Lanjutan dari posting sebelumnya, akhirnya saya memutuskan bahwa saya lebih sayang nyawa daripada waktu. Ketimbang berdempet-dempetan di minibus super penuh yang meliuk-liuk di jalanan pegunungan, saya lebih pilih menunggu sedikit lebih lama di bis yang cukup besar. Paling nggak kalau dua-duanya jatuh, probabilitas saya untuk tewas lebih kecil kalau saya naik bis yang lebih besar.
Naiklah saya dengan semangat 45 ke bis berwarna hijau yang sebelumnya ditunjuk oleh seseorang sebagai bis yang akan menuju Ciwidey.
Waa, bis-nya kosong melompong. Cuma ada saya, supir dan kenek. Saya baru akan duduk di bangku depan ketika si supir bilang, Neng, mau ke Ciwidey?
Iya, A'.
Naiknya bis yang depan. Yang ini masih lama jalannya.
Ehehehe. Pantesan aja kosong...
Hijrahlah saya ke bis depan. Penumpangnya baru ada beberapa orang. Masih leluasa untuk memilih tempat duduk. Saya tambatkan hati pada tempat duduk nomor 3 dari depan, soalnya nggak persis di samping jendela. Kalau persis di samping jendela ntar muka saya kena asap knalpot kendaraan lain dari luar (iyaa, saya centil).
Saya juga pilih duduk di kursi untuk dua orang, bukan tiga orang. Soalnya, kalau duduk di kursi tiga orang, saya khawatir di'jajah' sama dua orang asing lain yang akan duduk di sebelah saya (mana tau kan mereka kenal). Tapi kalau di kursi dua orang, berarti saya vs. 1 orang asing. Jadi imbang. Hehehe. So, kalau Anda bepergian sendirian dengan bis, saya sarankan pilihlah duduk di kursi untuk 2 orang!
Orang asing tersebut ternyata ibu-ibu berjilbab yang tampak baik. Dia bahkan mengajak saya mengobrol. Tapi sayang sayang, kami berbicara dalam bahasa yang berbeda. I wish I had learnt Sundanesse back when I was in college... Jadilah kami diam-diaman saja.
Selain kendala bahasa, sebenarnya saya pun mengantuk sekali sehingga saya tidak benar-benar dalam mood untuk mengobrol.
Setelah menunggu beberapa lama (entah berapa lama persisnya, tapi lamaaaa), akhirnya bis melaju juga. Hore!
Saya sempat melihat plang bertuliskan "Soreang 1x km, Ciwidey 2x km", saya lupa angka satuannya. Ooh, saya pikir, deket kok. 20an kilo itu kan paling kayak dari rumah saya ke Kebagusan, tempat saya KP dulu. Biasanya saya kesana hanya 30 menit pakai mobil.
Setupit. Ini kan bis, nggak mungkinlah mengambil rute terdekat.
Selama perjalanan saya byar-pet-byar-pet alias bangun-merem-bangun-merem. Sekali ketika saya bangun, ibu-ibu yang tadi di sebelah saya sudah pindah ke bangku depan. Kali lain saya bangun, ibu-ibu itu sudah tidak ada, bersama juga sebagian besar penumpang lainnya.
Bis pun masuk ke sebuah terminal.
Soreang Soreang, teriak keneknya.
Saya anteng saja duduk. Ini baru Soreang kok. Saya kan dari bayarnya 5 ribu untuk sampai Ciwidey. Tapi ketika semua penumpang lain turun, saya jadi panik juga.
Bertanyalah saya pada Tukang Cimol yang kebetulan di bangku seberang. Ini ke Ciwidey nggak sih, A'?
Eeh, yang ditanya malah menjawab dengan beler-beler gitu. Dasar ABG labil!
Majulah saya ke depan, bertanya pada si supir. Ini sampai Ciwidey nggak sih A'?
Iya. Ini baru sampe Soreang. Istirahat dulu, nanti baru lanjut ke Ciwidey.
Istirahat dulu?
Kyaa! Maksudnya nunggu bisnya penuh lagi? Kyaa kyaa!
Sebenarnya nggak apa-apa sih menunggu lagi. Toh saya juga nggak dikejar waktu. Tapi males aja.
Ya sudahlah, mau apa lagi. Akhirnya saya menunggu sambil mengSMS teman-teman yang bisa diSMS. Sembari itu, si Tukang Cimol ini nampaknya ingin mengobrol lebih jauh. Di Ciwidey mau kemana Neng?
Aha, benar juga. Saya belum tahu bagaimana caranya dari Ciwidey ke Patuha, tempat keluarga saya menginap. Maka saya pun mengalihkan perhatian saya pada si Tukang Cimol.
Patuha. Tau nggak A' caranya kesana?
Lalu terjadilah diskusi antara saya, Tukang Cimol, dan Tukang Sesuatu. Kesimpulannya, naik angkot koneng. Tapi lalu hasil diskusi diralat, blablabla, hingga akhirnya saya biarkan saja mereka berdebat sementara dalam hati saya sudah berketatapan akan bertanya lebih lanjut pada orang-orang di terminal Ciwidey.
Setelah hampir satu jam, akhirnya bis jalan lagi.
Ketika sampai di perjalanan di daerah perbukitan, akhirnya saya mulai benar-benar menikmati perjalanan ini. Polusi kota sudah berganti dengan udara sejuk pegunungan. Pemandangan chaos jalanan sudah digeser dengan hijaunya pohon-pohon diantara rumah-rumah penduduk.
