5 menit berlalu dan wanita itu belum menyentuh makanannya lagi. Sup panas yang dipesannya sudah mulai mendingin. Ponselnya erat memeluk telinga sedari tadi. Sesekali ia tertawa. Bila tidak tertawa, ia tersenyum simpul. Matanya menerawang entah kemana. Ia seolah berada di dunia lain. Jauh dari hingar bingar restoran tempat raganya berada. Semua yang melihat akan tahu, ia sedang dilanda asmara.
**
Akhir-akhir ini, semua orang sepertinya sedang dilanda asmara. Dari mulai bangun pagi, saya sudah mendapati teman sekamar saya ditelepon pacarnya dari Belanda. Berangkat ke kampus, saya melihat pasangan muda mudi bergandengan tangan menyebrang jalan. Sampai di kampus, pasangan yang sedang kasmaran bertebaran dimana-mana. Mau di jurusan atau di unit, sama saja.
Di Bandung ini, saya punya 4 sahabat dekat. 3 diantara mereka tengah dilanda asmara. Yang seorang lagi, ternyata juga baru saja jadian. Lengkaplah sudah.
Semua orang dilanda asmara. Kecuali saya.
Ada sedikit rasa cemburu ketika saya melihat binar mata mereka. Atau suara tawa lepas mereka. Ya, terasa sekali mereka sedang bahagia. Saya kangen perasaan itu.
Saya kangen pada kupu-kupu yang beterbangan di hati saya. Membuat sensasi tersendiri. Membuat detak jantung saya berpacu lebih cepat. Membuat saya tersenyum bahkan tanpa saya menyadarinya.
Cukup sampai disitu.
Saya tidak kangen pada perasaan harap-harap cemas yang menyiksa. Saya tidak kangen pada perasaan sesak di dada. Saya tidak kangen pada rasa sakit yang menusuk hati. Saya tidak kangen pada rasa panas yang menggenang di pelupuk mata saya.
Mungkin saya ingin dilanda asmara. Mungkin juga tidak. Entahlah.
Saya tak berani memutuskan. Hati ini masih dibolak balik olehNya. Bila saatnya tiba, biar Ia yang menetapkan.
Sep 29, 2007
Sep 28, 2007
sang dewi
Saya masih ingat betul , tiga tahun lalu, hari pertama saya kuliah di ITB. Saya datang 20 menit sebelum kuliah pertama pukul 7. Banyak pertanyaan dalam kepala saya.
Seperti apa teman-teman saya nanti?
Apa saya dapat membaur dengan mereka?
Bagaimana rasanya kuliah?
Bagaimana rasanya jadi mahasiswa?
Saya ingat, pagi itu saya berputar-putar kebingungan mencari ruangan 9134. Apa itu 9134? Memangnya di ITB ada sampai 9000an ruangan ya? Begitu banyak gedung, saya harus menuju kemana?
Bingung, tapi juga excited. Saya tidak sabar duduk di ruang kelas, mendengarkan dosen mengajar. Saya tidak sabar untuk kuliah. Saya bertanya ke orang yang sedang melintas di depan saya. 9134 itu dimana ya? Bukan jawaban yang saya dapat. Tapi justru nasihat agar melihat peta ITB saja. Untungnya, orang kedua yang saya tanyai memberikan jawaban solutif. Ia langsung mengarahkan telunjuknya ke bangunan yang di kemudian hari saya kenal dengan GKU Lama atau GKU Barat.
Terhitung Agustus 2007 ini, resmi sudah saya masuki tahun keempat saya di ITB. Tapi kenangan akan hari pertama itu, masih melekat jelas di ingatan. Bukan, postingan ini bukan tentang pengalaman perkuliahan saya di ITB. Cerita di atas hanya gambaran tentang salah satu kepingan kecil sejarah saya di ITB.
Posting ini tentang dia yang telah menjadi bagian dari kehidupan saya selama saya di ITB. Mungkin saya tak ingat tiap detail hari yang telah saya lewatkan bersamanya layaknya saya ingat hari pertama saya di ITB, namun tentang dia, insyaallah saya tak akan lupa.
Namanya Batari. Kalau menurut si empunya nama, Batari artinya Dewi. Di belakang nama Batari, disambung dengan kata Saraswati. Yang (lagi-lagi) menurut si empunya nama, berarti Ilmu Pengetahuan. Maka Batari Saraswati saya artikan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Batari Saraswati adalah sahabat pertama saya di ITB.
