Beberapa orang terlahir sebagai don juan. Sulit menambatkan hati pada satu orang. Punya affair kemana pun mereka pergi. Terlahir untuk diinginkan dan menginginkan... ratusan wanita (atau pria).
Belakangan saya mulai merasa punya kemiripan dengan para don juan. Tapi, bukan dalam hal asmara. Because when it comes to relationship, I am totally a monogamous person. :D
Jadi, (sayangnya) ini bukan tentang asmara. Ini tentang keinginan.
Sedikit flashback, saya ingat dulu ketika buku tahunan SMA saya baru jadi dan saya membaca-baca isinya, ada satu hal yang kemudian terlintas di kepala saya:
what the heck have I been doing all this time?Saya menemukan satu foto saya di bagian ekskul, di bawah judul ZOOM 81. Itu adalah ekskul fotografi yang dengan aktif saya ikuti selama SMA. Tentu saja bukan itu masalahnya.
Masalahnya, saya menemukan foto beberapa teman dekat saya yang juga anak ZOOM ternyata turut bergabung di foto ekskul-ekskul lain.
Pertanyaan diatas pun mulai muncul di kepala. Saya coba ingat-ingat apa yang saya lakukan selama tiga tahun di SMA dan apa yang teman-teman saya lakukan.
Salah seorang sahabat saya punya prestasi akademik yang cukup
outstanding. Saya? Setelah berhasil meraih rangking pertama di kelas satu, grafik prestasi saya menurun seperti seluncuran di Gelanggang Samudera Ancol. Tidak ada yang
outstanding dalam prestasi akademik saya.
Beberapa teman tergabung dalam dua atau lebih kegiatan. Ada yang mendirikan ekskul baru, ada yang jadi Paskibraka, ada yang jadi pengurus OSIS. Mereka semua punya sesuatu yang lebih dari yang lain. Lebih dari saya, yang jelas.
Lalu saya ingat-ingat lebih ke belakang lagi. Mulai SD saya sudah mulai belajar menjadi a quitter. Saya berhenti belajar organ, saya berhenti les menggambar, saya keluar dari ekskul saya ketika SMP, dst. Basically, I was a quitter.
Well, pendeknya, 6 tahun lalu, ketika memandangi buku tahunan SMA, mendadak saya merasa telah menyia-nyiakan hidup. Bukannya masa SMA saya tidak menyenangkan lho, karena masa SMA saya sebenarnya benar-benar menyenangkan (telalu banyak kata
benar pada kalimat ini ya?). Hanya saja saya jadi banyak berpikir
what if?What if I had not quit that? What if I had worked on that a little bit harder? What if I had taken that chance? etc.Saya kira mulanya dari situ hingga kemudian saya berusaha untuk mengambil sebanyak mungkin yang bisa saya dapat. At some point, saya jadi greedy, tidak puas dengan satu dunia, tidak puas dengan satu tujuan saja.
Saya ingin menjadi banyak hal. Saya ingin punya bisnis, tapi saya juga ingin bekerja, dan saya juga ingin sekolah lagi, terus saya juga ingin bekerja sosial, dst dst. Buat seseorang yang merasa dirinya sulit
multitasking saya mungkin kelihatan terlalu muluk.
Saya sempat berpikir sepertinya saya mulai kehilangan fokus. Tapi, saya juga tidak mau suatu hari di usia saya yang ke-60 saya memandangi album foto dan berpikir (lagi)
what if?Entah bagaimana, saya merasa punya kewajiban untuk menjalani semua yang saya inginkan. I kinda desperately don't want to miss anything.
Anything. Seperti, mungkin, para
don juan tidak ingin melewatkan satu wanita pun. :P
Agak konyol ya?
Sudah sering sekali saya dengar orang bilang pada saya,
lo nggak mungkin deh ngelakuin ini dan itu sekaligus.Sering sekali. Sejak minggu pertama saya kuliah, seorang senior sudah menasihati apa yang mungkin dan tidak mungkin saya lakukan. Tentu saja saya dengarkan baik-baik kata-katanya dan saya serap ke dalam hati, lalu saya katakan pada diri saya sendiri
I'll prove him that he's wrong. And well, I did.
Kalau Anda perhatikan, di kolom sebelah kiri blog ini saya mengutip Shel Silverstein. Kata-katanya saya suka sekali. In case Anda belum membaca dengan baik, maka coba Anda perhatikan lebih baik kata-kata berikut:
"Listen to the mustn'ts, child. Listen to the don'ts. Listen to the shouldn'ts, the impossibles, the won'ts. Listen to the never haves, then listen close to me... Anything can happen, child. Anything can be."
It might be true or not. We can either prove it or just wonder about it, but I am not into wondering (another
what if session? Please...).
Kalau ternyata apa yang dikatakan Shel Silverstein salah, paling tidak saya akan bisa katakan pada Anda dengan yakin,
don't take the advice. :)