Sudah berapa lama ya sejak saya ada di suasana seperti ini? Sepertinya sudah lamaaa sekali.
Para penumpang pun tampak akrab satu sama lain. Mungkin mereka sering bertemu di bis, ya?
Saya seperti anak itik kehilangan induk yang nyasar ke kandang bebek. Asing. Nggak matching dengan background.
Ada anak kecil yang jari-jarinya dihias 3 buah cincin, di tangan kanannya bertengger sebuah gelang sementara di kanannya ada 3. Ada ibu-ibu paruh baya yang menawarkan makanannya pada penumpang lain (menawarkannya bukan dalam arti menjual yaa). Menarik deh melihat orang-orang ini.
Akhirnyaaaa, saya sampai di terminal Ciwidey. Ketika saya akan turun, supirnya bilang, mobil ke Patuha udah nggak ada Neng, naik ojek aja.
Eh eh, masa sih?
Mendengar itu, para tukang ojek yang sudah berkerumun di dekat pintu bis langsung berlomba menawarkan jasanya. Saya tahu, dari SMS yang dikirim Mama, jarang terminal Ciwidey ke Patuha kira-kira 9 km. Naik ojek bolehlah, saya pikir.
Berapa A'?, saya tanya pada salah seorang tukang ojek.
50 ribu. Halah. Yang bener aja! Buru-buru saya tinggalkan kerumunan tukang ojek sambil misuh-misuh.
Maun berapa, Neng? tanya si tukang ojek.
10 ribu. Orang cuman 9 kilo kok dari sini!
Yah, nggak dapet, Neng.
Ya udah. Dengan angkuhnya saya pun pergi.
Entah bagaimana caranya saya sampai ke Patuha, tapi yang jelas saya tidak akan membayar 50 ribu untuk itu. Si tukang ojek masih berusaha menawarkan jasanya, tapi saya sudah kebas.
Lalu saya masuk ke salah satu warung di terminal. Satu, untuk menghindari tukang ojek. Dua, soalnya Mama nitip minta dibelikan Pop Mie, roti tawar, susu, dan mie yang banyak (aduh Mama, anaknya udah jauh-jauh dari Bandung bawa-bawa tas gede, masih aja dititipin makanan).
Usai dari warung, eh masih saja tukang-tukang ojek ini menunggu saya.
Mau kemana si Neng?
Patuha.
Patuha perkebunan?
Patuha resort.
Saya tidak tahu apakah Patuha resort dan Patuha perkebunan ini adalah tempat yang sama. Lalu salah satu dari tukang ojek ini ada yang bilang, kalau ke Patuha bisa naik angkot kuning yang ada di depan terminal. Langsunglah saya ngacir ke depan.
Pada kenek angkot saya bertanya, ini ke Patuha nggak A'?
Wah, enggak Neng. Mobil ke Patuha udah abis.
Yahh yahh yahh yahh....
Lalu datanglah sih supir angkot. Neng mau ke Patuha perkebunan apa Patuha hotel?
Patuha hotel!
O, kalo Patuha hotel kita lewat.
Hore!
Usut punya usut, ternyata ada perkebunan yang namanya Patuha, yang letaknya jauuh entah dimana. Itulah mengapa tukang ojek men-charge saya 50 ribu. Aduh saya jadi tak enak hati sudah berburuk sangka pada tukang ojek.
Di angkot baru ada saya seorang. Si supir bilang mau menunggu beberapa penumpang lagi, biar cukup untuk bensinlah. Yaa, paling nggak biar ada 25 ribu lah, katanya.
Haha, nice try! Tapi saya lebih baik menunggu penumpang lain daripada bayar 25 ribu.
Angkot kuning akhirnya jalan. Saya duduk di depan bersama supir. Ternyata yang namanya 9 km dari terminal itu palsu! Mana adaaa.
Setelah kira-kira 20 menit perjalanan, saya tanya pada si supir, masih jauh A'?
Setengah dei.
Uwaaa. Berada di angkot cukup lama, akhirnya saya sadar, kaca spion kiri angkot ini tidak ada. Gantinya, dipasang sebuah cermin yang tampaknya dari tempat bedak muka berukuran sekitar 8x5 cm. Sama sekali tidak memantulkan apapun kecuali badan angkot sendiri. Haha, benar-benar cuma formalitas.
Si supir ini ternyata baik, sehingga saya menyebut dia orang baik ketiga (OBKt). Sesekali ia mengajak saya mengobrol. Tapi lagi-lagi, karena kendala bahasa, saya kebanyakan hanya manggut-manggut saja.
Setelah melewati jalan berliuk-liuk, akhirnya saya diturunkan di depan Patuha Hotel. Oh God!
Saya lihat jam, saat itu pukul setengah 5. Padahal saya off dari Kanayakan sejak pukul 11 pagi. Lima setengah jam perjalanan!
Namun akhirnya saya memang bersenang-senang di Ciwidey dan Kawah Putih. Bagaimanapun, cukuplah sekali saja saya kesana. Kalaupun kapan-kapan kesana lagi, maunya ditebengin mobil orang aja.
PS. I promise to post the pictures later. :)
Dec 28, 2009
Menuju Ciwidey! (1)
Ciwidey!
