Ujian Bahasa Indonesia itu rasanya semacam tebak tebak buah manggis, tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Sehari-hari berbahasa Indonesia pun sepertinya tidak banyak membantu. Bagaimana bisa membantu kalau yang terucap kebanyakan kalau tidak bahasa sleng ya bahasa Inggris atau Jawa yang diserap dan dimodifikasi sembarangan. Nah, kan, baru paragraf kedua saja saya sudah pakai istilah sleng.
Belajar bahasa Inggris rasanya lebih mudah. Sebenarnya saya kurang tahu juga sih bahasa Inggris yang saya gunakan sudah benar atau tidak. Anggaplah sudah (agak) benar. Bila demikian, buku dan bahan bacaan berbahasa Inggris lainnya adalah salah satu hal yang paling berjasa dalam proses pembelajaran saya. Tidak tahu apakah karena bukan bahasa ibu saya, kalau membaca buku atau artikel bahasa Inggris itu rasanya enak betul ceritanya mengalir. Pilihan kata dan kalimatnya pun beragam. Memang tak bisa disamaratakan begitu semua, tapi sebagian besar buku berbahasa Inggris yang saya baca punya efek demikian. Bukan saya bilang bahwa buku-buku berbahasa Indonesia tidak mengalir penceritaannya. Hanya saja dari yang sudah saya baca selama ini, yang tulisannya terasa lancar kebanyakan bahasanya dicampur dengan bahasa lain atau menggunakan bahasa sleng, dengan sejumlah pengecualian tentunya. Mungkin memang saya saja yang kurang banyak membaca sih. Hasilnya, tulisan saya dalam bahasa ibu sendiri pun banyak disisipi berbagai kata dan kalimat asing atau serapan.
Nah, beberapa hari lalu, saya melihat-lihat sejumlah situs produsen
Bila bicara tentang bahasa Indonesia, saya selalu teringat mendiang nenek saya dari pihak ibu. Beliau kerap kail menggunakan kata-kata yang saya rasa tidak umum digunakan dalam percakapan, misalnya "lantas" bukan "kemudian" atau "terus"; "kencan" bukan "ketemuan" atau "janjian"; "kawan" bukan "teman". Secara makna, kata-kata tersebut lebih atau sama tepatnya, kan? Tapi tentu kalau saya gunakan dalam percakapan sehari-hari bisa-bisa saya dicap "jadul" (kata yang akan dibahasakan nenek saya sebagai "kuno").
Walaupun demikian, bagi saya, tetap ada kesenangan tersendiri ketika mendengar atau membaca tata bahasa Indonesia yang dipakai seelok itu. Mungkin saya memang kuno, ya?
Saya suka membaca beberapa blog karena alasan tersebut: karena tulisannya menggunakan bahasa Indonesia yang mengalir. Seperti blog milik Raie Kribo ini.
Komentar menarik lain yang pernah saya dengan tentang bahasa Indonesia datang dari teman saya, seorang warga negara Malaysia keturunan Cina. Teman saya ini bahasa Melayunya terpatah-patah, kalah jauh dari kemampuannya berbahasa Mandarin, Inggris, bahkan Spanyol. Meski demikian, diakuinya, bila hanya mendengar ia masih lumayan dapat memahami. Suatu kali ia pernah bilang pada saya bahwa ia pun bisa memahami sebagian percakapan dalam bahasa Indonesia walaupun ada kata-kata tertentu yang membuatnya bingung.
Tahu kata-kata apa?
Kata-kata seperti "sih", "dong", "kan", "deh". Apa artinya? Saya mau menjelaskan juga sulit. Bagaimana asal muasalnya dan kenapa semua orang Indonesia memakainya pun saya tidak mengerti.
Intinya, saya merasa saya harus banyak belajar lagi tentang bahasa Indonesia, memperluas kosakata, memahami pemakaian imbuhan, tanda baca, dsb. Saya akui, ketika saya mendengar seseorang berbicara atau melakukan presentasi dalam bahasa Inggris yang baik dengan lancar, saya selalu kagum. Tapi kekaguman yang sama juga saya selalu berikan pada mereka yang dapat bertutur kata dengan baik, runut, dan anggun dalam bahasa Indonesia, karena jujur saja, saya kira tidak banyak orang yang memiliki kemampuan demikian.
Sebenarnya, tanpa tata bahasa yang baik pun saya rasa orang-orang lain masih dapat memahami dan mengerti maksud perkataan kita. Namun dengan tata bahasa yang baik itulah tingkatan kita bisa terangkat jadi lebih terdidik, atau berbudaya, atau apapun, yang pasti meningkat.
Bisa juga jadi tampak lebih kuno sih. :P