberapa episode sama seorang teman. Pokoknya, meski bukan penggemar, tapi saya tahulah si Barney ini (siapa sih nama aslinya?).

Tapi Barney tidak sedang berakting tolol di HIMYM (secara itu di CNN...) melainkan sedang membacakan award di acara CNN Heroes. Saya pernah dengar acara ini, tapi belum pernah menonton dan tidak begitu mengerti apa isinya. Briefly, CNN Heroes adalah ajang penghargaan bagi para hero lokal di masing-masing komunitasnya. Tiap tahun terpilih 10 finalis, dan pada malam penghargaan tersebut, dinobatkanlah satu orang menjadi Hero of The Year. Finalisnya datang dari berbagai negara di berbagai bidang kemanusiaan.

And there I was, speechless and stunned. Rasanya mau nangis saja sepanjang acara itu. Entahlah karena apa. Terlalu banyak alasannya.
Misalnya saja, para hero ini umumnya datang dari latar belakang yang tidak lebih 'beruntung' dari saya. Bahkan ada wanita dari Zimbabwe yang pernah jadi korban perkosaan.
Tapi trauma atau kondisi ekonomi yang terbatas, nyatanya bukan penghalang untuk berbuat lebih bagi orang lain. Simak kisah supir bis sekolah ini yang mampu menyediakan makanan bagi para tunawisma di daerahnya.
Ada juga orang Indonesia lho, pilot yang mendedikasikan dirinya menjadi Ayah bagi 48 anak miskin dan yatim piatu.

Dari yang saya tangkap, umumnya para hero ini memulai kegiatannya begitu saja. Tidak pakai lama-lama bikin organisasi, tetapkan ketua, rumuskan program-program sophisticated dan segala macam. Pokoknya apa yang mereka rasa harus diperbaiki, ya diperbaiki. Lambat laun, mulai lah orang-orang lain ikut bergabung dan barulah tercipta komunitas atau organisasinya.

God bless those people!
Sementara saya cuma terkagum-kagum sambil menahan air mata dan perih yang menjalari hidung.

Mungkin saya satu dari sekian banyak orang yang bercita-cita ingin dapat berbuat sesuatu bagi orang lain tapi ujung-ujungnya cita-cita itu hanya digantung saja di langit-langit rumah dan diingat hanya ketika ingin. Dan ketika ingin itu tiba, sibuklah kami mencari-cari apa ya kegiatan yang pantas? Siapa ya yang bisa ditolong? Maka kami memilih milih siapa yang ingin ditolong. Padahal kan pertolongan itu untuk siapa pun yang butuh, bukan?
Lalu esoknya, aktivitas bergulir kembali dan cita-cita pun kembali digantung.

Anyway, kembali ke CNN Heroes, yang akhirnya menjadi Hero of The Year adalah orang Filipina yang membaktikan dirinya mengajar anak-anak kurang mampu yang bila dibiarkan akan menjadi anggota gang di kemudian hari.
And guess how old is he?
28.

Awesome.

Nov 23, 2009

Luluh



Lagu ini mirip-mirip sama lagu-lagu mereka waktu di album yang ada lagu Terdiam-nya itu (apa sih nama albumnya?).
Saya lebih suka lagu ini daripada lagu yang sebelumnya seperti The One atau Pilihanku.
Kalau dengar lagu ini rasanya jadi lebih cheer up. Haha.
Aah, saya memang suka Maliq!

Nov 20, 2009

Anything could happen

Awal mula cerita, HP saya rusak. Kacrut.
Padahal di HP tersebut ada beberapa catatan yang lumayan penting seperti tempat dan waktu wawancara yang harus saya hadiri, berikut nomor telepon contact personnya. Untung saja saya ingat nama gedungnya. Sedangkan waktunya, saya ingat sekitar pukul 3 atau setengah 4. Ambil jalan amannya, anggap saja jam 3.

Saya sampai di Jakarta (dari Bandung) pukul setengah 11 siang. Buka internet sebentar. Niatnya sebentar. Ternyata ada beberapa email yang harus dibalas. Akhirnya saya tancap gas dari rumah jam 2 lewat 5 menit.
Berbekal peta Jakarta yang akhir-akhir ini jadi barang favorit, saya melaju ke arah Kuningan menuju gedung yang dimaksud. Jam 2 mestinya lalu lintas tidak terlalu padat. Mestinya. Tapi tidak ada yang pasti tentang lalu lintas Jakarta. Apalagi waktu hujan. Jadilah si Mumun merayap macam siput.

Sampai di perempatan Kuningan, sudah jam 3 kurang 10. Peta menunjukkan gedung tersebut ada di antara perempatan Tendean dan Kuningan, tapi tidak jelas masuknya lewat mana karena letaknya tidak di pinggir jalan. Thanks to technology, saya tinggal menelepon 108, minta nomor, lalu telepon ke gedung yang dituju. Setelah diberi arahan saya pun sampai di tempat sekitar pukul 3 lewat 10.

Buru-buru, saya berhasil membujuk Pak Satpam untuk membiarkan saya parkir di depan pintu (bukan pintu utama tapi). Buru-buru, saya segera menghambur ke arah gedung. Saya tanyakan pada Satpam yang berjaga di depan pintu.
PT. X, di lantai berapa ya?
PT. X? Dia memeriksa daftar sejenak. Tidak ada PT. X disini Mbak. Memang alamatnya disini?
Iya, gedung XX kan? setengah bergurau saya menambahkan, memang ada berapa gedung XX?
Dua. Oow.. Satu lagi di Casablanca.
Saya kembali menemukan sedikit keyakinan. Nggak kok Mas, katanya tempatnya di Kuningan. Dalam hati saya berpikir, Casablanca kan Kuningan juga ya..
Bentar saya telepon dulu ke atas ya. Dia menelepon. Nggak ada Mbak.
Gedung yang satu lagi itu dimana sih Pak? Aduh, aduh.
Di Casablanca. Pas di tikungan dari Rasuna Said mau ke Casablanca.
Yee.. bilang kek di Rasuna Said. Buru-buru, saya kabur menuju gedung "yang satu lagi".

Sembari menuju kesana, saya berusaha menelepon untuk memberitahukan keterlambatan saya. Maaf pulsa Anda tidak cukup....
Kamfret.
Maka segala daya upaya saya kerahkan untuk mencapai gedung yang satu lagi (GYSL).
Hujan. Macet. Jakarta. *sigh*
Akhirnya sama sampai GYSL jam 3 lewat 20. Tergesa-gesa saya parkir di basement lalu setengah sprint menuju lift. Kok lama ya liftnya? Saya kira cuma saya doang yang merasa begitu karena lagi buru-buru. Eh ternyata Mas-mas yang kayaknya sih kerja di sana juga mengeluarkan keluhan yang sama dan ditanggapi persetujuan oleh temannya. Kacrut.