Akhirnya setelah bertahun-tahun tinggal di Bandung, saya pergi kesana juga. Biarpun awalnya saya ogah-ogahan. Beberapa minggu terakhir ini badan terasa remuk (maksudnya capeee berat), dan saya sedang tidak mood pergi ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi, melalui jalur bis yang belum pernah saya kenal, sendirian, tanpa teman dan tanpa buku bacaan. Di waktu lain menjalani "petualangan" semacam itu mungkin exciting. Tapi untuk saat itu saya hanya: Argh!
Background story dulu. Hari Rabu, saya pergi ke Bandung (Bandung kota tentu saja) karena ada urusan yang mesti dibereskan sebelum musim liburan tiba. Lalu, Kamisnya keluarga saya dan keluarga tante saya berlibur ke Ciwidey. Sebelum pergi ke Bandung, saya sudah janji nih untuk menyusul ke Ciwidey. Janji yang dibuat dengan asumsi bahwa Ciwidey itu dekat-dekat Lembang. Hahaha. Setupit!
(Note for myself: Selalu cek asumsi sebelum berjanji!)
Kemudian, saya bertanya pada Nadya soal keberadaan Ciwidey itu. Yaa, dua jam lah dari Bandung. Jjjjiah. Tentu saja ini dengan menggunakan mobil pribadi.
Aduh, malasnyoo. Apalagi teman-teman SMP saya rencananya (tau kan apa artinya saya meng-italic kata 'rencana'?) mau main ke Bandung. Tapi karena satu dan lain hal (yang akan saya bahas pada post yang berbeda) akhirnya saya membulatkan tekad untuk memenuhi janji yang sudah saya buat.
Here we go.
Berkat info dari temannya sepupu saya, sampailah saya di terminal Ciroyom. Oya, by the way, di tengah jalan Aa' angkot Ciroyom pertama yang saya naiki keder ngeliat macetnya jalan sehingga dia memutuskan the easy irresponsibly way out: putar arah dan meninggalkan saya di jalan. Akhirnya saya harus berdiri di pinggir jalan kira-kira 10 menit sambil membawa tas tenteng besar hingga angkot ke Ciroyom berikutnya lewat.
Kembali ke terminal. Celingak celinguk, saya tak melihat bis jurusan Ciwidey disini. Bertanyalah saya pada Pak Tukang Parkir, orang baik pertama (OBP), kalau mau ke Ciwidey kemana ya Pak?
Bis ke Ciwidey mah adanya di Leuwi Panjang, Neng. Dari sini naik angkot dua kali.
Lalu Bapak OBP ini dengan baiknya menyetopkan angkot buat saya dan mengatakan pada supir angkot dimana saya harus turun. Terimakasih Bapak OBP!
Di dalam angkot hanya ada saya (duduk di belakang, dekat pintu), supir angkot dan seorang lagi yang duduk di depan. Tepat setelah angkot melewati rel kereta api, ada laki-laki melompat (yap, MELOMPAT!) masuk ke bibir pintu angkot. Entah mabok atau kurang waras, laki-laki ini bergumam-gumam tak jelas sambil bertepuk tangan keras keras.
Maksudnya ngamen ya Mas?
Baru juga 5 detik begitu, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya kepada saya. Eh, saya jadi deg-degan. Ngeri deh orang ini. Buru-buru saya keluarkan uang dari saku celana. Huaaa... uangnya 5 ribuan! Enak aja saya kasih situ 5ribu! Lalu saya rogoh-rogoh lagi (dengan agak panik), hingga akhirnya saya menemukan uang 2 ribuan. Aah, masih nggak rela! Saya sudah akan mengobok-obok tas ketika orang ini, entah kenapa padahal dia diam saja sih, terasa lebih mengerikan. Mungkin karena tiba-tiba saya ingat cerita-cerita kriminal di dalam angkot.
Antara 2ribu dan nyawa, saya pilih nyawa. Saya ikhlaskan lah 2 ribu diambil.
Sebenarnya bukan masalah nominal uangnya, tapi masalah orang ini memaksa untuk dikasih uang. Dan saya mau saja dipaksa. Kalau dia sadar bahwa cara pemaksaan ini berhasil mendatangkan uang, kemarin itu tidak akan jadi hari terakhirnya melakukan pemaksaan. Sama seperti penipu yang berhasil menipu, tak akan puas hanya menipu satu kali. Lestarilah orang-orang jahat itu.
Haaah, saya sudah melestarikan seorang pemaksa jalanan! Kalau lain kali dia mengambil tindakan lebih jauh dari kemarin, saya jadi ikut andil di dalamnya.
Pikiran stres tersebut tidak bertahan lama. Karena begitu turun di tempat yang disebut by pass, biarpun saya tidak melihat ada sesuatu yang bisa di-pass, saya sudah celingak-celinguk lagi mencari angkot ke Leuwi Panjang. Setelah bertanya pada ibu-ibu berjilbab, orang baik kedua (OBKd), tahulah saya bahwa ada angkot yang langsung menuju Leuwi Panjang lewat di jalanan itu. OBKd mewanti-wanti untuk melihat benar tulisan di depan angkotnya, cari yang tulisannya Leuwi Panjang ya, angkot disini mirip-mirip.
Sebenarnya tanpa diberitahu pun sudah jelas saya akan melihat dulu tulisannya. Tapi saya hargai niat baiknya. Terimakasih OBKd!
Dengan angkot yang ditunjuk OBKd, akhirnya saya sampai ke Leuwi Panjang. Hanya sekali saya ke terminal Leuwi Panjang sebelum ini, waktu saya naik bis dari Karawang untuk cek mata. Sebenarnya pengalaman naik bis ke Karawang itu juga yang membuat saya PD untuk berkelana sendirian ke Ciwidey. Kalau ke Karawang yang jauh saja gampang, maka masalah ke Ciwidey saja pastilah hanya perkara seujung kuku. Hahaha. Little did I know that those two are not comparable.
