AC menghembuskan udara sejuk di dalam ruangan. Di dalam selimut saya meringkuk nyaman. Merebahkan setiap jengkal otot saya pada spring bed. Lelah seharian habis sudah tergerus.
Perlahan saya terbawa ke alam sadar. Kedip, kedip, kedip. Voila, saya membuka mata dan pagi menyapa.
Dan lagi-lagi, lagi-lagi, tak secuil ingatan pun nyangkut tentang bagaimana saya bisa tertidur semalam. Yang saya yakin, saya tertidur sekitar jam 10.
Aaaaaarrrrrgggghhhhh.
Begitulah pagi saya akhir-akhir ini. Saya bangun dan berpikir, "kapan ketidurannya?".
Jadi masalahnya, kawan, bukan pada pagi hari tapi pada malam hari. Belakangan ini (baca: sejak pindah kantor ke Senayan) tubuh saya seakan tak lagi sanggup dibawa sadar melintas tengah malam.
This is not the plan.
Rencananya, saya akan tidur lebih malam, bangun lebih siang karena toh sekarang jam kerja saya dimulai jam 9 (di kantor yang dulu jam kerja saya dimulai jam 7). Rencananya saya akan sampai di rumah sekitar jam setengah 9, dan pada jam 9 atau setengah 10, saya sudah mandi, makan dll. Dilanjutkan dengan mengurusi ReadingWalk atau hal lainnya. Tapi seperti saya bilang, kenyataan tak berjalan sesuai rencana.
Hari-hari ini adalah kondisi dimana saya belum mendapatkan ritme hidup yang baru. Anda tahu rasanya?
Biasanya ketika ada perubahan yang major atau cukup besar dimana kita harus menyesuaikan lagi jam-jam kegiatan kita. Pada masa-masa transisi itu seringkali badan saya masih mengikuti ritme yang lama padahal tuntutan yang saya hadapi sudah berbeda. Dan badan saya ini, tidak bisa secara instan dipaksa mengikuti ritme tertentu. Ia agak rewel dan ngeyel, sehingga harus sedikit demi sedikit dibujuknya.
Pada masa transisi ini seringkali saya jadi merasa kehilangan banyak waktu. Mungkin karena badan saya juga lagi bingung dan akhirnya memutuskan untuk tidur saja. Tak hanya soal jam kerja yang berubah, ada juga hal-hal lain dalam hidup saya yang butuh penyesuaian ulang.
Les Perancis, misalnya. Term saya sudah habis, dan saat ini seharusnya saya mendaftar untuk term baru. Namun, sayangnya demi alasan efisiensi, saya harus pindah dari CCF Salemba ke CCF Wijaya. Meskipun belum eksekusi, tapi saya yakin paling tidak ada perubahan waktu dan sebagainya.
Lalu hal lain lagi, saya sudah tidak LDR lagi. Pacar saya, somehow, bertepatan dengan saya pindah kerja, juga dipindahkan oleh kantornya ke Jakarta. Dari yang biasanya saya sudah menetapkan waktu jam sekian hingga sekian untuk menelepon atau chatting, sekarang jadi bisa langsung bertemu. Lebih melelahkan, jelas. Tapi jauh lebih menyenangkan juga sih. :P
Jadi saat ini saya sedang berusaha memaksa badan saya untuk bisa sadar hingga tengah malam. Harapannya supaya saya bisa lebih produktif. Cih, sok rajin benar saya. Hahaha. Yah paling tidak supaya saya bisa menemukan ritme yang lebih nyaman. Yang tidak membuat saya bangun pagi-pagi dan meraung, ngapain aja semaleeeeeemmm.....
Jun 26, 2010
Jun 14, 2010
Virus Menikah Muda
Ada notifikasi Facebook baru di inbox saya. Setengah mengantuk saya pilih open.
Ah, wedding invitation. Berarti ini adalah invitation ke-2 untuk bulan Juli. Sementara untuk bulan Juni sendiri, sudah ada 4. Betapa sibuknya sang pembuat janur kuning.
*
Syahdan, di sebuah waktu di masa yang lampau saya pernah bercita-cita ingin menikah di usia 27 atau 28. Mengapa?
