May 28, 2009

Kenapa Berjilbab?

Pertama kali saya mulai memakai jilbab, sekitar 2,5 tahun lalu, banyak orang bertanya, kenapa? Apa pendorongnya? Ketika itu saya berniat menulis blog mengenai hal ini namun entah mengapa tak kunjung tereksekusi. Hingga akhirnya beberapa waktu lalu saya membaca blog teman saya yang membahas soal jilbab (it's a good writing, btw), saya jadi terusik kembali niatan lama.

Jujur, saya tak tahu persis kenapa saya mulai mengenakan jilbab. Pasalnya, ketika itu Mama, adik perempuan serta saudara-saudara dekat saya di Jakarta belum ada yang berjilbab. Saya tidak mengalami near death experience yang biasanya manjur bikin orang bertobat. Saya tidak bermimpi didatangi malaikat yang menyuruh saya berjilbab (saya pernah dengar cerita semacam ini lho..). Saya tidak tergabung dalam organisasi Islam.
Kejadian yang paling mungkin mempengaruhi saya adalah umrah yang saya lakukan beberapa bulan sebelum saya berjilbab. Tapi persisnya apa, dimana, bagaimana, saya tak tahu.Maka, ketika orang-orang menanyakan alasannya, sebenarnya sih saya juga bingung mau jawab apa.

Saya pun ketika itu bukan orang yang terlalu religius (well, sekarang mungkin juga nggak terlalu sih, tapi dibandingin dulu sih insyaallah udah mendingan). Saya tidak biasa mengucapkan Assalamu'alaikum sebagai sapaan sehari-hari, misalnya. Shalat saya pun masih suka bolong-bolong. Jarang mengaji, malas ikut ceramah tarawih, suka pakai kaos ketat, sering berbohong, dan hal-hal lain yang membuat saya tidak layak dikategorikan sebagai umat muslim yang alim dan manis deh.

Entah dimana turning pointnya. Semuanya seperti proses saja. Well, umrah memang sedikit banyak memberi pencerahan. Pulang dari tanah suci saya memang jadi banyak memikirkan tentang agama. Betapa jauhnya saya dari Tuhan, betapa banyak larangan yang sudah saya langgar.
Saya ingin menjadi lebih baik, begitu niatan awalnya.
Lalu entah bagaimana sampailah concern saya tentang jilbab. Beberapa hari saya pikirkan dan saya tanyakan secara tersirat kepada teman-teman yang sudah berjilbab. Hingga suatu hari saya mengsms teman saya menanyakan, perintah berjilbab ada di surat mana ayat berapa sih?

Dijawab teman saya, Al-Ahzab: 59. Saya segera cari di Al-Qur'an. Ah ya, ada. Biarpun bahasanya agak berat buat saya. Membaca ayat-ayat itu sebenarnya masih agak bias untuk pikiran saya. Ragu apakah ini benar-benar wajib? Iya. Entah berapa proporsinya, tapi iya ragu itu ada.Tapi kemudian saya balik pola pikir saya: 'kenapa enggak?'

"Worst case"nya adalah jilbab itu wajib sehingga saya beresiko berdosa bila tidak menaatinya. Coba saya metaforakan. Katakanlah saya sedang mengambil sebuah mata kuliah. Sang dosen memberikan tugas A, B dan C yang bila ada satu saja lalai dikerjakan maka saya tidak akan lulus. Lalu, di tengah semester dosen ini memberikan tugas D. Tak dijelaskan apakah tugas ini akan mempengaruhi lulus/tidaknya saya karena, katakanlah, pada hari tugas itu diberikan saya bolos. Sehingga saya tidak memperoleh keterangan lengkap tentang makna dari tugas D ini. Masalahnya tugas D ini agak sulit dan saya harus mengorbankan 2 weekend untuk mengerjakannya.
Apa yang akan saya lakukan? Melalaikan tugas itu dengan resiko tidak lulus, atau mengerjakan tugas itu, mengorbankan 2 weekend namun nilai akhir saya lebih terjamin? Rasanya sih saya pilih opsi kedua, karena worst case nya adalah tugas D akan mempengaruhi kelulusan saya.