Setelah bertanya pada orang-orang terminal, akhirnya saya menemukan bis yang menuju Ciwidey. Melihat tulisan "Ciwidey" saja sudah bikin saya senang.
Ada dua kendaraan yang menuju Ciwidey. Satu adalah bis yang mirip-mirip Metro Mini. Satu adalah minibus yang ukurannya sedikit di bawah Elf-nya X-Trans.
Yang mana sajalah, yang penting cepat, begitu pikir saya. Atas saran seseorang di terminal, saya menuju minibus. Penuhnya lebih cepet jadi lebih cepet jalan, kata orang tersebut. Ha, good point!
Tapi waktu saya mengantri mau masuk. Eh eh eh. Kok kayaknya PENUH amat sih? Saya ragu mobil itu tidak akan oleng ketika meliuk-liuk di pegunungan. Padatnya mirip-mirip ketika saya naik bis ke Purwokerto bersama ikan-ikan dan daging mentah. Pelan-pelan saya pun keluar barisan.
Menuju bis yang lebih besar!
Akhirnya setelah bertahun-tahun tinggal di Bandung, saya pergi kesana juga. Biarpun awalnya saya ogah-ogahan. Beberapa minggu terakhir ini badan terasa remuk (maksudnya capeee berat), dan saya sedang tidak mood pergi ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi, melalui jalur bis yang belum pernah saya kenal, sendirian, tanpa teman dan tanpa buku bacaan. Di waktu lain menjalani "petualangan" semacam itu mungkin exciting. Tapi untuk saat itu saya hanya: Argh!
Background story dulu. Hari Rabu, saya pergi ke Bandung (Bandung kota tentu saja) karena ada urusan yang mesti dibereskan sebelum musim liburan tiba. Lalu, Kamisnya keluarga saya dan keluarga tante saya berlibur ke Ciwidey. Sebelum pergi ke Bandung, saya sudah janji nih untuk menyusul ke Ciwidey. Janji yang dibuat dengan asumsi bahwa Ciwidey itu dekat-dekat Lembang. Hahaha. Setupit!
(Note for myself: Selalu cek asumsi sebelum berjanji!)
Kemudian, saya bertanya pada Nadya soal keberadaan Ciwidey itu. Yaa, dua jam lah dari Bandung. Jjjjiah. Tentu saja ini dengan menggunakan mobil pribadi.
Aduh, malasnyoo. Apalagi teman-teman SMP saya rencananya (tau kan apa artinya saya meng-italic kata 'rencana'?) mau main ke Bandung. Tapi karena satu dan lain hal (yang akan saya bahas pada post yang berbeda) akhirnya saya membulatkan tekad untuk memenuhi janji yang sudah saya buat.
Here we go.
Berkat info dari temannya sepupu saya, sampailah saya di terminal Ciroyom. Oya, by the way, di tengah jalan Aa' angkot Ciroyom pertama yang saya naiki keder ngeliat macetnya jalan sehingga dia memutuskan the easy irresponsibly way out: putar arah dan meninggalkan saya di jalan. Akhirnya saya harus berdiri di pinggir jalan kira-kira 10 menit sambil membawa tas tenteng besar hingga angkot ke Ciroyom berikutnya lewat.
Kembali ke terminal. Celingak celinguk, saya tak melihat bis jurusan Ciwidey disini. Bertanyalah saya pada Pak Tukang Parkir, orang baik pertama (OBP), kalau mau ke Ciwidey kemana ya Pak?
Bis ke Ciwidey mah adanya di Leuwi Panjang, Neng. Dari sini naik angkot dua kali.
Lalu Bapak OBP ini dengan baiknya menyetopkan angkot buat saya dan mengatakan pada supir angkot dimana saya harus turun. Terimakasih Bapak OBP!
Di dalam angkot hanya ada saya (duduk di belakang, dekat pintu), supir angkot dan seorang lagi yang duduk di depan. Tepat setelah angkot melewati rel kereta api, ada laki-laki melompat (yap, MELOMPAT!) masuk ke bibir pintu angkot. Entah mabok atau kurang waras, laki-laki ini bergumam-gumam tak jelas sambil bertepuk tangan keras keras.
Maksudnya ngamen ya Mas?
Baru juga 5 detik begitu, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya kepada saya. Eh, saya jadi deg-degan. Ngeri deh orang ini. Buru-buru saya keluarkan uang dari saku celana. Huaaa... uangnya 5 ribuan! Enak aja saya kasih situ 5ribu! Lalu saya rogoh-rogoh lagi (dengan agak panik), hingga akhirnya saya menemukan uang 2 ribuan. Aah, masih nggak rela! Saya sudah akan mengobok-obok tas ketika orang ini, entah kenapa padahal dia diam saja sih, terasa lebih mengerikan. Mungkin karena tiba-tiba saya ingat cerita-cerita kriminal di dalam angkot.
Antara 2ribu dan nyawa, saya pilih nyawa. Saya ikhlaskan lah 2 ribu diambil.