Errr... Entahlah. 27 atau 28 terdengar matang dan, ketika itu sih, terdengar masih lama dari masa kini. :P
Maka ketika room mate saya memutuskan untuk menikah tahun 2008 silam, I can't help but wonder why does she want to tie the knot so quick?
Tak hanya sekali dua kali saya bertanya, setengah bercanda juga sih, lo yakin mau nikah?. Pertanyaan yang seandainya didengar oleh calon suaminya akan berakibat pada melayangnya sebuah panci ke arah kepala saya.
Dan room mate saya menjawab, kenapa enggak?
Quick facts tentang room mate saya:
1. Ia dan pacarnya sudah pacaran (ketika itu) sekitar 3 atau 4 tahun.
2. Ia setahun lebih tua dari saya dan pacarnya beberapa tahun lebih tua dari dia.
3. Ketika itu pacarnya sedang S3 di Eropa.
4. Pacarnya sudah punya penghasilan tetap.
5. Teman saya akan melanjutkan S2 di tempat yang sama dengan pacarnya.
Intinya saya jadi bingung juga dengan jawaban kenapa enggak itu. Sebenarnya saya punya tanggapannya sih, tetapi saya urungkan niat mengutarakannya karena terdengar kekanak-kanakkan dan labil. Fufufu.
Maka saya mengganti pertanyaan dengan kok lo bisa yakin sih mau nikah sama dia?
Kali ini mungkin yang melayang kompor, lengkap dengan gasnya dan api yang menyala.
Dan room mate saya lagi-lagi menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, emang mau cari yang gimana lagi?
Yang gimana kek.
It was not because I didn't like his guy. Saya yakin kok pacar teman saya ini baik dan mereka cocok dan seterusnya. Saya hanya amazed pada fakta bahwa teman saya ini, yang ketika itu usianya belum 23 tahun, bisa yaqqiiin mbuliqqiin (istilah Mama untuk benar-benar yakin) untuk berkomitmen pada satu pria ini ini. Seumur hidup. For better for worse.
Ini sebenarnya tanggapan kekanak-kanakan dan labil yang tadi ingin saya sampaikan: kalau beberapa tahun kemudian teman saya ini menemukan pria lain yang lebih ia sukai, bagaimana?
Tapi teman saya ini terlihat yakin dan mantap. Tercermin dari caranya yang santai menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh saya sambil disambi dengan menyetrika baju, minum teh, atau berkebun. Tak sekalipun ia tampak jadi gusar atau ragu karenanya.
Ya sudahlah, saya pikir ketika itu, mungkin saya memang belum sampai pada tahap itu atau memang saya belum menemukan orang yang bisa membuat saya seyakin teman saya itu.
*
Dua tahun berlalu sejak saat itu dan saat ini berita pernikahan teman hampir sama seringnya dengan iklan menjual mobil Avanza (perumpamaan yang aneh...). Virus menikah muda menyebar hampir sama cepat dengan influenza. Lagi-lagi, can't help but wonder, usia yang sedang hip untuk menikah sudah bergeser ke middle twenties ya?
Seorang teman mengatakan bahwa semua itu tergantung fokus hidup seseorang. Hmm, I can't completely agree with her. Saya rasa orang menikah ketika mereka telah sampai di tahap seperti room mate saya, kenapa enggak?
Saya punya analisa sendiri tentang mengapa orang-orang jaman sekarang (atau paling tidak orang-orang di sekitar saya) banyak yang menikah di usia middle twenties ke bawah.
Ini karena saat ini pendidikan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih cepat daripada dulu. Ambilah contoh ITB yang konon-konon dulunya untuk bisa selesai kuliah dalam 7 tahun saja sudah bagus. Sekarang, lewat dari 6 tahun sudah kena DO. Sebagian besar selesai 4 tahun atau 4,5 tahun. S2 pun sekarang banyak yang 1 atau 1,5 tahun.
Bila mengikuti siklus hidup yang standar, selesai kuliah berarti bekerja. Dan orang-orang jaman sekarang pintar sekali mencari uang. Peluangnya pun memang lebih besar dari jaman dahulu. Ide-ide menyebar dengan cepat via televisi dan internet.
