Pagi itu saya sendirian di rumah, padahal hari itu tanggal merah. Tumben-tumben Jakarta dingin. Perlulah dirayakan dengan bermalas-malasan sedikit lebih lama. Hehe.
Pindah-pindah channel TV, lalu saya tertambat di CNN gara-gara ada Barney dari How I Met Your Mother (HIMYM). Saya bukan penggemar HIMYM sih, tapi kayanya semua orang di sekitar saya menggilai tv series ini. Malah saya pernah dipaksa nonton beberapa episode sama seorang teman. Pokoknya, meski bukan penggemar, tapi saya tahulah si Barney ini (siapa sih nama aslinya?).
Tapi Barney tidak sedang berakting tolol di HIMYM (secara itu di CNN...) melainkan sedang membacakan award di acara CNN Heroes. Saya pernah dengar acara ini, tapi belum pernah menonton dan tidak begitu mengerti apa isinya. Briefly, CNN Heroes adalah ajang penghargaan bagi para hero lokal di masing-masing komunitasnya. Tiap tahun terpilih 10 finalis, dan pada malam penghargaan tersebut, dinobatkanlah satu orang menjadi Hero of The Year. Finalisnya datang dari berbagai negara di berbagai bidang kemanusiaan.
And there I was, speechless and stunned. Rasanya mau nangis saja sepanjang acara itu. Entahlah karena apa. Terlalu banyak alasannya.
Misalnya saja, para hero ini umumnya datang dari latar belakang yang tidak lebih 'beruntung' dari saya. Bahkan ada wanita dari Zimbabwe yang pernah jadi korban perkosaan.
Tapi trauma atau kondisi ekonomi yang terbatas, nyatanya bukan penghalang untuk berbuat lebih bagi orang lain. Simak kisah supir bis sekolah ini yang mampu menyediakan makanan bagi para tunawisma di daerahnya.
Ada juga orang Indonesia lho, pilot yang mendedikasikan dirinya menjadi Ayah bagi 48 anak miskin dan yatim piatu.
Dari yang saya tangkap, umumnya para hero ini memulai kegiatannya begitu saja. Tidak pakai lama-lama bikin organisasi, tetapkan ketua, rumuskan program-program sophisticated dan segala macam. Pokoknya apa yang mereka rasa harus diperbaiki, ya diperbaiki. Lambat laun, mulai lah orang-orang lain ikut bergabung dan barulah tercipta komunitas atau organisasinya.
God bless those people!
Sementara saya cuma terkagum-kagum sambil menahan air mata dan perih yang menjalari hidung.
Mungkin saya satu dari sekian banyak orang yang bercita-cita ingin dapat berbuat sesuatu bagi orang lain tapi ujung-ujungnya cita-cita itu hanya digantung saja di langit-langit rumah dan diingat hanya ketika ingin. Dan ketika ingin itu tiba, sibuklah kami mencari-cari apa ya kegiatan yang pantas? Siapa ya yang bisa ditolong? Maka kami memilih milih siapa yang ingin ditolong. Padahal kan pertolongan itu untuk siapa pun yang butuh, bukan?
Lalu esoknya, aktivitas bergulir kembali dan cita-cita pun kembali digantung.
Anyway, kembali ke CNN Heroes, yang akhirnya menjadi Hero of The Year adalah orang Filipina yang membaktikan dirinya mengajar anak-anak kurang mampu yang bila dibiarkan akan menjadi anggota gang di kemudian hari.
And guess how old is he?
28.
Awesome.
Nov 29, 2009
Nov 23, 2009
Luluh
Lagu ini mirip-mirip sama lagu-lagu mereka waktu di album yang ada lagu Terdiam-nya itu (apa sih nama albumnya?).
Saya lebih suka lagu ini daripada lagu yang sebelumnya seperti The One atau Pilihanku.
Kalau dengar lagu ini rasanya jadi lebih cheer up. Haha.
Aah, saya memang suka Maliq!
Nov 20, 2009
Anything could happen
Awal mula cerita, HP saya rusak. Kacrut.
Padahal di HP tersebut ada beberapa catatan yang lumayan penting seperti tempat dan waktu wawancara yang harus saya hadiri, berikut nomor telepon contact personnya. Untung saja saya ingat nama gedungnya. Sedangkan waktunya, saya ingat sekitar pukul 3 atau setengah 4. Ambil jalan amannya, anggap saja jam 3.
Saya sampai di Jakarta (dari Bandung) pukul setengah 11 siang. Buka internet sebentar. Niatnya sebentar. Ternyata ada beberapa email yang harus dibalas. Akhirnya saya tancap gas dari rumah jam 2 lewat 5 menit.
