Dec 4, 2012
Hopelessly Devoted To You - Darren Criss
Beautifully sad. Better not listen to this song if you've just got your heart broken. (or should you...?) *evil smirk*
Nov 27, 2012
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah salah satu pelajaran yang menjadi momok semasa sekolah dulu. Mungkin tidak di beberapa tahun pertama ketika yang dibahas hanya sekedar S-P-O, (subyek-predikat-obyek) atau mengarang cerita liburan. Namun lambat laun, sepertinya pelajaran ini semakin menjadi-jadi saja. Sebut saja persoalan imbuhan, tanda baca, kata sambung, serapan, kalimat majemuk, dsb yang bikin pusing kepala.
Ujian Bahasa Indonesia itu rasanya semacam tebak tebak buah manggis, tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Sehari-hari berbahasa Indonesia pun sepertinya tidak banyak membantu. Bagaimana bisa membantu kalau yang terucap kebanyakan kalau tidak bahasa sleng ya bahasa Inggris atau Jawa yang diserap dan dimodifikasi sembarangan. Nah, kan, baru paragraf kedua saja saya sudah pakai istilah sleng.
Belajar bahasa Inggris rasanya lebih mudah. Sebenarnya saya kurang tahu juga sih bahasa Inggris yang saya gunakan sudah benar atau tidak. Anggaplah sudah (agak) benar. Bila demikian, buku dan bahan bacaan berbahasa Inggris lainnya adalah salah satu hal yang paling berjasa dalam proses pembelajaran saya. Tidak tahu apakah karena bukan bahasa ibu saya, kalau membaca buku atau artikel bahasa Inggris itu rasanya enak betul ceritanya mengalir. Pilihan kata dan kalimatnya pun beragam. Memang tak bisa disamaratakan begitu semua, tapi sebagian besar buku berbahasa Inggris yang saya baca punya efek demikian. Bukan saya bilang bahwa buku-buku berbahasa Indonesia tidak mengalir penceritaannya. Hanya saja dari yang sudah saya baca selama ini, yang tulisannya terasa lancar kebanyakan bahasanya dicampur dengan bahasa lain atau menggunakan bahasa sleng, dengan sejumlah pengecualian tentunya. Mungkin memang saya saja yang kurang banyak membaca sih. Hasilnya, tulisan saya dalam bahasa ibu sendiri pun banyak disisipi berbagai kata dan kalimat asing atau serapan.
Nah, beberapa hari lalu, saya melihat-lihat sejumlah situs produsenhandphone ponsel seperti SONY, NOKIA, dan kawan-kawannya. Ketika saya mampir di situs SONY, saya baru ngeh sadar kalau situs Indonesia mereka menggunakan bahasa Indonesia yang formal. Menariknya, ketika saya baca tidak terasa (terlalu) aneh juga lho. Bahkan pada bagian-bagian tertentu, saya cukup kagum dengan keanggunan bahasanya. Biarpun pada bagian-bagian yang lain terasa seperti hasil terjemahan Google Translate. Setidaknya kegigihan mereka untuk menulis seutuhnya dalam bahasa Indonesia yang baik patut dihargai meski pada akhirnya muncul sejumlah kata atau kalimat yang terasa janggal (walaupun tidak salah). Saya kira kata atau kalimat yang terasa aneh itu lantaran jarang digunakan di percakapan sehari-hari?
Bila bicara tentang bahasa Indonesia, saya selalu teringat mendiang nenek saya dari pihak ibu. Beliau kerap kail menggunakan kata-kata yang saya rasa tidak umum digunakan dalam percakapan, misalnya "lantas" bukan "kemudian" atau "terus"; "kencan" bukan "ketemuan" atau "janjian"; "kawan" bukan "teman". Secara makna, kata-kata tersebut lebih atau sama tepatnya, kan? Tapi tentu kalau saya gunakan dalam percakapan sehari-hari bisa-bisa saya dicap "jadul" (kata yang akan dibahasakan nenek saya sebagai "kuno").
Walaupun demikian, bagi saya, tetap ada kesenangan tersendiri ketika mendengar atau membaca tata bahasa Indonesia yang dipakai seelok itu. Mungkin saya memang kuno, ya?
Saya suka membaca beberapa blog karena alasan tersebut: karena tulisannya menggunakan bahasa Indonesia yang mengalir. Seperti blog milik Raie Kribo ini.
Komentar menarik lain yang pernah saya dengan tentang bahasa Indonesia datang dari teman saya, seorang warga negara Malaysia keturunan Cina. Teman saya ini bahasa Melayunya terpatah-patah, kalah jauh dari kemampuannya berbahasa Mandarin, Inggris, bahkan Spanyol. Meski demikian, diakuinya, bila hanya mendengar ia masih lumayan dapat memahami. Suatu kali ia pernah bilang pada saya bahwa ia pun bisa memahami sebagian percakapan dalam bahasa Indonesia walaupun ada kata-kata tertentu yang membuatnya bingung.
Tahu kata-kata apa?
Kata-kata seperti "sih", "dong", "kan", "deh". Apa artinya? Saya mau menjelaskan juga sulit. Bagaimana asal muasalnya dan kenapa semua orang Indonesia memakainya pun saya tidak mengerti.
Intinya, saya merasa saya harus banyak belajar lagi tentang bahasa Indonesia, memperluas kosakata, memahami pemakaian imbuhan, tanda baca, dsb. Saya akui, ketika saya mendengar seseorang berbicara atau melakukan presentasi dalam bahasa Inggris yang baik dengan lancar, saya selalu kagum. Tapi kekaguman yang sama juga saya selalu berikan pada mereka yang dapat bertutur kata dengan baik, runut, dan anggun dalam bahasa Indonesia, karena jujur saja, saya kira tidak banyak orang yang memiliki kemampuan demikian.