Bisnis perusahaan-perusahaan yang mempekerjaan orang-orang ini juga berkembang lebih pesar. Ujung-ujungnya berpengaruh juga pada gaji yang dibayarkan pada karyawannya.
Dua tahun kerja, para new hires ini sudah bisa mencicil mobil atau bahkan mungkin rumah. Lalu datanglah fase itu ketika mereka mulai bertanya, kenapa enggak?
Ya, kenapa enggak? Gelar ada, mandiri iya, dewasa iya, tabungan banyak, rumah in progress. Lalu ada satu sentilan tambahan, mengapa menunda hal yang baik?
Menikah itu lebih baik daripada tidak menikah, jelas ada di Al-Quran.
Yah kecuali kalau memang belum ada orang yang diyakini bisa diajak menikah. :)
Lepas dari persoalan diatas, memang tinggal masalah perasaan dan keyakinan saja.
Saya pikir lagi sekarang, aneh juga ya dulu saya punya patokan menikah usia 27 atau 28. Kenapa umur yang dipatok? Bukannya seharusnya yang jadi patokan adalah kondisi dan stage hidup saya? Ketika saya sudah mencapai ini itu dan anu, saya akan mau menikah. Misalnya begitu.
Beberapa teman saya lebih beruntung bisa mencapai stage tersebut lebih cepat. Saya turut berbahagia untuk mereka.
Ah, wedding invitation. Berarti ini adalah invitation ke-2 untuk bulan Juli. Sementara untuk bulan Juni sendiri, sudah ada 4. Betapa sibuknya sang pembuat janur kuning.
*
Syahdan, di sebuah waktu di masa yang lampau saya pernah bercita-cita ingin menikah di usia 27 atau 28. Mengapa?
Errr... Entahlah. 27 atau 28 terdengar matang dan, ketika itu sih, terdengar masih lama dari masa kini. :P
Maka ketika room mate saya memutuskan untuk menikah tahun 2008 silam, I can't help but wonder why does she want to tie the knot so quick?
Tak hanya sekali dua kali saya bertanya, setengah bercanda juga sih, lo yakin mau nikah?. Pertanyaan yang seandainya didengar oleh calon suaminya akan berakibat pada melayangnya sebuah panci ke arah kepala saya.
Dan room mate saya menjawab, kenapa enggak?
Quick facts tentang room mate saya:
1. Ia dan pacarnya sudah pacaran (ketika itu) sekitar 3 atau 4 tahun.
2. Ia setahun lebih tua dari saya dan pacarnya beberapa tahun lebih tua dari dia.
3. Ketika itu pacarnya sedang S3 di Eropa.
4. Pacarnya sudah punya penghasilan tetap.
5. Teman saya akan melanjutkan S2 di tempat yang sama dengan pacarnya.
Intinya saya jadi bingung juga dengan jawaban kenapa enggak itu. Sebenarnya saya punya tanggapannya sih, tetapi saya urungkan niat mengutarakannya karena terdengar kekanak-kanakkan dan labil. Fufufu.
Maka saya mengganti pertanyaan dengan kok lo bisa yakin sih mau nikah sama dia?
Kali ini mungkin yang melayang kompor, lengkap dengan gasnya dan api yang menyala.
Dan room mate saya lagi-lagi menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, emang mau cari yang gimana lagi?
Yang gimana kek.
It was not because I didn't like his guy. Saya yakin kok pacar teman saya ini baik dan mereka cocok dan seterusnya. Saya hanya amazed pada fakta bahwa teman saya ini, yang ketika itu usianya belum 23 tahun, bisa yaqqiiin mbuliqqiin (istilah Mama untuk benar-benar yakin) untuk berkomitmen pada satu pria ini ini. Seumur hidup. For better for worse.
Ini sebenarnya tanggapan kekanak-kanakan dan labil yang tadi ingin saya sampaikan: kalau beberapa tahun kemudian teman saya ini menemukan pria lain yang lebih ia sukai, bagaimana?
Tapi teman saya ini terlihat yakin dan mantap. Tercermin dari caranya yang santai menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh saya sambil disambi dengan menyetrika baju, minum teh, atau berkebun. Tak sekalipun ia tampak jadi gusar atau ragu karenanya.
