Your Blogging Type is Confident and Insightful
You've got a ton of brain power, and you leverage it into brilliant blog.
Both creative and logical, you come up with amazing ideas and insights.
A total perfectionist, you find yourself revising and rewriting posts a lot of the time.
You blog for yourself - and you don't care how popular (or unpopular) your blog is!
***
kali ini bukan comlabs yang bikin saya menunggu. melainkan sebuah warnet 24jam yang beara persis di seberang kimia farma dago. padahal kan bayar... kok lama sih??
sambil menunggu2 email penting terkirim ke teman saya (lama banget woi attach nya!!), saya iseng2 mengisi kuis online tentang "my blogging personality". hasilnya, ya yang di atas itu?
bagaimana menurut anda? akurat nggak?
May 27, 2007
May 18, 2007
Apa Budaya Kita?
Malam dua hari kemarin saya berniat pulang ke jakarta dengan XTrans. Hari ini penuh sampai malam, demikian kata operatornya melalui telepon.
Tapi saya harus pulang. Sudah kepalang janji. Ya sudah, saya nekat saja datang kesana sebagai waiting-list.
Begitu saya datang, ternyata suasana sedang 'ricuh'. Bukan hanya karena padat oleh calon penumpang (maklum, mau long weekend)tapi juga karena seorang pemuda, kira-kira seumuran saya, sedang marah-marah pada resepsionis (apa ya sebutan untuk orang2 yang memberikan tiket ke kita itu?). Dari yang saya dengar, saya menangkap beginilah kejadiannya :
Si Pemuda dan Pacarnya telah memesan 2 tiket melalui telepon untuk jam tertentu. Sayangnya, mereka tidak sampai di pool tepat pada waktunya alias terlambat dari jadwal. Mereka terlambat karena jalanan macet. Di jalan, mereka telah berusaha menghubungi Xtrans untuk membeitahukan keterlambatan mereka namun karena suasana sedang ramai, dering telepon tersebut tidak terdengar oleh pegawai Xtrans. Ketika pada waktu yang dijadwalkan kedua orang ini belum datang juga, maka pegawai Xtrans memberikan satu tiket kepada seorang waiting list yang telah menunggu.Ketika akhirnya kedua orang ini datang, ternyata kendaraan yang seharusnya mereka tumpangi juga belum terlambat. Marahlah kedua orang ini. Kenapa tiketnya diberikan kepada waiting list padahal ketika mereka datang pun kendaraan belum berangkat? Demikian kira2 kata si Pemuda.
Sang pegawai Xtrans pun tak mau kalah. Anda kan terlambat dari jadwal yang ditetapkan, oleh karena itu memang sudah ketentuannya kalau tiket tersebut dapat diberikan kepada orang lain yang telah menunggu terlebih dahulu disini! Begitu ujar si Pegawai.
Adu argumen tersebut berulang-ulang begitu terus. Semakin seru ketika si Pacar ikut bergabung dan ikut marah-marah pada para pegawai. Saya tak tahu siapa yang benar. Tapi yang jelas kedua belah pihak sama-sama 'terlambat dari jadwal'. Si Pemuda dan Pacar terlambat sampai. Sedangkan pihak Xtrans, terlambat memberangkatkan kendaraannya.
Saya jadi ingat pembicaraan saya dengan seorang teman beberapa hari sebelumnya, terkait dengan budaya terlambat ini. Teman saya yang bercerita, saya sih hanya mendengarkan.
Ada seorang dosen saya yang tak ambil peduli ketika mahasiswanya datang terlambat. Gaya mengajarnya pun terkesan bebas dan ekspresif. Kadang sambil duduk di atas meja. Kadang juga ditambah dengan menyandarkan kakinya di meja mahasiswa baris depan yang kosong. Dosen ini menggunakan banyak asisten untuk membantunya. Baik untuk membuat slide di kelas hingga membuat soal ujian.
Ada seorang dosen yang lain. Kalau terlambat pada kuliahnya, lebih baik tidak usah masuk saja. Kalau nekat, resikonya ia bisa mengadakan kuis dadakan untuk seluruh kelas. Sepanjang pelajaran mahasiswa 'dipaksa' menjadi perhatian. Kalaupun tidak kuat, tidur saja (kalau sial, paling-paling ketika bangun nanti akan disuruh mengerjakan soal atau disindir). Tapi jangan berani-berani mengeluarkan desisan selembut apapun, kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia memperbolehkan mahasiswanya berdiskusi.
