Oct 18, 2008

C Type Brain

Hari ini, pada kuliah yang paling saya least expected ternyata amazingly saya menemukan hal yang menarik (ini pujian atau hinaan sih?).

Saya terlambat 30 menit. Dan karena tidak dapat tempat duduk, saya baru masuk kelas 1 jam setelah kuliah dimulai.
Pokoknya, masuk-masuk dosennya sedang menerangkan tentang tipe-tipe otak, A B C D. A itu analyzer, B itu kayak manajer gitu, C itu orang-orang yang senang bersosialisasi, sedangkan D itu tipe-tipe artist (i said 'artist' with 't' not 'artis').

Langsung saja ya. Ketika dosen saya menerangkan tipe C itu, si social butterfly, orang-orang yang memiliki perhatian lebih kepada orang-orang sekitarnya, saya merasa... sangat jauh dari tipe itu.
Oke, mungkin ada beberapa hal tipe C yang saya miliki, tapi yang jelas bukan bagian "memperhatikan orang-orang di sekitarnya".
Yang dimaksud orang-orang disekitarnya disini adalah teman-temannya.

Sebenarnya saya sudah agak lama mempertanyakan hal ini.
Saya punya nih satu teman yang rajin sekali membalas atau memberi komen pada kawan-kawannya di blog, FB, FS, you named it.. Yap, dan ia bisa menghabiskan berjam-jam membuka FB (saya juga berjam-jam buka FB, tapi hanya untuk main who has the biggest brain)

Saya pikir, ada baiknya juga demikian. Menjaga hubungan dengan orang lain lah paling tidak. Maka saya mencoba untuk berbuat hal yang sama.
..
..
Ternyata saya tak cukup sabar. Bahkan kadang saya tak cukup betah untuk sekedar membalas komen orang. Membalas saja tak cukup betah, apalagi "berbalas-balasan" seperti yang biasa dilakukan teman saya.

Oh ya, ada lagi. Kalau teman saya ini lagi online di YM, hampir semua yang online disapa olehnya.
Saya? Online YM saja jarang-jarang, padahal internet 24 jam di kosan. Kalaupun online, biasanya saya mencari seseorang untuk ditanyai sesuatu. Masih bagus kalau tidak invisible.

Nah, saya juga pernah nih mencoba mengikuti jejak teman saya dengan menyapa orang-orang (lihat kan, kata ulang artinya jamak!!).
..
..
Saya kewalahan. Saya kesulitan ngobrol dengan beberapa orang sekaligus, sembari membuka-buka situs.


Sudahlah, saya pikir, mungkin saya memang bukan teman saya (memang bukan sih..).
Saya memang dominan introvert. Sering asyik sendirian dan agak tertutup (kecuali di blog ini mungkin).

Bahkan ketika mobil saya kemarin dibobol maling dan laptop saya di ambil (that's another story), saya hanya menelepon 2 orang.
Pertama Mama saya.
Kedua teman saya, Bunga, untuk menginformasikan bahwa laptopnya yang kebetulan juga ada di bagasi mobil saya masih selamat dan minta ijin meminjam laptop tersebut untuk mengerjakan tugas.
Itu pun saya telepon setelah saya selesai membuat laporan kehilangan di polisi.

Bukan apa-apa sih. Saya bukannya terlalu sedih atau emosional sampai-sampai tidak bisa menghubungi orang lain lagi. Saya justru menghindari orang yang saya hubungi menjadi terlalu sedih atau emosional untuk saya.
Tapi senang juga sih ketika beberapa teman saya mengirim sms untuk menyemangati (entah dari mana mereka tahu)

Buat saya sih, namanya juga musibah, ikhlasin saja. Memang sih data TA yang sudah diolah berikut Bab 1, sedikit Bab 2 dan Bab 3 serta referensi-referensi internet hilang sudah, tapi toh masih bisa dikerjakan ulang. Saya masih simpan kuesionernya, jadi datanya masih bisa diinput ulang.

Intinya, pada keadaan tertentu saya ini kurang emosional. Dan keadaan tersebut bukannya dipaksakan, tapi secara natural memang demikian saya menghadapi kejadian kemarin malam itu. Saya tidak perlu berusaha keras mendinginkan hati. Iya, hati saya mencelos dan degup jantung saya bertambah cepat. Tapi itu hanya untuk sekitar 10 menit saja.

Kalau kata teman-teman, saya ini terlalu santai. Kalau lagi dibilangin begitu, saya bela diri saya dengan mengatakan bahwa saya ini pakai logika.
Tapi diam-diam saya bertanya-tanya juga sih, apa iya ya saya ini terlalu santai?

