Ada dekorasi tambahan di kamar saya sejak beberapa minggu kemarin.
Hehe. Ini adalah hasil belajar untuk ujian bahasa Perancis hari Selasa kemarin. Agak panik juga soalnya selain ujian tertulis, ada ujian oral atau percakapannya juga. Padahal saya cukup sering melewatkan kelas di term ini.
Banyak jug yang harus dihafal, mulai dari berbagai verb berikut masculin dan feminin nya, lalu juga pronom-pronom itu. Celakanya, di term sebelum ini saya juga agak beler, jadi untuk ujian kali ini saya juga harus mengulang beberapa materi di term sebelumnya.
Belum lagi untuk urusan ecoute atau listening, saya payah sekali disini. Pernah saya hampir menangis waktu ujian karena saya sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan si bule di kaset itu. Mungkin juga ini karma karena waktu dulu saya les bahasa Inggris di ILP masa SMA dulu, saya justru paling bisa bagian listening. Untuk bagian ini, biasanya nilai saya 90 atau 100. Karenanya saya jadi sedikit besar kepala. Huh..
Tapi entah mengapa, meskipun bahasa Perancis ini lumayan susah dan saya lumayan terseok-seok dalam mengikuti pelajarannya, saya tetap suka. Padahal dulu saya juga pernah belajar bahasa Jerman, dan saya bahkan tak punya cukup daya dan kemauan untuk menyelesaikan term kedua.
Namun beda untuk bahasa Perancis. Sepertinya lebih menyenangkan biarpun saya suka dibuat pusing oleh pengucapan dan berbagai embel-embelnya.
Doakan saya semoga hasil ujian saya bagus sehingga saja bisa lulus untuk term ini. :)
Aug 31, 2008
PIS (Partner In Sushi)
In Japanese cuisine, sushi (寿司, 鮨, 鮓, sushi?) is vinegared rice, usually topped with other ingredients, including fish, various meats, and vegetables. Outside of Japan, sushi is sometimes misunderstood to mean the raw fish itself, or even any fresh raw-seafood dishes.[1] In Japan, sliced raw fish alone is called sashimi and is distinct from sushi, as sashimi is the raw fish component, not the rice component. The word sushi itself comes from an archaic grammatical form of a word that is no longer used in other contexts; literally, sushi means "it's sour".[2]
Ketiga, makanan-makanan ini dibiarkan mempromosikan dirinya sendiri dengan berjalan di conveyer. Untuk orang-orang tertentu, meskipun perut sudah tak lapar lagi, namun keinginan untuk mencomot piring-piring menggoda ini kadang tak dapat ditahan.
Ngomong-ngomong, selain makanan Jepang ini, saya juga masih penggemar serabi, klepon, pecel lele, dan martabak kok. Hehe.
Dulu saya tidak suka makanan Jepang. Mungkin karena katanya makanan Jepang itu rata-rata masih mentah atau setengah matang. Yieks!
Namun entah sejak kapan persisnya, saya mulai menikmati sushi. Setidaknya sushi yang ada di restoran a la Jepang di Indonesia, karena menurut Batari sushi yang di Jepang rasanya berbeda.
Maka ketika kemarin malam PIS (partner in sushi) saya mengajak 'men-sushisushanti' (dikutip dari sms yang dikirim ke ponsel saya), saya pun tak dapat menolak. Pergilah kami berdua ke restoran sushi di Jalan Veteran. Saya lupa, kemarin malam itu malam minggu. Sudah pastilah berjuta umat merayakannya dengan makan atau nonton atau apapun. Alhasil tempat parkir penuh. Untung masih ada tempat parkir di bioskop yang berada tak jauh dari restoran.
Suasana restoran tak jauh beda. Padat merayap seperti jalan tol menjelang senja hari.
Untunglah masih ada tempat di sushi-bar. Kami pun memesan porsi untuk ronde pertama sambil tetap awas memperhatikan piring-piring sushi yang berjalan kemayu di conveyer di depan sushi-bar.
Kemarin itu baru saya perhatikan dan notice bahwa di balik sushi-bar, para 'koki' ini terus saja membuat sushi tanpa henti tanpa peduli apakah sushi yang dibuatnya dipesan oleh pengunjung. Make to stock, begitulah kira-kira, meskipun kalau kita ingin sushi yang tidak tersaji di conveyer (saya tidak tahu istilah benarnya apa), para 'koki' ini tentunya dengan senang hati akan membuatkan.