Salah seorang teman saya mengemukakan argumennya, tentang mengapa kedua hal tersebut dapat terjadi. Mudah saja, keduanya mengambil S2 atau S3 di negara yang berbeda. Dosen pertama lulusan Amerika. Dosen kedua lulusan Jepang.
Apakah budaya suatu negara memang sangat berpengaruh pada perilaku orang?
Kembali ke soal Xtrans tadi, akhirnya si Pemuda (yang mungkin pernah sekolah di Amerika) dan Pacar mendapatkan tempat setelah seorang pegawai mengusahakan dengan susah payah (nggak tau susah payah apa enggak sih, tapi dia berkali-kali mondar-mandir).
Apakah memang ini budaya negara kita? Permisif terhadap segala hal. Ya keterlambatan, ya korupsi, ya kemacetan, ya kemiskinan, dan lain lain.Apa lagi ya?
Tapi saya harus pulang. Sudah kepalang janji. Ya sudah, saya nekat saja datang kesana sebagai waiting-list.
Begitu saya datang, ternyata suasana sedang 'ricuh'. Bukan hanya karena padat oleh calon penumpang (maklum, mau long weekend)tapi juga karena seorang pemuda, kira-kira seumuran saya, sedang marah-marah pada resepsionis (apa ya sebutan untuk orang2 yang memberikan tiket ke kita itu?). Dari yang saya dengar, saya menangkap beginilah kejadiannya :
Si Pemuda dan Pacarnya telah memesan 2 tiket melalui telepon untuk jam tertentu. Sayangnya, mereka tidak sampai di pool tepat pada waktunya alias terlambat dari jadwal. Mereka terlambat karena jalanan macet. Di jalan, mereka telah berusaha menghubungi Xtrans untuk membeitahukan keterlambatan mereka namun karena suasana sedang ramai, dering telepon tersebut tidak terdengar oleh pegawai Xtrans. Ketika pada waktu yang dijadwalkan kedua orang ini belum datang juga, maka pegawai Xtrans memberikan satu tiket kepada seorang waiting list yang telah menunggu.Ketika akhirnya kedua orang ini datang, ternyata kendaraan yang seharusnya mereka tumpangi juga belum terlambat. Marahlah kedua orang ini. Kenapa tiketnya diberikan kepada waiting list padahal ketika mereka datang pun kendaraan belum berangkat? Demikian kira2 kata si Pemuda.
Sang pegawai Xtrans pun tak mau kalah. Anda kan terlambat dari jadwal yang ditetapkan, oleh karena itu memang sudah ketentuannya kalau tiket tersebut dapat diberikan kepada orang lain yang telah menunggu terlebih dahulu disini! Begitu ujar si Pegawai.
Adu argumen tersebut berulang-ulang begitu terus. Semakin seru ketika si Pacar ikut bergabung dan ikut marah-marah pada para pegawai. Saya tak tahu siapa yang benar. Tapi yang jelas kedua belah pihak sama-sama 'terlambat dari jadwal'. Si Pemuda dan Pacar terlambat sampai. Sedangkan pihak Xtrans, terlambat memberangkatkan kendaraannya.
Saya jadi ingat pembicaraan saya dengan seorang teman beberapa hari sebelumnya, terkait dengan budaya terlambat ini. Teman saya yang bercerita, saya sih hanya mendengarkan.
Ada seorang dosen saya yang tak ambil peduli ketika mahasiswanya datang terlambat. Gaya mengajarnya pun terkesan bebas dan ekspresif. Kadang sambil duduk di atas meja. Kadang juga ditambah dengan menyandarkan kakinya di meja mahasiswa baris depan yang kosong. Dosen ini menggunakan banyak asisten untuk membantunya. Baik untuk membuat slide di kelas hingga membuat soal ujian.
Ada seorang dosen yang lain. Kalau terlambat pada kuliahnya, lebih baik tidak usah masuk saja. Kalau nekat, resikonya ia bisa mengadakan kuis dadakan untuk seluruh kelas. Sepanjang pelajaran mahasiswa 'dipaksa' menjadi perhatian. Kalaupun tidak kuat, tidur saja (kalau sial, paling-paling ketika bangun nanti akan disuruh mengerjakan soal atau disindir). Tapi jangan berani-berani mengeluarkan desisan selembut apapun, kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia memperbolehkan mahasiswanya berdiskusi.
Salah seorang teman saya mengemukakan argumennya, tentang mengapa kedua hal tersebut dapat terjadi. Mudah saja, keduanya mengambil S2 atau S3 di negara yang berbeda. Dosen pertama lulusan Amerika. Dosen kedua lulusan Jepang.
