Saya dan Si Mbak sedang berduaan di dapur (ihiiy..). Saya sedang membuat nasi goreng dan Si Mbak sedang mencuci piring. Obrolan meluncur seputar makanan, warteg, panen, hingga politik. Yang saya maksud dengan "politik" adalah ketika Si Mbak cerita ia mendapat BLT, saya pun tergoda bertanya:
Saya (S): Lah, kan dapet BLT. Kok kemaren ga pilih Demokrat?
Si Mbak (SM): Ah, jaman SBY semua harga naik. Minyak goreng naik. Dulu gorengan 100 dapat 1. Sekarang 1000 dapet 4.
S: Yah, kan harga-harga sedunia juga naik.
(Hampir terucap "krisis global" tapi saya telan lagi. Ntar kalau Si Mbak nanya, bingung juga saya jelasinnya. Orang saya sendiri aja masih setengah-setengah ngertinya.)
SM: Yaa.. Tapi apa-apa mahal. Jaman Megawati dulu nggak begini.
S: Ooo.. Jadi pilih Megawati nanti ya Mbak?
SM: (nyengir) Yaa, belum tau lah..
S: Ah, kayaknya sih iya (dalam hati).
Saya cukup beruntung karena dampak kenaikan harga tidak begitu keras menghantam laju hidup saya. Saya hanya pernah mendengar Mama sekali mengeluh lantaran harga mentega kini melayang tinggi. Tapi untuk orang-orang seperti Si Mbak, tentu saja berat. Selisih 1000 saja penting.
For the first time I really deeply wish we're going to get through this crisis soon.
PS. Saya bukan simpatisan partai atau capres tertentu. Ini bukan iklan lhoo apalagi black campaign.
May 31, 2009
May 28, 2009
Kenapa Berjilbab?
Pertama kali saya mulai memakai jilbab, sekitar 2,5 tahun lalu, banyak orang bertanya, kenapa? Apa pendorongnya? Ketika itu saya berniat menulis blog mengenai hal ini namun entah mengapa tak kunjung tereksekusi. Hingga akhirnya beberapa waktu lalu saya membaca blog teman saya yang membahas soal jilbab (it's a good writing, btw), saya jadi terusik kembali niatan lama.
Jujur, saya tak tahu persis kenapa saya mulai mengenakan jilbab. Pasalnya, ketika itu Mama, adik perempuan serta saudara-saudara dekat saya di Jakarta belum ada yang berjilbab. Saya tidak mengalami near death experience yang biasanya manjur bikin orang bertobat. Saya tidak bermimpi didatangi malaikat yang menyuruh saya berjilbab (saya pernah dengar cerita semacam ini lho..). Saya tidak tergabung dalam organisasi Islam.
Kejadian yang paling mungkin mempengaruhi saya adalah umrah yang saya lakukan beberapa bulan sebelum saya berjilbab. Tapi persisnya apa, dimana, bagaimana, saya tak tahu.Maka, ketika orang-orang menanyakan alasannya, sebenarnya sih saya juga bingung mau jawab apa.
Saya pun ketika itu bukan orang yang terlalu religius (well, sekarang mungkin juga nggak terlalu sih, tapi dibandingin dulu sih insyaallah udah mendingan). Saya tidak biasa mengucapkan Assalamu'alaikum sebagai sapaan sehari-hari, misalnya. Shalat saya pun masih suka bolong-bolong. Jarang mengaji, malas ikut ceramah tarawih, suka pakai kaos ketat, sering berbohong, dan hal-hal lain yang membuat saya tidak layak dikategorikan sebagai umat muslim yang alim dan manis deh.
Entah dimana turning pointnya. Semuanya seperti proses saja. Well, umrah memang sedikit banyak memberi pencerahan. Pulang dari tanah suci saya memang jadi banyak memikirkan tentang agama. Betapa jauhnya saya dari Tuhan, betapa banyak larangan yang sudah saya langgar.
Saya ingin menjadi lebih baik, begitu niatan awalnya.
Lalu entah bagaimana sampailah concern saya tentang jilbab. Beberapa hari saya pikirkan dan saya tanyakan secara tersirat kepada teman-teman yang sudah berjilbab. Hingga suatu hari saya mengsms teman saya menanyakan, perintah berjilbab ada di surat mana ayat berapa sih?
Dijawab teman saya, Al-Ahzab: 59. Saya segera cari di Al-Qur'an. Ah ya, ada. Biarpun bahasanya agak berat buat saya. Membaca ayat-ayat itu sebenarnya masih agak bias untuk pikiran saya. Ragu apakah ini benar-benar wajib? Iya. Entah berapa proporsinya, tapi iya ragu itu ada.Tapi kemudian saya balik pola pikir saya: 'kenapa enggak?'
"Worst case"nya adalah jilbab itu wajib sehingga saya beresiko berdosa bila tidak menaatinya. Coba saya metaforakan. Katakanlah saya sedang mengambil sebuah mata kuliah. Sang dosen memberikan tugas A, B dan C yang bila ada satu saja lalai dikerjakan maka saya tidak akan lulus. Lalu, di tengah semester dosen ini memberikan tugas D. Tak dijelaskan apakah tugas ini akan mempengaruhi lulus/tidaknya saya karena, katakanlah, pada hari tugas itu diberikan saya bolos. Sehingga saya tidak memperoleh keterangan lengkap tentang makna dari tugas D ini. Masalahnya tugas D ini agak sulit dan saya harus mengorbankan 2 weekend untuk mengerjakannya.
Apa yang akan saya lakukan? Melalaikan tugas itu dengan resiko tidak lulus, atau mengerjakan tugas itu, mengorbankan 2 weekend namun nilai akhir saya lebih terjamin? Rasanya sih saya pilih opsi kedua, karena worst case nya adalah tugas D akan mempengaruhi kelulusan saya.
Nah, hal yang sama berlaku disini. Resikonya adalah saya berdosa bila tidak berjilbab. Namun bila saya berjilbab maka ada beberapa hal yang berubah (dan mungkin tidak enak). Saya coba list apa sih hal-hal yang akan membuat saya menyesal bila berjilbab. Daftar itu berisi hal-hal semacam ini:
1. Repot.
2. Panas.
3. Nggak bisa pakai baju sesuka hati.
4. Nggak enak kalau ke tempat-tempat hura-hura.
5. dst.