Berbekal peta Jakarta yang akhir-akhir ini jadi barang favorit, saya melaju ke arah Kuningan menuju gedung yang dimaksud. Jam 2 mestinya lalu lintas tidak terlalu padat. Mestinya. Tapi tidak ada yang pasti tentang lalu lintas Jakarta. Apalagi waktu hujan. Jadilah si Mumun merayap macam siput.
Sampai di perempatan Kuningan, sudah jam 3 kurang 10. Peta menunjukkan gedung tersebut ada di antara perempatan Tendean dan Kuningan, tapi tidak jelas masuknya lewat mana karena letaknya tidak di pinggir jalan. Thanks to technology, saya tinggal menelepon 108, minta nomor, lalu telepon ke gedung yang dituju. Setelah diberi arahan saya pun sampai di tempat sekitar pukul 3 lewat 10.
Buru-buru, saya berhasil membujuk Pak Satpam untuk membiarkan saya parkir di depan pintu (bukan pintu utama tapi). Buru-buru, saya segera menghambur ke arah gedung. Saya tanyakan pada Satpam yang berjaga di depan pintu.
PT. X, di lantai berapa ya?
PT. X? Dia memeriksa daftar sejenak. Tidak ada PT. X disini Mbak. Memang alamatnya disini?
Iya, gedung XX kan? setengah bergurau saya menambahkan, memang ada berapa gedung XX?
Dua. Oow.. Satu lagi di Casablanca.
Saya kembali menemukan sedikit keyakinan. Nggak kok Mas, katanya tempatnya di Kuningan. Dalam hati saya berpikir, Casablanca kan Kuningan juga ya..
Bentar saya telepon dulu ke atas ya. Dia menelepon. Nggak ada Mbak.
Gedung yang satu lagi itu dimana sih Pak? Aduh, aduh.
Di Casablanca. Pas di tikungan dari Rasuna Said mau ke Casablanca.
Yee.. bilang kek di Rasuna Said. Buru-buru, saya kabur menuju gedung "yang satu lagi".
Sembari menuju kesana, saya berusaha menelepon untuk memberitahukan keterlambatan saya. Maaf pulsa Anda tidak cukup....
Kamfret.
Maka segala daya upaya saya kerahkan untuk mencapai gedung yang satu lagi (GYSL).
Hujan. Macet. Jakarta. *sigh*
Akhirnya sama sampai GYSL jam 3 lewat 20. Tergesa-gesa saya parkir di basement lalu setengah sprint menuju lift. Kok lama ya liftnya? Saya kira cuma saya doang yang merasa begitu karena lagi buru-buru. Eh ternyata Mas-mas yang kayaknya sih kerja di sana juga mengeluarkan keluhan yang sama dan ditanggapi persetujuan oleh temannya. Kacrut.
Liftnya berhenti di lantai satu. Saya segera menuju resepsionis.
PT. X di lantai mana?
Hmm.. 17.
Tergesa-gesa saya menuju lift. Ada lift untuk lantai 1-17 ada lift untuk lantai 17-entah berapa. Pikir-pikir, kayaknya lebih cepat kalau saya pakai lift kedua. Dengan yakin saya pun naik lift kedua.
Syuuut. Lantai 17. Pintu lift membuka. Lah loh lah loh, kok isinya ruangan yang masih berantakan beserta tukang-tukangnya? Seorang tukang tampak melihat saya dengan aneh. Saya sendiri juga sebenarnya melihat dia dengan aneh. Ini kayak gini semua satu lantai Mas? Saya bertanya. Iya Mbak, katanya.
Saya masuk lagi ke dalam lift. Ooohh.. Mbak Resepsioniiiis. Tekan satu. Syuuut. Lift sampai di lantai satu lagi. Tapi kok pintunya nggak kebuka-buka ya? Saya tekan tombol buka. Pintu lift masih anteng begitu saja. Saya tekan angka 1 lagi. Pintu langsung terbuka. Wiiih.. horor.
Untung di dekat situ ada Satpam. Langsung saja si Bapak saya berondong, PT. X di lantai berapa Pak?
15, katanya. Naiklah saya ke lift pertama lalu turun di lantai 15. Ada Satpam lagi disitu.
Saya mau interview, kemana ya Pak?
Ke lantai 12 dulu Mbak.
Omigod. Jam 3 lewat 40. Sedari tadi otak saya sudah bekerja mencari alasan apa ya yang akan saya bilang untuk keterlambatan saya.. Tapi tidak ada yang terlihat masuk akal apalagi terkesan intelek.