Liftnya berhenti di lantai satu. Saya segera menuju resepsionis.
PT. X di lantai mana?
Hmm.. 17.
Tergesa-gesa saya menuju lift. Ada lift untuk lantai 1-17 ada lift untuk lantai 17-entah berapa. Pikir-pikir, kayaknya lebih cepat kalau saya pakai lift kedua. Dengan yakin saya pun naik lift kedua.
Syuuut. Lantai 17. Pintu lift membuka. Lah loh lah loh, kok isinya ruangan yang masih berantakan beserta tukang-tukangnya? Seorang tukang tampak melihat saya dengan aneh. Saya sendiri juga sebenarnya melihat dia dengan aneh. Ini kayak gini semua satu lantai Mas? Saya bertanya. Iya Mbak, katanya.

Saya masuk lagi ke dalam lift. Ooohh.. Mbak Resepsioniiiis. Tekan satu. Syuuut. Lift sampai di lantai satu lagi. Tapi kok pintunya nggak kebuka-buka ya? Saya tekan tombol buka. Pintu lift masih anteng begitu saja. Saya tekan angka 1 lagi. Pintu langsung terbuka. Wiiih.. horor.

Untung di dekat situ ada Satpam. Langsung saja si Bapak saya berondong, PT. X di lantai berapa Pak?
15, katanya. Naiklah saya ke lift pertama lalu turun di lantai 15. Ada Satpam lagi disitu.
Saya mau interview, kemana ya Pak?
Ke lantai 12 dulu Mbak.
Omigod. Jam 3 lewat 40. Sedari tadi otak saya sudah bekerja mencari alasan apa ya yang akan saya bilang untuk keterlambatan saya.. Tapi tidak ada yang terlihat masuk akal apalagi terkesan intelek.

Akhirnya saya sampai lantai 12. Akhirnya saya bertemu orang yang memegang daftar nama dengan punya saya terselip diantaranya. Silakan tunggu ya, katanya.
Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, sebenarnya saya interview jam berapa sih Mbak?
Jam 4.

Oh...


Moral of the story:
Anything, anything could happen indeed. Hujan. Macet. Salah gedung. Resepsionis error. Terjebak di lift. Salah lantai.
Mungkin ada untungnya juga HP saya rusak. Kalau enggak, saya nggak akan lupa waktu wawancara. Saya akan berangkat jam 3. Mengalami kejadian yang sama, dan berakhir di tempat yang benar pada jam 4 lewat 40. Maybe everything does happen for a reason, don't you think so?

Nov 13, 2009

Book and Reading

Here's the thing. I like books, but on top of that, I love reading.
I would be broke before I celebrate my 25th birthday if I bought every book that I wanted to read. Many books are worth reading, some of them are worth buying.
Buku adalah buku. Setumpuk kertas yang dijilid rapi dan diberi cover manis, depan dan belakang. Tapi bukan itu yang dicari dari membaca bukan? Anda, atau paling tidak saya, mencari emosi, inspirasi, yang tersirat dari alur cerita. Sekali pengalaman itu Anda rasakan, maka itu menjadi milik permanen Anda. Anyone can steal your books, no one can steal the experiences.

***
Ketika kira-kira satu tahun lalu saya ingin membeli sebuah buku, yang film adaptasinya baru saya tonton, saya terhalang satu masalah klise: mahal.
Sekitar 70-80 ribu untuk versi terjemahan, dan sekitar 200 ribu untuk versi bahasa aslinya. Teman saya menyarankan baca versi bahasa asli karena terjemahannya agak mengganggu.

Saya punya 200ribu, tapi kan saya juga punya kehidupan lain selain membaca. Jadi saya ambil jalan alternatif, pinjam saja ke teman. Sayang, tidak ada yang punya. Teman saya yang sudah membaca pun ternyata meminjam dari temannya yang lain. Jadi saya beralih ke alternatif berikut, pinjam ke persewaan.

Pergilah saya ke persewaan lalu saya tanyakan aturan mainnya. Ada uang registrasi, 30-50 ribu (tergantung kelas member), lalu uang perpanjangan anggota tiap tahun, lalu tentu saja uang sewa buku, dan batas waktu pengembalian buku. Denda kerusakan, denda kehilangan, denda keterlambatan.
Ah, ya, saya harus kembalikan buku ini ke tempat ini lagi. Masalahnya, saya tidak tahu apakah pada hari pengembalian, saya akan dapat menyempatkan diri datang kembali ke tempat tersebut. Saya tidak tahu apakah pada hari itu mungkin ada unjuk rasa sehingga jalanan macet. Saya tidak tahu apakah hari itu akan ada hujan besar. Saya tidak tahu apakah pada hari itu saya akan ingat untuk mengembalikan.
Btw, ini terjadi ketika saya di Bandung dimana jarak antar tempat relatif dekat.

Kalau di Jakarta?

Ah, jangan tanya. Paling tidak Anda harus menyisihkan satu jam untuk persoalan pengembalian buku ini (kecuali persewaannya di seberang rumah). Kalau Anda tipe orang yang mengorganisir aktivitas harian, kegiatan pengembalian buku ini akan seperti ganjalan kecil yang terasa tidak penting tapi harus dilakukan. Atau tidak, tapi Anda bayar denda. Your choice.

My choice, I prefer something simple.

Meet Readingwalk.
Our newly established delivery book rental.
Pilih buku secara online. Buku diantar, buku dijemput. 3 hari dalam seminggu.
Definitely save your time.
Definitely save your money.
How so? Karena Anda tidak perlu keluar ongkos bensin dan parkir dan polisi cepek atau angkutan umum.

Please, just read and leave the effort on us.


PS. Saya sarankan Anda gunakan Mozilla Firefox untuk membuka situs itu. Kalau tidak punya, silakan download dari link yang sudah disediakan.

Beyond Nightmare

I must be dreaming!
There was no way I could run from my late grandmother's house to mine without sweating... while I was in kabaya. No, I knew I was dreaming, but that didn't keep me from... dreaming.
Wake up!
Wake up!
Wake up!
This is ridiculous. How can I not wake up when I deperately want to?

Well, you might be thinking, if I knew it was a dream, why didn't I just go on with the story? It wouldn't do me any harm because it was only a dream.
Oh, believe me, this one was beyond nightmare. First, because it felt so real. Second, in my dream, I was getting married.
Yes. Me. Getting. Married.