Sebenarnya, tanpa tata bahasa yang baik pun saya rasa orang-orang lain masih dapat memahami dan mengerti maksud perkataan kita. Namun dengan tata bahasa yang baik itulah tingkatan kita bisa terangkat jadi lebih terdidik, atau berbudaya, atau apapun, yang pasti meningkat.
Bisa juga jadi tampak lebih kuno sih. :P
Ujian Bahasa Indonesia itu rasanya semacam tebak tebak buah manggis, tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Sehari-hari berbahasa Indonesia pun sepertinya tidak banyak membantu. Bagaimana bisa membantu kalau yang terucap kebanyakan kalau tidak bahasa sleng ya bahasa Inggris atau Jawa yang diserap dan dimodifikasi sembarangan. Nah, kan, baru paragraf kedua saja saya sudah pakai istilah sleng.
Belajar bahasa Inggris rasanya lebih mudah. Sebenarnya saya kurang tahu juga sih bahasa Inggris yang saya gunakan sudah benar atau tidak. Anggaplah sudah (agak) benar. Bila demikian, buku dan bahan bacaan berbahasa Inggris lainnya adalah salah satu hal yang paling berjasa dalam proses pembelajaran saya. Tidak tahu apakah karena bukan bahasa ibu saya, kalau membaca buku atau artikel bahasa Inggris itu rasanya enak betul ceritanya mengalir. Pilihan kata dan kalimatnya pun beragam. Memang tak bisa disamaratakan begitu semua, tapi sebagian besar buku berbahasa Inggris yang saya baca punya efek demikian. Bukan saya bilang bahwa buku-buku berbahasa Indonesia tidak mengalir penceritaannya. Hanya saja dari yang sudah saya baca selama ini, yang tulisannya terasa lancar kebanyakan bahasanya dicampur dengan bahasa lain atau menggunakan bahasa sleng, dengan sejumlah pengecualian tentunya. Mungkin memang saya saja yang kurang banyak membaca sih. Hasilnya, tulisan saya dalam bahasa ibu sendiri pun banyak disisipi berbagai kata dan kalimat asing atau serapan.
Nah, beberapa hari lalu, saya melihat-lihat sejumlah situs produsen
Bila bicara tentang bahasa Indonesia, saya selalu teringat mendiang nenek saya dari pihak ibu. Beliau kerap kail menggunakan kata-kata yang saya rasa tidak umum digunakan dalam percakapan, misalnya "lantas" bukan "kemudian" atau "terus"; "kencan" bukan "ketemuan" atau "janjian"; "kawan" bukan "teman". Secara makna, kata-kata tersebut lebih atau sama tepatnya, kan? Tapi tentu kalau saya gunakan dalam percakapan sehari-hari bisa-bisa saya dicap "jadul" (kata yang akan dibahasakan nenek saya sebagai "kuno").
Walaupun demikian, bagi saya, tetap ada kesenangan tersendiri ketika mendengar atau membaca tata bahasa Indonesia yang dipakai seelok itu. Mungkin saya memang kuno, ya?
Saya suka membaca beberapa blog karena alasan tersebut: karena tulisannya menggunakan bahasa Indonesia yang mengalir. Seperti blog milik Raie Kribo ini.
Komentar menarik lain yang pernah saya dengan tentang bahasa Indonesia datang dari teman saya, seorang warga negara Malaysia keturunan Cina. Teman saya ini bahasa Melayunya terpatah-patah, kalah jauh dari kemampuannya berbahasa Mandarin, Inggris, bahkan Spanyol. Meski demikian, diakuinya, bila hanya mendengar ia masih lumayan dapat memahami. Suatu kali ia pernah bilang pada saya bahwa ia pun bisa memahami sebagian percakapan dalam bahasa Indonesia walaupun ada kata-kata tertentu yang membuatnya bingung.
Tahu kata-kata apa?
Kata-kata seperti "sih", "dong", "kan", "deh". Apa artinya? Saya mau menjelaskan juga sulit. Bagaimana asal muasalnya dan kenapa semua orang Indonesia memakainya pun saya tidak mengerti.
Intinya, saya merasa saya harus banyak belajar lagi tentang bahasa Indonesia, memperluas kosakata, memahami pemakaian imbuhan, tanda baca, dsb. Saya akui, ketika saya mendengar seseorang berbicara atau melakukan presentasi dalam bahasa Inggris yang baik dengan lancar, saya selalu kagum. Tapi kekaguman yang sama juga saya selalu berikan pada mereka yang dapat bertutur kata dengan baik, runut, dan anggun dalam bahasa Indonesia, karena jujur saja, saya kira tidak banyak orang yang memiliki kemampuan demikian.
Sebenarnya, tanpa tata bahasa yang baik pun saya rasa orang-orang lain masih dapat memahami dan mengerti maksud perkataan kita. Namun dengan tata bahasa yang baik itulah tingkatan kita bisa terangkat jadi lebih terdidik, atau berbudaya, atau apapun, yang pasti meningkat.
Bisa juga jadi tampak lebih kuno sih. :P
Sep 20, 2012
Recent Series: The Newsroom
So I claim to be a TV series junkie though I rarely write about any of them here. Worry not, I still do spend a good amount of time watching them but I just don't know how to talk about series without revealing my nerdy side. :))
Anyway busway, ada satu series yang baru banget selesai saya tonton yang mau saya share disini (yah, mau nerdy ya nerdy deh).
THE NEWSROOM
Tersirat dari judulnya, serial ini bercerita tentang lika liku proses produksi acara berita TV yang dibawakan oleh Will McAvoy. Di awal-awal cerita, Will digambarkan sebagai karakter yang ignorant dan harsh, sampai-sampai nama asisten sendiri pun lupa melulu. Tapi seiring ceritanya berjalan, karakter Will pun makin kelihatan baiknya.
Saya paling suka bagian yang menunjukkan bagaimana susahnya memproduksi acara TV yang bermutu di tengah tuntutan rating atau bagaimana ribetnya para kru mengembangkan berita. Berita-berita dalam plot cerita pun merupakan berita-berita nyata seperti kebocoran minyak BP di Gulf of Mexico, kematian Osama bin Laden, dll.