Kalau orang Jawa punya pepatah “witing trisna jalaran saka kulina”, suka itu ada karena biasa, mungkin itu juga yang terjadi pada saya dan Batari. Kami sekelas, kami satu unit. Di unit tersebut, kami ditugaskan membuat artikel bersama. Dari sana lah awal komunikasi saya dan Batari meningkat. Mulai dari membahas artikel, hingga menyumpah serapahi Pemimpin Redaksi unit kami ketika itu.
Singkat cerita, memasuki semester kedua, saya dan Batari semakin dekat. Karena saya (terutama dulu) adalah tipe orang yang cukup tertutup, maka tak mudah bagi saya menceritakan masalah-masalah pribadi saya pada orang lain. Maka ketika saya dapat merasa nyaman bercerita tentang masalah pribadi saya kepada seseorang, ketika itulah saya sudah resmi menganggap dia sebagai sahabat saya. Demikian pula yang terjadi pada Batari.
Demikianlah, saya dan Batari pun berteman dekat. Meskipun memasuki tingkat dua kami tak sekelas lagi, namun berkomunikasi dengannya tetap tak menjadi masalah. Malah, pada tahun ketiga kuliah, saya pindah ke rumahnya yang sebagian kamarnya memang untuk dikostkan.
Dulu, Batari pernah bilang dia iri pada saya. Karena apa ya? Saya juga tidak tahu.
Tapi sekarang, justru saya yang iri padanya. Iri ini bukan asal iri. Ada beberapa alasan yang saya rasa cukup pantas membuat saya iri pada Batari :
1. Batari punya disiplin diri yang tinggi, kecuali soal diet.
2. Batari punya IPK cumlaude.
3. Batari punya banyaak sekali teman yang sayang padanya.
4. Batari bisa menjadi orang yang baik hati sekaligus tegas.
5. Batari punya otak yang brilian.
6. Batari bisa betah mencatat di kelas.
7. Batari selalu pintar mencari kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya.
8. Batari sering menang lomba ilmiah.
9. Batari itu modis dan manis.
Kira-kira awal tahun ini, Batari mendaftarkan diri mengikuti program exchange ke Jepang. Prosesnya agak lama, melewati tahap demi tahap. Sejak awal, saya tahu ia mengikuti seleksi tersebut. Namun saya baru ngeh betul setelah ia masuk ke tiga kandidat besar. Pada titik itu, kondisi Jepang sudah bukan lagi mimpi di siang bolongnya.
Sayang, ia tak lolos tahap terakhir. Batari bilang dia sedih. Saya pun ikut prihatin. Tapi di sisi lain tak dapat saya pungkiri ada kelegaan dalam hati. Batari tak jadi ke Jepang. Batari masih akan tetap di Bandung. Dunia pun berjalan normal.
Suatu malam ia bilang pada saya. Proposalnya yang dulu dimentahkan itu, ternyata masih berlanjut. Ada seorang profesor di universitas Tohoku yang tertarik dan bersedia menjadi pembimbing Batari. Approval dari sang profesor tersebut berdampak sangat besar, membawanya semakin dekat ke Jepang.
Sudah 95% OK, kata Batari. Diambil atau tidak ya? Ia bertanya.
Ambil saja Bat, ujar saya spontan ketika itu. Saat itu saya mengerti, kalau pun bukan kali ini, suatu saat nanti Batari pasti akan pergi ke Jepang atau manapun yang dia inginkan. Kegagalan justru akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Dan saya yakin, kalau ia melewatkan kesempatan ini, ia akan menyesal dan itu juga akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Intinya, sekarang atau nanti ia pasti pergi. Memang begitulah Batari.
Kira-kira satu atau dua bulan lalu, kepastian itu datang. 30 September ini Batari akan terbang ke Jepang dan baru akan kembali ke Indonesia April tahun depan. Studinya akan terlambat satu tahun, tapi kalau sudah sampai Jepang,siapa yang peduli berapa tahun Anda menyelesaikan Strata 1 Anda?
Hari-hari ini, menjelang kepergiannya saya tak sedih. Teman-teman di kampus sering bilang pada saya “jangan sedih ya Min..”, saya tersenyum saja. Saya menolak untuk bersedih. Tak ada gunanya buat saya atau pun buat Batari. Dan memang tak ada yang perlu disedihkan kan?
Memang, 6 bulan ke depan saya tak akan bertemu dengannya. Tapi bukankah 6 bulan itu singkat? Ia kan bukannya akan amnesia atau apa sekembalinya dari Jepang. Ia pasti akan masih ingat teman-temannya. Karena Batari memang begitu.