Yah, pokoknya semacamnyalah. Setelah saya analisis (jjjiiee..), ternyata menurut saya resiko yang bisa saya dapat tidak sepadan dengan kesenangan yang saya peroleh. I couldn't think a single reason (that really matters) why I shouldn't wear jilbab. And then I started to wear it.
Ah ya, beberapa orang berpendapat lebih baik menjilbabi hati dulu sebelum menjilbabi kepala. Saya hormati hak siapapun yang punya pendapat demikian. Tapi menurut pendapat saya tidak demikian (and because this is my blog, I want to write about my opinion, so suck it up! haha).
Berjilbab physically itu mudah. Percaya deh. Anda hanya perlu melilitkan kain di kepala, mengenakan baju dan celana lengan panjang yang tidak transparan dan ketat-ketat (amat). Piece of cake! Semua orang bisa melakukannya.
Berjilbab secara fisik itu mudah. Yang sulit adalah menjilbabi hati. It might be the hardest thing to do in life. It is, for me. Sampai saat ini saya masih belum mampu mensterilkan hati saya dari iri, malas, dengki, dendam, buruk sangka, sombong, malas (did i mention 'malas' twice?) dkk. Tiap hari pasti ada yang mampir. Tiap hari.
Tapi apakah karena saya belum bisa menjinakkan hati makanya saya tidak menjinakkan aurat? Masalahnya, saya tidak tahu kapan saya bisa menjinakkan hati saya. Mungkin tidak akan pernah bisa. Tuhan selalu membolak-balikkan hati manusia, bukan? Lagipula ketika saya merasa bahwa hati saya telah steril, bukankah itu artinya juga sombong ya? Kayak nge-looping.
Saya tidak melihat bahwa setelah hati bersih barulah saya berjilbab. Bukan, jilbab itu bukan tujuan kalau buat saya. Jilbab adalah alat yang saya gunakan agar hati saya bisa (lebih) bersih.
Makanya, kalau menurut saya sih, berjilbab bukan jaminan lebih bersih hatinya dari yang tidak berjilbab. Pada kasus saya, berjilbab berarti saya ingin menjadi lebih baik tapi saya juga mengakui bahwa saya butuh bantuan dari orang-orang sekitar saya agar sampai kesana. Kasarnya, saya minta dicemooh kalau saya kedapatan mencontek atau berkata kasar atau tidak shalat atau terlalu lengket sama yang bukan muhrim atau hal-hal lainnya. Persis seperti reminder. Mungkin reaksi pertama adalah malu pada masyarakat.
Tapi, salahkah? Menurut saya sih tidak. Yang penting tujuannya, saya tidak melakukan hal-hal tidak terpuji, tercapai. Orang lain tidak terluka. Masalah niat itu urusan saya dengan Tuhan. Daripada niatnya sudah tidak betul, menyakiti orang lain pula. Combo double deh. Hehe.
Buat orang lain mungkin remindernya bisa macam-macam. Kalung bertuliskan ayat Al-Qur'an kek, tato henna bertuliskan Allah kek, bisa jadi apa saja. Saya memilih jilbab karena itu yang paling terasa dan terlihat. Tiap kali saya bercermin. Tiap kali saya menggaruk kepala, leher atau telinga. Tiap kali melihat lengan dan kaki yang terbungkus hingga pergelangan. Semuanya mengingatkan bahwa saya punya cita-cita untuk menjadi umat muslim yang lebih baik. Ada yang harus dikerjakan dan ada yang harus dihindari. Ada kiamat yang akan datang. Ada banyak dosa yang telah saya lakukan. Jilbablah yang menjadi remindernya. Meskipun tidak selalu saya dengarkan sih. Haha.
PS. Saya tidak pernah memaksa atau menyuruh orang untuk berjilbab. Tidak Mama saya atau adik saya (meskipun saya bersyukur ketika akhirnya mereka berjilbab). Saya percaya bahwa keinginan itu harus datang dari hati dan pikiran masing-masing. Seperti agama. Mungkin sepanjang Anda membaca tulisan ini Anda berpikir "sotoy banget sih lo Min" atau "sok alim banget sih". Hey, it's just an opinion. I truly do not have any intention to offense anyone at all. :)
Jujur, saya tak tahu persis kenapa saya mulai mengenakan jilbab. Pasalnya, ketika itu Mama, adik perempuan serta saudara-saudara dekat saya di Jakarta belum ada yang berjilbab. Saya tidak mengalami near death experience yang biasanya manjur bikin orang bertobat. Saya tidak bermimpi didatangi malaikat yang menyuruh saya berjilbab (saya pernah dengar cerita semacam ini lho..). Saya tidak tergabung dalam organisasi Islam.
Kejadian yang paling mungkin mempengaruhi saya adalah umrah yang saya lakukan beberapa bulan sebelum saya berjilbab. Tapi persisnya apa, dimana, bagaimana, saya tak tahu.Maka, ketika orang-orang menanyakan alasannya, sebenarnya sih saya juga bingung mau jawab apa.
Saya pun ketika itu bukan orang yang terlalu religius (well, sekarang mungkin juga nggak terlalu sih, tapi dibandingin dulu sih insyaallah udah mendingan). Saya tidak biasa mengucapkan Assalamu'alaikum sebagai sapaan sehari-hari, misalnya. Shalat saya pun masih suka bolong-bolong. Jarang mengaji, malas ikut ceramah tarawih, suka pakai kaos ketat, sering berbohong, dan hal-hal lain yang membuat saya tidak layak dikategorikan sebagai umat muslim yang alim dan manis deh.
Entah dimana turning pointnya. Semuanya seperti proses saja. Well, umrah memang sedikit banyak memberi pencerahan. Pulang dari tanah suci saya memang jadi banyak memikirkan tentang agama. Betapa jauhnya saya dari Tuhan, betapa banyak larangan yang sudah saya langgar.
Saya ingin menjadi lebih baik, begitu niatan awalnya.
Lalu entah bagaimana sampailah concern saya tentang jilbab. Beberapa hari saya pikirkan dan saya tanyakan secara tersirat kepada teman-teman yang sudah berjilbab. Hingga suatu hari saya mengsms teman saya menanyakan, perintah berjilbab ada di surat mana ayat berapa sih?
Dijawab teman saya, Al-Ahzab: 59. Saya segera cari di Al-Qur'an. Ah ya, ada. Biarpun bahasanya agak berat buat saya. Membaca ayat-ayat itu sebenarnya masih agak bias untuk pikiran saya. Ragu apakah ini benar-benar wajib? Iya. Entah berapa proporsinya, tapi iya ragu itu ada.Tapi kemudian saya balik pola pikir saya: 'kenapa enggak?'