Apakah budaya suatu negara memang sangat berpengaruh pada perilaku orang?
Kembali ke soal Xtrans tadi, akhirnya si Pemuda (yang mungkin pernah sekolah di Amerika) dan Pacar mendapatkan tempat setelah seorang pegawai mengusahakan dengan susah payah (nggak tau susah payah apa enggak sih, tapi dia berkali-kali mondar-mandir).
Apakah memang ini budaya negara kita? Permisif terhadap segala hal. Ya keterlambatan, ya korupsi, ya kemacetan, ya kemiskinan, dan lain lain.Apa lagi ya?
May 7, 2007
nightmare?
Saya dan keluarga saya sedang berlibur ke Amerika. Kami sedang berjalan-jalan di sebuah pertokoan ketka tiba-tiba semua stasiun televisi menayangkan berita telah terjadi pemboman di suatu tempat di Amreika oleh sebuah pesawat jet tidak dikenal. Dan selama siarannya berlangsung, bom-bom itu semakin bertambah banyak. Lalu entah bagaimana, tiba-tiba datanglah banjir besar. Maka, kami sekeluarga pun terseret arus. Yang ada di pikiran saya waktu itu adalah bahwa saya harus segera ke bandara.
Maka, dengan cara yang ajaib, kami pun tiba di depan bandara. Ternyata sudah banyak turis-turis seperti kami disana, semua panik. Saya bahkan sempat bertemu dengan salah seorang teman kampus saya yang juga kebetulan sedang berlibur. Di tengah kericuhan suasana, saya dan keluarga menebak-nebak,siapa gerangan yang berani menggempur Amerika? Apakah China? Jepang?
Belum lagi pertanyaan itu terjawab datanglah sebuah tank berikut tentara-tentaranya. Saya berdoa salam hati, semoga ini berarti baik. Salah seorang tentara keluar dari tank. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja Bapak mengacungkan senapan ke arahnya. Sebagai reaksi, tentara itu melempar granat ke arah kami. Untungnya kami sempat menghindar.
Lalu mulailah saya dan seluruh orang yang ada disana memohon untuk dipulangkan ke negara masing-masing. Saya benar brnar kalut waktu itu. Saya benar benar takut kami akan terjebak dalam perang antah berantah ini.
Tak lama, si tentara memberikan pengumuman : hanya wanita dan anak-anak yang akan dipulangkan. Prianya (mungkin) menyusul.
Entah bagaimana, saya punya firasat para laki-laki ini tak akan dipulangkan ke negaranya. Mungkin mereka akan dijadikan ’romusha-romusha’. Maka saya pun menangis sekeras-kerasnya. Saya tidak mau meninggalkan Bapak saya disini. Saya menangis lamaaaaa sekali. Hingga tiba-tiba...
”yasmin... yasmin..”. Ada yang memanggil saya dan detik berikutnya, saya mendapati saya ada di tempat tidur, di Taman Plesiran, Bandung, Indonesia. .Yang saya sadari selanjutnya adalah saya bangun dengan nafas memburu. Mungkin akibat ’menangis’ dalam mimpi?
Mimpi saya boleh jadi sangat buruk. Tapi di akhir cerita, saya benar-benar sangat lega ketika tahu itu hanya mimpi. Berbeda dengan di lain waktu ketika saya sedang bermimpi indah, dan tiba-tiba terbangun. Rasanya saya kesal sekali pada yang membangunkan (ketika itu mama yang membangunkan saya).
Saya tidak tahu, mana yang lebih baik :
Mimpi indah dan mengetahui (sayangnya) itu hanya mimpi?
Atau
Mimpi buruk dan mengetahui (thank God!) itu hanya mimpi?
Maka, dengan cara yang ajaib, kami pun tiba di depan bandara. Ternyata sudah banyak turis-turis seperti kami disana, semua panik. Saya bahkan sempat bertemu dengan salah seorang teman kampus saya yang juga kebetulan sedang berlibur. Di tengah kericuhan suasana, saya dan keluarga menebak-nebak,siapa gerangan yang berani menggempur Amerika? Apakah China? Jepang?
Belum lagi pertanyaan itu terjawab datanglah sebuah tank berikut tentara-tentaranya. Saya berdoa salam hati, semoga ini berarti baik. Salah seorang tentara keluar dari tank. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja Bapak mengacungkan senapan ke arahnya. Sebagai reaksi, tentara itu melempar granat ke arah kami. Untungnya kami sempat menghindar.