Tak ada yang perlu disedihkan karena tak ada perpisahan disini. Kalaupun bukan 6 bulan lagi, mungkin satu tahun lagi atau 10 tahun lagi, saya masih bisa bertemu Batari. Memang, menyayangi seseorang bukan berarti melulu harus berada di dekatnya. Tapi mendukung apa pun yang terbaik baginya. Saya yakin Jepang adalah yang terbaik bagi Batari.
Mungkin kalaupun ada hal yang membuat saya sedih adalah pemikiran kapan ya saya bisa mengejar ketertinggalan saya dari Batari? Kadang rasanya tak percaya Batari itu sahabat saya. Benarkah orang yang terpilih mengerjakan riset di Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang menemani saya makan Hot Chocolate Delight? Benarkah orang yang mendapat rekomendasi dari profesor Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang mendengarkan curhat-curhat saya?
Kalau bersama Batari, rasanya seperti tak ada yang mustahil. Ia adalah salah satu inspirator terbesar dalam hidup saya.
Hari Minggu malam besok sang Dewi Ilmu Pengetahuan itu akan bertolak ke Jepang. Saya hanya dapat berpesan : enjoy your time!
Nb. : dalam kamus Batari, enjoy = belajar.
Seperti apa teman-teman saya nanti?
Apa saya dapat membaur dengan mereka?
Bagaimana rasanya kuliah?
Bagaimana rasanya jadi mahasiswa?
Saya ingat, pagi itu saya berputar-putar kebingungan mencari ruangan 9134. Apa itu 9134? Memangnya di ITB ada sampai 9000an ruangan ya? Begitu banyak gedung, saya harus menuju kemana?
Bingung, tapi juga excited. Saya tidak sabar duduk di ruang kelas, mendengarkan dosen mengajar. Saya tidak sabar untuk kuliah. Saya bertanya ke orang yang sedang melintas di depan saya. 9134 itu dimana ya? Bukan jawaban yang saya dapat. Tapi justru nasihat agar melihat peta ITB saja. Untungnya, orang kedua yang saya tanyai memberikan jawaban solutif. Ia langsung mengarahkan telunjuknya ke bangunan yang di kemudian hari saya kenal dengan GKU Lama atau GKU Barat.
Terhitung Agustus 2007 ini, resmi sudah saya masuki tahun keempat saya di ITB. Tapi kenangan akan hari pertama itu, masih melekat jelas di ingatan. Bukan, postingan ini bukan tentang pengalaman perkuliahan saya di ITB. Cerita di atas hanya gambaran tentang salah satu kepingan kecil sejarah saya di ITB.
Posting ini tentang dia yang telah menjadi bagian dari kehidupan saya selama saya di ITB. Mungkin saya tak ingat tiap detail hari yang telah saya lewatkan bersamanya layaknya saya ingat hari pertama saya di ITB, namun tentang dia, insyaallah saya tak akan lupa.
Namanya Batari. Kalau menurut si empunya nama, Batari artinya Dewi. Di belakang nama Batari, disambung dengan kata Saraswati. Yang (lagi-lagi) menurut si empunya nama, berarti Ilmu Pengetahuan. Maka Batari Saraswati saya artikan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Batari Saraswati adalah sahabat pertama saya di ITB.
Kalau orang Jawa punya pepatah “witing trisna jalaran saka kulina”, suka itu ada karena biasa, mungkin itu juga yang terjadi pada saya dan Batari. Kami sekelas, kami satu unit. Di unit tersebut, kami ditugaskan membuat artikel bersama. Dari sana lah awal komunikasi saya dan Batari meningkat. Mulai dari membahas artikel, hingga menyumpah serapahi Pemimpin Redaksi unit kami ketika itu.
Singkat cerita, memasuki semester kedua, saya dan Batari semakin dekat. Karena saya (terutama dulu) adalah tipe orang yang cukup tertutup, maka tak mudah bagi saya menceritakan masalah-masalah pribadi saya pada orang lain. Maka ketika saya dapat merasa nyaman bercerita tentang masalah pribadi saya kepada seseorang, ketika itulah saya sudah resmi menganggap dia sebagai sahabat saya. Demikian pula yang terjadi pada Batari.
Demikianlah, saya dan Batari pun berteman dekat. Meskipun memasuki tingkat dua kami tak sekelas lagi, namun berkomunikasi dengannya tetap tak menjadi masalah. Malah, pada tahun ketiga kuliah, saya pindah ke rumahnya yang sebagian kamarnya memang untuk dikostkan.
Dulu, Batari pernah bilang dia iri pada saya. Karena apa ya? Saya juga tidak tahu.
