Mar 22, 2007

love and smart


You can’t be in love and smart at the same time

Quote di atas mengingatkan saya akan seorang teman. Dia cinta sekali pada (mantan) pacarnya. Bahkan setelah sang mantan pernah mencacinya dengan kata-kata kotor (ketika itu statusnya masih pacar), tapi teman saya ini tetap keukeuh ingin balik lagi. Meskipun sang mantan ini sangat otoriter dan posesif, tetap saja tak menggoyahkan niatnya.
”apa sih yang bikin lo pengen banget balik sama dia?”, saya penasaran.
”abis.. kayaknya dia ngertiin gue banget”. Es teh manis yang sedang saya minum rasanya ingin tersembur keluar. Gimana sih? Bukannya dulu putus karena si pacar kelewat posesif sampai-sampai teman saya ini ga boleh jalan sama siapapun teman cowoknya? Sampai-sampai sang pacar menetapkan ’jam malam’ untuk si teman saya ini?
(Kata-kata di atas kemudian diralat menjadi : si (mantan) pacar tahu betul sifat teman saya, namun tidak mengerti perasaannya)

Kalau kata Agnes Monica, cinta itu tak ada logika. Tak ada gunanya mengajak teman saya ini berlogika. Saya yakin ia bukan orang pertama dan satu-satunya yang mengalami ini.
Memang sulit kalau sudah pakai hati. Kalau kata Madonna, you only see what your eyes want to see. Kadang rasanya lebih mudah membohongi perasaan dan berpura-pura ‘I am totally fine!’, daripada mengakui kebenaran bahwa si dia ternyata memang bukan jodoh.

Ngomong-ngomong tentang jodoh, beberapa minggu kemarin orang tua dari salah satu teman saya yang lain resmi bercerai. Ya, setelah 23 tahun menikah akhirnya si tante bercerai dari si om. Si tante tak lagi cinta pada si om. Mungkin ada alasan lain. Saya tak tahu dan tak mau tahu.

Saya juga pernah kok tiba-tiba merasa tak cinta(kalau itu bisa dibilang cinta...) lagi pada (mantan) pacar saya. Padahal dulu rasanya dia lah jodoh saya. Ternyata perasaan itu bertahan kurang dari dua tahun saja. Lalu saya bertemu orang lain yang rasanya jodoh saya lagi. Eh, ternyata lagi-lagi perasaan itu hanya bertahan sekitar satu tahun.

Trus, saya sempat takut ’duh, gimana kalo nanti mau nikah ya? Rasanya jodoh, rasanya bisa selamanya, ternyata di tengah jalan semuanya hilang’.
Mungkin cinta saja tidak cukup ya? Ya iya, menikah juga butuh komitmen yang besar.
Ya, ya, selain itu? Gimana kalau di tengah-tengah cintanya luntur (cie.. luntur) dan mulai merasa tidak nyaman? Bisa saja sih bertahan tidak bercerai sampai maut memisahkan tapi sengsara.

Huf, kata ’menikah’ masih terlalu berat buat saya. Saya ganti kalimat di atas dengan : Bisa saja sih bertahan tidak putus tapi sengsara bo!
Lha, ini yang repot.

’Kalau gue bisa sabar dan bertahan seperti ini terus, gue ga akan putus sama dia’, saya pernah berpikiran seperti itu. Masalahnya ternyata, ’sabar dan bertahan’ itu membuat saya kehilangan identitas. Maksudnya, saya bukan lagi menjadi orang yang saya inginkan, saya tidak lagi menyukai diri saya sendiri. Pilihannya menjadi kehilangan dia atau kehilangan diri sendiri.
Kalau waktu pacaran saja si doi sudah berani menghina, sudah mulai berani mengatur-atur jadwal kegiatan, sudah berani marah-marah, sudah sukses membuat mata sembab saban minggu apalshi selingkuh, terbayang ga apa jadinya ketika menikah nanti? Selamat buat yang memang punya kriteria suami idaman demikian, mungkin memang si doi orang yang tepat.

Suatu kali Oprah pernah berkata, tiap manusia memiliki kata hati. Itu tuh, perasaan tidak enak ketika kita akan melakukan suatu dosa. Suara-suara kecil yang bilang ’mmm... kayaknya engga deh...’. Secara naluriah, manusia punya kemampuan di bawah sadarnya untuk merasakan datangnya bahaya termasuk kebohongan. Masalahnya adalah bagaimana menyadari naluri itu. Kalau menurut Oprah sih, semakin sering kata hati itu dicuekin, maka akan semakin pelanlah suaranya.

Ada saatnya saya mulai merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan. Lalu ada suara kecil dalam diri saya yang bilang ’hmm... i dont think he’s the one’. Tapi lalu saya balik bilang ke suara itu : ‘duh, tau apa sih situ? Ini yang namanya cinta emang butuh pengorbanan! If he can’t suit himself wih me, i’ll suit myself with him’.
Ya udahlah, masalah suit-suit ini yang jadi ribet. Siapa menyesuaikan siapa?

