May 11, 2009

Trip to Tiongkok (1)

Pasar belum terlalu ramai ketika itu. Masih pagi, sekitar jam 11, Tapi saya sudah mulai bosan menunggu para ibu menawar suvenir. Saya mondar mandir dalam radius 2 meter dari toko suvenir untuk menghibur diri.


Mendadak sesuatu menyentak lengan kiri saya. Seorang ibu-ibu Cina setengah baya berambut keperakan penyebabnya. Ia mencengkram lengan saya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin. Bingung saya.Kalimatnya cepat dan bernada agak tinggi. Apa sih? Memang saya bikin salah?

Membaca raut saya yang tidak mengerti, ibu-ibu tadi tidak melepaskan. Ia malah menarik saya ikut dengannya. Sembari melangkah cepat ia terus berbicara. Saya tidak mengerti. Saya hanya bisa menangkap ia mengatakan "freider.. freider" which also meant nothing to me.

Are you looking for someone? tanya saya sambil pasrah ditarik-tarik menyusuri lorong pasar.Ia manggelengkan kepalanya mantap sambil tetap menarik lengan saya. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini?

Sesaat ia berhenti, melihat sekeliling. Belum sempat saya menarik napas, ia kembali menarik lengan saya. Menyeret saya menyusuri lorong pasar lebih dalam lagi.


**


Wisata ke Cina. Pertama kali Mama saya menawarkannya, langsung saya iyakan. Bagaimana mungkin sih saya lewatkan yang begini-begini?Tentu saja Mama menawarkan bukan karena ada petir di siang bolong. Ini lantaran wisata yang dimaksud disponsori oleh sebuah perusahaan farmasi. Maka, tanggal 5 Mei kemarin, kami dan 10 dokter anak beserta keluarganya bertolak ke negeri tirai bambu.


Sekitar 4,5 jam setelah take off dari Soekarno Hatta, saya landing di bandara Hongkong. Hampir semua orang disini mengenakan masker. Tak hanya di bandara sebenarnya, para pramugari di pesawat yang saya naiki tadi juga mengenakan masker dan sarung tangan plastik. Mereka ngeri akan flu babi rupanya. Tahun 2003 lalu ketika wabah SARS merajalela, Cina memang salah satu yang paling terkena imbas. Inilah yang membuat mereka parno. Saya pun akhirnya ikut-ikutan pakai masker. Jaga-jaga saja. Hehe.

Tak lama-lama saya di Hongkong. Begitu keluar bandara langsung saya naik bis shuttle menuju perbatasan darat antara Hongkong dan Cina daratan. Aneh ya? Padahal kan sejak 1997 Hongkong sudah resmi jadi bagian dari Cina. Namun untuk bisa masuk ke Cina daratan saya harus melalui proses imigrasi lagi. Demikian pula sebaliknya. Rupanya Hongkong memang diberi otonomi khusus selama 50 tahun untuk pelan-pelan masuk menjadi bagian seutuhnya dari Cina. Jadi selama selang waktu tersebut Hongkong memiliki pemerintah sendiri.

Kota Cina daratan yang berbatasan dengan Hongkong adalah Shenzhen (baca: shenchen). Kota ini seumur dengan Batam, tapi konon jauh lebih maju biarpun sama-sama kota industri. Saya kan belum pernah ke Batam, jadi tidak tahu. Yang jelas disini seperti hutan gedung. Tinggi-tinggi pula. Jembatan layangnya 4 lapis. Bujug.

Makan siang ala Tiongkok saya yang pertama disini. Menunya 10 macam yang semuanya ditaruh dalam meja berputar, layaknya tradisi makan orang Cina. Jarang sekali ada air putih, apalagi yang dingin. Minuman sehari-hari adalah teh hangat. Segala macam teh yang dibuat dari daun dan bunga-bungaan. Rasanya? Yang jelas nggak pakai gula plus cita rasa herbal-herbalan. Tahu bahwa rombongan saya bukan orang asli Cina, maka dikeluarkan alternatif minuman lain: bir dan soda. Hah! Jelas saya pilih teh.