Ya sudahlah, saya pikir ketika itu, mungkin saya memang belum sampai pada tahap itu atau memang saya belum menemukan orang yang bisa membuat saya seyakin teman saya itu.
*
Dua tahun berlalu sejak saat itu dan saat ini berita pernikahan teman hampir sama seringnya dengan iklan menjual mobil Avanza (perumpamaan yang aneh...). Virus menikah muda menyebar hampir sama cepat dengan influenza. Lagi-lagi, can't help but wonder, usia yang sedang hip untuk menikah sudah bergeser ke middle twenties ya?
Seorang teman mengatakan bahwa semua itu tergantung fokus hidup seseorang. Hmm, I can't completely agree with her. Saya rasa orang menikah ketika mereka telah sampai di tahap seperti room mate saya, kenapa enggak?
Saya punya analisa sendiri tentang mengapa orang-orang jaman sekarang (atau paling tidak orang-orang di sekitar saya) banyak yang menikah di usia middle twenties ke bawah.
Ini karena saat ini pendidikan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih cepat daripada dulu. Ambilah contoh ITB yang konon-konon dulunya untuk bisa selesai kuliah dalam 7 tahun saja sudah bagus. Sekarang, lewat dari 6 tahun sudah kena DO. Sebagian besar selesai 4 tahun atau 4,5 tahun. S2 pun sekarang banyak yang 1 atau 1,5 tahun.
Bila mengikuti siklus hidup yang standar, selesai kuliah berarti bekerja. Dan orang-orang jaman sekarang pintar sekali mencari uang. Peluangnya pun memang lebih besar dari jaman dahulu. Ide-ide menyebar dengan cepat via televisi dan internet.
Bisnis perusahaan-perusahaan yang mempekerjaan orang-orang ini juga berkembang lebih pesar. Ujung-ujungnya berpengaruh juga pada gaji yang dibayarkan pada karyawannya.
Dua tahun kerja, para new hires ini sudah bisa mencicil mobil atau bahkan mungkin rumah. Lalu datanglah fase itu ketika mereka mulai bertanya, kenapa enggak?
Ya, kenapa enggak? Gelar ada, mandiri iya, dewasa iya, tabungan banyak, rumah in progress. Lalu ada satu sentilan tambahan, mengapa menunda hal yang baik?
Menikah itu lebih baik daripada tidak menikah, jelas ada di Al-Quran.
Yah kecuali kalau memang belum ada orang yang diyakini bisa diajak menikah. :)
Lepas dari persoalan diatas, memang tinggal masalah perasaan dan keyakinan saja.
Saya pikir lagi sekarang, aneh juga ya dulu saya punya patokan menikah usia 27 atau 28. Kenapa umur yang dipatok? Bukannya seharusnya yang jadi patokan adalah kondisi dan stage hidup saya? Ketika saya sudah mencapai ini itu dan anu, saya akan mau menikah. Misalnya begitu.
Beberapa teman saya lebih beruntung bisa mencapai stage tersebut lebih cepat. Saya turut berbahagia untuk mereka.
Jun 5, 2010
Menciptakan Kesempatan
Anak perempuan itu bernama Iis. Usianya baru 12 tahun. Baru lulus SD. Tingginya mungkin sekitar 145 cm. Dadanya masih rata, perawakannya kurus dan tampangnya masih bocah. I betted she had not got her period yet.
Baru beberapa hari ia tinggal di Jakarta, di rumah orang tua saya. Bapak Ibunya ada di kampung. Dia bilang dia mau kerja di Jakarta.
Jadi apa?
Pembantu.
Mama memang sedang mencari pembantu, tapi ia sendiri tidak menyangka yang datang adalah bocah di bawah umur begini. Iis seperti enggan disuruh pulang. Ditanya mau disekolahkan apa tidak, dia pun tampak tak mau. Keluarganya miskin, ia adalah anak paling tua. Tak ada biaya untuk sekolah. Di kampung ia kadang bekerja mengasuh anak tetangganya. Lalu, daripada di rumah tidak sekolah dan tidak bekerja tetap, keluarganya mengirim ia untuk merantau ke Jakarta.