"Worst case"nya adalah jilbab itu wajib sehingga saya beresiko berdosa bila tidak menaatinya. Coba saya metaforakan. Katakanlah saya sedang mengambil sebuah mata kuliah. Sang dosen memberikan tugas A, B dan C yang bila ada satu saja lalai dikerjakan maka saya tidak akan lulus. Lalu, di tengah semester dosen ini memberikan tugas D. Tak dijelaskan apakah tugas ini akan mempengaruhi lulus/tidaknya saya karena, katakanlah, pada hari tugas itu diberikan saya bolos. Sehingga saya tidak memperoleh keterangan lengkap tentang makna dari tugas D ini. Masalahnya tugas D ini agak sulit dan saya harus mengorbankan 2 weekend untuk mengerjakannya.
Apa yang akan saya lakukan? Melalaikan tugas itu dengan resiko tidak lulus, atau mengerjakan tugas itu, mengorbankan 2 weekend namun nilai akhir saya lebih terjamin? Rasanya sih saya pilih opsi kedua, karena worst case nya adalah tugas D akan mempengaruhi kelulusan saya.
Nah, hal yang sama berlaku disini. Resikonya adalah saya berdosa bila tidak berjilbab. Namun bila saya berjilbab maka ada beberapa hal yang berubah (dan mungkin tidak enak). Saya coba list apa sih hal-hal yang akan membuat saya menyesal bila berjilbab. Daftar itu berisi hal-hal semacam ini:
1. Repot.
2. Panas.
3. Nggak bisa pakai baju sesuka hati.
4. Nggak enak kalau ke tempat-tempat hura-hura.
5. dst.
Yah, pokoknya semacamnyalah. Setelah saya analisis (jjjiiee..), ternyata menurut saya resiko yang bisa saya dapat tidak sepadan dengan kesenangan yang saya peroleh. I couldn't think a single reason (that really matters) why I shouldn't wear jilbab. And then I started to wear it.
Ah ya, beberapa orang berpendapat lebih baik menjilbabi hati dulu sebelum menjilbabi kepala. Saya hormati hak siapapun yang punya pendapat demikian. Tapi menurut pendapat saya tidak demikian (and because this is my blog, I want to write about my opinion, so suck it up! haha).
Berjilbab physically itu mudah. Percaya deh. Anda hanya perlu melilitkan kain di kepala, mengenakan baju dan celana lengan panjang yang tidak transparan dan ketat-ketat (amat). Piece of cake! Semua orang bisa melakukannya.
Berjilbab secara fisik itu mudah. Yang sulit adalah menjilbabi hati. It might be the hardest thing to do in life. It is, for me. Sampai saat ini saya masih belum mampu mensterilkan hati saya dari iri, malas, dengki, dendam, buruk sangka, sombong, malas (did i mention 'malas' twice?) dkk. Tiap hari pasti ada yang mampir. Tiap hari.
Tapi apakah karena saya belum bisa menjinakkan hati makanya saya tidak menjinakkan aurat? Masalahnya, saya tidak tahu kapan saya bisa menjinakkan hati saya. Mungkin tidak akan pernah bisa. Tuhan selalu membolak-balikkan hati manusia, bukan? Lagipula ketika saya merasa bahwa hati saya telah steril, bukankah itu artinya juga sombong ya? Kayak nge-looping.
Saya tidak melihat bahwa setelah hati bersih barulah saya berjilbab. Bukan, jilbab itu bukan tujuan kalau buat saya. Jilbab adalah alat yang saya gunakan agar hati saya bisa (lebih) bersih.
Makanya, kalau menurut saya sih, berjilbab bukan jaminan lebih bersih hatinya dari yang tidak berjilbab. Pada kasus saya, berjilbab berarti saya ingin menjadi lebih baik tapi saya juga mengakui bahwa saya butuh bantuan dari orang-orang sekitar saya agar sampai kesana. Kasarnya, saya minta dicemooh kalau saya kedapatan mencontek atau berkata kasar atau tidak shalat atau terlalu lengket sama yang bukan muhrim atau hal-hal lainnya. Persis seperti reminder. Mungkin reaksi pertama adalah malu pada masyarakat.
Tapi, salahkah? Menurut saya sih tidak. Yang penting tujuannya, saya tidak melakukan hal-hal tidak terpuji, tercapai. Orang lain tidak terluka. Masalah niat itu urusan saya dengan Tuhan. Daripada niatnya sudah tidak betul, menyakiti orang lain pula. Combo double deh. Hehe.
Buat orang lain mungkin remindernya bisa macam-macam. Kalung bertuliskan ayat Al-Qur'an kek, tato henna bertuliskan Allah kek, bisa jadi apa saja. Saya memilih jilbab karena itu yang paling terasa dan terlihat. Tiap kali saya bercermin. Tiap kali saya menggaruk kepala, leher atau telinga. Tiap kali melihat lengan dan kaki yang terbungkus hingga pergelangan. Semuanya mengingatkan bahwa saya punya cita-cita untuk menjadi umat muslim yang lebih baik. Ada yang harus dikerjakan dan ada yang harus dihindari. Ada kiamat yang akan datang. Ada banyak dosa yang telah saya lakukan. Jilbablah yang menjadi remindernya. Meskipun tidak selalu saya dengarkan sih. Haha.
PS. Saya tidak pernah memaksa atau menyuruh orang untuk berjilbab. Tidak Mama saya atau adik saya (meskipun saya bersyukur ketika akhirnya mereka berjilbab). Saya percaya bahwa keinginan itu harus datang dari hati dan pikiran masing-masing. Seperti agama. Mungkin sepanjang Anda membaca tulisan ini Anda berpikir "sotoy banget sih lo Min" atau "sok alim banget sih". Hey, it's just an opinion. I truly do not have any intention to offense anyone at all. :)
May 21, 2009
Insiden Kunci Tengah Malam
Usai acara syukurin wisudawan LFM Sabtu minggu lalu, saya dan Nadya kembali ke kosan Nadya. Sebenarnya acara belum selesai, tapi lantaran parkir SR akan ditutup tengah malam, maka kami buru-buru pulang.
Ngantuuuuk.
Begitu sampai kosan ingin rasanya buru-buru masuk ke kamar dan melompat (atau merangkak) ke tempat tidur. Dengan gontai kami naik ke lantai dua.
