
You can’t be in love and smart at the same time
Quote di atas mengingatkan saya akan seorang teman. Dia cinta sekali pada (mantan) pacarnya. Bahkan setelah sang mantan pernah mencacinya dengan kata-kata kotor (ketika itu statusnya masih pacar), tapi teman saya ini tetap keukeuh ingin balik lagi. Meskipun sang mantan ini sangat otoriter dan posesif, tetap saja tak menggoyahkan niatnya.
”apa sih yang bikin lo pengen banget balik sama dia?”, saya penasaran.
”abis.. kayaknya dia ngertiin gue banget”. Es teh manis yang sedang saya minum rasanya ingin tersembur keluar. Gimana sih? Bukannya dulu putus karena si pacar kelewat posesif sampai-sampai teman saya ini ga boleh jalan sama siapapun teman cowoknya? Sampai-sampai sang pacar menetapkan ’jam malam’ untuk si teman saya ini?
(Kata-kata di atas kemudian diralat menjadi : si (mantan) pacar tahu betul sifat teman saya, namun tidak mengerti perasaannya)
Kalau kata Agnes Monica, cinta itu tak ada logika. Tak ada gunanya mengajak teman saya ini berlogika. Saya yakin ia bukan orang pertama dan satu-satunya yang mengalami ini.
Memang sulit kalau sudah pakai hati. Kalau kata Madonna, you only see what your eyes want to see. Kadang rasanya lebih mudah membohongi perasaan dan berpura-pura ‘I am totally fine!’, daripada mengakui kebenaran bahwa si dia ternyata memang bukan jodoh.
Ngomong-ngomong tentang jodoh, beberapa minggu kemarin orang tua dari salah satu teman saya yang lain resmi bercerai. Ya, setelah 23 tahun menikah akhirnya si tante bercerai dari si om. Si tante tak lagi cinta pada si om. Mungkin ada alasan lain. Saya tak tahu dan tak mau tahu.
Saya juga pernah kok tiba-tiba merasa tak cinta(kalau itu bisa dibilang cinta...) lagi pada (mantan) pacar saya. Padahal dulu rasanya dia lah jodoh saya. Ternyata perasaan itu bertahan kurang dari dua tahun saja. Lalu saya bertemu orang lain yang rasanya jodoh saya lagi. Eh, ternyata lagi-lagi perasaan itu hanya bertahan sekitar satu tahun.
Trus, saya sempat takut ’duh, gimana kalo nanti mau nikah ya? Rasanya jodoh, rasanya bisa selamanya, ternyata di tengah jalan semuanya hilang’.
Mungkin cinta saja tidak cukup ya? Ya iya, menikah juga butuh komitmen yang besar.
Ya, ya, selain itu? Gimana kalau di tengah-tengah cintanya luntur (cie.. luntur) dan mulai merasa tidak nyaman? Bisa saja sih bertahan tidak bercerai sampai maut memisahkan tapi sengsara.
Huf, kata ’menikah’ masih terlalu berat buat saya. Saya ganti kalimat di atas dengan : Bisa saja sih bertahan tidak putus tapi sengsara bo!
Lha, ini yang repot.
’Kalau gue bisa sabar dan bertahan seperti ini terus, gue ga akan putus sama dia’, saya pernah berpikiran seperti itu. Masalahnya ternyata, ’sabar dan bertahan’ itu membuat saya kehilangan identitas. Maksudnya, saya bukan lagi menjadi orang yang saya inginkan, saya tidak lagi menyukai diri saya sendiri. Pilihannya menjadi kehilangan dia atau kehilangan diri sendiri.
Kalau waktu pacaran saja si doi sudah berani menghina, sudah mulai berani mengatur-atur jadwal kegiatan, sudah berani marah-marah, sudah sukses membuat mata sembab saban minggu apalshi selingkuh, terbayang ga apa jadinya ketika menikah nanti? Selamat buat yang memang punya kriteria suami idaman demikian, mungkin memang si doi orang yang tepat.
Suatu kali Oprah pernah berkata, tiap manusia memiliki kata hati. Itu tuh, perasaan tidak enak ketika kita akan melakukan suatu dosa. Suara-suara kecil yang bilang ’mmm... kayaknya engga deh...’. Secara naluriah, manusia punya kemampuan di bawah sadarnya untuk merasakan datangnya bahaya termasuk kebohongan. Masalahnya adalah bagaimana menyadari naluri itu. Kalau menurut Oprah sih, semakin sering kata hati itu dicuekin, maka akan semakin pelanlah suaranya.
Ada saatnya saya mulai merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan. Lalu ada suara kecil dalam diri saya yang bilang ’hmm... i dont think he’s the one’. Tapi lalu saya balik bilang ke suara itu : ‘duh, tau apa sih situ? Ini yang namanya cinta emang butuh pengorbanan! If he can’t suit himself wih me, i’ll suit myself with him’.
Ya udahlah, masalah suit-suit ini yang jadi ribet. Siapa menyesuaikan siapa?
Jawaban bijak dari pertanyaan di atas adalah : dua-duanya dong saling menyesuaikan.
Komposisinya 50%-50%. Kalau ada alat tes nya (namanya mungkin suitermeter) jadi terukur dengan jelas. Sayangnya, teknologi belum sampai secanggih itu. Jadilah perasaan yang jadi alat ukur. Seperti telah diketahui oleh khalayak ramai bahwa yang namanya perasaan kan relatif. Dan kalau kata Marthen Kanginan, sesuatu yang relatif sulit dijadikan alat ukur.
Tapi kalau kata perasaan (saya) sih: yang penting merasa nyaman, dengan si doi dan diri sendiri.
Toleransi juga pasti ada batasnya. Ketika batas toleransi itu dilewati, saatnya buat keputusan : mau melonggarkan toleransinya atau menyudahi saja?
Mungkin…
you can’t be smart and be in love at the same time
cinta tak ada logika
you only see what your eyes want to see
memang bukan sekedar kata-kata tanpa makna?
Makanya, saya buat postingan ini. Mumpung belum in love seharusnya saya lagi smart. Nanti kalau saya lagi in love, ingatkan untuk membaca posting ini.
:)