Lalu mulailah saya dan seluruh orang yang ada disana memohon untuk dipulangkan ke negara masing-masing. Saya benar brnar kalut waktu itu. Saya benar benar takut kami akan terjebak dalam perang antah berantah ini.
Tak lama, si tentara memberikan pengumuman : hanya wanita dan anak-anak yang akan dipulangkan. Prianya (mungkin) menyusul.
Entah bagaimana, saya punya firasat para laki-laki ini tak akan dipulangkan ke negaranya. Mungkin mereka akan dijadikan ’romusha-romusha’. Maka saya pun menangis sekeras-kerasnya. Saya tidak mau meninggalkan Bapak saya disini. Saya menangis lamaaaaa sekali. Hingga tiba-tiba...
”yasmin... yasmin..”. Ada yang memanggil saya dan detik berikutnya, saya mendapati saya ada di tempat tidur, di Taman Plesiran, Bandung, Indonesia. .Yang saya sadari selanjutnya adalah saya bangun dengan nafas memburu. Mungkin akibat ’menangis’ dalam mimpi?
Mimpi saya boleh jadi sangat buruk. Tapi di akhir cerita, saya benar-benar sangat lega ketika tahu itu hanya mimpi. Berbeda dengan di lain waktu ketika saya sedang bermimpi indah, dan tiba-tiba terbangun. Rasanya saya kesal sekali pada yang membangunkan (ketika itu mama yang membangunkan saya).
Saya tidak tahu, mana yang lebih baik :
Mimpi indah dan mengetahui (sayangnya) itu hanya mimpi?
Atau
Mimpi buruk dan mengetahui (thank God!) itu hanya mimpi?
compliement and asking
“No compliement, no asking, you just wait”
I found those words hanging on my friend’s wall couples month ago. I don’t know exactly what was that about and I don’t know how to ask. And I just let it went that way.
Bicara tentang ‘compliement’ dan ‘asking’, saya adalah salah satu orang jarang (baca: malas) sekali mengeluh. Terutama tentang kesehatan. Selama ini, saya selalu merasa adik saya terlalu berlebihan kalau menyangkut kesehatan.
‘ma, kepalaku sakit..’
‘ma, hidungku mampet..’
‘ma, kaki ku sakit…’
‘ma, ada bintik merah..’
’ma, ternggorokan gatel..’
Dan lain lain dan lain lain...
Tapi, belakangan saya mulai merasa, seperti justru saya yang terlalu cuek. Sakit kepala? Minum panadol atau tidur. Tenggorokan sakit? Kecapean aja kali. Hidung mampet? Besok juga sembuh. Sakit perut? Laper kali.
Secara umum, tiap kali saya mendapati gejala-gejala semacam ini, saya selalu menyimpulkan bahwa saya hanya kecapean.
Dan karena ibu saya seorang dokter, sejak kecil saya tidak terbiasa datang ke rumah sakit atau klinik untuk sekedar check up. Pertama kalinya saya datang check up ke rumah sakit adalah ketika saya berumur 18 tahun. Dan ketika itu, saya bahkan tidak satu bagaimana prosedurnya. Hingga sekarang pun, kalau tidak parah parah amat (seperti suhu badan saya mencapai 40 derajat), saya malas pergi ke dokter. Biarpun teman teman saya suka heboh sendiri menyuruh saya ke dokter, saya tetap keukueh demi alasan : Mahal... (Menjadi sangat sangat mahal terutama buat saya yang biasanya nggak perlu bayar untuk check up ke dokter saya a.k.a. ibu saya sendiri).
Dan ternyata, karena terlalu sering mengabaikan symtomps2 itu, saya jadi sakit beneran. Suara habis, demam tinggi, batuk-batuk tiada henti sampai keluar air mata. O ou... mungkin saya memang terlalu meremehkan segala sakit2 ringan itu. Mungkin adik saya ada benarnya dengan selalu mengeluhkan segala hal yang dia rasa tidak beres.
Lalu saya berkesimpulan : Maybe i don’t care enough about myself.
Well, at least it is about ‘myself’. Saya tidak secuek ini kok sama orang lain. Suuuuuueer....
Tapi ternyata itu pandangan yang salah. Bukan berarti karena ini tentang diri sendiri maka saya berhak melakukan seenak jidat saya. Ada yang bilang ”you have to learn to love yourself before you try to love anyone else”. Kalau saya saja tidak peduli pada diri saya sendiri, bagaimana saya bisa berharap orang lain peduli pada saya?