Did I know the groom? As a matter of fact, I did. He is a friend of mine. And when I said 'friend', he is indeed a friend, no more no less. All I have for the guy, both in the dream and reality, is just a reasonable amount of affection which I also share with any other not-bestfriend-friend. I also have strong reason to believe that, both in the dream and reality, he feels the same way about me.

So, how could we were trapped in this situation? I didn't know. It started like it was only a game. Then the next thing people did really come to my grandmother's backyard (yes, we had a graden party), a beautiful light brown wedding kabaya was prepared, and his parents showed up.
That was when I knew everything was way out of control. And it seemed like only me who thought that way. My bestfriend (yup, I even had one of my bestfriends in that dream to 'support' me) and the groom seemed don't care about the possible damage of our little 'game' where the two of us had to do the ijab kabul.

Then it was up to me to put a stop to this parade. So I went to the groom's mother. I had meant to tell her that my parents didn't even know that I was getting married. But when I got close to her I could see that the lady had this cruel cold expression. The expression of world's worst mother-in-law.
However, 'I have to tell you something. My parents, they...' they don't know I am getting married! In fact, I didn't know I'm getting married until you came. So please call it off!
I had meant to burst the words, but she did something with her eyes and they tore my spirit. '...they can't come'. I wished that would be good enough for her to call off the wedding. She nodded. Damn!

So I ran to my house. That was when I realized it was only a dream. But, I still couldn't wake up. I couldn't bear to experience this 'wedding' even only in my dream. Then I remembered Carrie from Sex and The City when she was about to get married with Aiden (or Aidan?). Ah, that's why I had dream like this. Because last night I was thinking about that episode!

*

I don't remember how I could finally escape the nightmare but I remember the relief when I was finally wake up.
Why do I share this story? Because I believe that nightmares need to be shared so that they won't burden my mind.

Nov 12, 2009

Gigi Beni

Masanya datang sudah ketika adik kecil saya mulai menjalani ritual ke dokter gigi. Berawal dari sakit gigi yang membuat kecerewetannya absen selama satu hari, minggu lalu saya bawa Beni ke tempat praktek tante saya yang seorang dokter gigi di kawasan Depok.

Ternyata eh ternyata, yang gigi yang rusak ada 5. Iya, lima, tak kurang tak lebih. Konon dua sudah tak tertolong. Jadi hanya tiga yang ditambal.
Pertama kali membawa Beni ke dokter gigi tidak sulit. Kalau saja dalam sekali session bisa langsung selesai perkara giginya, tentu semua jadi mudah. Masalahnya gigi-gigi itu perlu beberapa kali perawatan sebelum bisa ditambal permanen.

Maka jadilah hari ini saya mengantar Beni kembali ke Depok. Lantaran sudah kenal sama bor dan ngilunya ditambal, anak ini jadi agak rewel.
"Perutku agak sakit deh", katanya waktu kami mau berangkat. Ketika sudah sampai di tol, katanya sakit perutnya sudah hilang tapi,
"Pinggangku sakit nih".
Haha, nice try Ben! Been there done that. Mbak-mu ini sudah tahu ribuan alasan untuk mangkir dari dokter gigi.

Sampai disana pun dia tak mau masuk. Merajuk dulu pakai menangis segala. Hwaah, pokoknya repot deh bawa anak kecil ke dokter gigi!
Buka mulut saja ogah. Jangankan buka mulut, Beni bahkan menolak buka mata! Padahal, entah apa hubungannya. Kalau saya minta, "coba bilang 'A', Ben", yang dia lakukan malah ngomong "ayam ayam ayam", dengan cepat.
Ketika akhirnya berhasil dibawa ke kursi pasien, nyaris sepanjang sesi pemeriksaan pipinya yang tembem itu tidak kering dari air mata. Saya jadi kasihan juga, tapi hidup memang keras, Ben!
Minggu depan kami masih harus ke dokter gigi lagi. Entah alasan apa lagi yang saya akan berikan untuk membujuk anak ini nanti...

Oh, jadi anak-anak memang tidak selalu menyenangkan.

Nov 8, 2009

Menjadi orang Indonesia

Meskipun bansga ini sedang dilanda banyak masalah, untuk banyak hal, saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Negara ini tidak sedang perang dengan negara lain, salah satunya. Para perempuannya tidak dikurung dalam rumah, itu hal lainnya. Lalu juga tidak ada larangan pakai jilbab disini. Dan yang tak kalah penting: disini ada nasi liwet.

Anda pernah coba nasi liwet?
Maksud saya nasi liwet Solo yang benar-benar enak, bukannya nasi liwet mall yang sudah mirip hidangan Eropa.
Bentuknya seperti yang ada disini.

Nah, biarpun saya penggemar sejati nasi liwet, tapi jangan tanya bahan-bahan dasarnya. Saya tahunya makannya doang.
Nasinya lembut agak basah, mungkin karena santan. Ayamnya yang empuk pun tidak digoreng jadi tenggorokan ini tidak seret karena minyak. Best part dari nasi liwet ini adalah putih-putih yang ada di atas itu, oleh Mama saya disebut kumut. Arghhh.......
Kompilasinya menghasilkan rasa gurih yang sedap. Lalu rasanya diperkaya dengan sayur labu siam yang pedas-pedas sedikit. Mmmmmmmmm....

Dulu saya cuma bisa menemukan nasi liwet yang seperti itu di Solo. Tapi beruntungnya kita, atau paling tidak saya, Mama saya menemukan tempat makan nasi liwet yang enak di daerah Lampiri Kalimalang, dari arah Jakarta posisinya sebelum Burger n Grill. Namanya Nasi Liwet Keprabon Solo. Nyam!
Porsinya tidak banyak tapi tidak sedikit. Cukup untuk bikin lumayan puas tapi tidak sampai bikin tersiksa untuk dihabiskan. Tampilannya persis seperti yang ada pada gambar di link yang tadi. Porsi yang lengkap meliputi ati ampela ayam telur sayur. Tapi saya biasanya mengedit bagian ati ampela-nya. Mama malah biasanya me-request bagian brutu untuk ayamnya. Tahu brutu? Haha, tanya saja sama yang jual.