Seperti biasa, Nadya tidak membawa kunci kosannya dan justru meletakkan kunci tersebut di atas rak kecil di atas meja, pokoknya tempat yang bisa dijangkau dari luar jendela kamar. Kenapa begitu ya? Mungkin supaya gampang kalau ada temannya yang datang mau menumpang kamar.
Saya yang sudah tidak sabar ingin segera masuk ke kamar berusaha meraih kunci tersebut. Dari luar kunci tersebut tidak terlihat, ditambah lagi lampu kamar dimatikan. Tapi saya sudah tahu persis dimana letaknya.
Raba-raba-raba-raba....
Plak. Brak. Triiiiingggg..
Ups.
Ups.
Eh,
eh,
koq gitu sih?
Kok kuncinya jatoooh?
(replay)
Plak. Suara tangan saya menyenggol barisan buku-buku di atas meja.
Brak. Suara barisan buku-buku menghantam rak kecil dimana di atasnya terdapat kunci kamar.
Tringggg. Suara kunci kamar menghantam lantai.
Oh. My. God.
Dengan putus asa, saya coba meraih kunci dengan tangan kosong. Saya sudah tahu sih tidak akan sampai, tapi tetap saja saya coba. Desperate act. Saya coba menggapai-gapai lantai, diam-diam berdoa dalam hati supaya tangan saya memanjang beberapa centi.
Percuma. Doa saya tidak terkabul.
Nadya mencoba. Tidak terkabul juga.
Lalu, datanglah Nadya dengan peralatan tempur 1: tongkat semacam pipa. Alat ini lebih memberikan harapan biarpun harapannya tipis. Pasalnya tongkat ini berbentuk silinder, tentunya susah menyeret kunci menyusuri tembok dengan alat semacam itu. Beberapa saat Nadya mencoba hasilnya pun nihil.
Seandainya saja ada magnet.. Eh, gimana kalau pakai permen karet? Kalau permen karet dikunyah sebentar lalu ditempelkan di ujung tongkat, mungkin kuncinya bisa menempel disitu. Jorok, tapi patut dicoba kan? Tapi Nadya mematahkan harapan ini, warung di sekitar sini tidak ada yang buka tengah malam begini. Oh, benar juga. Bodong.
Saya coba membuat peralatan tempur 2: dua kertas A4 saya gulung dan diberi lekukan di ujungnya sehingga berbentuk L. Harapannya alat ini bisa menyendok si kunci. Tapi harapan tinggal harapan. Kuncinya dari besi sementara alatnya dari kertas. Manalah mungkin kertas letoy itu bisa mengangkat kuncinya? Dengan beberapa kali percobaan saya tahu bahwa alat ini tidak berguna.
Entah darimana Nadya menemukan alat tempur 3: tongkat pipa yang sama persis dengan sebelumnya, Sekarang kami punya dua tongkat silinder, harapan semakin besar biarpun perubahannya tidak signifikan. Gimanalah bisa dua tongkat silinder menjepit sebuah kunci?
Tapi pada level itu, segala cara harus dicoba. Beberapa menit Nadya mencoba tidak membuahkan hasil. Lalu saya mencoba, tidak membuahkan hasil pula. Malah satu tongkatnya jatuh.
Wuahahahahahahahahaha. Nadya pasti geram sekali dalam hati sambil merutuk pelan "LAN...LAN..."
Saya menegok ke dapur, awalnya mencoba mencari capitan kue tapi tidak ketemu, saya malah menemukan alat tempur 4: sodet besi. Hore! This one seemed promising. Ayo dicoba!!
Eh, ternyata kurang panjang, tidak bisa mencapai lantai...
Kemudian Nadya menggabungkan alat tempur 4 dengan alat tempur 1 menjadi alat tempur 5: sodet besi diikat dengan tongkat tadi. Pengikatnya adalah karet yang entah ia dapat darimana. Saya memandang alat itu dengan berbinar. Inilah harapan kami!
(Geez, I really am an optimist..)
Ternyata, harapan masih diawang-awang. Karetnya tidak bisa mengikat tongkat dan sodet dengan kuat, akibatnya sodetnya meliuk kemana-mana. Oooh...
Eits, ini belum berakhir. Saya melepas ikatan rambut saya sehingga alat tempur 5 punya dua ikatan. Ini lebih kuat dari yang sebelumnya tapi ternyata tetap tak bisa menahan sodet meliuk-liuk. Sudahlah, pada titik ini sekecil apapun kemungkinannya harus tetap dicoba.
Sementara Nadya nungging-nungging mencoba meraih kunci dengan alat tempur 5, saya memegangi jendela sambil berpikir cara lain. Kenop kamar Nadya adalah tipe bulat dengan cara kunci menekan tombol di tengahnya. Seandainya saja kami bisa memutar kenop yang ada di sisi dalam kamar, perkara selesai sudah.
Bagaimana caranya? Masalahnya kenopnya terlalu jauh untuk diraih. Apabila saya mengulurkan tangan sepanjang-panjangnya pun masih tersisa jarak mungkin sekitar 20centi. Lalu mata saya tertambat pada obi yang dikenakan Nadya. Oho, tentu saja. Obi ini bahannya agak kesat, kalau saya bisa melingkari kenop dan memegang kedua ujung obi, mungkin, mungkiiin, kenopnya bisa berputar dan kuncinya terbuka.
Sembari berpikir, tiba-tiba mata saya menangkap peristiwa penting. Perlahan, Nadya mulai menyeret kunci menyusuri tembok. Sodet yang menjepitnya terlihat agak tidak stabil, seperti siap melepaskan sang kunci kapan saja. Begitu kunci dalam posisi yang terjangkau, hap, langsung saya ambil sebelum terjatuh kembali.
Setengah tak percaya, tapi.. Wiiihiiiii...... kami bisa masuk ke kamar!!!!
Oh, what a night! This is so into my blog!
PS. Nadya berjanji akan membuat cerita ini dari versinya. Bwakakakak, kita tunggu aja.
Ngantuuuuk.
Begitu sampai kosan ingin rasanya buru-buru masuk ke kamar dan melompat (atau merangkak) ke tempat tidur. Dengan gontai kami naik ke lantai dua.
Seperti biasa, Nadya tidak membawa kunci kosannya dan justru meletakkan kunci tersebut di atas rak kecil di atas meja, pokoknya tempat yang bisa dijangkau dari luar jendela kamar. Kenapa begitu ya? Mungkin supaya gampang kalau ada temannya yang datang mau menumpang kamar.
