Mar 26, 2010

Loving(2)

Beberapa waktu lalu saya pernah bilang ingin menanam bunga matahari.

Saya tanamlah biji bunga matahari yang dikirim oleh Aalayaa. Butuh beberapa waktu hingga akhirnya batang hijau kecil itu muncul dari permukaan tanah. Saya senang sekali ketika pertama melihatnya.

Sayang, saat itu saya sedang disibukkan oleh banyak hal sehingga sering alpa menyiramnya. Hingga suatu hari saya menemukan ia sudah layu. Sedih rasanya.

Tanggal 16 kemarin, saya pergi ke sebuah toko tanaman, membelikan kado titipan dari teman saya untuk pacarnya, yang tak lain adalah sahabat saya sendiri. Disana saya bertanya-tanya tentang cara menanam bunga matahari. Si penjaga toko hanya berpesan dua hal: banyak terkena matahari dan disiram satu kali sehari.

Siap!

Ternyata metode saya yang kemarin salah. Saya tidak terlalu memperhatikan apakah si tunas memperoleh cukup matahari dan beranggapan bahwa menyiramnya dua atau tiga hari sekali saja cukup.

Berpegang kedua tips itu, saya pun menanam kembali bunga matahari.
Kali ini saya lebih telaten. Saya letakkan di tempat yang saya tahu akan terkena matahari namun tidak akan terkena hujan (belakangan ini kan hujan suka kejam). Tiap malam pun saya selalu membagi air minum saya dengannya.

Ia pun tumbuh, cantik.
Warnanya hijau sehat. Meskipun batangnya masih kecil, tapi tampak kokoh. Saya tak sabar melihat ia berbunga sekaligus tak ingin cepat-cepat melewatkan masa-masa melihatnya tumbuh.

Malam ini saya mendapati dirinya terkulai di potnya. Daunnya tak segar lagi.
Eh, ternyata akarnya bahkan sudah tercabut.
Aaaah, saya bisa merasakan ada sesuatu yang menusuk. Rupanya saya sudah sayang pada makhluk mungil cantik ini.

Jangan tanya kenapa ia mati, saya tak tahu. Padahal ia masih kecil. Akarnya saja masih pendek.
Apapun yang menimpanya, tampaknya akar kecilnya belum cukup kuat untuk menahannya.
Huff huff... Begini nih kalau terlanjur sayang. Saat kehilangan jadi terasa sekali.


**


Menyayangi itu bisa menyakitkan. Tapi sekaligus juga sangat menyenangkan.
Well, at least, saya senang telah diberi kebesaran hati untuk merasakan sayang itu dan melimpahkannya kepada makhluk cantik ini. :)

Saya akan menanam bunga matahari lagi. Kali ini akan saya jaga lebih baik.
Saya akan sayangi bunga matahari itu. Kali ini akan lebih saya sayang dari yang sebelumnya.
:D

Btw, saya jadi ingat sebuah quote: Love like you've never been hurt before.

Mar 21, 2010

13 A

Pertamanya saya kira hanya perasaan saya saja, tapi ketukan di bahu saya semakin tegas barulah saya sadar ada seorang Bapak sedang berdiri disamping kursi saya. Si Bapak memanggil saya rupanya. Saya lepaskan headset dari telinga, memutuskan pendengaran saya dari lagu Saving All My Love For You yang sedang khusyuk saya dengarkan.

"Adek di kursi mana?"
Saya segera merogoh tiket kereta. "13 A B", jawab saya, merujuk pada posisi tempat duduk saya dan Tita, adik saya, di Cirebon Express ini.
"Gerbong satu?"
Saya mencermati lagi tiket yang saya pegang. No. Kereta 1. "Iya, gerbong satu", saya menjawab mantap. "Bapak di kursi mana?", saya balik tanya.
"13 A, gerbong satu", ia menjawab. Saya meminta tiketnya. Benar juga, 13 A gerbong satu.
Cek nama kereta, benar kok Cirebon Express.
Cek tanggal, benar kok 21 Maret 2010.
Cek apa lagi?