Kemarin saya pergi kesana bersama Arum dan Ebi. Meski sudah saya foto dengan HP, sayang pagi ini, lagi-lagi, saya tak bisa temukan dimanalah itu kabel datanya.
Nasi Liwet Keprabon ini berbagi pekarangan dengan beberapa kios makan lainnya, seperti Pecel Lela dan Lele Park.
Nah, Lele Park ini juga menarik. Bukan karena menunya, karena saya belum pernah coba. Tapi karena logonya. Logonya mengikuti logo Jurassic Park. Bulatan merah dengan gambar tulang ikan lele lengkap dengan patilnya. Nanti deh kalau kabel datanya ketemu saya kasih intip fotonya.
Jurassic Park, Lele Park. Manstab!!



PS. Makanan itu perlu dipatenkan nggak sih? Kalau sampai nasi liwet dipatenkan Malaysia, gue gigit juga nih orang-orang Malaysia.

Oct 14, 2009

I love morning!

Narrated Abu Huraira (Radi Allah Anhu) Allah’s Apostle (sal-allahu-
alleihi-wasallam ) said :
“Satan puts three knots at the back of the head of any of you if he is asleep. On every knot he reads and exhales the following words, ‘The night is long, so stay asleep.’ When one wakes up and remembers Allah, one knot is undone; and when one performs ablution, the second knot is undone, and when one prays the third knot is undone and one gets up energetic with a good heart in the morning; otherwise one gets up lazy and with a mischievous heart.”
[Sahih Bukhari : Volume 2, Book 21 Prayer at Night (Tahajjud), Number 243]

Narrated ‘Abdullah (Radi Allah Anhu) : A person was mentioned before the Allah’s Apostle (sal-allahu- alleihi-wasallam ) and he was told that he had kept on sleeping till morning and had not got up for the prayer. The Prophet said, “Satan urinated in his ears.”
[Sahih Bukhari : Volume 2, Book 21 Prayer at
Night (Tahajjud), Number 245]

Narrated Abu Huraira (Radi Allah Anhu): Allah’s Apostle (sal-allahu- alleihi-wasallam ) said :“Our Lord, the Blessed, the Superior, comes every night down on the nearest Heaven to us when the last third of the night remains, saying: “Is there anyone to invoke Me, so that I may respond to invocation? Is there anyone to ask Me, so that I may grant him his request? Is there anyone seeking My forgiveness, so that I may forgive him?”
[Sahih Bukhari : Volume 2, Book 21 Prayer at Night (Tahajjud), Number 246]


source: http://inote.wordpress.com/2007/08/05/significance-of-morning-prayer/

Oct 8, 2009

It's been a while

It's been a while since my last post.
Recently I have other priorities to do though I really want to spend more time sit here and write something in my blog (well, I'm kinda doing it right now, but this is not exactly what I mean, you know?). I want to share stories about my brother, a song, some thoughts, but I can't keep myself focus and write them down.
One thing at a time, I often say that to myself recently (since now I have realized that I'm not really good at multitasking thingy). So I just keep focus on one thing, finish it as quickly as possible and move on to the next one. And there will be time when my 'next one' is this blog.

Sep 8, 2009

Lucky Draw (2)

Remember the lucky draw I won about 2 weeks ago?

Well well, it seems that I am not the only one who has been granted such luck in my family.
Like daughter like mom, Mam has just won 4 plane tickets to Yogya!

Hahahahaha.

Don't get jealous, dear friends!
I believe this is what we simply called Berkah Ramadhan. :D

Sep 3, 2009

Out of Control


My teeth went out of control.
It started with one shake of one tooth. And then it fell off. Next thing, they were all shaking. I close my mouth tightly and pressed it with my hands, tried to reduce the shaking. No use.
The shaking went out of control.


They started to fell off. I spit them to my hands one by one.
I felt like crying. Not because it was painful because the truth was I didn’t feel any pain. No, it was not the pain. It was because I loved my teeth. I was proud of how they were placed nicely which were seen each time I smiled. So I felt like crying. But then again, I thought I might be choked so I didn’t cry.


In a moment I had my hands full of my teeth. At least let me have my upper teeth, I secretly prayed. After several more shaking and fell-offs then it stopped. I wasn’t sure so I waited and counted to ten.
It stopped.

What did I have left? Using my tongue, I knew that eight of my front upper teeth were still in place. I held the rest in my hands, those which really had gone out of control.
My hands were full.




I gasped and opened my eyes. Oh, what a dream…

Aug 21, 2009

Lucky Draw

Saya sedang berada di belakang kemudi mobil yang sedang diparkir. Mama sedang bertelepon dengan Bapak di bangu belakang. Tita, adik saya, sedang berada di dalam mini market yang pintunya tepat berada di depan moncong si Mumun (Karimun -red).

HP saya berdering. Dengan cepat saya meraih ke dalam tas saya yang ada di bangku belakang.
021521xxxx
Ini telepon ketiga hari ini dari nomor yang mirip. Dua yang pertama dari sebuah Education Consultant yang terus-terusan merongrong saya untuk membaca email yang sudah mereka kirim. Ya ampuun, sabar kek!
Terus terang saja, saya sedang mengharapkan sebuah telepon dari perusahaan dimana saya melamar beberapa waktu lalu. Makanya, tiap kali mendapat nomor kantor begini saya tak bisa menahan diri untuk tidak berharap.

"Halo." Sapa saya.

"Halo. Dengan Floresiana Yasmin Indriasti?" Ok, this is a good start, I thought. Menyebut nama lengkap berarti dia punya urusan resmi dengan saya.

"Iya."

"Ini dengan Indah dari (*%^$^&"

"Maaf, darimana?"

"Indah dari IALF."
Yah...

**
Saya ingat IALF. Tapi bukan institusi itu yang sedang saya harapkan teleponnya. IALF itu tempat kursus IELTS adik saya. Minggu lalu saya kesana untuk menjajaki kemungkinan mengambil kelas IELTS intensif yang hanya 2 minggu. Saya bahkan sudah mengerjakan semacam placement test untuk menentukan apakah saya bisa ikut kelas intesifnya apa tidak.
Hanya ada dua kendala yang masih menjadi pikiran.
1. Biayanya mahal. Untuk 2 minggu intensif dibanderol seharga Rp 3.450.000,00.
2. Kelas dengan bangku kosong yang paling dekat dimulai adalah pada tanggal 7 September, padahal saya berharap bisa mulai kursus di bulan Agustus ini.

Karena alasan yang kedua, saya sempat menitipkan nama dalam waiting list untuk kelas yang akan dimulai minggu depan. In case kalau ada pesertanya yang membatalkan diri...