Tapi konsep sushi ini boleh juga lho. Pertama, makanan ini bukan tipe yang disajikan hangat, sehingga tidak masalah bila selang waktu pembuatan hingga proses konsumsinya sedikit lama.
Kedua, makanan-makanan ini disegmentasikan dalam bentuk warna piring. Piring berwarna biru misalnya berharga Rp 9000, warna pink Rp 14000 dan sebagainya. Di bon pembayaran pun yang tertulis hanya '2 piring biru, 1 piring pink'. Ini tentu saja akan memudahkan dan mempercepat proses penghitungan biaya.
Ketiga, makanan-makanan ini dibiarkan mempromosikan dirinya sendiri dengan berjalan di conveyer. Untuk orang-orang tertentu, meskipun perut sudah tak lapar lagi, namun keinginan untuk mencomot piring-piring menggoda ini kadang tak dapat ditahan.
Semalam, kami berdua total menghabiskan 5 piring. Kalau saya hanya menghabiskan satu setengah piring, Anda bisa hitung sendiri berapa yang dihabiskan partner saya ini. Sayang tidak ada dokumentasinya untuk kegiatan semalam.
Ngomong-ngomong, selain makanan Jepang ini, saya juga masih penggemar serabi, klepon, pecel lele, dan martabak kok. Hehe.
Aug 20, 2008
Not So Fast 'Fast-Food'
Minggu pagi 17 Agustus kemarin, saya berangkat dari kosan dengan agak tergesa. Saya punya acara jam 9 pagi di Secapa Setiabudhi, tapi sebelumnya saya harus menjemput teman saya di kampus jam setengah 9. Dan sebelumnya lagi saya harus dan butuh sarapan. Oia, dan tak lupa juga harus mengisi bensin juga.
Maka ketika saya melirik waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 7 menit, saya jadi agak panik. Mana tahu Simpang macet. Maklumlah ini hari Minggu dan long weekend pula.
Usai mengisi tangki bensin yang sudah nyaris kosong, saya minta Riko mengarahkan mobil ke McDonalds di Simpang Dago. Supaya cepat saja, demikian pertimbangan saya meskipun saat itu saya tidak terlalu berselera membayangkan cheeseburger nol gizi yang akan menjadi sarapan saya.
Sampai di McD, ternyata di depan kasir sudah ramai dengan segerombolan siswi SMP. Dari 4 atau 5 kasir yang tersedia, hanya 1 line yang buka. Argh!
Setelah beberapa saat celingak-celinguk tidak sabar ke arah petugas yang sedang sibuk menuang es krim ke cone, akhirnya ada petugas lain yang menyadari kehadiran kami dan membuka kasir di sebelah. Cheeseburger, beef burger dan Milo regular. Itu saja pesanan kami.
**
Menurut situs wikipedia:
Rumah makan siap saji (bahasa Inggris: fast food restaurant) adalah rumah makan yang menghidangkan makanan dan minuman dengan cepat, biasanya berupa hamburger atau ayam goreng.
Jadi tidak salah dong kalau saya berharap kecepatan adalah fitur utama dari restoran jenis ini. Gizi jelas bukan hal yang dapat diunggulkan. Rasa, relatif. Kadang saya merasa enak kadang saya merasa eneg akibat keberlimpahan berbagai macam zat dalam sebuah burger. Tempat pun tidak nyaman-nyaman amat. Kursinya kecil, membuat saya tak betah duduk lama-lama. AC juga seringkali dipasang terlalu dingin.
Oh sudahlah, saya sudah mengesampingkan segala pertimbangan gizi, rasa dan tempat. Saya hanya ingin cepat-cepat mengisi perut.
**
“Cheese dan beef nya nanti diantar ya Mbak”, demikian kata si petugas. Argh! (lagi)
Saya tak punya pilihan lain kecuali duduk menunggu makanan saya diantar di restoran cepat saji.