Saya yang sudah tidak sabar ingin segera masuk ke kamar berusaha meraih kunci tersebut. Dari luar kunci tersebut tidak terlihat, ditambah lagi lampu kamar dimatikan. Tapi saya sudah tahu persis dimana letaknya.
Raba-raba-raba-raba....
Plak. Brak. Triiiiingggg..
Ups.
Ups.
Eh,
eh,
koq gitu sih?
Kok kuncinya jatoooh?
(replay)
Plak. Suara tangan saya menyenggol barisan buku-buku di atas meja.
Brak. Suara barisan buku-buku menghantam rak kecil dimana di atasnya terdapat kunci kamar.
Tringggg. Suara kunci kamar menghantam lantai.
Oh. My. God.
Dengan putus asa, saya coba meraih kunci dengan tangan kosong. Saya sudah tahu sih tidak akan sampai, tapi tetap saja saya coba. Desperate act. Saya coba menggapai-gapai lantai, diam-diam berdoa dalam hati supaya tangan saya memanjang beberapa centi.
Percuma. Doa saya tidak terkabul.
Nadya mencoba. Tidak terkabul juga.
Lalu, datanglah Nadya dengan peralatan tempur 1: tongkat semacam pipa. Alat ini lebih memberikan harapan biarpun harapannya tipis. Pasalnya tongkat ini berbentuk silinder, tentunya susah menyeret kunci menyusuri tembok dengan alat semacam itu. Beberapa saat Nadya mencoba hasilnya pun nihil.
Seandainya saja ada magnet.. Eh, gimana kalau pakai permen karet? Kalau permen karet dikunyah sebentar lalu ditempelkan di ujung tongkat, mungkin kuncinya bisa menempel disitu. Jorok, tapi patut dicoba kan? Tapi Nadya mematahkan harapan ini, warung di sekitar sini tidak ada yang buka tengah malam begini. Oh, benar juga. Bodong.
Saya coba membuat peralatan tempur 2: dua kertas A4 saya gulung dan diberi lekukan di ujungnya sehingga berbentuk L. Harapannya alat ini bisa menyendok si kunci. Tapi harapan tinggal harapan. Kuncinya dari besi sementara alatnya dari kertas. Manalah mungkin kertas letoy itu bisa mengangkat kuncinya? Dengan beberapa kali percobaan saya tahu bahwa alat ini tidak berguna.
Entah darimana Nadya menemukan alat tempur 3: tongkat pipa yang sama persis dengan sebelumnya, Sekarang kami punya dua tongkat silinder, harapan semakin besar biarpun perubahannya tidak signifikan. Gimanalah bisa dua tongkat silinder menjepit sebuah kunci?
Tapi pada level itu, segala cara harus dicoba. Beberapa menit Nadya mencoba tidak membuahkan hasil. Lalu saya mencoba, tidak membuahkan hasil pula. Malah satu tongkatnya jatuh.
Wuahahahahahahahahaha. Nadya pasti geram sekali dalam hati sambil merutuk pelan "LAN...LAN..."
Saya menegok ke dapur, awalnya mencoba mencari capitan kue tapi tidak ketemu, saya malah menemukan alat tempur 4: sodet besi. Hore! This one seemed promising. Ayo dicoba!!
Eh, ternyata kurang panjang, tidak bisa mencapai lantai...
Kemudian Nadya menggabungkan alat tempur 4 dengan alat tempur 1 menjadi alat tempur 5: sodet besi diikat dengan tongkat tadi. Pengikatnya adalah karet yang entah ia dapat darimana. Saya memandang alat itu dengan berbinar. Inilah harapan kami!
(Geez, I really am an optimist..)
Ternyata, harapan masih diawang-awang. Karetnya tidak bisa mengikat tongkat dan sodet dengan kuat, akibatnya sodetnya meliuk kemana-mana. Oooh...
Eits, ini belum berakhir. Saya melepas ikatan rambut saya sehingga alat tempur 5 punya dua ikatan. Ini lebih kuat dari yang sebelumnya tapi ternyata tetap tak bisa menahan sodet meliuk-liuk. Sudahlah, pada titik ini sekecil apapun kemungkinannya harus tetap dicoba.
Sementara Nadya nungging-nungging mencoba meraih kunci dengan alat tempur 5, saya memegangi jendela sambil berpikir cara lain. Kenop kamar Nadya adalah tipe bulat dengan cara kunci menekan tombol di tengahnya. Seandainya saja kami bisa memutar kenop yang ada di sisi dalam kamar, perkara selesai sudah.
Bagaimana caranya? Masalahnya kenopnya terlalu jauh untuk diraih. Apabila saya mengulurkan tangan sepanjang-panjangnya pun masih tersisa jarak mungkin sekitar 20centi. Lalu mata saya tertambat pada obi yang dikenakan Nadya. Oho, tentu saja. Obi ini bahannya agak kesat, kalau saya bisa melingkari kenop dan memegang kedua ujung obi, mungkin, mungkiiin, kenopnya bisa berputar dan kuncinya terbuka.
Sembari berpikir, tiba-tiba mata saya menangkap peristiwa penting. Perlahan, Nadya mulai menyeret kunci menyusuri tembok. Sodet yang menjepitnya terlihat agak tidak stabil, seperti siap melepaskan sang kunci kapan saja. Begitu kunci dalam posisi yang terjangkau, hap, langsung saya ambil sebelum terjatuh kembali.
Setengah tak percaya, tapi.. Wiiihiiiii...... kami bisa masuk ke kamar!!!!
Oh, what a night! This is so into my blog!
PS. Nadya berjanji akan membuat cerita ini dari versinya. Bwakakakak, kita tunggu aja.
May 12, 2009
Puzzling
Grey's Anatomy, final episode of season 3.
As I've mentioned in previous post, I love this series. If you're not watching this series here's little information about the scene above. Burke and Christina were about to get married. Burke was an old fashioned type while Christina wasn't. She did not really believe in marriage, let alone to have a big wedding. But then, she agreed to get married because, I think, she loved Burke and she wanted to be the women he wanted.
Was she wrong? What about 'love is sacrifice'? Isn't that the point?
But then, I also think that Burke got a point. If you love someone, why should you wish him/her become someone else? Shouldn't he/she enough the way they are?
It's puzzling, you know..
It really is.
I'm up there waiting for you to come down the aisle. And I know you don't want to come. I know you don't want to come, but that you'll come anyway because you love me.