Mama dan Tante saya yang di kampung mencoba membujuk ibu Iis untuk menyuruh anaknya pulang. Karena jelas ia tidak mungkin bekerja di rumah kami. Ibunya tidak mau, Iis juga tidak mau. Akhirnya sebuah keluarga muda yang baru punya anak menjemput Iis untuk dijadikan pengasuh bayi mereka.
***
Kemarin di kampung Eyang, saya bertemu anak perempuan lain. Usianya juga 12 tahun, ia baru tamat SD. Ia anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya kerja serabutan, ibunya tidak bekerja.
Di rumah yang ukurannya tidak lebih dari 5x5 meter itu keluarganya berbagi tempat dengan 2 keluarga lain.
Tante saya bilang ia ingin melanjutkan sekolah. Saya tanya langsung padanya, mau sekolah lagi?
Ia hanya menunduk sambil membelai-belai adik bungsunya yang baru berusia satu minggu.
Kalau tidak sekolah, mau ngapain? Saya bertanya pada Tante saya.
Tante saya bilang, bekerja. Seperti Iis yang dikirim ke Jakarta atau bekerja di sawah.
***
Saya pernah bertemu sebuah keluarga, mirip seperti keluarga anak perempuan tadi. Sang Ayah kerja serabutan, ibunya pun serabutan. Anaknya 5 orang. Tinggal di sepetak ruangan beralaskan tanah yang hanya berisi sebuah tempat tidur, kursi dan meja. 15 menit saja berada di dalam rumah itu saya tidak tahan ingin keluar. Baunya tidak enak, ada kandang sapi di sebelahnya.
Beberapa tahun kemudian si Ibu meninggal karena TBC. Sang Ayah kelimpungan.
Dari kacamata saya, musibah itu memang bagian dari rencana Tuhan. Anak pertama sudah bisa mandiri dan jualan bakso di Bandung. Sementara empat yang lain ditampung di rumah yang layak. Beberapa tinggal di rumah sanak saudara. Ada juga yang dijadikan anak angkat.
Salah seorang Bapak yang membantu keluarga tersebut pernah bilang pada saya. Ini berarti memutus rantai kemiskinan. Seorang anak yang terlahir di keluarga miskin umumnya tidak memperoleh kesempatan sekolah. Ia hanya akan mengulang siklus hidup orang tuanya. Ada beberapa pengecualian, tapi Bapak ini bicara secara general.
Menyekolahkan seorang anak yang tidak mampu berarti memberikan kesempatan tidak hanya pada anak itu, tapi pada keluarganya untuk bangkit dari kemiskinan, untuk lepas dari rantai kemiskinan. Sehingga di generasi berikutnya, anak tidak mampu yang disekolahkan ini akan membentuk keluarga dengan standar hidup lebih baik, dst.
Kadang yang dibutuhkan sebuah keluarga, sebuah generasi, adalah sebuah kesempatan untuk seseorang dari mereka menaikkan standar hidup mereka. Satu orang yang lepas dari rantai kemiskinan nantinya akan membawa satu orang lain, dan satu orang lain akan membawa satu orang lain lagi, dst.
***
Jadi, kemarin saya memandangi anak perempuan berambut keriting pendek ini. Mungkin dialah yang akan menjadi kunci bagi keluarganya untuk meningkatkan standar hidup mereka. Mungkin tidak secara signifikan, tapi barangkali ia akan jadi tonggak pertama. Perjalanan bisa jadi masih panjang, tapi tetap harus dimulai kan.
Dan, bukankah kita, sebagai manusia yang secara ekonomi lebih berkecukupan, bertanggung jawab untuk menciptakan kesempatan itu?
Bila Anda ingin tahu lebih lanjut soal anak ini, butuh dokumen-dokumen resmi keluarganya termasuk surat keterangan tidak mampu, atau apapun, email saya di
floresiana.yasmin@gmail.com
Terimakasih.
Baru beberapa hari ia tinggal di Jakarta, di rumah orang tua saya. Bapak Ibunya ada di kampung. Dia bilang dia mau kerja di Jakarta.
Jadi apa?
Pembantu.
