Pertama kali saya pindah ke Jakarta itu tahun 1993. Waktu itu saya kelas 2 SD. Kalau dihitung-hitung berarti sudah hampir 20 tahun saya di kota ini (yaiks, I am old!). Sejak kecil saya selalu berpikir bahwa nantinya ketika saya sudah dewasa dan mulai membangun karir serta keluarga, ya saya akan tetap di kota ini. Dan kenapa tidak, ya kan?
Pertama, Jakarta ini pusatnya perputaran uang. Peluang karir disini jauh lebih banyak daripada di kota lain. Kedua, apapun ada di Jakarta ini. Mal dimana-mana, tempat makan enak di setiap sudut kota, pokoknya segala macam fasilitas ada disini. Ketiga, kualitas pendidikan disini cenderung lebih baik daripada kota lain. Setidaknya pilihan sekolah dari A sampai Z ada. Keempat, orang tua saya disini. Saya bahkan beberapa kali bercerita tentang bagaimana cintanya saya dengan kota ini disini dan disini.
Intinya, tinggal di Jakarta adalah sebuah kepastian dan tidak perlu lagi saya pertanyakan.
...Sampai dua tahun terakhir ini.
Seperti yang pernah saya ceritakan disini, untuk mencapai kantor di Senayan saya butuh menyisihkan waktu kira-kira dua jam di jalan. Lalu dua jam lagi untuk pulang dari Senayan ke rumah. Mungkin karena saya pernah merasakan empat tahun di Bandung, rasanya agak sulit buat saya menerima keadaan ini. Empat jam mameeeeen!!
Sementara orang-orang lain meskipun kesal tapi tampaknya bisa menerima. Suatu kali saya terpikir untuk ngekos saya dekat kantor. Akan tetapi, pertama, harga kosan yang decent di pusat Jakarta itu mahal bo. Kedua, sedih amat sih sampai ngekos. Nanti pulang kantor ga ketemu adik-adik saya dong. Maka pikiran ngekos itu saya bubarkan.
Nah itu weekdays nya. Tapi siksaan kemacetan yang sesungguhnya adalah pada akhir minggu terutama Jumat malam dan Sabtu malam. Catat!
Di Jumat malam, waktu perjalanan bisa sampai tiga sampai tiga setengah jam.
Semakin saya pikirkan rasanya semakin tidak mungkin buat saya untuk tetap tinggal disini. Entahlah bagaimana orang-orang lain yang bisa bertahan hidup di Jakarta dengan pola hidup seperti itu. Ibu saya termasuk orang yang senang bertahan di Jakarta, tapi itu karena tempat kerjanya ke arah Bekasi dan Halim paling pol juga satu setengah jam. Kalau normal kurang dari satu jam.
Pada orang-orang yang seperti saya dulu, saya bertanya-tanya apakah Anda yakin yang Anda jalani sekarang ini adalah hidup yang baik? Apa iya tidak ada alternatif yang lebih baik di kota lain?
Saya sih sudah menyerah. Tak mau saya selamanya terjebak di kota ini. Dan ketika saya memutuskan ini, saya menemukan ada kota-kota lain di luar Jakarta yang sebenarnya potensial.
Solo, misalnya. Ini adalah kota asal Ibu saya maka saya sudah cukup familiar dengan kota ini. Paling tidak setahun sekali saya mudik kesana. Solo beberapa tahun terakhir ini semakin menjanjikan. Kotanya masih kultural, tapi kalau Anda jalan-jalan bisa dilihat ada banyak usaha-usaha kecil dan besar yang berkembang. Kotanya pun cukup tertib dengan jalan utama yang cukup besar. Terakhir saya kesana lebaran tahun lalu, saya jadi makin jatuh cinta.
Persis di seberang hotel tempat saya menginap, Best Western, ada yang namanya PGS (mungkin kepanjangan dari Pusat Grosir Solo). Di PGS ini isinya mirip ITC tapi yang dijual batik. Dari hasil bertanya-tanya, sebagian batik-batik ini dibuat di workshop-workshop yang ada di sekitar Solo. PGS hanya buka sampai sore, karena malamnya, di bagian luarnya dijadikan semacam pusat lesehan, dimana berbagai macam masakan khas bisa ditemukan.
Oh ya, Solo juga punya bandara international, yang artinya kota ini terbuka dari mancanegara.
Lalu ada juga Yogya. Saya menghabiskan 7 tahun pertama hidup saya di kota ini. Dulu sih seingat saya kotanya dingin sekali, apalagi saya tinggal di Kaliurang km 6,6. Sekarang sudah tidak sedingin dulu dan sudah lebih ramai oleh, terutama, motor. Bagusnya kota ini juga punya bandara international dan sudah lebih berkembang kalau dibandingkan Solo. Di kota ini juga ada UGM yang menyediakan fasilitas pendidikan yang baik.