Usai makan, saya digelandang ke bandara, siap untuk penerbangan ke Shanghai. Sampai di Shanghai saya sudah setengah melayang. Dua kali terbang menguras tenaga ternyata. Nyenyak sekali tidur saya malam itu.


Paginya saya baru melihat dengan jelas. Ternyata Shanghai ini kota besar. Mana yang benar, Shianghai atau Shanghai? Ternyata dua-duanya betul. Shianghai untuk bagian atas, dan Shanghai untuk bagian bawah. Atau sebaliknya? Saya lupa. Hehe. Namun secara umum kota ini disebut Shanghai. Banyak film berlatar kota ini karena Shanghai memang kota yang telah ada sejak dulu. Jaman dulu banyak orang Inggris dan Perancis menetap disini, kota inilah yang paling pertama mendapat pengaruh barat. Oleh karena itu, konon orang Shanghai itu sombong. Buat mereka orang di luar Shanghai adalah orang kampung. Ini kata tour guide nya lho yaa. Ada pandangan umum bahwa wanita Shanghai adalah wanita kelas atas.

Setelah foto-foto di sekitar sungai Huang Pu, kami sampai di Old Town, semacam pasar tradisional. Jangan bayangkan seperti pasar tradisional di Jakarta, disini pasar tradisional maksudnya mereka menjual barang-barang khas Cina. Saya selipkan fotonya untuk Anda.


Lucunya si penjaga toko tak bisa berbahasa Inggris. Ia hanya tahu beautiful, expensive, small, large, size, how much, yes dan no. Penawaran dilakukan dengan mengetik harga yang diinginkan di kalkulator. Namanya juga pasar, mau beli apa-apa harus ditawar dulu. Gila-gilaan nawarnya. Baju cheungsam yang dipatok seharga 200 yuan (Rp 320 ribu), akhirnya bisa diperoleh dengan 80 yuan (Rp 128 ribu) saja, malah ada yang dapat 60 yuan (Rp 96 ribu). Haha, mejik!Ibu-ibu penjual cheungsam itu bilang morning price, makanya kita bisa dapat murah. Ah, masa iya sih?

Beralih dari toko cheungsam saya dan beberapa anggota rombongan nyangkut di kios suvenir. 5 menit pertama saya masih ikut antusias memilih-milih gelang. Namun lama-lama saya bosan. Tiba-tiba sesuatu menyentak tangan saya. Ternyata ibu-ibu penjual cheungsam tadi. Ia mencengkram tangan saya, mengatakan sesuatu dalam bahasa mandarin, kemudian menyeret saya menyusuri lorong pasar.
"Freider.. freider.." katanya.
Are you looking for someone?
Tidak.
Saya diseret semakin dalam. O mon Dieu, dari mana ia punya tenaga sekuat ini? Ia masih berbicara dengan cepat dan saya masih tidak mengerti.
Are you looking for my friend?
Yes, jawabnya. O-em-ji, pan udah ditanya tadi ibu nyari orang apa kagak.. Freider itu maksudnya friend. Alamakjang!

Ia menyeret saya ke kiosnya, lalu menunjukkan sebuah cheungsam yang serupa dengan yang dibeli seorang tante di rombongan saya. Lalu ia berbicara lagi dalam bahasa mandarin dengan cepat sambil menunjukkan uang 20 yuan. Entah bagaimana caranya, akhirnya saya mengerti. Ibu ini memberi kembalian lebih pada si tante. Seharusnya ia memberikan dua lembar 10 yuan, tapi ternyata yang diberikan malah dua lembar 20 yuan. Sayang, si tante sudah tak lagi di sekitar situ. Akhirnya saya bawa saja ibu ini ke tempat pertemuan yang sudah disepakati rombongan. Untung akhirnya ketemu juga si tante itu. Dari kejauhan saya bisa lihat tampaknya si tante juga nggak ngerti tapi akhirnya dia kasih juga 20 yuan.