Jawaban bijak dari pertanyaan di atas adalah : dua-duanya dong saling menyesuaikan.
Komposisinya 50%-50%. Kalau ada alat tes nya (namanya mungkin suitermeter) jadi terukur dengan jelas. Sayangnya, teknologi belum sampai secanggih itu. Jadilah perasaan yang jadi alat ukur. Seperti telah diketahui oleh khalayak ramai bahwa yang namanya perasaan kan relatif. Dan kalau kata Marthen Kanginan, sesuatu yang relatif sulit dijadikan alat ukur.

Tapi kalau kata perasaan (saya) sih: yang penting merasa nyaman, dengan si doi dan diri sendiri.
Toleransi juga pasti ada batasnya. Ketika batas toleransi itu dilewati, saatnya buat keputusan : mau melonggarkan toleransinya atau menyudahi saja?

Mungkin…
you can’t be smart and be in love at the same time
cinta tak ada logika
you only see what your eyes want to see
memang bukan sekedar kata-kata tanpa makna?
Makanya, saya buat postingan ini. Mumpung belum in love seharusnya saya lagi smart. Nanti kalau saya lagi in love, ingatkan untuk membaca posting ini.
:)

Mar 4, 2007

ketika hujan

ini juga salah satu file yang saya temukan ketika saya membereskan folder-folder di laptop.



Semalam Bandung hujan. Semalam saya ingat Bapak, Mama, dan adik-adik saya. Semalam saya kangen rumah.

Hujan adalah sesuatu buat saya. Entah mengapa, saya merasa hujan membuat saya lebih peka terhadap emosi. Hujan mengingatkan saya akan rasa senang, kangen, kesepian, bahkan kesedihan.

Suatu kali, Bapak saya pernah mengajak saya ke teras setelah hujan reda. Ia menyuruh saya menghirup dan menikmati udara setelah hujan. Katanya, ketika hujan turun, air hujan membawa serta debu-debu dan kotoran yang ada di atas ke bawah, dan mengendapkannya ke tanah. Maka, udara setelah hujan adalah udara yang bersih, karena debu-debu telah dibawa kembali ke tanah. Entah benar atau hanya sugesti, tapi buat saya udara setelah hujan memang terasa berbeda. Wanginya juga berbeda. Saya telah belajar menikmati wangi tanah yang lembab setelah hujan sejak kanak-kanak.

Hujan mengingatkan saya akan masa kecil saya. Hujan mengingatkan saya pada lembabnya rumput di halaman. Hujan mengingatkan saya akan rumah.
Ya, rumah. Bukan apartement atau kondominium.Saya mungkin kolot. Saya tidak suka membayangkan saya harus memarkir mobil saya di basement, naik lift atau bahkan harus melewai lobby terlebih dahulu, lalu menyusuri lorong dengan selusin lebih pintu yang serupa.Saya ingin garasi. Saya ingin pintu yang berbeda dengan tetangga sebelah. Saya ingin halaman. Saya ingin rumput hijau. Saya ingin teras. Saya ingin tempat dimana saya bisa melakukan hal-hal apatis yang saya sukai : nonton, baca buku, menulis.

Hujan mengingatkan saya akan ’hidup’nya sebuah rumah.Ketika hujan datang, ia membuat saya berhenti sejenak. Untuk berteduh. Untuk memberi sebuah jeda dalam rutinitas. Untuk memberikan ruang bagi pikiran ini untuk berkhayal. Untuk menyempatkan diri mendengar cerita seorang teman. Untuk menghadapi kesedihan yang telah lama dihindari.Untuk semua hal di atas dan yang lainnya, saya menikmati hujan.

ditolak

Cerita di bawah ini sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, dan juga sudah ditulis beberapa bulan yang lalu. Namun karena satu dan lain hal, saya diminta untuk menunda publishingnya di blog.