Akhirnya saya sampai lantai 12. Akhirnya saya bertemu orang yang memegang daftar nama dengan punya saya terselip diantaranya. Silakan tunggu ya, katanya.
Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, sebenarnya saya interview jam berapa sih Mbak?
Jam 4.
Oh...
Moral of the story:
Anything, anything could happen indeed. Hujan. Macet. Salah gedung. Resepsionis error. Terjebak di lift. Salah lantai.
Mungkin ada untungnya juga HP saya rusak. Kalau enggak, saya nggak akan lupa waktu wawancara. Saya akan berangkat jam 3. Mengalami kejadian yang sama, dan berakhir di tempat yang benar pada jam 4 lewat 40. Maybe everything does happen for a reason, don't you think so?
Padahal di HP tersebut ada beberapa catatan yang lumayan penting seperti tempat dan waktu wawancara yang harus saya hadiri, berikut nomor telepon contact personnya. Untung saja saya ingat nama gedungnya. Sedangkan waktunya, saya ingat sekitar pukul 3 atau setengah 4. Ambil jalan amannya, anggap saja jam 3.
Saya sampai di Jakarta (dari Bandung) pukul setengah 11 siang. Buka internet sebentar. Niatnya sebentar. Ternyata ada beberapa email yang harus dibalas. Akhirnya saya tancap gas dari rumah jam 2 lewat 5 menit.
Berbekal peta Jakarta yang akhir-akhir ini jadi barang favorit, saya melaju ke arah Kuningan menuju gedung yang dimaksud. Jam 2 mestinya lalu lintas tidak terlalu padat. Mestinya. Tapi tidak ada yang pasti tentang lalu lintas Jakarta. Apalagi waktu hujan. Jadilah si Mumun merayap macam siput.
Sampai di perempatan Kuningan, sudah jam 3 kurang 10. Peta menunjukkan gedung tersebut ada di antara perempatan Tendean dan Kuningan, tapi tidak jelas masuknya lewat mana karena letaknya tidak di pinggir jalan. Thanks to technology, saya tinggal menelepon 108, minta nomor, lalu telepon ke gedung yang dituju. Setelah diberi arahan saya pun sampai di tempat sekitar pukul 3 lewat 10.
Buru-buru, saya berhasil membujuk Pak Satpam untuk membiarkan saya parkir di depan pintu (bukan pintu utama tapi). Buru-buru, saya segera menghambur ke arah gedung. Saya tanyakan pada Satpam yang berjaga di depan pintu.
PT. X, di lantai berapa ya?
PT. X? Dia memeriksa daftar sejenak. Tidak ada PT. X disini Mbak. Memang alamatnya disini?
Iya, gedung XX kan? setengah bergurau saya menambahkan, memang ada berapa gedung XX?
Dua. Oow.. Satu lagi di Casablanca.
Saya kembali menemukan sedikit keyakinan. Nggak kok Mas, katanya tempatnya di Kuningan. Dalam hati saya berpikir, Casablanca kan Kuningan juga ya..
Bentar saya telepon dulu ke atas ya. Dia menelepon. Nggak ada Mbak.
Gedung yang satu lagi itu dimana sih Pak? Aduh, aduh.
Di Casablanca. Pas di tikungan dari Rasuna Said mau ke Casablanca.
Yee.. bilang kek di Rasuna Said. Buru-buru, saya kabur menuju gedung "yang satu lagi".
Sembari menuju kesana, saya berusaha menelepon untuk memberitahukan keterlambatan saya. Maaf pulsa Anda tidak cukup....
Kamfret.
Maka segala daya upaya saya kerahkan untuk mencapai gedung yang satu lagi (GYSL).
Hujan. Macet. Jakarta. *sigh*
Akhirnya sama sampai GYSL jam 3 lewat 20. Tergesa-gesa saya parkir di basement lalu setengah sprint menuju lift. Kok lama ya liftnya? Saya kira cuma saya doang yang merasa begitu karena lagi buru-buru. Eh ternyata Mas-mas yang kayaknya sih kerja di sana juga mengeluarkan keluhan yang sama dan ditanggapi persetujuan oleh temannya. Kacrut.
Liftnya berhenti di lantai satu. Saya segera menuju resepsionis.
PT. X di lantai mana?
Hmm.. 17.
Tergesa-gesa saya menuju lift. Ada lift untuk lantai 1-17 ada lift untuk lantai 17-entah berapa. Pikir-pikir, kayaknya lebih cepat kalau saya pakai lift kedua. Dengan yakin saya pun naik lift kedua.