Saya ingat, dulu McD pernah punya jam pasir yang diletakkan di kasir-kasirnya. Kira-kira begini pesannya:
"Balikkan jam pasirnya, bila sampai bagian atas jam pasir kosong (yaitu selama 1 menit) makanan Anda belum siap maka Anda akan mendapat es krim cone sebagai kompensasinya."
Kemana ya program itu sekarang?
Apa McD merugi karena terlalu banyak memberi es krim cone gratis kepada pengunjungnya?
Maka ketika saya melirik waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 7 menit, saya jadi agak panik. Mana tahu Simpang macet. Maklumlah ini hari Minggu dan long weekend pula.
Usai mengisi tangki bensin yang sudah nyaris kosong, saya minta Riko mengarahkan mobil ke McDonalds di Simpang Dago. Supaya cepat saja, demikian pertimbangan saya meskipun saat itu saya tidak terlalu berselera membayangkan cheeseburger nol gizi yang akan menjadi sarapan saya.
Sampai di McD, ternyata di depan kasir sudah ramai dengan segerombolan siswi SMP. Dari 4 atau 5 kasir yang tersedia, hanya 1 line yang buka. Argh!
Setelah beberapa saat celingak-celinguk tidak sabar ke arah petugas yang sedang sibuk menuang es krim ke cone, akhirnya ada petugas lain yang menyadari kehadiran kami dan membuka kasir di sebelah. Cheeseburger, beef burger dan Milo regular. Itu saja pesanan kami.
**
Menurut situs wikipedia:
Rumah makan siap saji (bahasa Inggris: fast food restaurant) adalah rumah makan yang menghidangkan makanan dan minuman dengan cepat, biasanya berupa hamburger atau ayam goreng.
Jadi tidak salah dong kalau saya berharap kecepatan adalah fitur utama dari restoran jenis ini. Gizi jelas bukan hal yang dapat diunggulkan. Rasa, relatif. Kadang saya merasa enak kadang saya merasa eneg akibat keberlimpahan berbagai macam zat dalam sebuah burger. Tempat pun tidak nyaman-nyaman amat. Kursinya kecil, membuat saya tak betah duduk lama-lama. AC juga seringkali dipasang terlalu dingin.
Oh sudahlah, saya sudah mengesampingkan segala pertimbangan gizi, rasa dan tempat. Saya hanya ingin cepat-cepat mengisi perut.
**
“Cheese dan beef nya nanti diantar ya Mbak”, demikian kata si petugas. Argh! (lagi)
Saya tak punya pilihan lain kecuali duduk menunggu makanan saya diantar di restoran cepat saji.
Saya ingat, dulu McD pernah punya jam pasir yang diletakkan di kasir-kasirnya. Kira-kira begini pesannya:
"Balikkan jam pasirnya, bila sampai bagian atas jam pasir kosong (yaitu selama 1 menit) makanan Anda belum siap maka Anda akan mendapat es krim cone sebagai kompensasinya."
Kemana ya program itu sekarang?
Apa McD merugi karena terlalu banyak memberi es krim cone gratis kepada pengunjungnya?
Aug 7, 2008
what a friend can do
Since I was born as the first child in my family, I became the first raising-kids-project of my parents. That's why (I guess), my parents were worrying about many things, especially my Mom. When I was stepping my teen ages, they worried even more (well, that was in my opinion). And sometimes I got furious because they were being so possesive. Well, if I think about that now, I understand that my parents just wanted to proctect me, because they tought I don't know enough about the world. And they were right.
Years later, I found that what my parents forbade me to do are indeed disasters.
Those eras were gone. My parents are not so possesive anymore.
Then, it's my turn. I started to worry about my sister, my brother, my friends, especially closed friends. I warn them if I think that they are going to the wrong direction. I try to protect them from heartache, pain, etc.
Well, they are adult people. Sometimes they listen to me and sometimes the don't. And when they don't, I get worry even more. In Indonesian I would say gemeeeessss sekaliiii.
But, I can be wrong. My opinion may not be the best advice for them. And though I was right, they just won't believe it until they feel it by themselves.
Sometimes, we know what is right, but we just don't want to accept that in our mind. Mostly, because it is too painful. Even though we know that the longer the problem persist, the more pain we will get in the end. But somehow, we just don't have enough courage to face the truth.
I was and perhaps I will be in that position.
Back then, sometimes, for several things, people need to make they own mistakes.