Mama memang sedang mencari pembantu, tapi ia sendiri tidak menyangka yang datang adalah bocah di bawah umur begini. Iis seperti enggan disuruh pulang. Ditanya mau disekolahkan apa tidak, dia pun tampak tak mau. Keluarganya miskin, ia adalah anak paling tua. Tak ada biaya untuk sekolah. Di kampung ia kadang bekerja mengasuh anak tetangganya. Lalu, daripada di rumah tidak sekolah dan tidak bekerja tetap, keluarganya mengirim ia untuk merantau ke Jakarta.
Mama dan Tante saya yang di kampung mencoba membujuk ibu Iis untuk menyuruh anaknya pulang. Karena jelas ia tidak mungkin bekerja di rumah kami. Ibunya tidak mau, Iis juga tidak mau. Akhirnya sebuah keluarga muda yang baru punya anak menjemput Iis untuk dijadikan pengasuh bayi mereka.
***
Kemarin di kampung Eyang, saya bertemu anak perempuan lain. Usianya juga 12 tahun, ia baru tamat SD. Ia anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya kerja serabutan, ibunya tidak bekerja.
Di rumah yang ukurannya tidak lebih dari 5x5 meter itu keluarganya berbagi tempat dengan 2 keluarga lain.
Tante saya bilang ia ingin melanjutkan sekolah. Saya tanya langsung padanya, mau sekolah lagi?
Ia hanya menunduk sambil membelai-belai adik bungsunya yang baru berusia satu minggu.
Kalau tidak sekolah, mau ngapain? Saya bertanya pada Tante saya.
Tante saya bilang, bekerja. Seperti Iis yang dikirim ke Jakarta atau bekerja di sawah.
***
Saya pernah bertemu sebuah keluarga, mirip seperti keluarga anak perempuan tadi. Sang Ayah kerja serabutan, ibunya pun serabutan. Anaknya 5 orang. Tinggal di sepetak ruangan beralaskan tanah yang hanya berisi sebuah tempat tidur, kursi dan meja. 15 menit saja berada di dalam rumah itu saya tidak tahan ingin keluar. Baunya tidak enak, ada kandang sapi di sebelahnya.
Beberapa tahun kemudian si Ibu meninggal karena TBC. Sang Ayah kelimpungan.
Dari kacamata saya, musibah itu memang bagian dari rencana Tuhan. Anak pertama sudah bisa mandiri dan jualan bakso di Bandung. Sementara empat yang lain ditampung di rumah yang layak. Beberapa tinggal di rumah sanak saudara. Ada juga yang dijadikan anak angkat.
Salah seorang Bapak yang membantu keluarga tersebut pernah bilang pada saya. Ini berarti memutus rantai kemiskinan. Seorang anak yang terlahir di keluarga miskin umumnya tidak memperoleh kesempatan sekolah. Ia hanya akan mengulang siklus hidup orang tuanya. Ada beberapa pengecualian, tapi Bapak ini bicara secara general.
Menyekolahkan seorang anak yang tidak mampu berarti memberikan kesempatan tidak hanya pada anak itu, tapi pada keluarganya untuk bangkit dari kemiskinan, untuk lepas dari rantai kemiskinan. Sehingga di generasi berikutnya, anak tidak mampu yang disekolahkan ini akan membentuk keluarga dengan standar hidup lebih baik, dst.
Kadang yang dibutuhkan sebuah keluarga, sebuah generasi, adalah sebuah kesempatan untuk seseorang dari mereka menaikkan standar hidup mereka. Satu orang yang lepas dari rantai kemiskinan nantinya akan membawa satu orang lain, dan satu orang lain akan membawa satu orang lain lagi, dst.
***
Jadi, kemarin saya memandangi anak perempuan berambut keriting pendek ini. Mungkin dialah yang akan menjadi kunci bagi keluarganya untuk meningkatkan standar hidup mereka. Mungkin tidak secara signifikan, tapi barangkali ia akan jadi tonggak pertama. Perjalanan bisa jadi masih panjang, tapi tetap harus dimulai kan.
Dan, bukankah kita, sebagai manusia yang secara ekonomi lebih berkecukupan, bertanggung jawab untuk menciptakan kesempatan itu?
Bila Anda ingin tahu lebih lanjut soal anak ini, butuh dokumen-dokumen resmi keluarganya termasuk surat keterangan tidak mampu, atau apapun, email saya di
floresiana.yasmin@gmail.com
Terimakasih.