Syuuut. Lantai 17. Pintu lift membuka. Lah loh lah loh, kok isinya ruangan yang masih berantakan beserta tukang-tukangnya? Seorang tukang tampak melihat saya dengan aneh. Saya sendiri juga sebenarnya melihat dia dengan aneh. Ini kayak gini semua satu lantai Mas? Saya bertanya. Iya Mbak, katanya.
Saya masuk lagi ke dalam lift. Ooohh.. Mbak Resepsioniiiis. Tekan satu. Syuuut. Lift sampai di lantai satu lagi. Tapi kok pintunya nggak kebuka-buka ya? Saya tekan tombol buka. Pintu lift masih anteng begitu saja. Saya tekan angka 1 lagi. Pintu langsung terbuka. Wiiih.. horor.
Untung di dekat situ ada Satpam. Langsung saja si Bapak saya berondong, PT. X di lantai berapa Pak?
15, katanya. Naiklah saya ke lift pertama lalu turun di lantai 15. Ada Satpam lagi disitu.
Saya mau interview, kemana ya Pak?
Ke lantai 12 dulu Mbak.
Omigod. Jam 3 lewat 40. Sedari tadi otak saya sudah bekerja mencari alasan apa ya yang akan saya bilang untuk keterlambatan saya.. Tapi tidak ada yang terlihat masuk akal apalagi terkesan intelek.
Akhirnya saya sampai lantai 12. Akhirnya saya bertemu orang yang memegang daftar nama dengan punya saya terselip diantaranya. Silakan tunggu ya, katanya.
Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, sebenarnya saya interview jam berapa sih Mbak?
Jam 4.
Oh...
Moral of the story:
Anything, anything could happen indeed. Hujan. Macet. Salah gedung. Resepsionis error. Terjebak di lift. Salah lantai.
Mungkin ada untungnya juga HP saya rusak. Kalau enggak, saya nggak akan lupa waktu wawancara. Saya akan berangkat jam 3. Mengalami kejadian yang sama, dan berakhir di tempat yang benar pada jam 4 lewat 40. Maybe everything does happen for a reason, don't you think so?
Nov 13, 2009
Book and Reading
Here's the thing. I like books, but on top of that, I love reading.
I would be broke before I celebrate my 25th birthday if I bought every book that I wanted to read. Many books are worth reading, some of them are worth buying.
Buku adalah buku. Setumpuk kertas yang dijilid rapi dan diberi cover manis, depan dan belakang. Tapi bukan itu yang dicari dari membaca bukan? Anda, atau paling tidak saya, mencari emosi, inspirasi, yang tersirat dari alur cerita. Sekali pengalaman itu Anda rasakan, maka itu menjadi milik permanen Anda. Anyone can steal your books, no one can steal the experiences.
Sekitar 70-80 ribu untuk versi terjemahan, dan sekitar 200 ribu untuk versi bahasa aslinya. Teman saya menyarankan baca versi bahasa asli karena terjemahannya agak mengganggu.
Saya punya 200ribu, tapi kan saya juga punya kehidupan lain selain membaca. Jadi saya ambil jalan alternatif, pinjam saja ke teman. Sayang, tidak ada yang punya. Teman saya yang sudah membaca pun ternyata meminjam dari temannya yang lain. Jadi saya beralih ke alternatif berikut, pinjam ke persewaan.
Pergilah saya ke persewaan lalu saya tanyakan aturan mainnya. Ada uang registrasi, 30-50 ribu (tergantung kelas member), lalu uang perpanjangan anggota tiap tahun, lalu tentu saja uang sewa buku, dan batas waktu pengembalian buku. Denda kerusakan, denda kehilangan, denda keterlambatan.
Ah, ya, saya harus kembalikan buku ini ke tempat ini lagi. Masalahnya, saya tidak tahu apakah pada hari pengembalian, saya akan dapat menyempatkan diri datang kembali ke tempat tersebut. Saya tidak tahu apakah pada hari itu mungkin ada unjuk rasa sehingga jalanan macet. Saya tidak tahu apakah hari itu akan ada hujan besar. Saya tidak tahu apakah pada hari itu saya akan ingat untuk mengembalikan.
Btw, ini terjadi ketika saya di Bandung dimana jarak antar tempat relatif dekat.
Kalau di Jakarta?
Ah, jangan tanya. Paling tidak Anda harus menyisihkan satu jam untuk persoalan pengembalian buku ini (kecuali persewaannya di seberang rumah). Kalau Anda tipe orang yang mengorganisir aktivitas harian, kegiatan pengembalian buku ini akan seperti ganjalan kecil yang terasa tidak penting tapi harus dilakukan. Atau tidak, tapi Anda bayar denda. Your choice.