Nah, hal yang sama berlaku disini. Resikonya adalah saya berdosa bila tidak berjilbab. Namun bila saya berjilbab maka ada beberapa hal yang berubah (dan mungkin tidak enak). Saya coba list apa sih hal-hal yang akan membuat saya menyesal bila berjilbab. Daftar itu berisi hal-hal semacam ini:
1. Repot.
2. Panas.
3. Nggak bisa pakai baju sesuka hati.
4. Nggak enak kalau ke tempat-tempat hura-hura.
5. dst.
Yah, pokoknya semacamnyalah. Setelah saya analisis (jjjiiee..), ternyata menurut saya resiko yang bisa saya dapat tidak sepadan dengan kesenangan yang saya peroleh. I couldn't think a single reason (that really matters) why I shouldn't wear jilbab. And then I started to wear it.

Ah ya, beberapa orang berpendapat lebih baik menjilbabi hati dulu sebelum menjilbabi kepala. Saya hormati hak siapapun yang punya pendapat demikian. Tapi menurut pendapat saya tidak demikian (and because this is my blog, I want to write about my opinion, so suck it up! haha).
Berjilbab physically itu mudah. Percaya deh. Anda hanya perlu melilitkan kain di kepala, mengenakan baju dan celana lengan panjang yang tidak transparan dan ketat-ketat (amat). Piece of cake! Semua orang bisa melakukannya.

Berjilbab secara fisik itu mudah. Yang sulit adalah menjilbabi hati. It might be the hardest thing to do in life. It is, for me. Sampai saat ini saya masih belum mampu mensterilkan hati saya dari iri, malas, dengki, dendam, buruk sangka, sombong, malas (did i mention 'malas' twice?) dkk. Tiap hari pasti ada yang mampir. Tiap hari.
Tapi apakah karena saya belum bisa menjinakkan hati makanya saya tidak menjinakkan aurat? Masalahnya, saya tidak tahu kapan saya bisa menjinakkan hati saya. Mungkin tidak akan pernah bisa. Tuhan selalu membolak-balikkan hati manusia, bukan? Lagipula ketika saya merasa bahwa hati saya telah steril, bukankah itu artinya juga sombong ya? Kayak nge-looping.

Saya tidak melihat bahwa setelah hati bersih barulah saya berjilbab. Bukan, jilbab itu bukan tujuan kalau buat saya. Jilbab adalah alat yang saya gunakan agar hati saya bisa (lebih) bersih.
Makanya, kalau menurut saya sih, berjilbab bukan jaminan lebih bersih hatinya dari yang tidak berjilbab. Pada kasus saya, berjilbab berarti saya ingin menjadi lebih baik tapi saya juga mengakui bahwa saya butuh bantuan dari orang-orang sekitar saya agar sampai kesana. Kasarnya, saya minta dicemooh kalau saya kedapatan mencontek atau berkata kasar atau tidak shalat atau terlalu lengket sama yang bukan muhrim atau hal-hal lainnya. Persis seperti reminder. Mungkin reaksi pertama adalah malu pada masyarakat.
Tapi, salahkah? Menurut saya sih tidak. Yang penting tujuannya, saya tidak melakukan hal-hal tidak terpuji, tercapai. Orang lain tidak terluka. Masalah niat itu urusan saya dengan Tuhan. Daripada niatnya sudah tidak betul, menyakiti orang lain pula. Combo double deh. Hehe.

Buat orang lain mungkin remindernya bisa macam-macam. Kalung bertuliskan ayat Al-Qur'an kek, tato henna bertuliskan Allah kek, bisa jadi apa saja. Saya memilih jilbab karena itu yang paling terasa dan terlihat. Tiap kali saya bercermin. Tiap kali saya menggaruk kepala, leher atau telinga. Tiap kali melihat lengan dan kaki yang terbungkus hingga pergelangan. Semuanya mengingatkan bahwa saya punya cita-cita untuk menjadi umat muslim yang lebih baik. Ada yang harus dikerjakan dan ada yang harus dihindari. Ada kiamat yang akan datang. Ada banyak dosa yang telah saya lakukan. Jilbablah yang menjadi remindernya. Meskipun tidak selalu saya dengarkan sih. Haha.