And if I loved you.. If, I loved you... not the woman that I'm trying to make you be, not the woman that I hope you'll become... but you. If I did, I wouldn't be up there waiting for you. I would be letting you go.
(Burke)
As I've mentioned in previous post, I love this series. If you're not watching this series here's little information about the scene above. Burke and Christina were about to get married. Burke was an old fashioned type while Christina wasn't. She did not really believe in marriage, let alone to have a big wedding. But then, she agreed to get married because, I think, she loved Burke and she wanted to be the women he wanted.
Was she wrong? What about 'love is sacrifice'? Isn't that the point?
But then, I also think that Burke got a point. If you love someone, why should you wish him/her become someone else? Shouldn't he/she enough the way they are?
It's puzzling, you know..
It really is.
May 11, 2009
Trip to Tiongkok (1)
Pasar belum terlalu ramai ketika itu. Masih pagi, sekitar jam 11, Tapi saya sudah mulai bosan menunggu para ibu menawar suvenir. Saya mondar mandir dalam radius 2 meter dari toko suvenir untuk menghibur diri.
Mendadak sesuatu menyentak lengan kiri saya. Seorang ibu-ibu Cina setengah baya berambut keperakan penyebabnya. Ia mencengkram lengan saya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin. Bingung saya.Kalimatnya cepat dan bernada agak tinggi. Apa sih? Memang saya bikin salah?
Membaca raut saya yang tidak mengerti, ibu-ibu tadi tidak melepaskan. Ia malah menarik saya ikut dengannya. Sembari melangkah cepat ia terus berbicara. Saya tidak mengerti. Saya hanya bisa menangkap ia mengatakan "freider.. freider" which also meant nothing to me.
Are you looking for someone? tanya saya sambil pasrah ditarik-tarik menyusuri lorong pasar.Ia manggelengkan kepalanya mantap sambil tetap menarik lengan saya. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini?
Sesaat ia berhenti, melihat sekeliling. Belum sempat saya menarik napas, ia kembali menarik lengan saya. Menyeret saya menyusuri lorong pasar lebih dalam lagi.
**
Wisata ke Cina. Pertama kali Mama saya menawarkannya, langsung saya iyakan. Bagaimana mungkin sih saya lewatkan yang begini-begini?Tentu saja Mama menawarkan bukan karena ada petir di siang bolong. Ini lantaran wisata yang dimaksud disponsori oleh sebuah perusahaan farmasi. Maka, tanggal 5 Mei kemarin, kami dan 10 dokter anak beserta keluarganya bertolak ke negeri tirai bambu.
Sekitar 4,5 jam setelah take off dari Soekarno Hatta, saya landing di bandara Hongkong. Hampir semua orang disini mengenakan masker. Tak hanya di bandara sebenarnya, para pramugari di pesawat yang saya naiki tadi juga mengenakan masker dan sarung tangan plastik. Mereka ngeri akan flu babi rupanya. Tahun 2003 lalu ketika wabah SARS merajalela, Cina memang salah satu yang paling terkena imbas. Inilah yang membuat mereka parno. Saya pun akhirnya ikut-ikutan pakai masker. Jaga-jaga saja. Hehe.
Tak lama-lama saya di Hongkong. Begitu keluar bandara langsung saya naik bis shuttle menuju perbatasan darat antara Hongkong dan Cina daratan. Aneh ya? Padahal kan sejak 1997 Hongkong sudah resmi jadi bagian dari Cina. Namun untuk bisa masuk ke Cina daratan saya harus melalui proses imigrasi lagi. Demikian pula sebaliknya. Rupanya Hongkong memang diberi otonomi khusus selama 50 tahun untuk pelan-pelan masuk menjadi bagian seutuhnya dari Cina. Jadi selama selang waktu tersebut Hongkong memiliki pemerintah sendiri.
Kota Cina daratan yang berbatasan dengan Hongkong adalah Shenzhen (baca: shenchen). Kota ini seumur dengan Batam, tapi konon jauh lebih maju biarpun sama-sama kota industri. Saya kan belum pernah ke Batam, jadi tidak tahu. Yang jelas disini seperti hutan gedung. Tinggi-tinggi pula. Jembatan layangnya 4 lapis. Bujug.
Makan siang ala Tiongkok saya yang pertama disini. Menunya 10 macam yang semuanya ditaruh dalam meja berputar, layaknya tradisi makan orang Cina. Jarang sekali ada air putih, apalagi yang dingin. Minuman sehari-hari adalah teh hangat. Segala macam teh yang dibuat dari daun dan bunga-bungaan. Rasanya? Yang jelas nggak pakai gula plus cita rasa herbal-herbalan. Tahu bahwa rombongan saya bukan orang asli Cina, maka dikeluarkan alternatif minuman lain: bir dan soda. Hah! Jelas saya pilih teh.
Usai makan, saya digelandang ke bandara, siap untuk penerbangan ke Shanghai. Sampai di Shanghai saya sudah setengah melayang. Dua kali terbang menguras tenaga ternyata. Nyenyak sekali tidur saya malam itu.
Paginya saya baru melihat dengan jelas. Ternyata Shanghai ini kota besar. Mana yang benar, Shianghai atau Shanghai? Ternyata dua-duanya betul. Shianghai untuk bagian atas, dan Shanghai untuk bagian bawah. Atau sebaliknya? Saya lupa. Hehe. Namun secara umum kota ini disebut Shanghai. Banyak film berlatar kota ini karena Shanghai memang kota yang telah ada sejak dulu. Jaman dulu banyak orang Inggris dan Perancis menetap disini, kota inilah yang paling pertama mendapat pengaruh barat. Oleh karena itu, konon orang Shanghai itu sombong. Buat mereka orang di luar Shanghai adalah orang kampung. Ini kata tour guide nya lho yaa. Ada pandangan umum bahwa wanita Shanghai adalah wanita kelas atas.
Setelah foto-foto di sekitar sungai Huang Pu, kami sampai di Old Town, semacam pasar tradisional. Jangan bayangkan seperti pasar tradisional di Jakarta, disini pasar tradisional maksudnya mereka menjual barang-barang khas Cina. Saya selipkan fotonya untuk Anda.