And what a friend can do is... well, just be there when your friend need a midnight call or visit and tell her/him that it's gonna be okay. Because it is.
Conceiving what would be happen if I was right, I prefer to be wrong.
Years later, I found that what my parents forbade me to do are indeed disasters.
Those eras were gone. My parents are not so possesive anymore.
Then, it's my turn. I started to worry about my sister, my brother, my friends, especially closed friends. I warn them if I think that they are going to the wrong direction. I try to protect them from heartache, pain, etc.
Well, they are adult people. Sometimes they listen to me and sometimes the don't. And when they don't, I get worry even more. In Indonesian I would say gemeeeessss sekaliiii.
But, I can be wrong. My opinion may not be the best advice for them. And though I was right, they just won't believe it until they feel it by themselves.
Sometimes, we know what is right, but we just don't want to accept that in our mind. Mostly, because it is too painful. Even though we know that the longer the problem persist, the more pain we will get in the end. But somehow, we just don't have enough courage to face the truth.
I was and perhaps I will be in that position.
Back then, sometimes, for several things, people need to make they own mistakes.
And what a friend can do is... well, just be there when your friend need a midnight call or visit and tell her/him that it's gonna be okay. Because it is.
Conceiving what would be happen if I was right, I prefer to be wrong.
Aug 1, 2008
Mengeluarkan Amarah
Salah satu hal yang sulit saya lakukan sejak dulu: mengeluarkan emosi marah.
Ketika saya katakan 'mengeluarkan', itu karena emosi tersebut ada dan saya rasakan. Namun saya tidak mengerti, tidak bisa menemukan cara yang pas untuk mengekspresikan hal tersebut.
Sering sih saya marah dan mengumpati angkot-angkot di jalan. Tapi ketika berhubungan dengan seseorang yang saya kenal, seorang teman yang bukan sahabat, kelu rasanya lidah ini untuk menghardik. Lain cerita kalau itu sahabat dekat, saya lebih mudah menegurnya.
Ambillah contoh, saya janjian dengan seorang teman. Waktu pertemuan ditentukan olehnya. Mendadak, persis di waktu yang telah disepakati, ia mengabarkan ketidakbisaannya. Untuk alasan, misalkan, nonton film.
Kalau dipikir logis sih ya, saya punya segala alasan di dunia untuk marah. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, bukan saya yang menentukan waktunya. Kedua, pemberitahuan yang dilakukan persis di waktu perjanjian, bukannya 1 atau 2 jam sebelumnya. Ketiga, nonton film woy! Kalau saja alasannya kebelet buang air besar, maka saya akan mengerti.
Jelas saya kesal.
Tapi lagi-lagi, kekesalan itu tidak tahu bagaimana harus saya keluarkan. Yang ada saya hanya diam. Tindakan yang tidak tepat sih kalau menurut saya.
Any suggestion?
Ketika saya katakan 'mengeluarkan', itu karena emosi tersebut ada dan saya rasakan. Namun saya tidak mengerti, tidak bisa menemukan cara yang pas untuk mengekspresikan hal tersebut.
Sering sih saya marah dan mengumpati angkot-angkot di jalan. Tapi ketika berhubungan dengan seseorang yang saya kenal, seorang teman yang bukan sahabat, kelu rasanya lidah ini untuk menghardik. Lain cerita kalau itu sahabat dekat, saya lebih mudah menegurnya.
Ambillah contoh, saya janjian dengan seorang teman. Waktu pertemuan ditentukan olehnya. Mendadak, persis di waktu yang telah disepakati, ia mengabarkan ketidakbisaannya. Untuk alasan, misalkan, nonton film.
Kalau dipikir logis sih ya, saya punya segala alasan di dunia untuk marah. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, bukan saya yang menentukan waktunya. Kedua, pemberitahuan yang dilakukan persis di waktu perjanjian, bukannya 1 atau 2 jam sebelumnya. Ketiga, nonton film woy! Kalau saja alasannya kebelet buang air besar, maka saya akan mengerti.
Jelas saya kesal.
Tapi lagi-lagi, kekesalan itu tidak tahu bagaimana harus saya keluarkan. Yang ada saya hanya diam. Tindakan yang tidak tepat sih kalau menurut saya.
Any suggestion?
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...