Kembali ke tipe C tadi, orang-orang dengan dominasi tipe ini cenderung lebih emosional, yang mana sepertinya sangat bukan saya.
Tapi sungguh lho, saya ingin meningkatkan kemampuan saya di area C ini. Jadi saya akan lebih sabar membalas komen orang-orang, menyapa mereka di YM, memulai sms dengan kawan lama hanya untuk menanyakan kabar, dsb.

Wah, saya jadi merasa jahat.

Oct 16, 2008

'tolong' dan prasangka

Beni, adik saya yang paling bungsu, sekarang sudah masuk Sekolah Dasar. Sudah mulai pintar membaca, menulis dan sedikit Bahasa Inggris. Ia pun sudah mulai pintar menyuruh orang. Seperti,
"Mau makaaan!"
"Susu doong!"
dst.

Berulangkali orangtua saya mengingatkan, "Katakan 'tolong'!" tiap kali akan menyuruh orang lain melakukan sesuatu untuk kamu.

Kadang kita mungkin tidak sadar, betapa besarnya pengaruh kata 'tolong' atau 'minta tolong' dalam kalimat kita. Itu saya rasakan sendiri beberapa hari kemarin.

Beberapa hari kemarin saya dan seorang rekan datang ke sebuah kantor untuk urusan pekerjaan. Pendeknya, selesai berdiskusi dengan pejabat yang bersangkutan, saya print hasil diskusinya. Karena siangnya kami akan rapat, maka saya bertanya kepada rekan saya tersebut. Perlukah dokumen ini di fotokopi?

Lalu rekan saya menjawab, suruh saja si mas itu siapa namanya untuk fotokopikan.

Siang itu memang cukup panas. Mungkin hati saya jadi ketularan panas. Yang jelas kalimat itu terasa tidak enak saya dengar.
Mungkin bukan masalah besar bagi orang lain. Tapi kalau saya disuruh oleh sesorang yang bahkan lupa nama saya, rasanya sih saya kesal juga.
Lagipula menggantikan 'menyuruh' dengan 'minta tolong' it won't cost you anything.

Mungkin saya terlalu sensitif dan membesarkan masalah. Yah, entahlah mungkin saja begitu.
Karena menurut saya menyuruh seseorang tanpa nada yang sopan atau kata 'tolong' itu agak merendahkan. Yah, sepertinya saya memang berlebihan. Saya yakin rekan saya tidak berpikir sampai kesana.

But here's the funny part, ketika seseorang merendahkan orang lain, satu-satunya orang yang menjadi rendah justru orang itu sendiri.

Bicara tentang merendahkan orang lain, saya jadi ingat kata-kata seorang teman dulu. Dia bilang begini. Tidak ada orang yang merendahkan orang lain tanpa merendahkan dirinya sendiri.

Saya pun bingung, maksudnya apa?

Lalu dijelaskan oleh teman saya ini. Seseorang hanya merendahkan orang lain ketika ia merasa dirinya sendiri belum cukup tinggi. Karena ia merasa tidak tinggi, maka ia perlu membuat orang lain lebih rendah agar meskipun ia tidak menjadi yang tertinggi, setidaknya ia bukan yang terendah.

Tentu saja banyak cara merendahkan orang lain. Kadang tanpa sadar meskipun tidak terucap, kita merendahkan orang lain dalam pikiran kita. Itu terjadi pada saya. Bahkan di tulisan ini pun saya sedang menjudge rekan saya. Dan saya merasa itu sukar dikendalikan.

Saya rasa memang sudah sifat alamiah manusia untuk memberikan judgement kepada orang lain. Kadang terlalu dini dan dangkal.
Bahkan seorang Nabi pun pernah berprasangka kepada orang lain.

Di sisi lain, saya juga sering merasakan menjadi korban prasangka orang lain. Dan itu membuat saya sedih, marah, kecewa. Tapi lalu kalau saya pikir-pikir lagi, kenapa harus sedih, marah, kecewa?

Orang lain berhak berprasangka. Saya pun tak akan punya daya untuk membendung semua prasangka orang. Tapi saya punya kontrol atas apa yang akan saya lakukan dan pikirkan. Jadi selama saya pikir apa yang saya lakukan adalah benar, buat apa memusingkan prasangka orang?
Hidup ini terlalu singkat untuk selalu memikirkan pendapat orang lain tentang saya. Terutama dari orang-orang yang tidak dekat dengan saya, dan belum tentu punya niatan baik terhadap saya.

Itu sih menurut saya. :)

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...