Kalau saya perhatikan dari serial ini, sepertinya jenjang karir news anchor di Indonesia dan di US agak berbeda. Bila di sini kita sering melihat wajah-wajah muda sebagai news anchor, di serial The Newsroom, Will McAvoy ini digambarkan sebagai seseorang yang sudah kawakan di dunia jurnalistik. Oya, selain itu Will juga punya pengalaman sebagai District Attorney yang membuat adegan wawancara dengan narasumber seringkali seperti proses interogasi. Seru! Hehehe.
Awalnya saya kira serial ini tipe serial yang serius seperti Damage, tapi ternyata nggak seserius itu juga sih lantaran banyak adegan dan dialog lucu dan menggelitik diselipkan disana sini. Nuansa romansa juga diselipkan, biarpun not in a way that will make you go 'aaaww... cocwiiit'. Ada dua tema romance dalam series ini. Yang pertama adalah antara Will dan Mackenzie McHale, executive producer-nya sekaligus mantan pacarnya. Yang kedua antara Jim Harper, Maggie (something, I forgot her last name), dan Don (something). Saya sih lebih suka menyimak romansa yang pertama soalnya lebih lucu.
Anyway busway, ada satu series yang baru banget selesai saya tonton yang mau saya share disini (yah, mau nerdy ya nerdy deh).
THE NEWSROOM
Tersirat dari judulnya, serial ini bercerita tentang lika liku proses produksi acara berita TV yang dibawakan oleh Will McAvoy. Di awal-awal cerita, Will digambarkan sebagai karakter yang ignorant dan harsh, sampai-sampai nama asisten sendiri pun lupa melulu. Tapi seiring ceritanya berjalan, karakter Will pun makin kelihatan baiknya.
Saya paling suka bagian yang menunjukkan bagaimana susahnya memproduksi acara TV yang bermutu di tengah tuntutan rating atau bagaimana ribetnya para kru mengembangkan berita. Berita-berita dalam plot cerita pun merupakan berita-berita nyata seperti kebocoran minyak BP di Gulf of Mexico, kematian Osama bin Laden, dll.
Kalau saya perhatikan dari serial ini, sepertinya jenjang karir news anchor di Indonesia dan di US agak berbeda. Bila di sini kita sering melihat wajah-wajah muda sebagai news anchor, di serial The Newsroom, Will McAvoy ini digambarkan sebagai seseorang yang sudah kawakan di dunia jurnalistik. Oya, selain itu Will juga punya pengalaman sebagai District Attorney yang membuat adegan wawancara dengan narasumber seringkali seperti proses interogasi. Seru! Hehehe.
Awalnya saya kira serial ini tipe serial yang serius seperti Damage, tapi ternyata nggak seserius itu juga sih lantaran banyak adegan dan dialog lucu dan menggelitik diselipkan disana sini. Nuansa romansa juga diselipkan, biarpun not in a way that will make you go 'aaaww... cocwiiit'. Ada dua tema romance dalam series ini. Yang pertama adalah antara Will dan Mackenzie McHale, executive producer-nya sekaligus mantan pacarnya. Yang kedua antara Jim Harper, Maggie (something, I forgot her last name), dan Don (something). Saya sih lebih suka menyimak romansa yang pertama soalnya lebih lucu.
Mac & Will
Tokoh lain yang saya suka adalah Charlie Skinner, bosnya Will. No particular reason but the fact that the character is played by Sam Waterston, yang main District Attorney Jack McCoy di Law & Order itu lho.
Sam Waterston as Charlie Skinner
However, seperti layaknya berbagai produksi film maupun serial Amerika yang lain, ada juga bagian-bagian yang dramatis-dramatis ke-Amerika-an banget. Tapi tidak banyak kok, hanya di akhir-akhir season.
Serial ini setipe dengan True Blood yang hanya belasan episode per seasonnya. Malah The Newsroom tidak sampai belasan, hanya 10 episode di season 1. Season 2 nya baru Juni tahun depan keluar, so there's plenty of time to catch up.
Sep 13, 2012
Super Cook!
Needless to say that being married has brought several, if not many, new things into my life. One of the major new things is now I have to cook prepare meals think about what we're gonna have for dinner every day.
When you live alone you only think about yourself. For example, I don't mind skipping dinner once or twice a week just so I can linger in front of TV longer. Or I have no problem having eggs for 7 straight days for dinner. I can even leave vegetables out of my menu for weeks.Yeah, I happen to have a quite low standard for my daily meals.
Now that I live with someone else, the husband, things get hmm... more complicated, if I may say. Because he happens to have higher standard for his meals. Luckily, he likes to cook too. More than I do, at least.
However, in my attempt to be a better wife, I started to learn to cook. You know, apparently, cooking is not as difficult as I thought it would be. Of course I'm not talking about any complicated dish, I'm referring to food that taste good enough and make you happy enough to go through the day.
The problem, or at least my problem, is I don't know what to cook. I've lived 26 years and I only know about 20 dishes. I believe I've tried at least 50 dishes during my lifetime, but for some reason I weirdly understand (because it's so me) I can't recall those other 30ish dishes when I need them. To say I'm not knowledgeable about food is probably correct.
When I have eggs, onion, olive oil, and potato, I can only think of omelet or sunny side egg with potato. I have zero creativity in cooking.
I've been hoping for some application or program to help me and people like me, where I can easily input all the ingredients that I have and the program will tell me what fancy dish I can make with them.
Wishful thinking, isn't?
Except it's not.
Few days ago, out of desperation I tweeted if someone knew certain application. And one of the responses direct me to www.supercook.com, which is exactly what I mean!