Sebenarnya bukan masalah nominal uangnya, tapi masalah orang ini memaksa untuk dikasih uang. Dan saya mau saja dipaksa. Kalau dia sadar bahwa cara pemaksaan ini berhasil mendatangkan uang, kemarin itu tidak akan jadi hari terakhirnya melakukan pemaksaan. Sama seperti penipu yang berhasil menipu, tak akan puas hanya menipu satu kali. Lestarilah orang-orang jahat itu.
Haaah, saya sudah melestarikan seorang pemaksa jalanan! Kalau lain kali dia mengambil tindakan lebih jauh dari kemarin, saya jadi ikut andil di dalamnya.
Pikiran stres tersebut tidak bertahan lama. Karena begitu turun di tempat yang disebut by pass, biarpun saya tidak melihat ada sesuatu yang bisa di-pass, saya sudah celingak-celinguk lagi mencari angkot ke Leuwi Panjang. Setelah bertanya pada ibu-ibu berjilbab, orang baik kedua (OBKd), tahulah saya bahwa ada angkot yang langsung menuju Leuwi Panjang lewat di jalanan itu. OBKd mewanti-wanti untuk melihat benar tulisan di depan angkotnya, cari yang tulisannya Leuwi Panjang ya, angkot disini mirip-mirip.
Sebenarnya tanpa diberitahu pun sudah jelas saya akan melihat dulu tulisannya. Tapi saya hargai niat baiknya. Terimakasih OBKd!
Dengan angkot yang ditunjuk OBKd, akhirnya saya sampai ke Leuwi Panjang. Hanya sekali saya ke terminal Leuwi Panjang sebelum ini, waktu saya naik bis dari Karawang untuk cek mata. Sebenarnya pengalaman naik bis ke Karawang itu juga yang membuat saya PD untuk berkelana sendirian ke Ciwidey. Kalau ke Karawang yang jauh saja gampang, maka masalah ke Ciwidey saja pastilah hanya perkara seujung kuku. Hahaha. Little did I know that those two are not comparable.
Setelah bertanya pada orang-orang terminal, akhirnya saya menemukan bis yang menuju Ciwidey. Melihat tulisan "Ciwidey" saja sudah bikin saya senang.
Ada dua kendaraan yang menuju Ciwidey. Satu adalah bis yang mirip-mirip Metro Mini. Satu adalah minibus yang ukurannya sedikit di bawah Elf-nya X-Trans.
Yang mana sajalah, yang penting cepat, begitu pikir saya. Atas saran seseorang di terminal, saya menuju minibus. Penuhnya lebih cepet jadi lebih cepet jalan, kata orang tersebut. Ha, good point!
Tapi waktu saya mengantri mau masuk. Eh eh eh. Kok kayaknya PENUH amat sih? Saya ragu mobil itu tidak akan oleng ketika meliuk-liuk di pegunungan. Padatnya mirip-mirip ketika saya naik bis ke Purwokerto bersama ikan-ikan dan daging mentah. Pelan-pelan saya pun keluar barisan.
Menuju bis yang lebih besar!
Dec 21, 2009
Blurry Line
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcycle horned me. It almost bumped itself to my car. I horned it back, automatically. The driver gave me "the look" which I gave back to him. Then for a moment I got upset.
After a few moments, I played back the incident. It suddenly hit me that, hey, it wasn't the motorcycle's fault anyway. I was the one who swerved abruptly. Why did I do that?
The taxi! It stopped right in front of me with its four wheels still on the road. it didn't even try to pull over.
I could put the blame on the taxi driver, but the fact was I let him did that. I didn't even notice that what he was doing is wrong.
It happens every time anyway. Especially in Jakarta. I have seen it too often and I have noticed that, in the end, people get used to it and learn to tolerate that kind of behavior. Some even mimic it.
When something wrong becomes public behavior, at some point, it starts to be seen like it is the right one. Or at least, a not so wrong behavior.
You've experienced it too, haven't you?
Cheating, for instance, is a wrong behavior that has become a not-so-wrong one because most students do that. To fight against it sometimes even considered as a not-so-cool act. I am not saying that I have never cheated in my entire life. No, I did cheat (in exams) even though I know that cheating is wrong and no cool at all. Maybe only about 3 or 4 times during college, but still...
Cheating is the simplest example. There are a lot of other actions which we have tolerate even though we know they are wrong or against (what we once said as) our lives values. Oh dear, world offers too many temptations, doesn't it? And when (almost) everyone else does the same wrong things, why don't we?
The line is getting blurry as more people accross to the other side. At some point, it is no longer about right or wrong, it is about the majority and the minority. And we all know it has never been easier being the minority.
I, personally, feel safe by join the majority. However, I do hate compromising my values. I hate when that little voice inside me nags about how I should have follow my conscience. And I really hate when I feel like I have traded my dignity for some shallow acknowledgement as if I have only little appreciation for myself. Frankly, sometimes it feels like being other people biatch.
Ignore your conscience, and you will have our approvals.
Forget about your values, and we will think that you're cool.
Compromise your integrity, and you can join us.
A person without conscience, values and integrity? Gee...
At that point, being in the majority doesn't feel fine at all.
Still, sometimes I find myself accross to the other side. It has never been easier, indeed. Ralph Waldo Emerson couldn't be more right about this: "To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment."
After a few moments, I played back the incident. It suddenly hit me that, hey, it wasn't the motorcycle's fault anyway. I was the one who swerved abruptly. Why did I do that?
The taxi! It stopped right in front of me with its four wheels still on the road. it didn't even try to pull over.
I could put the blame on the taxi driver, but the fact was I let him did that. I didn't even notice that what he was doing is wrong.