PS. Saya tidak pernah memaksa atau menyuruh orang untuk berjilbab. Tidak Mama saya atau adik saya (meskipun saya bersyukur ketika akhirnya mereka berjilbab). Saya percaya bahwa keinginan itu harus datang dari hati dan pikiran masing-masing. Seperti agama. Mungkin sepanjang Anda membaca tulisan ini Anda berpikir "sotoy banget sih lo Min" atau "sok alim banget sih". Hey, it's just an opinion. I truly do not have any intention to offense anyone at all. :)

15 comments:

  1. yap.. reminder min, reminder buat kita jadi muslim yang baik.. seperti mengkondisikan diri sendiri.. yapyap totally agree

    ReplyDelete
  2. nice posting
    salam kenal :P

    ReplyDelete
  3. Anonymous3:49 PM

    eh daku baru tau klo kethy pake jilbab.

    ReplyDelete
  4. aduh min, kagumnya aku padamu.
    semoga gue nyusul. amin amin amin.

    ReplyDelete
  5. eh udah ditulis. nice to see it in your way min :)

    raie: gw tidak berjilbab saat ini ray, tulisan gw ambigu ya? hehe

    ReplyDelete
  6. @atiek: haha, reminder yang sering gue abaikan tiek. hehe.

    @rental mobil: salam kenal juga. :D

    @ray: he? gue juga baru tau kalo kethy berjilbab... ;P

    @bat: wah, kalo lo mengagumi gue, berarti looping dong bat. kan ceritanya gue kagum juga sama lo (nggak yaaa...??) :P

    @kethy: hihi, kenapa ray bisa dapet kesan begitu ya?
    anw, various opinions is the beauty of democracy, isn't? :D

    ReplyDelete
  7. idola gw nih (gak yaaaa?)
    hahaha

    ReplyDelete
  8. haha. udah ngaku aja nad lo emang mengidolakan gua. hahahaha.

    ReplyDelete
  9. aku padamu, min. aku padamu.

    ahahaha. entah apa maksudnyaa.

    ReplyDelete
  10. "Ah ya, beberapa orang berpendapat lebih baik menjilbabi hati dulu sebelum menjilbabi kepala."

    setuju Miiin, gw dulu pernah mikir gitu juga loh min, tapi itu mungkin alasan untuk menunda, beraaat rasanya,padahal itu semua buat kita (kaum wanita)juga ..

    Buat gw, itu cara Islam melindungi kaum hawa, karena sebegitu berharganya wanita di mata Islam..

    nice post Min!! =D

    ReplyDelete
  11. waw, bener juga kata nadya. Biarpun lo tengil setengah mati, tapi kadang2 omongan lo berfaedah juga. (hihi.. piss todss!)

    nice to have ur opinion tods! :D
    anw, menurut gue ternyata berjilbab itu ga sesusah yang gue kira dulu kok. apalagi di negara kayak indonesia.
    haha, apa karena gue aja ya yang belum bener2 meresapi maknanya? hehe.

    ReplyDelete
  12. great post minceee...
    :D

    doakan gw menyusul lo n nadiah ya...
    niat udah ada tinggal keyakinan blm terpupuk! ;p

    ReplyDelete
  13. thnx dit!! :)

    semoga posting gue memberi manfaat. whatever it means. hehehe.

    PS. waaa... lo nulis "nadiah" instead of "nadya". siap2 aja diamuk kalo ntar doi liat..

    ReplyDelete
  14. tenaang,,
    beliau sedang sibuk kook..
    ;p

    ReplyDelete
  15. gue aduin aaaahhh...
    *pengadu mode: on

    ReplyDelete

Humor me. Drop some comment.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...