Maka, saya pikir telepon dari Indah IALF ini pun tentunya seputar jadwal kursus tersebut. Bukannya saya tidak semangat sih, tapi yah, mengingat ada telepon lain yang lebih saya nantikan, jadi semangat saya mau tak mau agak turun juga.
**

"Selamat ya Floresiana, kamu ^%$#@%@#*^&*^!&@*^"

"Eh, apa?". Bad signal. Dia bilang 'selamat'?

"Kamu menang lucky draw yang baru saja kami undi. Hadiahnya, kamu bisa ikut kelas intensif gratis."
Untuk sekitar dua detik saya diam... dan bingung. Saya ingat sih setelah saya menyelesaikan placement test saya diberi kertas kecil warna pink, menulisan nama dan nomor telepon saya disana lalu memasukkan kertas itu ke dalam sebuah tabung transparan bersama kertas-kertas pink lainnya.
Lalu saya merasa bego karena diam saja.

"Eh, emm... Jadi saya bisa ikut kelas yang kapan?" Indah dari IALF di ujung sana pasti terheran-heran karena saya tidak menunjukkan antusiasme yang pantas bagi seseorang yang baru mendapatkan tempat cuma-cuma di sebuah kursus senilai Rp 3.450.000,00.

"Oh, waktu itu kan nulisnya untuk yang mulai tanggal 7 September ya?"

"Iya, Mbak, tapi saya pengennya bisa secepatnya. Kalau ada peserta kelas minggu depan yang mengundurkan diri.."
Sembari bicara saya berpikir. Gue dikerjain ga sih? Lalu dengan cepat saya me-recall siapa saja yang tahu soal saya dan kertas pink kecil. Tita.
Biarpun sepertinya tidak mungkin, mengingat penelepon saya ini dari nomor kantor, saya tak bisa menahan mata saya untuk tidak mencari sosok adik saya di dalam mini market.

"Masuknya ke kelas yang tanggal 7 September, Mbak"

"Oh, eh iya... Mmm, jadi tadi gimana Mbak? Saya nggak usah bayar?" Saya bisa bayangkan Indah dari IALF mungkin ingin membanting teleponnya saat itu juga. Tapi ternyata dia cukup baik dan profesional untuk tetap menanggapi kebegoan saya.

"Iya. Jadi nanti tinggal datang saja. Selamat ya."

"Oh, oke. Makasih banyak ya, Mbak." Kali ini saya yakin telah mengucapkannya dengan antusiasme yang pantas karena saya bisa marasakan bibir saya otomatis bergerak melebar ke samping atas. Hah, peduli amat masuk kelas tanggal 7 September! Ini gratis, Bung!

"Iya, sama-sama. Ditunggu ya."

"Iya, makasih ya.." Dan cengiran saya masih nangkring disitu ketika saya memutuskan hubungan telepon.

Aug 5, 2009

Un-multitasking

Sekedar ingin tahu aja nih. Sebenarnya ketidakmampuan saya bermultitasking itu masih dalam batas normal nggak sih?

Karena:
  1. Saya tidak bisa menulis sms sambil bicara. Pasti jadi salah ngomong dan salah ketik.
  2. Saya tidak bisa buka FB sambil browsing program master. Kalau ber-FB berari semua tabs saya FB semua. Kalau sedang browsing berarti tabs saya tentang hal itu semua.
  3. Saya tidak bisa browsing 2 hal yang berbeda bersamaan. Misal browsing resep kue dan mencari jurnal.
  4. Saya tidak bisa menonton dengan tenang sambil bicara atau telepon. Pasti jadinya saya merasa ketinggalan adegan filmnya.
  5. Saya kesulitan ber-YM dengan lebih dari 3 orang.
  6. Saya tidak bisa masuk ke mode sangat serius ketika mengerjakan sesuatu kalau masih ada suara musik.

Hah...

Aug 4, 2009

Pilihan

Memilih adalah perkara mudah ketika opsinya antara senang dan susah. Antara minum Milo atau Coca Cola (I hate soda!). Keputusan langsung dibuat dalam satu hembusan napas.

Tapi kalau pilihannya antara senang dan senang, misalnya waktu kecil dulu harus memilih antara nonton kartun atau ikut Mama jalan-jalan, rasanya lebih sulit. Karena saya harus mengorbankan salah satu kesenangan saya. Sulit, sulit...

Lebih sulit lagi kalau pilihannya antara susah dan susah. Antara minum Coca Cola atau makan sambal. Atau misalnya memilih antara keluarga atau pacar. Untungnya belum pernah terjadi pada saya. Tapi sepertinya pasti berat sekali rasanya untuk memilih salah satu dari orang yang kita sayangi untuk disakiti.
Memilih yang terbaik diantara yang terburuk, apapun yang dilakukan tetap saja bikin sakit hati.

That's why, sometimes even when we're sure that we've made the right decision, the pain of losing the other option doesn't go away. Sometimes we need to keep telling ourselves all the reasons why we took a decision in the first place. It doesn't help much with the pain. But it sure does help keeping us in sanity.

Jul 31, 2009

Beni dan Inspirasi

Suatu hari saya sedang getol main sebuah game. Pokoknya rasanya penasaran kalau belum ditamatin. Adik kecil saya, si Beni, dengan setia menonton aksi saya di layar laptop. Kemudian saya sampai di satu level yang sulit. Beberapa kali saya gagal pada level ini. Beni pun akhirnya tampak bosan dan pergi dari ‘bangku’ suporter. Tak lama kemudian saya menemukan triknya, dan berhasil melewati level tersebut. Ketika Beni kembali, dengan gembira dia berseru senang karena saya sudah bisa melewati level sulit yang tadi. Kemudian si Beni kecil ini bilang, ‘Yang tadi susah ya, Mbak Yasmin? Tapi dicoba terus, ya? Biarpun susah kalau dicoba coba coba coba terus lama-lama bisa ya?’.
Ah, anak ini. Mendengar omongannya saya ingat peribahasa Jepang, fall seven stand up eight. Siapa yang menyangka ketika saya sedang main game (kegiatan yang nampaknya tidak berguna) bersama seorang anak berusia 7 tahun, saya malah mendapat inspirasi. Hingga sekarang kalau sedang menghadapi persoalan sulit, saya sering teringat kata-kata Beni di hari itu.