It happens every time anyway. Especially in Jakarta. I have seen it too often and I have noticed that, in the end, people get used to it and learn to tolerate that kind of behavior. Some even mimic it.
When something wrong becomes public behavior, at some point, it starts to be seen like it is the right one. Or at least, a not so wrong behavior.
You've experienced it too, haven't you?
Cheating, for instance, is a wrong behavior that has become a not-so-wrong one because most students do that. To fight against it sometimes even considered as a not-so-cool act. I am not saying that I have never cheated in my entire life. No, I did cheat (in exams) even though I know that cheating is wrong and no cool at all. Maybe only about 3 or 4 times during college, but still...
Cheating is the simplest example. There are a lot of other actions which we have tolerate even though we know they are wrong or against (what we once said as) our lives values. Oh dear, world offers too many temptations, doesn't it? And when (almost) everyone else does the same wrong things, why don't we?
The line is getting blurry as more people accross to the other side. At some point, it is no longer about right or wrong, it is about the majority and the minority. And we all know it has never been easier being the minority.
I, personally, feel safe by join the majority. However, I do hate compromising my values. I hate when that little voice inside me nags about how I should have follow my conscience. And I really hate when I feel like I have traded my dignity for some shallow acknowledgement as if I have only little appreciation for myself. Frankly, sometimes it feels like being other people biatch.
Ignore your conscience, and you will have our approvals.
Forget about your values, and we will think that you're cool.
Compromise your integrity, and you can join us.
A person without conscience, values and integrity? Gee...
At that point, being in the majority doesn't feel fine at all.
Still, sometimes I find myself accross to the other side. It has never been easier, indeed. Ralph Waldo Emerson couldn't be more right about this: "To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment."
Dec 20, 2009
$50,000
So, Beni is home now.
This evening we watched "Are You Smarter Than A 5th Grader" on TV. Then there was a moment when the contestant succeeded answer the $50,000 question correctly.
"Waaa... Berhasil ya dia?", Beni asked.
"Iya." Asked and answered.
"Dapet berapa Mbak Yasmin?", he asked again.
"50 ribu dollar. Banyak ya?". FYI, Beni understands that dollar has more value than rupiah. He even awares that 1 dollar aproximately equals to 10,000 rupiahs. What a smart boy, isn't he?
"Waa... Banyak sekali.. Berarti dapet.. hmm.. hmm..", he tried to multiply 50,000 to 10,000. Well, I said he's smart, not Einstein. So I cut the process.
"50,000 dollar itu 500 juta rupiah, Ben."
"Banyaaak sekaliiii. Bisa beli... beli..", I expected him to say car since he has huge interest in it. Instead, he said, "KERBAU".
Well, in my defense for him (siblings look after each other, rite??), he once watched on the news that there was a KERBAU cost Rp 500,000,000.
But still, from all the things in the world he can buy with $50,000, I don't know why he chose KERBAU.
Haha, there is no plain day when Beni's home, indeed.
This evening we watched "Are You Smarter Than A 5th Grader" on TV. Then there was a moment when the contestant succeeded answer the $50,000 question correctly.
"Waaa... Berhasil ya dia?", Beni asked.
"Iya." Asked and answered.
"Dapet berapa Mbak Yasmin?", he asked again.
"50 ribu dollar. Banyak ya?". FYI, Beni understands that dollar has more value than rupiah. He even awares that 1 dollar aproximately equals to 10,000 rupiahs. What a smart boy, isn't he?
"Waa... Banyak sekali.. Berarti dapet.. hmm.. hmm..", he tried to multiply 50,000 to 10,000. Well, I said he's smart, not Einstein. So I cut the process.
"50,000 dollar itu 500 juta rupiah, Ben."
"Banyaaak sekaliiii. Bisa beli... beli..", I expected him to say car since he has huge interest in it. Instead, he said, "KERBAU".
Well, in my defense for him (siblings look after each other, rite??), he once watched on the news that there was a KERBAU cost Rp 500,000,000.
But still, from all the things in the world he can buy with $50,000, I don't know why he chose KERBAU.
Haha, there is no plain day when Beni's home, indeed.
Dec 19, 2009
Being Left
Empat setengah tahun ngekos di Bandung memang bukan waktu yang lama. Tapi setidaknya, saya lebih terbiasa untuk hidup sendiri, bahkan banyak saat-saat saya menikmati kesendirian dan perasaan merdeka, bila tidak bisa dibilang mandiri, itu.
Sudah lama sekali saya tidak lagi merasa sedih kalau harus pergi dari rumah. Tapi kalau posisinya terbalik, tidak demikian.
Posisi terbalik maksudnya adalah saya sebagai pihak yang ditinggalkan. Ketika dulu keluarga saya berkunjung ke Bandung misalnya, tiap kali menatap mobil mereka pergi saya tidak bisa mengelak dari perasaan kehilangan dan, kadang, sedih. Apa ya? Mungkin memang sifat alamiah manusia begitu? Mungkin saya tidak suka berada dalam posisi yang tidak memegang kendali?
Tidak tahu.
Dua hari kemarin Beni mendapat undangan menginap selama long weekend ini di rumah sepupu saya. Tanpa tedeng aling-aling, tentulah langsung dia iyakan. Memang Beni termasuk berani kalau soal beginian. Dia bukan anak cengeng yang nempel terus pada keluarganya.
Satu jam setelah diundang via telepon, Beni sudah siap untuk dijemput.