Tak banyak yang saya beli di Old Town itu karena katanya setelah ini kami akan ke Nanjing (baca: nancing) Road. Konon jalanan disana berikut cabang-cabang jalannya mencapai 5km dan semuanya toko. Hahah. Iya sih semuanya toko tapi kebanyakan branded. Yah, ini sih di Jakarta juga banyak. Ada juga sih yang nggak bermerek, tapi harganya tetep.. 400an yuan (Rp 840 ribu) untuk sebuah kaos. Tidak bermerek lho. Alhasil saya jalan-jalan saja tak tentu arah sembari merutuki kenapa saya tak beli lebih banyak cheungsam di Old Town tadi.

Lepas dari Nanjing Road rombongan diajak ke pabrik sutra. Tahu tidak, ternyata untuk bikin sutra, ulat yang sedang dalam masa hibernasi itu harus digodok sampai mati lho. Saya tidak tahu sebelumnya. Saya kira tidak ada ulat yang harus mati dalam pembuatan sutra. Tapi hasilnya memang luar biasa halus sih. Dari pabrik sutra saya menuju ke bandara, siap untuk penerbangan berikutnya ke Beijing.


Beijing berbeda, demikian janji tour leader saya. Tak seperti Shenzhen atau Shanghai yang minim obyek wisata, Beijing sebaliknya. Tian An Men, Forbidden City, Temple of Heaven, Summer Palace, dan tentu saja The Great Wall. Ya, semoga saja sebaik bayangannya. Saya juga sudah tak sabar melihat ibu kota Tiongkok ini. Selama dua jam penerbangan, saya bermimpi tentang Beijing. I had good feelings about this one.

10 comments:

  1. waaah... senengnya yg k beijing...
    Tian An Men, Forbidden City, Temple of Heaven, Summer Palace, The Great Wall, itu semua seru dan keren lhooo....
    plg ngga mnrt gw...

    have fun disana...

    oiya, jgn lupa wisata kuliner, enak stengah mampus makanan2 di beijing, udah gitu nyari restoran halal gampang... kl sempet mampir jg k mesjid yg disana, menarik lho... ^^

    ReplyDelete
  2. @Danu: waa.. gue ga ke mesjidnya nu.. waktu itu ditawarin pilih temple of heaven atau mesjid, pada pilih temple of heaven.
    kirain masjidnya gitu2 doang.

    @sigit: cina nanjing?

    ReplyDelete
  3. sigit8:42 AM

    pfftt apus aja deh komenku itu, ga penting hwehehehe (gimana cara ngapusnya yaa)

    ReplyDelete
  4. ni hao ma, min! hehe. aku mau oleh2 doooong. Tita sama Beni ikut juga gak?

    ReplyDelete
  5. haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
    gw deg2an baca "epilog"nya!!!

    =p =p

    ReplyDelete
  6. @bat: hihi, makanya bat kapan lo ada waktu buat ketemu? ayo ayo gue dah bawa oleh2 buat lo.

    @nad: epilog apa prolog nad?

    ReplyDelete
  7. yasmiin...jadi inget waktu ke china. berusaha ngobrol sama supir taksi tapi gagal (ya iyalaah) tapi akhirnya ga bayar taksi gw, kasian kali ye dia.hahaha

    Forbidden city udah min? menurut gw biasa aja, tapi kalo pas winter katanya bagus..

    china sih asal bawa kalkulator aman :)

    ReplyDelete
  8. Anonymous12:25 AM

    klo daku dapet oleh2 juga dong min. hehehe
    @sigit: parah2 git. gak ikutan daku. hahaha *manas2in

    ReplyDelete

Humor me. Drop some comment.

The Other Blog

Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...