Saya menganggap demikianlah cara inspirasi muncul. Tidak diduga, bahkan kadang di saat ketika kita tidak sedang mengharapkannya. Semua hal pasti ada manfaatnya, saya yakin itu, tergantung apakah saya bisa melihatnya atau tidak. Pernah suatu kali saya membaca tabloid gosip. Apa pula manfaatnya baca tabloid beginian kan?
Saya ingat waktu itu beritanya tentang Mayang Sari. Hebohlah si tabloid ini cerita kesana kemari, memojokkan si objek gosip. Tak sekedar menulis hasil wawancara dengan pihak yang berseteru dengan si objek, pada artikel yang ditulis pun si penulis enak saja beropini macam-macam tak jelas dasarnya apa. (Sebenarnya wartawan majalah gosip bisa dikategorikan ‘wartawan’ ga sih?). Hiihh, saya gemas sekali baca artikel itu. Dan bukan cuma satu dua tabloid saja yang isinya begini, kayaknya hampir semua deh. Trus, apa manfaatnya dibaca?
Ternyata yang namanya menjelek-jelekkan seseorang (biarpun memang orang itu jelek, biarpun pada awalnya kita teraniaya olehnya) hanya akan merendahkan martabat sendiri. Soalnya ketika baca artikel yang menyerang Mayang Sari gila-gilaan itu saya malah kasihan sama doi. Entahlah si doi ini salah apa tidak, yang jelas yang menjelek-jelekkan orang lain itu salah. Hanya karena kita diselingkuhi (misalnya..), bukan berarti kita berhak berselingkuh, kan? Memangnya kalau banyak orang yang minum minuman keras (misalnya..), bikin perbuatan itu bukan lagi dosa? Salah ya salah aja.
Nah, begitulah inspirasi yang saya dapat dari membaca tabloid gosip.

Karena saya bukan orang yang senang mambaca buku-buku inspirasi (‘100 Kisah yang Akan Menginspirasi Anda’, misalnya), suplai inspirasi saya dapatkan dari sekitar. Pernah juga sih dulu saya keranjingan sama Oprah. Rasanya semua kata-kata doi bisa jadi inspirasi buat saya.
Tapi waktu itu Bapak saya pernah bilang, ‘Kagumi ideologinya, bukan manusianya. Karena ideologi itu abadi, sementara manusia itu nggak lepas dari kesalahan’. Maksudnya, jangan kelewat kagum sama orang sampai-sampai orang ini bilang apa saja ditelan bulat-bulat, orang ini melakukan apa saja dianggap itulah pasti yang benar. Karena manusia pasti pernah salah, sesempurna apapun.

Bahkan Nabi Muhammad pun pernah salah. Kalau beliau yang konon manusia paling sempurna saja bisa salah, apalagi orang-orang yang kita tonton di televisi kan?
Ada juga kan pasti masanya ketika si pencetus ideologi itu tidak bertindak sesuai dengan apa yang pernah dikatakannya. Namanya juga manusia. Begitu deh kira-kira maksud si Bapak.

Tapi selain dari Oprah, seperti saya bilang tadi, inspirasi itu datangnya darimana-mana. Kadang orang yang sudah memberi saya inspirasi juga tidak sadar kalau dirinya sudah menginspirasi. Tidak harus selalu seorang PhD atau buku best-seller untuk mengatakan hal yang dapat membangkitkan semangat Anda. Si kecil Beni saja bisa ‘mengerti’ filosofi “fall seven, stand up eight” melalui sebuah GAME.

Saya rasa itu tergantung seberapa peka dan lihai seseorang melihat makna dari kejadian dalam kesehariannya. Dalam hal ini, Beni berarti cukup peka dan lihai.

Jul 24, 2009

Reminiscing The Alchemist

Once again I went through the pages of The Alchemist. It's not that I reread it (yet!). I just tried to reminiscing the reasons why I once thought this was the best book ever. Here I share some of my favorite quotes from the book.

"But that disaster taught me to understand the word of Allah: people not need fear the unknown if they are capable of achieving what they need and want. We are afraid of losing what we have, whether it's our life or our possesions and property. But this fear evaporates when we understand that our life stories and the history of the world were written by the same hand"
- The Camel Driver-

"When each day is the same as the next, it's because people fail to recognize the good things that happen in their lives every day that the sun rises."

"If you can concentrate always on the present, you'll be a happy man...Life will be a party for you, a grand festival, because life is the moment we're living right now"
-The Camel Driver-

"At that moment, it seemed to him that time stood still, and the Soul of the World surged within him. When he looked into her dark eyes, and saw that her lips were poised between a laugh and silence, he learned the most important part of the language that all the world spoke - the language that everyone on earth is capable of understanding in their heart. It was love. Something older then humanity, more ancient then the desert."

"If I am really a part of your dream, you'll come back one day."
-Fatima-

"When a person really desires something, all the universe conspires to help that person to realize his dream."
-The Alchemist-

"One is loved because one is loved. No reason is needed for loving."
-Fatima-

"Tell your heart that the fear of suffering is worse than the suffering itself."
-The Alchemist-

"Don't think about what you've left behind."
-The Alchemist-

"The wise men understood that this natural world is only an image and a copy of paradise. The existence of this world is simply a guarantee that there exists a world that is perfect. God created the world so that, through its visible objects, men could understand his spiritual teachings and the marvels of this wisdom."
-The Alchemist

When you are loved, you can do anything in creation. When you are loved, there's no need at all to understand what's happening, because everything happens within you.
-Santiago-

Well well, the list stil can go on and on...

Jul 23, 2009

Out of Misery

"I can't leave you. But you're constantly leaving me. You walk away when you want, you come back when you want. Not everyone, not your friends, but you leave me. So, I'm asking you, if you don't see a future with us. Please... please just end it because I'm in it. Put me out of my misery."
-Derek Shepherd, Grey's Anatomy-

Beberapa bulan lalu ketika saya menonton final episode Grey's Anatomy season 3, hanya sepintas lalu saya mengerti put me out of my misery ini. Sekarang rasanya lebih ngeh.

It's a misery when you feel insecure, in uncertaintities. When you keep worrying whether the thin glaze ice where you're standing is about to be broken. Quoting from The Alchemist, the fear of suffering is worse than the suffering itself.

That's why, people who really care about you won't let you live feeling insecure all the time.
Don't let yourself being swung around in uncertaintity, or worse, swing someone around in it. We all deserve to spend the day without any fear of suffering. Out of the misery.

Jul 6, 2009

Sepuluh Anak Negro

Berdasarkan referensi dari beberapa orang, akhirnya saya baca juga buku Sepuluh Anak Negro (And Then There Were None) nya Agatha Christie. Mama sudah punya buku itu sejak jaman dahulu kala namun tidak pernah saya baca. Hingga bukunya hilang.

Singkat cerita, weekend kemarin saya baca tu buku. Tepat seperti kata Ebi, tegang yang menyeramkan. Hingga pada satu bagian, saya sampai pindah dari kamar tidur (sendirian) ke ruang tengah yang ramai karena serem.