Lalu, saya merasa dihinggapi rasa kehilangan yang familiar itu lagi.
Apalagi melihatnya sudah berganti baju rapi dengan memanggul ransel birunya. Beni kelihatan excited sekali mau pergi. Sementara saya merasa... mellow.
"Yaah, nanti Mbak Yasmin kesepian deh." Ujar saya, merajuk.
"Nanti Mbak Yasmin telepon aku aja." Ia berusaha menghibur. Matanya sedikit membulat.
"Okee. Ayo sini peluk duluuu...". Lalu Beni pun memeluk saya.
"Mbak Yasmin mainin The Sims-ku aja biar ga kesepian." Haha. Boleh juga anak ini. Saya jadi terharuuu.
"Bener yaa."
"Iya. Tapi orang-orang ku mood-nya udah merah semua. Aku kan jadi bingung kalo maininnya. Mbak Yasmin mainin ya sampe bagus lagi."
Yeee... Kirain doi beneran care sama sini.
Sudah lama sekali saya tidak lagi merasa sedih kalau harus pergi dari rumah. Tapi kalau posisinya terbalik, tidak demikian.
Posisi terbalik maksudnya adalah saya sebagai pihak yang ditinggalkan. Ketika dulu keluarga saya berkunjung ke Bandung misalnya, tiap kali menatap mobil mereka pergi saya tidak bisa mengelak dari perasaan kehilangan dan, kadang, sedih. Apa ya? Mungkin memang sifat alamiah manusia begitu? Mungkin saya tidak suka berada dalam posisi yang tidak memegang kendali?
Tidak tahu.
Dua hari kemarin Beni mendapat undangan menginap selama long weekend ini di rumah sepupu saya. Tanpa tedeng aling-aling, tentulah langsung dia iyakan. Memang Beni termasuk berani kalau soal beginian. Dia bukan anak cengeng yang nempel terus pada keluarganya.
Satu jam setelah diundang via telepon, Beni sudah siap untuk dijemput.
Lalu, saya merasa dihinggapi rasa kehilangan yang familiar itu lagi.
Apalagi melihatnya sudah berganti baju rapi dengan memanggul ransel birunya. Beni kelihatan excited sekali mau pergi. Sementara saya merasa... mellow.
"Yaah, nanti Mbak Yasmin kesepian deh." Ujar saya, merajuk.
"Nanti Mbak Yasmin telepon aku aja." Ia berusaha menghibur. Matanya sedikit membulat.
"Okee. Ayo sini peluk duluuu...". Lalu Beni pun memeluk saya.
"Mbak Yasmin mainin The Sims-ku aja biar ga kesepian." Haha. Boleh juga anak ini. Saya jadi terharuuu.
"Bener yaa."
"Iya. Tapi orang-orang ku mood-nya udah merah semua. Aku kan jadi bingung kalo maininnya. Mbak Yasmin mainin ya sampe bagus lagi."
Yeee... Kirain doi beneran care sama sini.
Dec 16, 2009
Sneeze!
The worst thing about sneeze is not its annoying earsplitting repeteadly sound.
No, that is not it.
The worst thing is the fact that I can't blame sneezing people for the sound.
No, that is not it.
The worst thing is the fact that I can't blame sneezing people for the sound.
Undomestic Goddes
Membaca Undomestic Goddes tidak bisa tidak membuat saya tertawa geli. Untuk satu alasan, Samantha Sweeting, tokoh utama dalam buku ini, entah mengapa mengingatkan saya pada salah seorang sahabat (saya tidak bilang mirip lho yaa..). Alasan lain, well, gaya bercerita Sophie Kinsella yang konyol dan segar memang selalu sukses menghibur saya.
Samantha adalah seorang pengacara korporat papan atas. IQ-nya 158 (aha, ini mungkin sebabnya tokoh ini mengingatkan saya pada teman di atas), menempatkannya dia ambang batas jenius.Ia baru berumur 29 tahun tapi sudah diangkat menjadi partner di Carter Spink, salah satu firma hukum papan atas. Pokoknya kariernya mantap lah.
Samantha adalah workaholic akut yang tidak bisa berpisah dengan BlackBerry-nya selama lebih dari 30 detik (konon, banyak yang terjadi dalam 30 detik). Sementara ia adalah seorang bintang di kantornya, apartemennya terbengkalai tak terurus. Samantha bahkan punya segudang peralatan dapur canggih yang belum pernah digunakan karena ia tak punya waktu belajar bagaimana cara menyalakannya.
Kurang lebih, Samantha memang cerminan manusia modern jaman sekarang. Ia sangat terpaku pada kariernya dan melupakan hal-hal lain di hidupnya. Kerja dan karier adalah alasan ia menjalani hidup. Maka ketika karier tersebut hancur, hilanglah pijakan Samantha. Mendadak hidupnya tak bertujuan.
Frustasi, ia naik kereta tak tentu arah hingga berakhir di rumah pasangan Geiger yang salah mengiranya sebagai pembantu rumah tangga mereka yang baru! Disinilah cerita bergulir semakin konyol dan seru. Disini pula Samantha bertemu Nathaniel dan ibunya, Trish, yang membantunya membangun hidup kembali.
Kinsella seolah ingin mengatakan bahwa hidup tak melulu tentang satu hal. Tak melulu soal karier atau uang atau pacar. Karena bila kita terpaku terlalu dalam pada satu hal saja, ketika pegangan tersebut hilang, ia akan membawa serta alasan kita hidup.