My choice, I prefer something simple.
Meet Readingwalk.
Our newly established delivery book rental.
Pilih buku secara online. Buku diantar, buku dijemput. 3 hari dalam seminggu.
Definitely save your time.
Definitely save your money.
How so? Karena Anda tidak perlu keluar ongkos bensin dan parkir dan polisi cepek atau angkutan umum.
Please, just read and leave the effort on us.
PS. Saya sarankan Anda gunakan Mozilla Firefox untuk membuka situs itu. Kalau tidak punya, silakan download dari link yang sudah disediakan.
I would be broke before I celebrate my 25th birthday if I bought every book that I wanted to read. Many books are worth reading, some of them are worth buying.
Buku adalah buku. Setumpuk kertas yang dijilid rapi dan diberi cover manis, depan dan belakang. Tapi bukan itu yang dicari dari membaca bukan? Anda, atau paling tidak saya, mencari emosi, inspirasi, yang tersirat dari alur cerita. Sekali pengalaman itu Anda rasakan, maka itu menjadi milik permanen Anda. Anyone can steal your books, no one can steal the experiences.
***
Ketika kira-kira satu tahun lalu saya ingin membeli sebuah buku, yang film adaptasinya baru saya tonton, saya terhalang satu masalah klise: mahal.Sekitar 70-80 ribu untuk versi terjemahan, dan sekitar 200 ribu untuk versi bahasa aslinya. Teman saya menyarankan baca versi bahasa asli karena terjemahannya agak mengganggu.
Saya punya 200ribu, tapi kan saya juga punya kehidupan lain selain membaca. Jadi saya ambil jalan alternatif, pinjam saja ke teman. Sayang, tidak ada yang punya. Teman saya yang sudah membaca pun ternyata meminjam dari temannya yang lain. Jadi saya beralih ke alternatif berikut, pinjam ke persewaan.
Pergilah saya ke persewaan lalu saya tanyakan aturan mainnya. Ada uang registrasi, 30-50 ribu (tergantung kelas member), lalu uang perpanjangan anggota tiap tahun, lalu tentu saja uang sewa buku, dan batas waktu pengembalian buku. Denda kerusakan, denda kehilangan, denda keterlambatan.
Ah, ya, saya harus kembalikan buku ini ke tempat ini lagi. Masalahnya, saya tidak tahu apakah pada hari pengembalian, saya akan dapat menyempatkan diri datang kembali ke tempat tersebut. Saya tidak tahu apakah pada hari itu mungkin ada unjuk rasa sehingga jalanan macet. Saya tidak tahu apakah hari itu akan ada hujan besar. Saya tidak tahu apakah pada hari itu saya akan ingat untuk mengembalikan.
Btw, ini terjadi ketika saya di Bandung dimana jarak antar tempat relatif dekat.
Kalau di Jakarta?
Ah, jangan tanya. Paling tidak Anda harus menyisihkan satu jam untuk persoalan pengembalian buku ini (kecuali persewaannya di seberang rumah). Kalau Anda tipe orang yang mengorganisir aktivitas harian, kegiatan pengembalian buku ini akan seperti ganjalan kecil yang terasa tidak penting tapi harus dilakukan. Atau tidak, tapi Anda bayar denda. Your choice.
My choice, I prefer something simple.
Meet Readingwalk.
Our newly established delivery book rental.
Pilih buku secara online. Buku diantar, buku dijemput. 3 hari dalam seminggu.
Definitely save your time.
Definitely save your money.
How so? Karena Anda tidak perlu keluar ongkos bensin dan parkir dan polisi cepek atau angkutan umum.
Please, just read and leave the effort on us.
PS. Saya sarankan Anda gunakan Mozilla Firefox untuk membuka situs itu. Kalau tidak punya, silakan download dari link yang sudah disediakan.
Beyond Nightmare
I must be dreaming!
There was no way I could run from my late grandmother's house to mine without sweating... while I was in kabaya. No, I knew I was dreaming, but that didn't keep me from... dreaming.
Wake up!
Wake up!
Wake up!
This is ridiculous. How can I not wake up when I deperately want to?
Well, you might be thinking, if I knew it was a dream, why didn't I just go on with the story? It wouldn't do me any harm because it was only a dream.
Oh, believe me, this one was beyond nightmare. First, because it felt so real. Second, in my dream, I was getting married.
Yes. Me. Getting. Married.
Did I know the groom? As a matter of fact, I did. He is a friend of mine. And when I said 'friend', he is indeed a friend, no more no less. All I have for the guy, both in the dream and reality, is just a reasonable amount of affection which I also share with any other not-bestfriend-friend. I also have strong reason to believe that, both in the dream and reality, he feels the same way about me.