Jun 1, 2010
Victimized
Di suatu petang. Dua orang adik kakak perempuan mengobrol di teras rumah.
Datanglah seorang ibu-ibu. "Udah ada uang buat bayar kontrakan belom?", hardik si ibu-ibu.
Si kakak, dibantu adiknya, berdiri, "Maaf, Bu, tapi belum ada uangnya", ujarnya memelas.
"Eeehh, gimana sih, ga ada uang ga ada uang. Lo udah nunggak 5 bulan!", si ibu makin ketus.
"Iya, Bu, tapi saya belum ada uang", yak, si Kakak merepetisi.
"Lo kira ini rumah punya engkong lo!", si ibu menghardik makin kasar.
"Tapi Bu, saya belum ada uang," macam burung Beo ini si Kakak. Lalu ditambahkan, "besok, kalau saya ada uang, pasti saya bayar."
Jedaaang!!
Adegan di atas bukan kisah nyata. Cuma potongan sinetron yang kebetulan menarik perhatian saya ketika browsing.
Peran protagonis disini sebenarnya si adik-kakak yang cantik-cantik itu. But none of my sympathy goes for them. Ya iyalah si yang punya kontrakan marah.
Tunggakan udah 5 bulan.
Ditagih, malah membeo 'saya belum punya uang'.
Sekalinya ada kata 'besok', itu pun diikuti kata 'kalau punya uang'.
Solusi tidak ada.
Paling buruknya adalah, tayangan sinetron ini memposisikan mereka seolah-olah korban dari pemilik kontrakan. Tokoh utama yang penting baik, pasrah dan cantik. Tidak perlu pintar-pintar amat, apalagi solutif.
Yeah, great. Kalau semua orang begitu, ditunggu sampai kiamat juga Indonesia nggak akan maju.
Malam ini saya ingin berdoa:
Semoga sinetron bukanlah cerminan pola pikir orang-orang Indonesia.
Semoga penonton sinetron mengerti bahwa tingkah victimized tokoh sinetron tidak patut ditiru.
Semoga adik kecil sana dan anak-anak saya dan anak-anak Anda nanti tidak tercemar pola pikir itu.
Amin.
Datanglah seorang ibu-ibu. "Udah ada uang buat bayar kontrakan belom?", hardik si ibu-ibu.
Si kakak, dibantu adiknya, berdiri, "Maaf, Bu, tapi belum ada uangnya", ujarnya memelas.
"Eeehh, gimana sih, ga ada uang ga ada uang. Lo udah nunggak 5 bulan!", si ibu makin ketus.
"Iya, Bu, tapi saya belum ada uang", yak, si Kakak merepetisi.
"Lo kira ini rumah punya engkong lo!", si ibu menghardik makin kasar.
"Tapi Bu, saya belum ada uang," macam burung Beo ini si Kakak. Lalu ditambahkan, "besok, kalau saya ada uang, pasti saya bayar."
Jedaaang!!
Adegan di atas bukan kisah nyata. Cuma potongan sinetron yang kebetulan menarik perhatian saya ketika browsing.
Peran protagonis disini sebenarnya si adik-kakak yang cantik-cantik itu. But none of my sympathy goes for them. Ya iyalah si yang punya kontrakan marah.
Tunggakan udah 5 bulan.
Ditagih, malah membeo 'saya belum punya uang'.
Sekalinya ada kata 'besok', itu pun diikuti kata 'kalau punya uang'.
Solusi tidak ada.
Paling buruknya adalah, tayangan sinetron ini memposisikan mereka seolah-olah korban dari pemilik kontrakan. Tokoh utama yang penting baik, pasrah dan cantik. Tidak perlu pintar-pintar amat, apalagi solutif.
Yeah, great. Kalau semua orang begitu, ditunggu sampai kiamat juga Indonesia nggak akan maju.
Malam ini saya ingin berdoa:
Semoga sinetron bukanlah cerminan pola pikir orang-orang Indonesia.
Semoga penonton sinetron mengerti bahwa tingkah victimized tokoh sinetron tidak patut ditiru.
Semoga adik kecil sana dan anak-anak saya dan anak-anak Anda nanti tidak tercemar pola pikir itu.
Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...