Maka saya mulai melatih diri saya untuk lebih sering berkata “I deserved….”. Lagipula, saya juga lupa bahwa sebenarnya badan ini hanya titipan kan?
In my case, i deserved healthy (and sometimes more expensive) foods. I deserved to have enough sleep. I deserved to have a healthy body.
In other’s cases, perhaps it can be ‘I deserved attention’, ‘I deserved to be heard’, etc etc. Kadang, kalimat-kalimat itu terdengar egois, tapi buat saya, itu adalah salah satu cara menghargai apa yang saya punya dan saya rasakan. Menjadi tegar buat saya ternyata bukan berarti berhenti mengeluh dan menjadikan diri ini kebas. Tapi justru menerima dan menghargai apa yang kita rasakan dan bisa berbuat sesuatu untuk memperbaikinya.
Ternyata buat saya, ‘do compliement and asking’ sama sekali bukan ide buruk.
I found those words hanging on my friend’s wall couples month ago. I don’t know exactly what was that about and I don’t know how to ask. And I just let it went that way.
Bicara tentang ‘compliement’ dan ‘asking’, saya adalah salah satu orang jarang (baca: malas) sekali mengeluh. Terutama tentang kesehatan. Selama ini, saya selalu merasa adik saya terlalu berlebihan kalau menyangkut kesehatan.
‘ma, kepalaku sakit..’
‘ma, hidungku mampet..’
‘ma, kaki ku sakit…’
‘ma, ada bintik merah..’
’ma, ternggorokan gatel..’
Dan lain lain dan lain lain...
Tapi, belakangan saya mulai merasa, seperti justru saya yang terlalu cuek. Sakit kepala? Minum panadol atau tidur. Tenggorokan sakit? Kecapean aja kali. Hidung mampet? Besok juga sembuh. Sakit perut? Laper kali.
Secara umum, tiap kali saya mendapati gejala-gejala semacam ini, saya selalu menyimpulkan bahwa saya hanya kecapean.
Dan karena ibu saya seorang dokter, sejak kecil saya tidak terbiasa datang ke rumah sakit atau klinik untuk sekedar check up. Pertama kalinya saya datang check up ke rumah sakit adalah ketika saya berumur 18 tahun. Dan ketika itu, saya bahkan tidak satu bagaimana prosedurnya. Hingga sekarang pun, kalau tidak parah parah amat (seperti suhu badan saya mencapai 40 derajat), saya malas pergi ke dokter. Biarpun teman teman saya suka heboh sendiri menyuruh saya ke dokter, saya tetap keukueh demi alasan : Mahal... (Menjadi sangat sangat mahal terutama buat saya yang biasanya nggak perlu bayar untuk check up ke dokter saya a.k.a. ibu saya sendiri).
Dan ternyata, karena terlalu sering mengabaikan symtomps2 itu, saya jadi sakit beneran. Suara habis, demam tinggi, batuk-batuk tiada henti sampai keluar air mata. O ou... mungkin saya memang terlalu meremehkan segala sakit2 ringan itu. Mungkin adik saya ada benarnya dengan selalu mengeluhkan segala hal yang dia rasa tidak beres.
Lalu saya berkesimpulan : Maybe i don’t care enough about myself.
Well, at least it is about ‘myself’. Saya tidak secuek ini kok sama orang lain. Suuuuuueer....
Tapi ternyata itu pandangan yang salah. Bukan berarti karena ini tentang diri sendiri maka saya berhak melakukan seenak jidat saya. Ada yang bilang ”you have to learn to love yourself before you try to love anyone else”. Kalau saya saja tidak peduli pada diri saya sendiri, bagaimana saya bisa berharap orang lain peduli pada saya?
Maka saya mulai melatih diri saya untuk lebih sering berkata “I deserved….”. Lagipula, saya juga lupa bahwa sebenarnya badan ini hanya titipan kan?
In my case, i deserved healthy (and sometimes more expensive) foods. I deserved to have enough sleep. I deserved to have a healthy body.
In other’s cases, perhaps it can be ‘I deserved attention’, ‘I deserved to be heard’, etc etc. Kadang, kalimat-kalimat itu terdengar egois, tapi buat saya, itu adalah salah satu cara menghargai apa yang saya punya dan saya rasakan. Menjadi tegar buat saya ternyata bukan berarti berhenti mengeluh dan menjadikan diri ini kebas. Tapi justru menerima dan menghargai apa yang kita rasakan dan bisa berbuat sesuatu untuk memperbaikinya.
Ternyata buat saya, ‘do compliement and asking’ sama sekali bukan ide buruk.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...