I tried it yesterday, I input eggs, onion, olive oil, and potato and I got more than 20 recipes that I work with! The husband and I ended up having Italian potato soup for dinner yesterday. :D
I think the website is basically only matching your ingredients with the recipes in other cooking sites. Because once I clicked on the recipe I got redirected to another site.
If you have the same problem as mine, you really should try this supercook.com. Great stuff!
Aug 21, 2012
Memaafkan
Sekitar awal bulan puasa ini, saya baca sebuah tweet dari seorang teman yang mengutip ceramah agama yang sedang atau baru saja disimak. Kira-kira isinya begini, lebaran itu bukan tentang saling meminta maaf tapi saling memberi maaf.
Tweet itu cukup bikin saya kepikiran dan mengingat-ingat pengalaman meminta dan memberi maaf. Dan setelah saya renungkan selama 7menit hari 7 detik malam, rasanya memang memaafkan itu lebih sulit daripada meminta maaf ya. Well, tergantung sejauh mana kita rela swallowing our pride juga sih. Soalnya kalau saya ogah minta maaf ketika saya tahu sebenarnya saya salah itu biasanya karena gengsi lagi tinggi. :P
Tapi untuk mampu memaafkan, sincerely forgiving, dibutuhkan keikhlasan. We know that it ain't easy, yes? I think it's not about forgetting but more about letting go. Pun, ketika misalnya kita bilang sudah memaafkan seseorang tapi masih merasa senang kalau dengar kabar buruk tentang orang tersebut atau merasa dengki saat mendengar kabar baiknya, apakah masih bisa dikatakan sudah ikhlas memaafkan? For me, I think can say that I have sincerely forgiven someone when I no longer feel any hint of bitterness when I heard that he/she is doing well and happy. Let bygones be bygones. Kita tahulah untuk sampai pada tahap itu seringkali tidak mudah dan cepat. Ramadhan dan Lebaran mestinya menjadi momen untuk membiasakan hati dengan keikhlasan. Ikhlas memaafkan dan ikhlas juga bilatidak belum dimaafkan. :)
Oh, dan ikhlas swallowing the pride untuk meminta maaf. :P
Having said that, saya ikhlas nih swallowing my pride (if I have any...) dan mengucapkan:
Selamat hari raya Idul Fitri 1433 H. Mohon maaf lahir batin, ya.
Kalau diantara orang-orang yang baca blog ini ada yang merasa punya salah sama saya, insyaallah sudah saya maafkeun (bukannya saya merasa ada yang merasa salah lho yaa)
:)
Tweet itu cukup bikin saya kepikiran dan mengingat-ingat pengalaman meminta dan memberi maaf. Dan setelah saya renungkan selama 7
Tapi untuk mampu memaafkan, sincerely forgiving, dibutuhkan keikhlasan. We know that it ain't easy, yes? I think it's not about forgetting but more about letting go. Pun, ketika misalnya kita bilang sudah memaafkan seseorang tapi masih merasa senang kalau dengar kabar buruk tentang orang tersebut atau merasa dengki saat mendengar kabar baiknya, apakah masih bisa dikatakan sudah ikhlas memaafkan? For me, I think can say that I have sincerely forgiven someone when I no longer feel any hint of bitterness when I heard that he/she is doing well and happy. Let bygones be bygones. Kita tahulah untuk sampai pada tahap itu seringkali tidak mudah dan cepat. Ramadhan dan Lebaran mestinya menjadi momen untuk membiasakan hati dengan keikhlasan. Ikhlas memaafkan dan ikhlas juga bila
Oh, dan ikhlas swallowing the pride untuk meminta maaf. :P
Having said that, saya ikhlas nih swallowing my pride (if I have any...) dan mengucapkan:
Selamat hari raya Idul Fitri 1433 H. Mohon maaf lahir batin, ya.
Kalau diantara orang-orang yang baca blog ini ada yang merasa punya salah sama saya, insyaallah sudah saya maafkeun (bukannya saya merasa ada yang merasa salah lho yaa)
:)
Jul 31, 2012
Keep It Updated
This is me trying to keep my blog updated though I don't really have anything time to say anything right now. :P
Well... unless.. err...*thinking real hard*....
Happy fasting, guys!
PS. I always have soft spot for Maddinah al Munawarah. It's love at the first sight! :)
Well... unless.. err...*thinking real hard*....
Happy fasting, guys!
PS. I always have soft spot for Maddinah al Munawarah. It's love at the first sight! :)
Jun 15, 2012
Minamoto no Yoritomo: My Very Much Comfort Moment
It's a beautiful afternoon, a bit cloudy but you can feel a hint of warmth is lingering on your neck. You are in this nice cafe, sitting on a comfy sofa while enjoying a cup of your favorite hot drink. Your best friend, whom you haven't met for a while, is on the other side of the small round table, talking about all juicy unimportant details of her recent life. Every 5 minutes you cut and give her unhelpful and not very much related comment, but it's okay. This afternoon is not about solving anyone's problem anyway, it's only about drowning yourself in this very much comfort moment of yours. You silently wish for time to stay still or the next agenda in your schedule got canceled.
**
Rasanya pernah saya baca atau dengar kutipan seseorang "my best friends are my books", atau sesuatu yang seperti itu. Sepertinya saya paham.
Jadi begini, secara umum ada 2 hal yang menurut saya membuat pengalaman membaca sebuah buku menyenangkan:
Pertama, buku yang begitu mulai dibaca sulit untuk berhenti. Misalnya The Da Vinci Code. Rasanya seperti naik kereta ekspres ketika sedang buru-buru mau ujian (misalnya). Ingin cepat-cepat sampai, kalau bisa keretanya tidak usahlah pakai berhenti-berhenti dulu di stasiun lain. Langsung ke stasiun akhir, Mas (baca: masinis -red)!