*

Beberapa menit telah berlalu sejak adzan Maghrib. Langit sudah gelap, hujan gerimis turun membasahi. Dari gedung UPT, saya dan dua orang teman saya berlari-lari kecil ke arah gedung SBM (School of Business and Management). Tiba di pintu belakang SBM, kami mendapati pintu terkunci berikut sebuah tulisan “DITUTUP”. Sudah tanggung untuk memutar balik menuju mushalla HIMATIKA. Kami pun memutar menuju pintu depan SBM. Pasrah berhujan-hujanan lagi. Dari jarak beberapa meter dari pintu depan, sudah terasa udara dingin air conditioner. Sebelum masuk, saya dapat melihat seorang satpam dan beberapa pegawai SBM sedang duduk-duduk di dekat pintu depan. Tak ada pikiran apapun dalam kepala saya. Ini bukan kali pertama saya datang ke SBM sekedar untuk numpang shalat atau toilet. Maklumlah, mushalla dan toilet SBM memang terbilang jauh lebih terawat daripada tempat lain di kampus ini (mungkin hanya bisa dibandingkan dengan toilet Campus Center). Ditambah lagi letaknya yang persis di belakang gedung Teknik Industri dan UPT.
Toh, saya mahasiswa ITB. SBM bagian dari ITB. Berarti tidak salah dong kalau saya memanfaatkan salah satu fasilitas kampus? Begitu pikir saya.
Namun sayang sekali, entah karena penampilan kami yang agak mengenaskan (sendal jepit becek berikut bawaan kantong kresek hitam, berisi Nescafe dan pillow cheese, dan pakaian yang agak basah) atau memang sedang sial, begitu kami masuk ke pintu utama SBM, sang satpam langsung menghampiri dan bertanya, ”maaf Mbak, dari jurusan mana?”
”TI”, jawab saya. Saya mulai merasakan ketidakberesan. Sejak kapan asal jurusan menjadi penting untuk masuk ke dalam SBM? Jangan-jangan selintingan yang sering saya dengar tentang larangan mahasiswa non-SBM masuk ke gedung SBM itu benar...?
Tak perlu lama saya menebak-nebak, ”maaf Mbak, kalau bukan mahasiswa SBM tidak boleh masuk”, si satpam melanjutkan.
Hah?HAH? Tunggu tunggu, pikir saya. Tidak boleh masuk??
”Kita cuma lagi nyari tempat paling deket buat shalat aja kok pak. Soalnya di luar kan hujan juga”, ujar saya, bukan untuk mempersuasif tapi lebih untuk mengungkapkan keheranan saya.
”Wah, bukan maksudnya kita menghalangi untuk shalat. Tapi udah aturannya dari atas begitu mbak”, ujar si satpam lagi.
”Aturan dari dekannya?”, tanya saya.
”Iya mbak”
Saya nyaris tidak percaya ini. Saya jadi ingat, beberapa kali saya mengajak teman saya non SBM untuk shalat di SBM, beberapa dari mereka kadang bertanya ”emangnya gapapa min?”. Dan saya jawab, ”ya gapapalah. Emang kenapa? SBM kan ITB juga. Sama aja kayak kita shalat di Matematika kan?”. Kadang ada juga yang menanggapi dengan, ”yah, tapi gue lagi ga rapi nih. Malu ah”, yang bikin saya gemas.
(Ketika itu) bukan SBM nya yang bikin saya gemas. Tapi orang-orang yang merasa dirinya tidak ’pantas’ untuk masuk gedung SBM. Saya tidak suka dengan sikap pengecilan diri sendiri ini. SBM bukan istana kali. Orang-orangnya pun bukan dewa. Masa hanya karena kita naik angkot, berkaos, dan tidak pakai barang bermerk, lantas merasa lebih rendah?
Dan setahu saya pun, teman-teman yang saya kenal di SBM juga bukan orang-orang picik yang suka merendahkan orang lain hanya karena outfit atau materi. Dulu saya pikir konyol kalau ada yang berpikir ada larangan masuk SBM. Sekarang tampaknya justru saya yang harus mengakui kekonyolan saya.
Kembali ke malam itu, dengan agak kesal saya bertanya kepada si satpam, ”memang apa bedanya SBM sama jurusan lain? Saya biasanya shalat di jurusan lain juga ga masalah”. Saya tidak terlalu mendengarkan jawabannya, karena itu hanya pertanyaan retoris buat saya. Bukan salah si satpam ini, saya tahu. Ia hanya menjalankan tugasnya. Dan mungkin di salah satu job desc nya ada sebuah poin yang menyatakan ”menanyai setiap orang yang tidak dikenal. Bila bukan mahasiswa atau pegawai SBM atau tidak ada keperluan yang penting, jangan diperbolehkan masuk”.
”...jadi memang sudah aturannya begitu..”, si satpam menjelaskan sementara kedua teman saya bertanya entah apa sedangkan saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Ya sudahlah, saya tak ingin memohon. Lagipula waktu Maghrib mulai mendekati akhir.
”Ya udahlah, kita shalat di Matematika aja”, saya ingin segera beranjak dari sana. Tiba-tiba udara air conditioner nya terasa terlalu menggigit.
”Maaf ya mbak”, ujar si satpam.
Saya tersenyum dan menjawab, ”yah lain kali saya ngomong dulu sama dekannya deh”, sambil melangkah keluar.
Di luar masih hujan dan langit semakin gelap. Lagi, kami berpasrah diri berhujan-hujan menuju mushalla HIMATIKA. Masih dengan bersandal jepit, kantong kresek hitam dan pakaian yang semakin basah, untungnya kali ini tidak berakhir dengan penolakan.

*

Tidak ada maksud apa-apa bila akhirnya saya mempublish tulisan ini. Semata mata hanya karena tiba-tiba saya menemukan file ini ketika merapikan folder-folder di laptop, dan ingat kalau saya pernah berjanji akan mempublishnya.
Supaya tidak berat sebelah, mungkin saya bisa tambahkan : aturan pelarangan masuk itu ternyata memang efektif menurunkan tingkat kehilangan di SBM (menurut pengakuan dekan dan satpam SBM).
Oya, satu lagi : benar kata teman saya kalau dekan SBM memang ramah dan menghargai mahasiswa.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...