So, how could we were trapped in this situation? I didn't know. It started like it was only a game. Then the next thing people did really come to my grandmother's backyard (yes, we had a graden party), a beautiful light brown wedding kabaya was prepared, and his parents showed up.
That was when I knew everything was way out of control. And it seemed like only me who thought that way. My bestfriend (yup, I even had one of my bestfriends in that dream to 'support' me) and the groom seemed don't care about the possible damage of our little 'game' where the two of us had to do the ijab kabul.
Then it was up to me to put a stop to this parade. So I went to the groom's mother. I had meant to tell her that my parents didn't even know that I was getting married. But when I got close to her I could see that the lady had this cruel cold expression. The expression of world's worst mother-in-law.
However, 'I have to tell you something. My parents, they...' they don't know I am getting married! In fact, I didn't know I'm getting married until you came. So please call it off!
I had meant to burst the words, but she did something with her eyes and they tore my spirit. '...they can't come'. I wished that would be good enough for her to call off the wedding. She nodded. Damn!
So I ran to my house. That was when I realized it was only a dream. But, I still couldn't wake up. I couldn't bear to experience this 'wedding' even only in my dream. Then I remembered Carrie from Sex and The City when she was about to get married with Aiden (or Aidan?). Ah, that's why I had dream like this. Because last night I was thinking about that episode!
I don't remember how I could finally escape the nightmare but I remember the relief when I was finally wake up.
Why do I share this story? Because I believe that nightmares need to be shared so that they won't burden my mind.
There was no way I could run from my late grandmother's house to mine without sweating... while I was in kabaya. No, I knew I was dreaming, but that didn't keep me from... dreaming.
Wake up!
Wake up!
Wake up!
This is ridiculous. How can I not wake up when I deperately want to?
Well, you might be thinking, if I knew it was a dream, why didn't I just go on with the story? It wouldn't do me any harm because it was only a dream.
Oh, believe me, this one was beyond nightmare. First, because it felt so real. Second, in my dream, I was getting married.
Yes. Me. Getting. Married.
Did I know the groom? As a matter of fact, I did. He is a friend of mine. And when I said 'friend', he is indeed a friend, no more no less. All I have for the guy, both in the dream and reality, is just a reasonable amount of affection which I also share with any other not-bestfriend-friend. I also have strong reason to believe that, both in the dream and reality, he feels the same way about me.
So, how could we were trapped in this situation? I didn't know. It started like it was only a game. Then the next thing people did really come to my grandmother's backyard (yes, we had a graden party), a beautiful light brown wedding kabaya was prepared, and his parents showed up.
That was when I knew everything was way out of control. And it seemed like only me who thought that way. My bestfriend (yup, I even had one of my bestfriends in that dream to 'support' me) and the groom seemed don't care about the possible damage of our little 'game' where the two of us had to do the ijab kabul.
Then it was up to me to put a stop to this parade. So I went to the groom's mother. I had meant to tell her that my parents didn't even know that I was getting married. But when I got close to her I could see that the lady had this cruel cold expression. The expression of world's worst mother-in-law.
However, 'I have to tell you something. My parents, they...' they don't know I am getting married! In fact, I didn't know I'm getting married until you came. So please call it off!
I had meant to burst the words, but she did something with her eyes and they tore my spirit. '...they can't come'. I wished that would be good enough for her to call off the wedding. She nodded. Damn!
So I ran to my house. That was when I realized it was only a dream. But, I still couldn't wake up. I couldn't bear to experience this 'wedding' even only in my dream. Then I remembered Carrie from Sex and The City when she was about to get married with Aiden (or Aidan?). Ah, that's why I had dream like this. Because last night I was thinking about that episode!
*
I don't remember how I could finally escape the nightmare but I remember the relief when I was finally wake up.
Why do I share this story? Because I believe that nightmares need to be shared so that they won't burden my mind.
Nov 12, 2009
Gigi Beni
Masanya datang sudah ketika adik kecil saya mulai menjalani ritual ke dokter gigi. Berawal dari sakit gigi yang membuat kecerewetannya absen selama satu hari, minggu lalu saya bawa Beni ke tempat praktek tante saya yang seorang dokter gigi di kawasan Depok.
Ternyata eh ternyata, yang gigi yang rusak ada 5. Iya, lima, tak kurang tak lebih. Konon dua sudah tak tertolong. Jadi hanya tiga yang ditambal.