Kedua, buku yang ketika dibaca memberikan perasaan nyaman layaknya ngerumpi dengan teman lama. Seperti waktu serial kesayangan tamat, rasanya semacam ditinggal teman. Nah, perasaan seperti ini bisa juga ditimbulkan oleh buku. Jadi ketika membaca antara ingin tahu kelanjutan cerita tapi juga cemas karena semakin dekat ke tamatnya cerita. Contoh buku seperti ini adalah Minamoto no Yoritomo.
Minamoto no Yoritomo ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Belum pernah saya baca buku Eiji Yoshikawa sebelumnya. Tidak juga buku Musashi yang amat sangat digemari orang tua saya. Malah sebenarnya saya baru sadar bahwa si penulis adalah orang yang sama dengan yang mengarang Musashi setelah saya mulai membaca beberapa bab. Bila Musashi ditulis sebaik dan sedetail Minamoto no Yoritomo, saya mengerti betul kenapa orang tua saya betah mengikuti kisah tersebut hingga tujuh jilid.
Minamoto no Yoritomo merupakan kisah berlatar belakang Jepang di abad ke-12 ketika persaingan antar klan samurai masih ramai. Inti dari perseteruan yang diangkat buku ini adalah antara klan Minamoto dan klan Taira. Cerita dimulai dengan kekalahan klan Minamoto yang telah lama berkuasa dari klan Taira. Pimpinan klan Minamoto, Minamoto no Yoshitomo beserta pengikut, termasuk dua anak tertuanya, terbunuh. Yang tersisa adalah keempat anak Yoshitomo yang lain. Secara garis besar, buku yang merupakan bagian pertama dari dwilogi ini menceritakan tentang anak ketiga dan anak bungsu dari Yoshitomo dalam membangun kekuatan melawan klan Taira.
Membaca buku ini membuat saya serasa berada di 'my very much comfort moment'. Mungkin karena detail sejarahnya, atau karakternya, atau alur ceritanya, pada suatu titik saya seperti membangun pertemanan dengan kisahnya. Maka ketika buku selesai dibaca, rasanya sedih juga. Tapi tidak terlalu juga sih, soalnya masih ada bagian keduanya. Hehe. Ya, kalau diumpamakan dengan serial, kira-kira rasanya seperti ketika season sekarang selesai dan menunggu season selanjutnya.
Hal besar yang akan terjadi akibat perbuatannya ini tentu sudah dia pikirkan baik-baik. Klan Houjou merupakan keluarga samurai besar, begitu juga Yamaki Hangan Kanetaka. Artinya, tindakannya ini akan menyebabkan peperangan. Demi cinta, sembilan turunan akan mengangkat tombak dan mengantar para petani ke bencana peperangan. Dia bukanlah wania bodoh yang tidak mengetahui betapa mengerikannya dosa ini...
Jun 4, 2012
Escalation of Commitment
When a decision maker discovers that a previously selected course of
action is failing, she is faced with a dilemma: Should she pull out her remaining
resources and invest in a more promising alternative, or should she stick with her initial decision
and hope that persistence will eventually pay off? Management
scholars have documented a tendency of decision makers to escalate commitment to previously selected courses of action when
objective evidence suggests that staying the course is unwise.
In these situations, decision makers often feel they have invested too much to quit and make the errant decision to “stick to
their guns”.
(Kelly & Milkman)
**
Lecturer: Escalation of Commitment happens when the company’s in a bad shape,
despite of the huge investment it’s already put in there, and the management
reacts to the circumstances by putting more investment in hope that it’ll help
the company to perform better.... It’s like a bad relationship.
Me: [laughing softly]
Lecturer: Yasmin, do you
understand? Can you explain it to the class?
Me: Err, no. It’s okay.
Lecturer: No, please. Because it
seems that you pick up my idea. Can you explain it to your friends?
Me: Well, it’s like when you’re
in a relationship for so long, 5 years, and it doesn’t go well, but you think
you’ve already put too much effort in it that you don’t want to end it.
Lecturer: And instead you get
married, escalating your commitment, hoping that the problem will be solved by the
escalated commitment. Exactly!
How could I pick the idea so
easily? Obviously, because I’ve witnessed some of my friends do or did that to
some extent. I just didn’t know there’s a term for it. And how do we know if we
are in the circumstances?
Me: And how do we know if we are
in the circumstances? That we shouldn’t put more investment?
Lecturer: That’s why people go to
MBA, to answer that kind of question.
Isn’t making the right decision expensive?
May 3, 2012
Rumah Cokelat: Ibu, Karir, Anak
Saya punya teman di kantor saya yang dulu, ibu satu anak yang tinggal di Bogor. Waktu saya kenal dia adalah masa-masa pertama saya mencicipi kehidupan kerja di Jakarta. Kantor tempat saya bekerja ketika itu di daerah Sunter. Perusahaan Jepang, kerja dari jam 7 sampai jam 4. Buat saya yang ketika itu masih bawa mobil, mudah saja bolak balik rumah-kantor, karena ada tol yang menghubungkan dari Jatiwaringin ke Sunter. Berangkat kerja paling lama makan waktu 50 menit (tidak pernah sampai 1 jam). Pulangnya yang agak ribet, sekitar 1 sampai 1,5 jam. Tidak terlalu buruk sebenarnya untuk ukuran Jakarta.
Untuk si Ibu satu anak, perjuangannya lebih berat (menurut saya). Pulang pergi naik kereta, sampai rumah sekitar jam 8an malam, belum lagi kalau lembur. Berangkatnya jangan ditanya, yang pasti sebelum saya bangun pagi. Saya sempat terheran-heran, bagaimanalah teman saya ini mengatur waktu dengan keluarganya terutama anaknya. Kapan ketemunya?
Aneh juga sih saya berpikiran begitu karena saya pun anak hasil didikan ibu bekerja. Tapi karena profesi ibu saya dokter, jadi jadwalya lebih fleksibel. Lagipula lalu lintas Jakarta 20 atau 15 tahun lalu belum separah sekarang, jadi waktu yang terbuang di jalan juga tak sebanyak saat ini.