Saya bingung.
Si Bapak pun bingung.
Apalagi tak ada petugas di sekitar kami.
Penumpang lain di sekitar kami pun urun rembuk. Penumpang di 12 A B yang naik bersama kami dari Tegal sekitar 2 jam lalu, ibu-ibu di 12 C, serta bapak-bapak di 13 C yang baru saja naik bersama si Bapak yang memegang tiket 13 A ini.

"Jam berapa keberangkatannya?", ibu-ibu 12 C bertanya.
"16.15".
"Oh, udah lewat itu Mbak. Ini yang jam 6" ujar si Ibu. Ehh, gimana sih Bu. Saya kan maksudnya 16.15 wib dari Tegal. Belum sempat saya menjawab, seorang Bapak di 11 B sudah menyambar,
"Naik dari Tegal, Bu. Udah bener kok jamnya"

Kok bisa sih terjadi seperti ini, saya terheran-heran, setahu saya sistem tiket KA kan terkomputerisasi. Tita sudah bersiap akan mencari petugas yang berwenang (yang saat itu raib entah kemana) ketika mas-mas 12 A meminta lihat tiket saya.
Sesaat ia memeriksa tiket saya. "Mbak, tiket ini di kelas Bisnis", ujarnya.

Eh, eh?

Ia menunjukkan kolom "Kelas" yang dibawahnya tertulis "Bisnis" pada tiket saya. Untuk beberapa saat saya bingung. Lho, ini kan memang kelas bisnis, bukan?
Lalu otak saya mulai bekerja, alamakjaang. Ah, bodoh. Saya lupa.
Kalau di pesawat kan kelas bisnis berarti kelas yang bagus. Tapi kalau untuk kereta, namanya kan "eksekutif".
Sial, saya pula yang ternyata salah!
Ah, bakal malu nih.

Tarik napas.
Lalu saya lemparkan senyuman termanis yang bisa saya buat kepada mas-mas 12 A, tersebut. "Oh iya, wah saya salah ternyata. Makasih ya Mas".

Lalu saya minta maaf pada Bapak pemegang tiket 13A, "maaf Pak, saya yang salah ternyata. Seharusnya saya di gerbong satu, tapi di bisnis. Ternyata nomor gerbongnya sama ya", masih pasang senyum tentunya. Untung si Bapak mengerti, ia malah turut mempertanyakan kenapa nomor gerbongnya tidak dibedakan saja.

Cepat-cepat saya bereskan barang-barang dan sampah. Setelah mengucapkan permisi kepada orang-orang yang telah urun rembuk saya berbalik dan menuju gerbong bisnis.
Chin up.

Untuk muka saya tidak gampang merah. Soalnya dalam hati saya tengsin beraaaat.
Aaaah.

Mar 13, 2010

Unwanted Options

A close friend of mine once told me a movie she had just watched (which I forgot the title). It was a movie about two girls who went on a trip. My friend described one of the girls as someone who didn't really know what she wanted but knew exactly what she didn't want.

Something happened to me recently. I am not sure whether it is a good thing or bad thing. On one hand, I felt disappointed. On the other hand, this incident led me to realization of things that I don't want.
Confusing?

Well, suppose you have 20 meal options and you are asked to decide which one you like best. You might not sure which one you want to choose. There are too many options! So you might want to start with eliminating meals you can't or don't like to eat. If you're moslem, you can start with eliminating any meal with pork.
Then you might have your own personal appetite. Let's say you're not favoring salty food. So the next thing you can do, probably, is to pick a meal randomly and try it. You might decide immediately that you don't like the meal (it is too salty!) or you might to pick another meal to be compared with before you come to conclusion.
You keep eliminating meals you don't like and in the end there are only meals you do like. It's quite tough to decide which one is the best when all you have are the best ones. But they are the best options anyway. You'll end up satisfied with any of them.

Hehehe. Am I making you even more confuse? Gyhahaha.