Buku ini juga menyiratkan bahwa tidak pernah terlambat untuk mengatur ulang hidup. Samantha yang 29 tahun saja masih merasa ia bisa hidup sebagai apa pun yang dia mau, dimana pun ia ingin tinggal, kemana pun dia ingin menuju. Life has unlimited possibilities to offer.
Singkat cerita, buku ini mengingatkan kembali kalau saya masih sangat sangat muda. Hahaha.
Dec 13, 2009
He's Just Not That Into You
Pada dasarnya, saya bukan orang yang gemar membaca buku-buku self-help. Entah mengapa, tapi yang jelas saya lebih suka buku fiksi.
Pertama saya tahu tentang buku He's Just Not That Into You adalah dari Batari. Beberapa tahun lalu, pernah ada satu masa dimana Bat heboh-heboh ingin membaca buku ini. Katanya dia tahu buku ini dari serial Sex & The City. Entah Bat jadi membaca atau tidak, tapi sejak itulah awal mula saya tahu perihal buku ini.
Beberapa bulan kemarin saya dan Ebi menemukan buku terjemahannya (diberi judul yang lumayan norak: Cintakah Dia Padaku?) di Pasaraya Manggarai. Membaca sinopsis belakangnya memang cukup menarik. Kami pun memutuskan untuk menginvestasikan buku ini, dan satu buku yang lain dari penulis yang sama, sebagai properti ReadingWalk.
Buku hasil kerjasama Greg Behrendt dan Liz Tuccillo ini ternyata lumayan menarik. Bahasanya mengalir hingga saya selesai membacanya kurang dari 1 hari saja. Diselipi joke disana-sini membuat materi buku ini terasa segar. Memang sih, versi aslinya saya rasa lebih bagus lagi, tapi versi terjemahan ini juga tidak jelek kok. Ketika membaca buku non-fiksi, biasanya saya tidak mulai membaca dari halaman 1 hingga akhir, tapi lompat-lompat sesuai judul bab yang saya rasa menarik.
Isu yang diangkat buku ini sebenarnya sudah sangat familiar dengan banyak orang. Pastilah Anda atau teman Anda, pernah yang bermasalah dengan ketidakjelasan orang yang ditaksirnya. Buku ini mencakup beberapa masalah yang mungkin pernah Anda alami, seperti ketika orang yang Anda taksir berat rasa-rasanya sih menanggapi perasaan Anda atau bahkan bilang suka pada Anda, tapi:
Dia nggak pernah mengajak nge-date.
Dia nggak menelepon.
Dia selingkuh.
Dia nggak mau ber-in-a-relationship.
Dia menghilang.
...Dan beberapa hal lain.
Pada buku ini, Behrendt & Tuccillo bertindak seolah mereka adalah teman Anda who slap your face and tell you the fact you've been avoiding to admit: he/she is not that into you. Behrendt & Tuccillo bahkan telah mengantisipasi beberapa excuse yang Anda mungkin buat untuk membela your loved ones, seperti: dia kan sibuk, dia kan punya banyak urusan lain, dia kan baru patah hati, dll. Intinya adalah, yang saya tangkap dari buku ini, kalau seseorang benar-benar into you, dia akan selalu berusaha membuat Anda tahu bahwa Anda disayangi.
Salah satu bagian yang paling saya suka dari buku ini adalah paragraf berikut:
Yang bisa saya lakukan adalah melukiskan apa yang tidak akan Anda temui bila Anda berpacaran dengan pria yang benar-benar serius dengan Anda: Anda tidak akan pernah melihat diri Anda memelototi telepon, berharap-harap agar benda itu berdering, Anda tidak akan pernah melihat diri Anda mengacaukan acara malam hari bersama teman-teman karena Anda mengecek pesan telepon tiap 15 detik sekali. Anda tidak akan pernah melihat Anda membenci diri sendiri karena telah meneleponnya padahal tahu bahwa Anda tidak usah melakukannya.
Meskipun ada beberapa hal yang saya kurang setuju di dalam buku ini, tapi saya rasa buku ini layak baca. Paling tidak untuk hiburan, karena di setiap bab ada 2-3 cerita tentang persoalan hubungan ini yang kemudian ditanggapi Behrendt dengan gayanya yang kocak sekaligus sinis. Percaya atau tidaknya Anda pada nasihat-nasihat Behrendt & Tuccillo, itu sih terserah saja.
Dec 7, 2009
Kiddo!
3 Menit
"Udah 3 menit belom?"
Maksudnya Pop Mie yang baru sekitar setengah menit lalu di'rendam' air panas.
"Belom"
1 menit kemudian.. "Udah belom?"
Matanya yang kecil membulat seadanya.
"Beloooooom". Rewel.
1,5 menit kemudian.. "Udah belom? Udah 3 menit?"
"Belooom! 1 menit aja belom!"
Bohong sih. Hehe. "Nanti deh Mbak Yasmin kasih tau kalo udah 3 menit!"
Diamlah dia untuk beberapa saat.
"Ini tuh di tunggu 3 menit apa 30 menit sih, Mbak Yasmiiiiin??"
***
Sibuk
"Ben, kamu mau pake laptopnya?"
"Ehm... boleh sih..." *berguman-gumam nggak jelas.*
"Mau pake ga?"
"Yaa, kalo aku ada waktu aku mau pake"
????????!!!
"Kamu ada waktu ga sekarang?"
"Yaa, banyak sih..."
Beniiiiii......
Subscribe to:
Posts (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...