Saya bahkan rela tidur bareng adik saya yang baru pulang dari gunung dan belum mandi lantaran saya ogah tidur sendirian di bawah. Sebenarnya sih saya malah belum mau tidur sebelum buku itu selesai saya baca. Takut kebawa mimpi.

Mungkin akibat sugesti dari Ebi yang bilang buku ini serem makanya saya merasa parno sendiri. Mungkin memang ceritanya benar menegangkan. Entahlah.

Ceritanya simpel saja sih, seperti yang banyak ada di komik Conan. Sepuluh orang diundang ke sebuah pulau. Lalu satu demi satu mati. Pembunuhnya ada diantara kesepuluh orang tersebut. Dst.
Tapi tetap saja, karena penceritaan suasana ruangannya, hembusan anginnya, suara langkah kakinya, kecurigaan antar orang, jadinya saya ikut deg-degan.

Lalu ada puisi ini pula:
Sepuluh anak Negro makan malam;
Seorang tersedak tinggal sembilan.
Sembilan anak Negro bergadang jauh malam;
Seorang ketiduran, tinggal delapan.
Delapan anak Negro berkeliling Devon;
Seorang tak mau pulang, tinggal tujuh.
Tujuh anak Negro mengapak kayu;
Seorang terkapak, tinggal enam.
Enam anak Negro bermain sarang lebah;
Seorang tersengat tinggal lima.
Lima anak Negro ke pengadilan;
Seorang ke kedutaan, tinggal empat.
Empat anak Negro pergi ke laut;
Seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga.
Tiga anak Negro pergi ke kebun binatang;
Seorang diterkam beruang, tinggal dua.
Dua anak Negro duduk berjemur;
Seoranghangus, tinggal satu.
Seorang anak Negro yang sendirian;
Menggantung diri, habislah sudah.
Serem ah.

Jul 3, 2009

Bol-Cap

Bolu Cappuccino, demikian tertulis di buku resep Bolu & Cake yang baru saya beli di Pesta Buku Jakarta kemarin.
Sudah bela-belain beli dandang dan loyang, saya malah ketinggalan memasukkan susu dan vanili ke dalam adonan. Baru ingat ketika adonan sedang dikukus.

Hasilnya cukup menggembirakan dibandingkan yang sebelumnya. Paling tidak adonannya matang semua dan layak santap tanpa perlu dibuang bagian bawahnya.
Sayang bantet. Mau lihat?
Huahahahahahaha. Ini sih lebih mirip brownies ketimbang bolu.

Anw, lapisan kasar di atasnya itu bukan karena kesalahan pembuatan loh. Itu taburan kacang mede cincang (yang sialnya ternyata mahal. Sial!).

My Template, My Mood

Ganti template lagi. Padahal template sofa merah itu baru beberapa bulan.
Saya memang pembosan dan senang berganti-ganti template. Tergantung suasana hati juga.
Template sofa merah itu kesannya lebih rileks dan hangat. Kalau template kota ini sepertinya lebih dinamis. Soalnya akhir-akhir ini saya merasa ritme hidup saya sedang berakselerasi.

Sayang kolomnya kurang lebar, jadi ada sisa ruang yang agak sia-sia di kiri dan kanannya.
Tunggu saja berapa lama lagi saya akan beralih ke template blog yang lain. Hihi.

Jun 28, 2009

New Interest: First Step to Become A Wizard

Kotak ajaib a.ka microwave sudah datang. Tanpa diduga pula. Ternyata Mama sudah pesan dari lama tapi baru diantar kemarin. Yay!

Sambil mendemokan cara memakainya, si pengantar menjelaskan berbagai fungsi dari microwave yang satu ini. Bisa menghangatkan makanan atau minuman, bakar sate, masak telor segala macam. Tapi yang paling penting ini nih.. Bisa jadi oven! Huahahahahaha!
Senang hatiku!

Malamnya saya langsung mau coba praktek. Asal tahu saja, pengalaman masak saya sejauh ini hanya berkisar mi, telor, kornet, nasi goreng, dan, mungkin kalau bisa disebut, lekker.
Saya selalu kagum pada orang-orang yang lihai memasak. Wihi, seperti penyihir saja. Benar lho, ini tidak hiperbolis, saya benar-benar beranggapan demikian. Mengubah yang mentah dan kadang menjijikkan jadi sedap dimakan. Itu magic namanya. Hehe.

Anyway, microwave baru datang bersama sebuah buku resep kecil. Pilih pilih pilih, jatuhlah pilihan saya pada KUE APEL KARAMEL. Wuw, namanya saja sudah bikin ngiler.
Kebetulan semua bahannya tersedia kecuali apel dan susu kental manis. Ah, gampang ituu, tinggal beli di mini market dekat rumah saja.

Tapi saya tidak yakin pada keberadaan si timbangan kue. Setelah mengaduk-aduk isi dapur dan diperkuat oleh kesaksian si Mbak, ternyata benar saja timbangan kue itu tak ada. Sudah hilang entah kemana ketika saya pindahan dulu.

Kecewa, tapi tak surut semangat, saya berniat membeli timbangan kue malam itu juga. Karena niat yang tertunda biasanya awal dari kealpaan, maka saya tetapkan malam ini juga, ketika niatan saya masih membara, saya harus bikin kue. Ditemani dua adik saya, kami melaju ke Superindo terdekat.
Sialnya tidak ada timbangan kue. Hwahh, supermarket macam apa ini?
Sekali lagi saya mantapkan niat, kami pindah ke Naga. Ada! Yay!

Sampai di rumah saya baru ingat, saya punya loyang tidak ya? Pasalnya kan saya tidak boleh memasukkan bahan plastik ketika menggunakan fungsi oven. Aduk aduk aduk, akhirnya saya menemukan panci yang lumayan besar tapi masih muat di microwave. Ini namanya tak ada rotan akar pun jadi.

Dengan riang saya mulai membuat karamel. Saya ikuti petunjuk di buku resep yang ternyata kurang informatif. Bingung juga saya jadinya. Kapan adonan satu dengan adonan yang lain dicampur tidak jelas. Ya sudahlah, kalau ujung-ujungnya dicampur, kan tidak masalah kapan dicampurnya. Jadi saya campurkan saja semena-mena.
Lucunya, hingga akhir petunjuk, tidak disebutkan soal mencampurkan parutan apel yang tercantum di daftar bahan. Hah, sudahlah masukkan saja belakangan.
Dicantumkan di resep adalah "parutan kasar apel". Tapi saya sudah malas lagi mencari dimana parutan berada. Walhasil saya potong kecil-kecil saja apelnya lalu saya lemparkan ke adonan.