Well, here's what I am trying to say.
I see life as a table with millions meal options. It offers many things, too many things in fact. I am amazed at people who now exactly what they want in their lives. They leave no doubt in their heart about where they're going to go.
They might be people who can instantly point out their favorite meals without going through the others.

Me, on the other side, isn't like that. I have my doubts. Even though I know what I want in the end of the road (for this one I am sure), I still have curiousity for other things. I don't want to leave any regret because I fail to try to achieve anything that I think I'd love to have.
I go through each option, eliminating the ones I dislike, go from one option to other option. Because sometimes, I am troubled to understand which one I don't like before I am really in the middle of it. It goes the other way around too. Some things that I thought I'd hated turned out to be my most precious things.

It's always good to find out what I don't like. Because it means that I am getting closer to what I want. So, well, back to my doubt about whether a recent incident is good thing or bad thing, I know now that it is one of the good ones.

It's always good anyway. Like LG said, life's good.
Hehehe.

Mar 9, 2010

Prejudice

"Ah, gombal banget tuh".
Saya yang sedang menikmati jus melon dingin sambil memantau Twitter, jadi teralih.

"Cowok itu," teman saya menunjuk ke arah televisi yang menampilkan seorang cowok diwawancara.
Oh, rupanya si cowok ini sedang ditanya oleh si reporter.
"Gimana kalo pasangan Anda ternyata punya penyakit yang cukup parah?"
Dan dijawablah oleh si cowok, "ya saya tetap menerima apa adanya."
Nah, jawaban ini yang dituding sebagai gombalan oleh teman saya.

Seperti banyak wanita lain, teman saya ini mungkin sedang dalam cynical period tentang cowok.
Dimengerti.
Saya pernah merasakan cynical period itu. Beberapa teman dekat saya malah berada dalam cynical period dalam waktu yang lama (baca: sampai sekarang).

Lucunya, sering kali yang jadi korban kesinisan adalah gebetan atau pasangan mereka sendiri.
Misal, "masa ya dia bilang gue (isi dengan sebuah kalimat pujian). Iih, gombal banget sih. Sebel".
Kadang frase terakhir berubah jadi "brengsek", "dia kira gue bego apa", "tukang tipu", dll dll.

Saya akui sih, banyak cowok tidak baik (kalau 'brengsek' terlalu vulgar ya? Ahaha) di sekitar kita. Tapi, rasanya banyak juga kok yang benar-benar baik.
Iya kan? Anda pasti setidak-tidaknya kenal 1 orang cowok yang benar-benar baik.

Makanya, biarpun saya tidak termasuk golongan cowok, tapi saya suka tidak terima ketika teman-teman cewek saya mempunyai prejudice yang begitu menghakimi pada kaum pria.
Karena Bapak saya, adik saya, beberapa teman dekat saya termasuk golongan itu dan menurut saya mereka baik.

Ketika, misalnya, si pria ini ternyata terbukti tidak baik, memainkan perasaan si wanita sesuka hati, sok atuh.. Plot a revenge. Give him a lesson he won't forget. Kick him hard, girls!

Tapi selama si pria tidak melakukan apa-apa, bahkan menyiratkan pun tidak, kenapa dia harus dihukum untuk sesuatu yang belum terjadi?

Moreover, why hope for the worst anyway?
Kalau kata Nadya, harapan itu tidak boleh tanggung-tanggung. In other words, hope only for the best.


PS:
Apapun yang saya tulis diatas, bisa berlaku vice versa juga sih. Maksudnya bisa jadi pria yang ber-prejudice pada si wanita. :P



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Mar 3, 2010

Losing Yourself

People always think that the most painful thing is losing the one you love. But
the truth is, losing yourself in the process of loving someone too much and
forgetting that you're special too, is equally painful.

runawaytrain.tumblr.com

Hehe.
Lama tidak nge-blog, saya cuma mampir untuk nge-drop quote menarik diatas.

Tell me what you think about the quote. :)
Have you ever experience losing yourself because you love someone too much?
Is losing yourself, indeed, the price we need to pay for happiness?

Yuk yuk. Bantu saya membangun tulisan yang lebih panjang. :D

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...