Dan tentu ada Bandung. Tidak ada bandara international disini, tapi untungnya dia tidak jauh dari Jakarta. Biaya hidup di Bandung ini sayangnya lebih tinggi daripada di Solo atau Yogya tapi untuk tempat-tempat hiburan modern memang lebih banyak disini. Lalu ada ITB dan Unpad untuk alternatif tempat pendidikan. Yang saya khawatirkan hanya kepadatannya. Akhir-akhir ini sepertinya tingkat kepadatan di Bandung makin meninggi. Saya tidak yakin 25 tahun dari sekarang Bandung tidak akan menjadi seperti Jakarta.
Selain tiga kota tadi, rasanya masih banyak yang lain yang belum saya tilik. Intinya, kehidupan tidak hanya berputar di Jakarta. Mungkin tinggal di Jakarta berarti penghasilan lebih besar, tapi toh pengeluaran juga lebih besar, dan yang paling penting, waktu yang terbuang di jalan juga lebih besar. Uang bisa dicari tapi kalau waktu dimana bisa dibeli?
Ralat.
Bandara di Bandung itu international juga ternyata. Thanks to Bat untuk ralatnya :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
The Other Blog
Dear all, This blog is not going to be updated often as I have created another one at www.floresianay.wordpress.com which will be focusi...
-
Have you ever watched kids On a merry-go-round? Or listened to the rain Slapping on the ground? Ever followed a butterfly's erratic flig...
-
This afternoon, I was driving on Kalimalang road when a taxi in front of me suddenly stop. Naturally, I swerved to the right. Then a motorcy...
-
[...karena satu dan lain hal, selama liburan ini gue ga bisa dihubungin lewat hp. maaf ya, buat sms2 lebaran yang ga akan terkirim...] here&...
Tapi tinggal di kota yang lebih kecil, ada konsekuensinya juga ya Min. Tidak banyak pilihan, baik hiburan, pekerjaan.
ReplyDeleteTapi kalau disuruh milih antara macet Jakarta dan kekurangan pilihan, i prefer the latter. Like you said, macet Jakarta kejam mameeeen.
Eh, bandara Husein Sastranegara di Bandung bandara internasional kok, Min.
@bat: betul Bat, pilihannya kurang. Tapi kebanyakan pilihan kalo ga dipake buat apa juga. Hoho, international toh bandara itu. Baiklah segera diralat!
ReplyDeleteSurabaya, min.. Tapi puanaassssnya minta ampun.. cuma sekarang banyak pohon.. lebih banyak daripada Bandung nampaknya..
ReplyDeletealternatif lain.. Denpasar.. hehehe..
Solo ya.. Temen gw asli solo yang pindah ke Jakarta, terus dia bilang "Mbak di Solo gajiku cuma 1, dikit bisa nikmatin hidup banget. makan enak kapanpun mau, nongkrong sampai jam berapa aja berani, nyalon dari ujung kepala sampai kaki tiap bulan rutin. Enak banget. Gitu ke Jakarta, gaji lebih gede tapi ga bisa nikmatin hidup"
ReplyDeleteDuh.. kepencet post comment, iya nih.. Bandung juga mulai macet. Jogja mulai panas. Kayaknya yang asyik solo, atau kalau jogja pilihnya di sleman gitu. Magelang gimana? Bogor?
ReplyDeleteAh ha.. baru mau bilang, Bandara Husein itu Bandara Internasional :p btw, tante gw kan lagi ambil spesialis di Solo, dan kata dia, Solo itu cukup enak klo untuk tempat tinggal, dan kualitas pendidikan jelas cukup bagus.
ReplyDeleteDan Bandung emang sekarang udah padat banget >_< makin lama makin macet. Apalagi sabtu-minggu, itu hibahan penduduk entah dari kota mana, tumpah ruah ke bandung semua (rasanya bukan cuma dari jakarta aja, tp dari subang/tasik/garut jg bejubel). jumlah kendaraan yang makin lama makin banyak,jg minta ampun dah.tapi daripada jakarta, mohon maaf, gw mending di Bandung aja deh :D
Kota lain yang bukan di pulau jawa tapi katanya enak jadi tempat tinggal adalah Medan. meskipun, Medan jg macet sekarang, wkwkwk, tp ndak semacet jakarta/bandung, dan kotanya lebih luas dibanding Bandung :p cuma ya itu.. di pulau sumatra (tp katanya, klo dari Medan, ke Singapur sama malaysia lebih murah :p terus ongkos haji jg klo dari medan lebih murah ketimbang dari daerah lain wkwkwkkw :p)
Bandung bandara internasional. tapi ga punya parkiran motor. *sigh *OOT
ReplyDeletesolo dan makassar. tapi punya usaha sendiri disana, tidak kerja dengan orang lain. peluang jelas besar apalagi makassar yg jd pintu gerbang indonesia timur. . ;)
ReplyDelete