Pertama kali membawa Beni ke dokter gigi tidak sulit. Kalau saja dalam sekali session bisa langsung selesai perkara giginya, tentu semua jadi mudah. Masalahnya gigi-gigi itu perlu beberapa kali perawatan sebelum bisa ditambal permanen.
Maka jadilah hari ini saya mengantar Beni kembali ke Depok. Lantaran sudah kenal sama bor dan ngilunya ditambal, anak ini jadi agak rewel.
"Perutku agak sakit deh", katanya waktu kami mau berangkat. Ketika sudah sampai di tol, katanya sakit perutnya sudah hilang tapi,
"Pinggangku sakit nih".
Haha, nice try Ben! Been there done that. Mbak-mu ini sudah tahu ribuan alasan untuk mangkir dari dokter gigi.
Sampai disana pun dia tak mau masuk. Merajuk dulu pakai menangis segala. Hwaah, pokoknya repot deh bawa anak kecil ke dokter gigi!
Buka mulut saja ogah. Jangankan buka mulut, Beni bahkan menolak buka mata! Padahal, entah apa hubungannya. Kalau saya minta, "coba bilang 'A', Ben", yang dia lakukan malah ngomong "ayam ayam ayam", dengan cepat.
Ketika akhirnya berhasil dibawa ke kursi pasien, nyaris sepanjang sesi pemeriksaan pipinya yang tembem itu tidak kering dari air mata. Saya jadi kasihan juga, tapi hidup memang keras, Ben!
Minggu depan kami masih harus ke dokter gigi lagi. Entah alasan apa lagi yang saya akan berikan untuk membujuk anak ini nanti...
Oh, jadi anak-anak memang tidak selalu menyenangkan.
Ternyata eh ternyata, yang gigi yang rusak ada 5. Iya, lima, tak kurang tak lebih. Konon dua sudah tak tertolong. Jadi hanya tiga yang ditambal.
Pertama kali membawa Beni ke dokter gigi tidak sulit. Kalau saja dalam sekali session bisa langsung selesai perkara giginya, tentu semua jadi mudah. Masalahnya gigi-gigi itu perlu beberapa kali perawatan sebelum bisa ditambal permanen.
Maka jadilah hari ini saya mengantar Beni kembali ke Depok. Lantaran sudah kenal sama bor dan ngilunya ditambal, anak ini jadi agak rewel.
"Perutku agak sakit deh", katanya waktu kami mau berangkat. Ketika sudah sampai di tol, katanya sakit perutnya sudah hilang tapi,
"Pinggangku sakit nih".
Haha, nice try Ben! Been there done that. Mbak-mu ini sudah tahu ribuan alasan untuk mangkir dari dokter gigi.
Sampai disana pun dia tak mau masuk. Merajuk dulu pakai menangis segala. Hwaah, pokoknya repot deh bawa anak kecil ke dokter gigi!
Buka mulut saja ogah. Jangankan buka mulut, Beni bahkan menolak buka mata! Padahal, entah apa hubungannya. Kalau saya minta, "coba bilang 'A', Ben", yang dia lakukan malah ngomong "ayam ayam ayam", dengan cepat.
Ketika akhirnya berhasil dibawa ke kursi pasien, nyaris sepanjang sesi pemeriksaan pipinya yang tembem itu tidak kering dari air mata. Saya jadi kasihan juga, tapi hidup memang keras, Ben!
Minggu depan kami masih harus ke dokter gigi lagi. Entah alasan apa lagi yang saya akan berikan untuk membujuk anak ini nanti...
Oh, jadi anak-anak memang tidak selalu menyenangkan.
Nov 8, 2009
Menjadi orang Indonesia
Meskipun bansga ini sedang dilanda banyak masalah, untuk banyak hal, saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Negara ini tidak sedang perang dengan negara lain, salah satunya. Para perempuannya tidak dikurung dalam rumah, itu hal lainnya. Lalu juga tidak ada larangan pakai jilbab disini. Dan yang tak kalah penting: disini ada nasi liwet.
Anda pernah coba nasi liwet?
Maksud saya nasi liwet Solo yang benar-benar enak, bukannya nasi liwet mall yang sudah mirip hidangan Eropa.
Bentuknya seperti yang ada disini.
Nah, biarpun saya penggemar sejati nasi liwet, tapi jangan tanya bahan-bahan dasarnya. Saya tahunya makannya doang.
Nasinya lembut agak basah, mungkin karena santan. Ayamnya yang empuk pun tidak digoreng jadi tenggorokan ini tidak seret karena minyak. Best part dari nasi liwet ini adalah putih-putih yang ada di atas itu, oleh Mama saya disebut kumut. Arghhh.......