Sejak saat itu saya jadi bertanya-tanya, apakah ibu yang bekerja memang harus begitu ya? Hanya sempat bertemu anak sebelum matahari muncul dan setelah matahari jauh terbenam. Tentu saja ada yang namanya akhir pekan. Apakah akhir pekan cukup? Tidak tahu saya, belum pengalaman sih.
Maka ketika suatu kali di toko buku saya lihat buku "Rumah Cokelat" karangan Sitta Karina (penulis Lukisan Hujan, dkk itu lho) dan baca sekilas sinopsisnya, saya jadi tertarik.
Rumah Cokelat bercerita tentang Hannah, seorang ibu muda berusia di akhir 20-an yang sedang sibuk-sibuknya meniti karir. Si anak, Razsya, yang berusia 20 bulan pun diasuh oleh neneknya dan Upik, pengasuh yang usianya baru 16 tahun. Sementara sang nenek sudah tua dan tak lagi gesit, maka Razsya lebih banyak bersama Mbak Upik.
Mbak Upik adalah orang yang memandikan, memberi makan, menemani bermain hingga mengajari dengan menggunakan flashcard yang telah disediakan sang Ibu. Mbak Upik juga yang pertama mengetahui dan dengan telaten mencatat bahwa Razsya alergi pepaya, Razsya harus selalu pakai body lotion karena kulitnya kering, kepala Razsya suka gatal kalau pakai shampo tertentu dan lain-lain. Bagi Hannah, Mbak Upik adalah malaikat penolongnya. Hingga suatu hari dalam tidurnya Razsya bergumam bahwa ia menyayangi Mbak Upik. Hannah pun merasa insecure.
Rumah Cokelat bercerita bagaimana Hannah mencoba merebut perhatian dan kasih sayang putranya kembali. Karir bukanlah godaan tunggal bagi Hannah. Sebagai wanita modern, Hannah masih mau kongkow-kongkow dengan teman-temannya, ngopi-ngopi di mall, belanja online, baca majalah People dengan tenang, hingga menyalurkan hobi melukisnya. Apalagi ada Smitha, sahabat karibnya yang berjiwa bebas dan hobi keluyuran meski sudah punya satu anak kecil. Di sisi lain ada Mbak Ria Sugono, tetangganya yang "militan ASI", yang rajin menyindir Hannah tentang caranya mendidik anak. Sementara itu sang nenek, Eyang Yani, yang awalnya diamanahi untuk menjaga Razsya, lebih banyak memanjakan daripada mendidik sang cucu, melonggarkan aturan-aturan yang telah dibuat Hannah dan Wigra, suaminya, terhadap sang anak.
Kisah ini menarik buat saya karena mengangkat konflik ibu-ibu muda metropolitan. Topik yang belum pernah saya baca sebelumnya. Bahasa dan alur ceritanya juga mengalir enak, seperti buku Sitta Karina yang lain. Saya rekomendasikan buku ini terutama untuk wanita-wanita yang bercita-cita punya karir dan anak suatu hari nanti. Bukunya tidak terlalu tebal hanya 226 halaman, bisa selesai dibaca sepanjang sore sambil tidur-tiduran. ;)
**
Anak-anak dan babysitter. Pemandangan di jalanan membuatnya miris. Masih mending kalau ini hanya berlangsung di pagi hari. Di siang hari saat si anak makan, si mbak lagi yang nongol keluar. Bahkan saat bermain sore! Seolah-olah bermain di luar, terkena sinar matahari langsung, hanya berlaku untuk si anak dan si mbak saja.
Bagaimana mungkin sampai Razsya berpikir demikian? Karena intensitas mereka bertemu yang kurang? Karena Upik selalu berada di sisinya, sedangkan ia tidak? Tidakkah Razsya mengerti bahwa perempuan muda ini hanya pengasuh sementara dan ia -- ia adalah ibunya? Sosok yang akan selalu ada, mendampinginya tumbuh; saat naik sepeda pertama kalinya, saat bergabung dengan tim olahraga pertama kalinya, bahkan saat Razsya menemukan tambatan hatinya?Tapi, Razsya selalu merasa kehadira dirinya, perhatiannya kurang. Lantas, apa yang salah, apa yang sebenarnya kurang?
(Rumah Cokelat - Sitta Karina)
Apr 25, 2012
Souvenirs
Oh, there were some and I couldn't choose one. One of them was having my best friends got excited helping me getting through the process. From cloth to waxing, manicure to guest books, pep talks to sari tilawah. Somehow I have been saved from insanity. Some of my besties couldn't attend the wedding but I know they hardly wish they could.
I once read a quote that sounds something like this: a true friend is sad when you're at the bottom and happy when you're at the top.
I am very happy that they are happy for me. :)
Plus, I got the sweetest birthday present one week before the wedding here. :D
Some people are missing, but you know I love you.
xoxo
Mar 25, 2012
The Last Date
Time flies and suddenly I'm two weeks away from my wedding day. Everything seems so intense lately, not only the wedding preparation and furnishing the apartment, but also the study. I'm having the mid-term test in the same week as my wedding by the way. No time to waste.
However, I am grateful that the bf and I finally got our great last date yesterday. We decided that we are not going to see each other anymore until the wedding day. For one reason, I think it will escalate the excitement. For other reason, we just simply have no time (remember that my mid-term test is coming up soon).
And what could be a better place to go for our last date unless the place where everything once began two years ago: Sushi Tei Plasa Senayan! And that, ladies & gentlemen, was his idea. That's by far the most romantic thing he has ever done, considering he doesn't like sushi and the traffic was a killer. :)))
So we ended our dating period nicely. Hopefully there'll be much more happiness and excitement in the next stage.
See you on our wedding day, love! ;)
However, I am grateful that the bf and I finally got our great last date yesterday. We decided that we are not going to see each other anymore until the wedding day. For one reason, I think it will escalate the excitement. For other reason, we just simply have no time (remember that my mid-term test is coming up soon).