Lucunya si penjaga toko tak bisa berbahasa Inggris. Ia hanya tahu beautiful, expensive, small, large, size, how much, yes dan no. Penawaran dilakukan dengan mengetik harga yang diinginkan di kalkulator. Namanya juga pasar, mau beli apa-apa harus ditawar dulu. Gila-gilaan nawarnya. Baju cheungsam yang dipatok seharga 200 yuan (Rp 320 ribu), akhirnya bisa diperoleh dengan 80 yuan (Rp 128 ribu) saja, malah ada yang dapat 60 yuan (Rp 96 ribu). Haha, mejik!Ibu-ibu penjual cheungsam itu bilang morning price, makanya kita bisa dapat murah. Ah, masa iya sih?
Beralih dari toko cheungsam saya dan beberapa anggota rombongan nyangkut di kios suvenir. 5 menit pertama saya masih ikut antusias memilih-milih gelang. Namun lama-lama saya bosan. Tiba-tiba sesuatu menyentak tangan saya. Ternyata ibu-ibu penjual cheungsam tadi. Ia mencengkram tangan saya, mengatakan sesuatu dalam bahasa mandarin, kemudian menyeret saya menyusuri lorong pasar.
"Freider.. freider.." katanya.
Are you looking for someone?
Tidak.
Saya diseret semakin dalam. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini? Ia masih berbicara dengan cepat dan saya masih tidak mengerti.
Are you looking for my friend?
Yes, jawabnya. O-em-ji, pan udah ditanya tadi ibu nyari orang apa kagak.. Freider itu maksudnya friend. Alamakjang!
Ia menyeret saya ke kiosnya, lalu menunjukkan sebuah cheungsam yang serupa dengan yang dibeli seorang tante di rombongan saya. Lalu ia berbicara lagi dalam bahasa mandarin dengan cepat sambil menunjukkan uang 20 yuan. Entah bagaimana caranya, akhirnya saya mengerti. Ibu ini memberi kembalian lebih pada si tante. Seharusnya ia memberikan dua lembar 10 yuan, tapi ternyata yang diberikan malah dua lembar 20 yuan. Sayang, si tante sudah tak lagi di sekitar situ. Akhirnya saya bawa saja ibu ini ke tempat pertemuan yang sudah disepakati rombongan. Untung akhirnya ketemu juga si tante itu. Dari kejauhan saya bisa lihat tampaknya si tante juga nggak ngerti tapi akhirnya dia kasih juga 20 yuan.
Tak banyak yang saya beli di Old Town itu karena katanya setelah ini kami akan ke Nanjing (baca: nancing) Road. Konon jalanan disana berikut cabang-cabang jalannya mencapai 5km dan semuanya toko. Hahah. Iya sih semuanya toko tapi kebanyakan branded. Yah, ini sih di Jakarta juga banyak. Ada juga sih yang nggak bermerek, tapi harganya tetep.. 400an yuan (Rp 840 ribu) untuk sebuah kaos. Tidak bermerek lho. Alhasil saya jalan-jalan saja tak tentu arah sembari merutuki kenapa saya tak beli lebih banyak cheungsam di Old Town tadi.
Lepas dari Nanjing Road rombongan diajak ke pabrik sutra. Tahu tidak, ternyata untuk bikin sutra, ulat yang sedang dalam masa hibernasi itu harus digodok sampai mati lho. Saya tidak tahu sebelumnya. Saya kira tidak ada ulat yang harus mati dalam pembuatan sutra. Tapi hasilnya memang luar biasa halus sih. Dari pabrik sutra saya menuju ke bandara, siap untuk penerbangan berikutnya ke Beijing.
Beijing berbeda, demikian janji tour leader saya. Tak seperti Shenzhen atau Shanghai yang minim obyek wisata, Beijing sebaliknya. Tian An Men, Forbidden City, Temple of Heaven, Summer Palace, dan tentu saja The Great Wall. Ya, semoga saja sebaik bayangannya. Saya juga sudah tak sabar melihat ibu kota Tiongkok ini. Selama dua jam penerbangan, saya bermimpi tentang Beijing. I had good feelings about this one.
Mendadak sesuatu menyentak lengan kiri saya. Seorang ibu-ibu Cina setengah baya berambut keperakan penyebabnya. Ia mencengkram lengan saya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin. Bingung saya.Kalimatnya cepat dan bernada agak tinggi. Apa sih? Memang saya bikin salah?
Membaca raut saya yang tidak mengerti, ibu-ibu tadi tidak melepaskan. Ia malah menarik saya ikut dengannya. Sembari melangkah cepat ia terus berbicara. Saya tidak mengerti. Saya hanya bisa menangkap ia mengatakan "freider.. freider" which also meant nothing to me.
Are you looking for someone? tanya saya sambil pasrah ditarik-tarik menyusuri lorong pasar.Ia manggelengkan kepalanya mantap sambil tetap menarik lengan saya. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini?
Sesaat ia berhenti, melihat sekeliling. Belum sempat saya menarik napas, ia kembali menarik lengan saya. Menyeret saya menyusuri lorong pasar lebih dalam lagi.
**
Wisata ke Cina. Pertama kali Mama saya menawarkannya, langsung saya iyakan. Bagaimana mungkin sih saya lewatkan yang begini-begini?Tentu saja Mama menawarkan bukan karena ada petir di siang bolong. Ini lantaran wisata yang dimaksud disponsori oleh sebuah perusahaan farmasi. Maka, tanggal 5 Mei kemarin, kami dan 10 dokter anak beserta keluarganya bertolak ke negeri tirai bambu.
Sekitar 4,5 jam setelah take off dari Soekarno Hatta, saya landing di bandara Hongkong. Hampir semua orang disini mengenakan masker. Tak hanya di bandara sebenarnya, para pramugari di pesawat yang saya naiki tadi juga mengenakan masker dan sarung tangan plastik. Mereka ngeri akan flu babi rupanya. Tahun 2003 lalu ketika wabah SARS merajalela, Cina memang salah satu yang paling terkena imbas. Inilah yang membuat mereka parno. Saya pun akhirnya ikut-ikutan pakai masker. Jaga-jaga saja. Hehe.
Tak lama-lama saya di Hongkong. Begitu keluar bandara langsung saya naik bis shuttle menuju perbatasan darat antara Hongkong dan Cina daratan. Aneh ya? Padahal kan sejak 1997 Hongkong sudah resmi jadi bagian dari Cina. Namun untuk bisa masuk ke Cina daratan saya harus melalui proses imigrasi lagi. Demikian pula sebaliknya. Rupanya Hongkong memang diberi otonomi khusus selama 50 tahun untuk pelan-pelan masuk menjadi bagian seutuhnya dari Cina. Jadi selama selang waktu tersebut Hongkong memiliki pemerintah sendiri.