Ketika akan memasukkan ke "loyang", saya baru sadar panci saya, eh maksudnya loyang, ada pegangan yang terbuat dari karet. Huaaaaaaah!
Kembali lah saya berklontang-klontang di dapur hingga akhirnya mendapatkan panci lain tanpa pengangan yang diameternya lebih kecil. Pas sekali adonannya masuk ke panci tersebut.
Saya ragu juga sih, dengan ketebalan segini, apa mungkin bagian dalam adonan bisa matang?
Tapi toh adonan sudah terlanjur jadi. Ini ibarat maju kena mundur kena. Yasudah kalau sama-sama kena, saya pilih maju saja.
Diiringi bismillah, saya masukkan adonan itu ke oven.

20 menit kemudian.
Si kue dikeluarkan. Tapi begitu saya tes dengan menancapkan pisau pada kue tersebut, kontan saja adonan di dalamnya yang masih cair merembes keluar. Huh. Masuklah kembali ia ke dalam oven.

10 menit kemudian.
Si kue dikeluarkan. Tak lagi ada cairan ketika saya tancapkan pisau. Yay!
Dengan semangat saya balik "loyang"nya di atas piring. Sulit juga melepasnya. Begitu lepas... oooh, saya bersyukur karena piring yang saya gunakan cukup besar dan cekung sehingga cairan adonan yang belum matang tidak lari kemana-mana.
Huhuhuhuu... Sia-sialah segala gula, tepung terigu, telur, baking powder dkk yang telah saya investasikan dalam adonan ini. Begitu pikir saya sesaat.
Tapi kemudian saya sadar bagian atas dari kue ini masih selamat. Yeah. Maka dengan agak kesusahan saya potong bagian atas kue dan saya letakkan di piring baru. Yay!

Mau tahu bagaimana bentuknya?
Aduh maaf sekali, tapi kabel data HP saya lagi trouble.

Kalau menurut adik saya rupanya seperti pizza meat lover. Huahahaha. Tapi saya lumayan terhibur karena ia juga mengakui kalau kue setengah jadi ini enak. Anda boleh tidak percaya, tapi memang lumayan enak kok rasanya. Terasa seperti karamel dan apel. Hehe. Adik saya juga jelas-jelas tidak hanya lip service, itu bukan keahliannya apalagi kalau subyeknya saya. Buktinya pagi ini ia tandaskan semuanya tanpa menyisakan sedikit pun untuk saya. (Sial!)

Ini belum selesai. Saya sudah terlanjur menginvestasikan Rp 64.100 untuk beli timbangan kue. Sayang kalau hanya dipakai sekali. Saya malah berencana menambah investasi dengan membeli loyang. Hahaha.
Ya, saya memang kadang keras kepala. Tapi kalau menurut Om Churchil kan, courage is going from failure to failure without losing enthusiasm, jadi takpapalah yang pertama ini gagal. Suatu hari saya pasti bisa jadi penyihir beneran yang bisa bikin kue super enak!
(Amin!)

Jun 13, 2009

"enemy"

As far as I know, I don't have enemy. But sure I have my least favorite person in the world. The closest person I'd refered as my enemy. Thanks to Facebook, I just noticed that this person is now fulfilled with happiness.

And, I, strangely, feel happy for this person.

Can't help but wonder, how could I?
What happen to "their misery is my joy and their joy is my misery"?
I guess sometime life's just less dramatic than soap opera.

Jun 6, 2009

New Project

Meet Ebi, my extraordinary bestfriend-partner, and our new project. I copied this from her multiply.

temaannssss...
Gw lagi dalam proses mau buka delivery book rental (a.k.a ReadingWalk) nih. Konsepnya sama dengan beberapa perpustakaan, cuma didalemnya kita punya competitive advantage

Nah, sama seperti perpustakaan, main core dari ReadingWalk ini pastinya koleksi-koleksi buku. ReadingWalk mau ngajakin siapa aja diluar sana yang berminat
untuk kerjasama outsourcing buku sama delivery book rental ini.

Bentuk kerjasamanya gimana?
Jadi, temans semuanya, siapapun itu, bisa nitipin bukunya di ReadingWalk, untuk nantinya dipinjemin sama ReadingWalk ke para member yang terdaftar. Itung-itung ketimbang bukunya nganggur - di tumpukan samping tempat tidur, di lantai kamar, di rak buku, atau (paling sadis) ketumpuk di kardus-kardus di gudang dan ternyata nantinya dibuang - lebih baik bukunya kita pinjemin ke orang - orang untuk saling memberi manfaat.. betul bukan???

Bukunya yang bisa dititipin buku apa aja???
Buku apppaaaaaaaa ajjjjaaaaa dari berbagai genre.... mulai dari yang fiksi sampe non-fiksi. berbagai jenis novel, komik, buku-buku self improvement, biografi, sastra, sejarah indonesia, dan baik itu terjemahan maupun bahasa Indonesia. Gak cuma buku, ReadingWalk juga nerima berbagai jenis majalah. baik itu masih baru maupun udah second. Persyaratan mengenai jenis buku yang bisa dititipin cuma satu, buku harus asli. Gak dooonnggg ngebajak hak cipta kreativitas orang
lain...


Bukunya nantinya diapaiiinn??? kalo kenapa - kenapa gimana????
Khawatir nantinya nasip bukunya bakal gimana, tenang aja...don't worry dan tetep heppi... karna pengelola ReadingWalk udah mastiin gimana nantinya sistem peminjaman buku ini supaya bukunya tetep aman selama dalam masa peminjaman oleh member. Kalau nantinya terjadi apa-apa sama si buku (baik itu kerusakan kecil kayak kena noda atau halaman kelipet,, ataauu yang paling parah, si buku tercinta ini hilang), ReadingWalk akan bertanggung jawab sesuai dengan "musibah" yang terjadi sama si buku.

Terus Pemilik Buku Bisa Dapet apa?
Naaahhhh....buat yang iniiii.... kita udah nyiapin bentuk kerjasama menarik yang pastinya ngasih hasil investasi terbaik buat kedua belah pihak. Hal ini nanti akan diinformasiin sama ReadingWalk begitu pemilik buku tertarik sama kerjasama ini.
Untuk keterangan lebih jauh, silakan PM gw (yang melalui Multiply) atau kirim email ke readingwalk@gmail.com

yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa........ Gw tungguuuuuuuuuuuuuuuuuuuu...............


You can also email me for further information. :)

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...