Tapi sekarang, justru saya yang iri padanya. Iri ini bukan asal iri. Ada beberapa alasan yang saya rasa cukup pantas membuat saya iri pada Batari :
1. Batari punya disiplin diri yang tinggi, kecuali soal diet.
2. Batari punya IPK cumlaude.
3. Batari punya banyaak sekali teman yang sayang padanya.
4. Batari bisa menjadi orang yang baik hati sekaligus tegas.
5. Batari punya otak yang brilian.
6. Batari bisa betah mencatat di kelas.
7. Batari selalu pintar mencari kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya.
8. Batari sering menang lomba ilmiah.
9. Batari itu modis dan manis.
Kira-kira awal tahun ini, Batari mendaftarkan diri mengikuti program exchange ke Jepang. Prosesnya agak lama, melewati tahap demi tahap. Sejak awal, saya tahu ia mengikuti seleksi tersebut. Namun saya baru ngeh betul setelah ia masuk ke tiga kandidat besar. Pada titik itu, kondisi Jepang sudah bukan lagi mimpi di siang bolongnya.
Sayang, ia tak lolos tahap terakhir. Batari bilang dia sedih. Saya pun ikut prihatin. Tapi di sisi lain tak dapat saya pungkiri ada kelegaan dalam hati. Batari tak jadi ke Jepang. Batari masih akan tetap di Bandung. Dunia pun berjalan normal.
Suatu malam ia bilang pada saya. Proposalnya yang dulu dimentahkan itu, ternyata masih berlanjut. Ada seorang profesor di universitas Tohoku yang tertarik dan bersedia menjadi pembimbing Batari. Approval dari sang profesor tersebut berdampak sangat besar, membawanya semakin dekat ke Jepang.
Sudah 95% OK, kata Batari. Diambil atau tidak ya? Ia bertanya.
Ambil saja Bat, ujar saya spontan ketika itu. Saat itu saya mengerti, kalau pun bukan kali ini, suatu saat nanti Batari pasti akan pergi ke Jepang atau manapun yang dia inginkan. Kegagalan justru akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Dan saya yakin, kalau ia melewatkan kesempatan ini, ia akan menyesal dan itu juga akan melecutnya untuk menjadi lebih baik. Intinya, sekarang atau nanti ia pasti pergi. Memang begitulah Batari.
Kira-kira satu atau dua bulan lalu, kepastian itu datang. 30 September ini Batari akan terbang ke Jepang dan baru akan kembali ke Indonesia April tahun depan. Studinya akan terlambat satu tahun, tapi kalau sudah sampai Jepang,siapa yang peduli berapa tahun Anda menyelesaikan Strata 1 Anda?
Hari-hari ini, menjelang kepergiannya saya tak sedih. Teman-teman di kampus sering bilang pada saya “jangan sedih ya Min..”, saya tersenyum saja. Saya menolak untuk bersedih. Tak ada gunanya buat saya atau pun buat Batari. Dan memang tak ada yang perlu disedihkan kan?
Memang, 6 bulan ke depan saya tak akan bertemu dengannya. Tapi bukankah 6 bulan itu singkat? Ia kan bukannya akan amnesia atau apa sekembalinya dari Jepang. Ia pasti akan masih ingat teman-temannya. Karena Batari memang begitu.
Tak ada yang perlu disedihkan karena tak ada perpisahan disini. Kalaupun bukan 6 bulan lagi, mungkin satu tahun lagi atau 10 tahun lagi, saya masih bisa bertemu Batari. Memang, menyayangi seseorang bukan berarti melulu harus berada di dekatnya. Tapi mendukung apa pun yang terbaik baginya. Saya yakin Jepang adalah yang terbaik bagi Batari.
Mungkin kalaupun ada hal yang membuat saya sedih adalah pemikiran kapan ya saya bisa mengejar ketertinggalan saya dari Batari? Kadang rasanya tak percaya Batari itu sahabat saya. Benarkah orang yang terpilih mengerjakan riset di Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang menemani saya makan Hot Chocolate Delight? Benarkah orang yang mendapat rekomendasi dari profesor Jepang itu adalah orang yang sama dengan yang mendengarkan curhat-curhat saya?
Kalau bersama Batari, rasanya seperti tak ada yang mustahil. Ia adalah salah satu inspirator terbesar dalam hidup saya.
Hari Minggu malam besok sang Dewi Ilmu Pengetahuan itu akan bertolak ke Jepang. Saya hanya dapat berpesan : enjoy your time!
Nb. : dalam kamus Batari, enjoy = belajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...