Kota Cina daratan yang berbatasan dengan Hongkong adalah Shenzhen (baca: shenchen). Kota ini seumur dengan Batam, tapi konon jauh lebih maju biarpun sama-sama kota industri. Saya kan belum pernah ke Batam, jadi tidak tahu. Yang jelas disini seperti hutan gedung. Tinggi-tinggi pula. Jembatan layangnya 4 lapis. Bujug.
Makan siang ala Tiongkok saya yang pertama disini. Menunya 10 macam yang semuanya ditaruh dalam meja berputar, layaknya tradisi makan orang Cina. Jarang sekali ada air putih, apalagi yang dingin. Minuman sehari-hari adalah teh hangat. Segala macam teh yang dibuat dari daun dan bunga-bungaan. Rasanya? Yang jelas nggak pakai gula plus cita rasa herbal-herbalan. Tahu bahwa rombongan saya bukan orang asli Cina, maka dikeluarkan alternatif minuman lain: bir dan soda. Hah! Jelas saya pilih teh.
Usai makan, saya digelandang ke bandara, siap untuk penerbangan ke Shanghai. Sampai di Shanghai saya sudah setengah melayang. Dua kali terbang menguras tenaga ternyata. Nyenyak sekali tidur saya malam itu.
Paginya saya baru melihat dengan jelas. Ternyata Shanghai ini kota besar. Mana yang benar, Shianghai atau Shanghai? Ternyata dua-duanya betul. Shianghai untuk bagian atas, dan Shanghai untuk bagian bawah. Atau sebaliknya? Saya lupa. Hehe. Namun secara umum kota ini disebut Shanghai. Banyak film berlatar kota ini karena Shanghai memang kota yang telah ada sejak dulu. Jaman dulu banyak orang Inggris dan Perancis menetap disini, kota inilah yang paling pertama mendapat pengaruh barat. Oleh karena itu, konon orang Shanghai itu sombong. Buat mereka orang di luar Shanghai adalah orang kampung. Ini kata tour guide nya lho yaa. Ada pandangan umum bahwa wanita Shanghai adalah wanita kelas atas.
Setelah foto-foto di sekitar sungai Huang Pu, kami sampai di Old Town, semacam pasar tradisional. Jangan bayangkan seperti pasar tradisional di Jakarta, disini pasar tradisional maksudnya mereka menjual barang-barang khas Cina. Saya selipkan fotonya untuk Anda.
Lucunya si penjaga toko tak bisa berbahasa Inggris. Ia hanya tahu beautiful, expensive, small, large, size, how much, yes dan no. Penawaran dilakukan dengan mengetik harga yang diinginkan di kalkulator. Namanya juga pasar, mau beli apa-apa harus ditawar dulu. Gila-gilaan nawarnya. Baju cheungsam yang dipatok seharga 200 yuan (Rp 320 ribu), akhirnya bisa diperoleh dengan 80 yuan (Rp 128 ribu) saja, malah ada yang dapat 60 yuan (Rp 96 ribu). Haha, mejik!Ibu-ibu penjual cheungsam itu bilang morning price, makanya kita bisa dapat murah. Ah, masa iya sih?
Beralih dari toko cheungsam saya dan beberapa anggota rombongan nyangkut di kios suvenir. 5 menit pertama saya masih ikut antusias memilih-milih gelang. Namun lama-lama saya bosan. Tiba-tiba sesuatu menyentak tangan saya. Ternyata ibu-ibu penjual cheungsam tadi. Ia mencengkram tangan saya, mengatakan sesuatu dalam bahasa mandarin, kemudian menyeret saya menyusuri lorong pasar.
"Freider.. freider.." katanya.
Are you looking for someone?
Tidak.
Saya diseret semakin dalam. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini? Ia masih berbicara dengan cepat dan saya masih tidak mengerti.
Are you looking for my friend?
Yes, jawabnya. O-em-ji, pan udah ditanya tadi ibu nyari orang apa kagak.. Freider itu maksudnya friend. Alamakjang!
Ia menyeret saya ke kiosnya, lalu menunjukkan sebuah cheungsam yang serupa dengan yang dibeli seorang tante di rombongan saya. Lalu ia berbicara lagi dalam bahasa mandarin dengan cepat sambil menunjukkan uang 20 yuan. Entah bagaimana caranya, akhirnya saya mengerti. Ibu ini memberi kembalian lebih pada si tante. Seharusnya ia memberikan dua lembar 10 yuan, tapi ternyata yang diberikan malah dua lembar 20 yuan. Sayang, si tante sudah tak lagi di sekitar situ. Akhirnya saya bawa saja ibu ini ke tempat pertemuan yang sudah disepakati rombongan. Untung akhirnya ketemu juga si tante itu. Dari kejauhan saya bisa lihat tampaknya si tante juga nggak ngerti tapi akhirnya dia kasih juga 20 yuan.
Tak banyak yang saya beli di Old Town itu karena katanya setelah ini kami akan ke Nanjing (baca: nancing) Road. Konon jalanan disana berikut cabang-cabang jalannya mencapai 5km dan semuanya toko. Hahah. Iya sih semuanya toko tapi kebanyakan branded. Yah, ini sih di Jakarta juga banyak. Ada juga sih yang nggak bermerek, tapi harganya tetep.. 400an yuan (Rp 840 ribu) untuk sebuah kaos. Tidak bermerek lho. Alhasil saya jalan-jalan saja tak tentu arah sembari merutuki kenapa saya tak beli lebih banyak cheungsam di Old Town tadi.
Lepas dari Nanjing Road rombongan diajak ke pabrik sutra. Tahu tidak, ternyata untuk bikin sutra, ulat yang sedang dalam masa hibernasi itu harus digodok sampai mati lho. Saya tidak tahu sebelumnya. Saya kira tidak ada ulat yang harus mati dalam pembuatan sutra. Tapi hasilnya memang luar biasa halus sih. Dari pabrik sutra saya menuju ke bandara, siap untuk penerbangan berikutnya ke Beijing.
Beijing berbeda, demikian janji tour leader saya. Tak seperti Shenzhen atau Shanghai yang minim obyek wisata, Beijing sebaliknya. Tian An Men, Forbidden City, Temple of Heaven, Summer Palace, dan tentu saja The Great Wall. Ya, semoga saja sebaik bayangannya. Saya juga sudah tak sabar melihat ibu kota Tiongkok ini. Selama dua jam penerbangan, saya bermimpi tentang Beijing. I had good feelings about this one.
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...