And what could be a better place to go for our last date unless the place where everything once began two years ago: Sushi Tei Plasa Senayan! And that, ladies & gentlemen, was his idea. That's by far the most romantic thing he has ever done, considering he doesn't like sushi and the traffic was a killer. :)))
So we ended our dating period nicely. Hopefully there'll be much more happiness and excitement in the next stage.
See you on our wedding day, love! ;)
Feb 20, 2012
Always Mum
I found this video of a Dad interrogates her little daughter two weeks ago and been amused since. I believe I have watched this video for at least 20 times. It's just too adorable.
When I showed my Dad the video, he told me I was like this girl, always mum mum. :)))
Yea, frankly, nothing in this world I love more than my Mom. :D
When I showed my Dad the video, he told me I was like this girl, always mum mum. :)))
Yea, frankly, nothing in this world I love more than my Mom. :D
Feb 13, 2012
Doa Pernikahan
Pagi ini, bangun-bangun saya sudah disambut instruksi dari Bos Besar a.ka yts. Mama. Bikin kata-kata untuk undangan, katanya. Dan yang dimaksud dengan "kata-kata" memiliki dua makna: redaksi dan font.
Dengan turunnya perintah tersebut, nyemplunglah saya ke tiga tas besar penuh contoh undangan yang dengan baik hatinya disumbangkan oleh salah seorang Tante. Bohong deng.
Benar bahwa Tante saya telah mendonasikan segunung undangan. Tapi pagi ini tiga tas besar itu entah ada dimana. Alhasil saya hanya berbekal sekitar setengah lusin contoh undangan saja.
Seumur-umur belum pernah saya baca undangan pernikahan dari awal sampai akhir. Pertama, saya jarang dapat undangan fisik, biasanya juga via SMS, BBM atau Facebook. Kedua, ketika saya mendapat undangan yang biasanya saya baca hanya nama mempelai dan waktu serta tempat acara. Saya ngeh sih bahwa di undangan pernikahan umumnya dikutip ayat Ar-Rum: 21 di halaman depan. Tapi saya hanya membaca sekilas satu dua kali lalu selanjutnya bagian itu selalu saya lewatkan.
Maka untuk pertama kalinya pagi ini saya baca baik-baik setengah lusin undangan pernikahan. Ternyata undangan (orang Islam) itu umumnya memiliki komposisi berikut:
Aaaak.
Langsunglah saya google, "doa pernikahan" dan "doa pengantin". Hasilnya, saya menemukan beberapa doa yang indah-indah seperti berikut:
Ya Allah, andai Engkau berkenan, limpahkan kepada kami,
Dengan turunnya perintah tersebut, nyemplunglah saya ke tiga tas besar penuh contoh undangan yang dengan baik hatinya disumbangkan oleh salah seorang Tante. Bohong deng.
Benar bahwa Tante saya telah mendonasikan segunung undangan. Tapi pagi ini tiga tas besar itu entah ada dimana. Alhasil saya hanya berbekal sekitar setengah lusin contoh undangan saja.
Seumur-umur belum pernah saya baca undangan pernikahan dari awal sampai akhir. Pertama, saya jarang dapat undangan fisik, biasanya juga via SMS, BBM atau Facebook. Kedua, ketika saya mendapat undangan yang biasanya saya baca hanya nama mempelai dan waktu serta tempat acara. Saya ngeh sih bahwa di undangan pernikahan umumnya dikutip ayat Ar-Rum: 21 di halaman depan. Tapi saya hanya membaca sekilas satu dua kali lalu selanjutnya bagian itu selalu saya lewatkan.
Maka untuk pertama kalinya pagi ini saya baca baik-baik setengah lusin undangan pernikahan. Ternyata undangan (orang Islam) itu umumnya memiliki komposisi berikut:
- Halaman pertama, kutipan Al-Qu'an (biasanya Ar-Rum:21)
- Halaman kedua, keterangan bahwa kedua keluarga akan menikahkan si Fulan dan si Amir pada tanggal sekian di tempat anu.
- Halaman ketiga, undangan untuk menghadiri resepsi yang akan diadakan pada tanggal sekian di tempat anu.
- Halaman keempat, doa pengantin.
- Halaman kelima, peta lokasi.
Diantara kelima hal di atas, poin keempat adalah hal yang 99% selalu luput dari perhatian saya. Bahkan baru pagi ini saya ngeh ada bagian seperti itu di undangan pernikahan.
Aaaak.
Langsunglah saya google, "doa pernikahan" dan "doa pengantin". Hasilnya, saya menemukan beberapa doa yang indah-indah seperti berikut:
Ya Allah, andai Engkau berkenan, limpahkan kepada kami,
cinta yang menjadikan pengikat rindu antara Rasulullah dan Khadijah Al-Qubro,
yang Engkau jadikan mata air kasih sayang antara Ali, RA dan Fatimah Az-Zahra,
Ya Allah, andai hal itu layak bagi kami, maka cukuplah doa kami dengan ridho-Mu
untuk jadikan kami sebagai suami istri yang saling mencintai dikala dekat,
saling menjaga kehormatan dikala jauh,
saling mengingatkan dikala senang,
saling menyempurnakan dalam ibadah,
saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan
ya Allah sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan pernikahan ini
sebagai ibadah kepada-Mu dan bukti cinta kami kepada sunah Rasul-Mu
Sayangnya, doa diatas tidak akan masuk dalam undangan lantaran karena satu dan lain hal undangan pernikahan yang akan dicetak hanya akan terdiri dari dua halaman. Poin 2 dan 3 dalam satu halaman, dan poin 5 di halaman lain. Ya sudahlah, saya masukkan ke blog saja. :P
Feb 10, 2012
A Quote
Life is too short to waste time hating anyone.I quoted this from a message my best friend sent few months ago. Can't agree more about the statement.