Kompilasinya menghasilkan rasa gurih yang sedap. Lalu rasanya diperkaya dengan sayur labu siam yang pedas-pedas sedikit. Mmmmmmmmm....
Dulu saya cuma bisa menemukan nasi liwet yang seperti itu di Solo. Tapi beruntungnya kita, atau paling tidak saya, Mama saya menemukan tempat makan nasi liwet yang enak di daerah Lampiri Kalimalang, dari arah Jakarta posisinya sebelum Burger n Grill. Namanya Nasi Liwet Keprabon Solo. Nyam!
Porsinya tidak banyak tapi tidak sedikit. Cukup untuk bikin lumayan puas tapi tidak sampai bikin tersiksa untuk dihabiskan. Tampilannya persis seperti yang ada pada gambar di link yang tadi. Porsi yang lengkap meliputi ati ampela ayam telur sayur. Tapi saya biasanya mengedit bagian ati ampela-nya. Mama malah biasanya me-request bagian brutu untuk ayamnya. Tahu brutu? Haha, tanya saja sama yang jual.
Kemarin saya pergi kesana bersama Arum dan Ebi. Meski sudah saya foto dengan HP, sayang pagi ini, lagi-lagi, saya tak bisa temukan dimanalah itu kabel datanya.
Nasi Liwet Keprabon ini berbagi pekarangan dengan beberapa kios makan lainnya, seperti Pecel Lela dan Lele Park.
Nah, Lele Park ini juga menarik. Bukan karena menunya, karena saya belum pernah coba. Tapi karena logonya. Logonya mengikuti logo Jurassic Park. Bulatan merah dengan gambar tulang ikan lele lengkap dengan patilnya. Nanti deh kalau kabel datanya ketemu saya kasih intip fotonya.
Jurassic Park, Lele Park. Manstab!!
PS. Makanan itu perlu dipatenkan nggak sih? Kalau sampai nasi liwet dipatenkan Malaysia, gue gigit juga nih orang-orang Malaysia.
Anda pernah coba nasi liwet?
Maksud saya nasi liwet Solo yang benar-benar enak, bukannya nasi liwet mall yang sudah mirip hidangan Eropa.
Bentuknya seperti yang ada disini.
Nah, biarpun saya penggemar sejati nasi liwet, tapi jangan tanya bahan-bahan dasarnya. Saya tahunya makannya doang.
Nasinya lembut agak basah, mungkin karena santan. Ayamnya yang empuk pun tidak digoreng jadi tenggorokan ini tidak seret karena minyak. Best part dari nasi liwet ini adalah putih-putih yang ada di atas itu, oleh Mama saya disebut kumut. Arghhh.......
Kompilasinya menghasilkan rasa gurih yang sedap. Lalu rasanya diperkaya dengan sayur labu siam yang pedas-pedas sedikit. Mmmmmmmmm....
Dulu saya cuma bisa menemukan nasi liwet yang seperti itu di Solo. Tapi beruntungnya kita, atau paling tidak saya, Mama saya menemukan tempat makan nasi liwet yang enak di daerah Lampiri Kalimalang, dari arah Jakarta posisinya sebelum Burger n Grill. Namanya Nasi Liwet Keprabon Solo. Nyam!
Porsinya tidak banyak tapi tidak sedikit. Cukup untuk bikin lumayan puas tapi tidak sampai bikin tersiksa untuk dihabiskan. Tampilannya persis seperti yang ada pada gambar di link yang tadi. Porsi yang lengkap meliputi ati ampela ayam telur sayur. Tapi saya biasanya mengedit bagian ati ampela-nya. Mama malah biasanya me-request bagian brutu untuk ayamnya. Tahu brutu? Haha, tanya saja sama yang jual.
Kemarin saya pergi kesana bersama Arum dan Ebi. Meski sudah saya foto dengan HP, sayang pagi ini, lagi-lagi, saya tak bisa temukan dimanalah itu kabel datanya.
Nasi Liwet Keprabon ini berbagi pekarangan dengan beberapa kios makan lainnya, seperti Pecel Lela dan Lele Park.
Nah, Lele Park ini juga menarik. Bukan karena menunya, karena saya belum pernah coba. Tapi karena logonya. Logonya mengikuti logo Jurassic Park. Bulatan merah dengan gambar tulang ikan lele lengkap dengan patilnya. Nanti deh kalau kabel datanya ketemu saya kasih intip fotonya.
Jurassic Park, Lele Park. Manstab!!
PS. Makanan itu perlu dipatenkan nggak sih? Kalau sampai nasi liwet dipatenkan Malaysia, gue gigit juga nih orang-orang Malaysia.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...