Jan 8, 2012
Beauty
In one of final assignments that I did last semester, I presented an analysis of Dove's marketing communication. During my research I found several interesting things.
In 2004, a collaborative research done by Harvard University and London School of Economics and funded by Dove revealed some facts about how women throughout the world perceived the concept of beauty. Shortly short, according to the authors, many women didn't describe themseleves as beautiful and agreed that media had set unrealistic standard of beauty. Though many opposed the results (which is a common thing for every controversial research), Dove still proceed their next marketing strategy based on those. (In my opinion, since Dove did fund the research we couldn't really tell for sure whether the research was indeed driven to certain direction or not).
Dove then launched a global campaign, which you might have already known, titled Real Beauty. The campaign basically encourage people, especially women, to embrace their own beauty despite of the standard that established by the media. in their ads, they use rather "common people" instead of models. By "common people" means people with any shapes, races, and ages. The campaign got much attention and has been research object multiple times for its uniqueness.
Shortly short (again), my analysis concern more about how the global campaign implemented in Indonesia. Not gonna go in details to that . ;)
One of the most interesting things about this campaign is a short movie called "Dove Evolution" (2006). It was released as part of their campaign to promote self-confidence. Based on several articles, "Dove Evolution" was quite famous at the time it was launched. See for yourself.
While doing the analysis, I remember a good friend mine who is, in my opinion, having a self-confidence issue about her physical appearance, To be perfectly honest, there's nothing wrong with her look.Surely, she doesn't look like those beautiful faces we see on TV but who does?
Not only that she's beautiful, but she's also one of the nicest people I've ever known. She holds a degree from one of the most reputable universities in this country (and believe me, the degree also comes from the most prestigious faculty in that unversity). I never really understand why she often doubts herself while I wish to be more like her.
Going back to Dove Evolution movie, I wonder if it really portrays our standard of beauty? Are women mostly defined by how they look instead of what degree they hold or their attitudes? You can say "no" but I know some people do judge women mostly from their looks.
So, in my attempt to be somewhat wise, I quoted Dr. Seuss to my friend: "those who mind dont matter. Those who matter don't mind".
Say you have droopy eyes, big nose, thin hair, or soft-and-lack-of-characters bone structure like mine, you might meet some people who mind your shortcomings. Those people don't matter or important for you. Because those people who really matter for you are those who don't mind with those because they see beyond your outer qualities. Having said that, I think it's better to stay confidence about ourselves, which I acknowledge as something that is not easy.
As part of their Real Beauty campaign, Dove also encourage women to be confident. They argue that those features you have that don't match the common standard are not ugly, they are just different and there's no reason to feel bad about them only because they are not portrayed as ideal by the media.
I must agree with this point. I often meet women with curly hairs, dark skin, small eyes, or huge body whom I secretly envy because they look very attractive. True story (or 'stories', in this case). One thing these women never fail to have is confidence (without "over" before the word). At the end, I genuinely believe that most people look attractive because they believe they do look good. The rest (and minority group of people) are granted such extraordinary beauty that they don't need confindence factor to be attractive.
In 2004, a collaborative research done by Harvard University and London School of Economics and funded by Dove revealed some facts about how women throughout the world perceived the concept of beauty. Shortly short, according to the authors, many women didn't describe themseleves as beautiful and agreed that media had set unrealistic standard of beauty. Though many opposed the results (which is a common thing for every controversial research), Dove still proceed their next marketing strategy based on those. (In my opinion, since Dove did fund the research we couldn't really tell for sure whether the research was indeed driven to certain direction or not).
Dove then launched a global campaign, which you might have already known, titled Real Beauty. The campaign basically encourage people, especially women, to embrace their own beauty despite of the standard that established by the media. in their ads, they use rather "common people" instead of models. By "common people" means people with any shapes, races, and ages. The campaign got much attention and has been research object multiple times for its uniqueness.
Shortly short (again), my analysis concern more about how the global campaign implemented in Indonesia. Not gonna go in details to that . ;)
One of the most interesting things about this campaign is a short movie called "Dove Evolution" (2006). It was released as part of their campaign to promote self-confidence. Based on several articles, "Dove Evolution" was quite famous at the time it was launched. See for yourself.
While doing the analysis, I remember a good friend mine who is, in my opinion, having a self-confidence issue about her physical appearance, To be perfectly honest, there's nothing wrong with her look.Surely, she doesn't look like those beautiful faces we see on TV but who does?
Not only that she's beautiful, but she's also one of the nicest people I've ever known. She holds a degree from one of the most reputable universities in this country (and believe me, the degree also comes from the most prestigious faculty in that unversity). I never really understand why she often doubts herself while I wish to be more like her.
Going back to Dove Evolution movie, I wonder if it really portrays our standard of beauty? Are women mostly defined by how they look instead of what degree they hold or their attitudes? You can say "no" but I know some people do judge women mostly from their looks.
So, in my attempt to be somewhat wise, I quoted Dr. Seuss to my friend: "those who mind dont matter. Those who matter don't mind".
Say you have droopy eyes, big nose, thin hair, or soft-and-lack-of-characters bone structure like mine, you might meet some people who mind your shortcomings. Those people don't matter or important for you. Because those people who really matter for you are those who don't mind with those because they see beyond your outer qualities. Having said that, I think it's better to stay confidence about ourselves, which I acknowledge as something that is not easy.
As part of their Real Beauty campaign, Dove also encourage women to be confident. They argue that those features you have that don't match the common standard are not ugly, they are just different and there's no reason to feel bad about them only because they are not portrayed as ideal by the media.
I must agree with this point. I often meet women with curly hairs, dark skin, small eyes, or huge body whom I secretly envy because they look very attractive. True story (or 'stories', in this case). One thing these women never fail to have is confidence (without "over" before the word). At the end, I genuinely believe that most people look attractive because they believe they do look good. The rest (and minority group of people) are granted such extraordinary beauty that they don't need confindence factor to be attractive.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...